- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Ekonomi China Boleh Saja Tumbuh Mentereng, Tapi Ada Bubble!


TS
Lockdown666
Ekonomi China Boleh Saja Tumbuh Mentereng, Tapi Ada Bubble!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China memang tumbuh positif saat dilanda pandemi Covid-19 tahun lalu (bahkan sampai saat ini). Namun bukan berarti China selamat dari ancaman krisis. Risiko bubble pasar properti China dinilai bakal menjadi faktor yang membuat krisis selanjutnya terjadi.
Regulator Perbankan dan Asuransi China mewanti-wanti akan tingginya rasio utang tak lancar (non-performing loan/NPL) seiring dengan pengurangan stimulus oleh pemerintahnya terutama di sektor keuangan. Salah satu yang menjadi masalah serius adalah di sektor properti.
Banyak yang menilai bahwa pasar perumahan di China sedang mengalami bubble. Secara sederhana bubble diartikan sebagai suatu periode ketika harga aset cenderung mengalami kenaikan tajam yang membuatnya menjadi tidak sustainable.
Berkaca pada sejarah bubble akan selalu diikuti dengan burst yang memicu krisis karena harga tidak bisa terus menerus mengalami kenaikan. Di sepanjang sejarah umat manusia, krisis akibat kenaikan harga suatu aset telah terjadi berkali-kali.
Krisis bisa dipicu oleh anjloknya harga saham maupun properti setelah reli terus menerus. Untuk kasus properti, AS dan Jepang adalah contohnya. Negeri Matahari Terbit sempat mengalami real estate bubble tiga dekade silam. Sementara krisis akibat properti di Uncle Sam terjadi pada 2008 yang menimbulkan resesi global akibat kepanikan di pasar.
Kini giliran China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia yang menghadapi ancaman serius ini. Bayangkan saja harga rumah di China sudah sangat mahal. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133,7 kali. Jauh lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang maupun maju lainnya.
Harga properti di China terus mengalami kenaikan terutama sejak 2015. Harga properti di berbagai kota di China terus tumbuh dan tak pernah turun. Dua puluh lima tahun silam sebenarnya China pernah mengalami real estate bubble. Namun skalanya tidaklah nasional melainkan provinsi.
Adalah Hainan suatu provinsi di China bagian selatan yang mengalami krisis properti pada tahun 1995. Semua berawal ketika pada 1988 pemerintah China menetapkan provinsi tersebut sebagai Zone Ekonomi Khusus. Kebijakan tersebut membuat investasi dari China Daratan (Mainland) mengalir ke Pulau Hainan dan masuk ke sektor properti.
Pada 1991 harga satu petak lahan di Hainan mencapai 1.400 yuan per meter persegi. Dua tahun berselang harganya melonjak menjadi 7.500 yuan per meter persegi. Krisis terjadi tahun 1995 dan selama hampir satu dekade pasar properti Hainan tak kunjung pulih.
Kali ini skalanya lebih masif karena harga properti di China melonjak di berbagai kota. Ekspansi besar-besaran pengembang properti cenderung mengandalkan utang. Developer banyak bertumpu pada penerbitan surat utang.
Bloomberg mencatat gagal bayar surat utang China pada kuartal pertama tahun 2021 mencapai US$ 15,1 miliar. Sebanyak 27% dari gagal bayarnya disumbang oleh pengembang properti. Ini jelas menjadi warning bagi ekonomi China.
Apabila menengok Jepang tiga puluh tahun lalu, dampak dari bubble aset properti sangatlah mengerikan. Ekonomi Jepang tumbuh minimalis dan dibarengi dengan tingkat inflasi yang rendah bahkan sampai deflasi.
Riset yang ditulis oleh Jingyu Yao dari Beijing Normal University mengatakan ekonomi China tak akan mengalami bubble properti secara luas dalam waktu dekat. Bubble kemungkinan terjadi di berbagai kota. Namun bukan berarti untuk jangka menengah dan panjang krisis tidak akan terjadi jika harga properti terus naik.
Dampak ke RI?
Bagaimanapun juga meningkatnya risiko di sektor keuangan China akibat kenaikan harga aset properti perlu diperhatikan. Pemerintah kemungkinan bakal lebih ketat mengatur penyaluran kredit ke sektor real estate.
Peningkatan suku bunga juga bisa menjadi opsi untuk mengendalikan aksi spekulasi di sektor properti. Namun di saat yang sama juga meningkatkan ketegangan di sektor finansialnya.
Dampak dari bubble properti di China bisa terjadi lewat dua jalur. Pertama adalah dampaknya terhadap output dan kedua adalah lewat jalur keuangan. Peningkatan suku bunga memberi arti bahwa perekonomian China sedang direm. Artinya akan ada perlambatan dari sisi output.
Kedua meningkatnya risiko gagal bayar surat utang China akan membuat investor meminta kompensasi lebih atas risiko yang ditanggung. Hal ini akan berdampak pada kenaikan imbal hasil (yield) surat utangnya.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, krisis di China apabila terjadi maka akan berdampak meluas dan dirasakan oleh negara-negara lain terutama yang memiliki hubungan erat. Salah satunya adalah Indonesia.
Bagi Indonesia, China adalah mitra penting karena selain menjadi kreditor dan investor, Negeri Panda juga berperan sebagai destinasi ekspor berbagai produk Indonesia. Setiap penurunan 1% ekonomi China disebut akan menyebabkan koreksi pada perekonomian domestik sebesar 0,3%.
Di sisi lain peningkatan yield surat utang di China juga akan diikuti oleh meningkatnya yield surat utang di negara-negara emerging market lain termasuk Indonesia. Peningkatan yield tentu saja menjadi risiko bagi pembiayaan dan anggaran pemerintah Indonesia.
Well, dari China kita belajar bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbarengan dengan stabilitas. Tanpa stabilitas pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan terganggu.
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...api-ada-bubble


0
609
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan