Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
3 hal yang terungkap dalam buku “Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum”

3 hal yang terungkap dalam buku “Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum”

Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ada tiga hal yang terjadi pasca gelombang aksi antirasisme besar-besaran di Tanah Papua pada 2019 lalu. Hal itu terungkap dalam seminar buku berjudul “Tuntut Martabat Orang Papua Dihukum” karya Theo Van Den Broek di Jayapura, Papua, Jumat (11/6/ 2021).

Pertama, masalah rasisme berubah politik separatisme. Peristiwa yang awalnya protes terhadap aksi rasisme, berubah menjadi masalah politik. Ia menjelaskan pada awalnya semua orang menolak tindakan rasisme kepada orang Papua di beberapa kota di Pulau Jawa, namun negara meresponnya bukan penanganan antirasisme melainkan masalah politik dan separatisme. “Orang lupa masalah rasisme,” katanya.

Kedua, makna hukum yang berubah. Hal itu dapat dilihat dengan kejadian tangkap menangkap, korban tertembak, namun seluruh kejadian itu tidak diinvestigasi. Theo Van Den Broek menjelaskan perubahan itu membuat ketidakpastian hukum.  “Orang terluka usai menjalani perawatan dibawa menjadi tersangka. Kemudian muncul pertanyaan, untuk siapa hukum itu?” katanya.


Ketiga, pelemahan para pemimpin di Papua. Pemerintah, DPRP dan MRP tidak bicara lagi, dengan berkantornya Kapolri dan panglima di Papua. “Kapolri, Menkopolhukam berkantor di Papua, itu bukti, mengirim pesan sekarang bukan kamu [pemerintah daerah] yang berkuasa, tetapi kami,” katanya.



Padahal pada saat itu ada kekerasan, penangkapan, namun pemerintah daerah, pemimpin lokal tidak berfungsi, dan tidak berdaya. Pemerintah Daerah, Gubernur, DPR Papua dan MRP, tidak lagi konsisten bersuara menolak rasisme, apalagi ketika masalah rasisme berubah menjadi masalah politik.

“Apa yang terbaca itu kemudian, membuat rakyat menjadi bingung. Siapa pemimpin mereka? Apakah masih ada pemerintahannya? Untuk siapa hukum [negara] Indonesia itu? Ketika rakyat bingung, pemerintah tidak memberi kepastian hukum, politisasi kemanusiaan, Gereja harus menjadi jalan kebenaran dan solusinya. Gereja harus menghentikan kekerasan yang terus berulang. Kita pakai dinamika gereja mengakhiri kekerasan. Gereja Perlu susun roadmap sendiri untuk mengakhiri kekerasan,”ujarnya.


“Saya tidak mungkin menulis yang tidak Ada. Saya menulis yang ada, yang kita lihat dan dengar dengan menambah sedikit, melihat apa yang terjadi dibalik peristiwa rasisme,” katanya.


Di tempat yang sama, Doktor Socratez Sofyan Yoman berterima kasih kepada Theo Van Den Broek yang sudah mendokumentasikan satu kejadian besar di Tanah Papua. “Saya juga sudah dan sedang menulis tentang rasisme. Kita cetak dan bagi buku-buku ini kepada semua orang,” katanya ketika menyajikan materinya dalam diskusi itu.

Menurutnya menulis adalah cara bermartabat bersama orang asli Papua melawan ketidakadilan, kejahatan kemanusiaan negara terhadap orang Papua. Alasannya, dengan menulis, membagi dan membaca merupakan cara terbaik, cara yang sangat tidak merendahkan martabat sesama dan cara yang sangat manusiawi untuk mendidik siapapun melihat dan mencintai Papua terhadap masalah kejahatan di Papua.

“Kita harus mendidik orang Indonesia, karena kita, orang Papua tidak bisa hadapi masalah kejahatan kemanusiaan dengan kekuatan sendiri,” katanya. (*)
https://jubi.co.id/3-hal-yang-terung...edium=facebook
yang bawa isu rasisme ke masalah separatisme siapa dulu..
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
1
265
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan