Ketum PP Muhammadiyah: Bela Palestina Sama dengan Tegakkan Konstitusi
TS
samsol...
Ketum PP Muhammadiyah: Bela Palestina Sama dengan Tegakkan Konstitusi
Jakarta - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan alasan membela Palestina. Menurutnya, membela Palestina sama saja dengan menerapkan nilai-nilai konstitusi. Oleh karena itu, Haedar meminta, jika ada kasus serupa berupa penjajahan, meski tidak terkait dengan agama, harus tetap dibela.
Awalnya Haedar mengungkapkan alasan Muhammadiyah mendukung membela Palestina. Haedar mengingatkan di dalam amanat pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
"Bahwa di pembukaan itu kan kemerdekaan itu kan hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan harus dihilangkan dari seluruh muka bumi. Kemudian kita juga punya tujuan nasional ikut serta dalam ketertiban dunia dan perdamaian abadi, nah dengan dasar ini maka kita juga membela Palestina dan mengutuk sekeras kerasnya Israel dan siapapun kekuatan yang terus mengawetkan agresi dan nafsu kolonialisme," kata Haedar dalam acara halalbihalal silaturahmi Idul Fitri Keluarga Besar Muhammadiyah yang disiarkan di YouTube tvMU Channel, Minggu (23/5/2021).
Oleh karena itu, ia meminta warga Indonesia kembali diberi penegasan untuk memahami amanah konstitusi. Tak hanya itu, Muhammadiyah juga meminta umat Islam berjuang membela kelompok tertentu yang dijajah meski bukan sesama agama.
"Jadi intinya bahwa kita pahamkan warga dan elite bangsa kita yang belum paham sejarah dan konstitusi, juga jiwa konstitusi Indonesia bahwa bela Palestina dan bela setiap hal yang mirip dengan Palestina," ujarnya.
"Nah orang Islam juga harus jujur dan adil kalau ada peristiwa yang sama dan menimpa golongan lain kebetulan misalkan yang tidak terikat dengan golongan agama kita, kita pun harus membela, jangan diam. Jadi Muhammadiyah juga harus adil membela setiap peristiwa yang menjadi korban dari agresi dan tindakan semena-mena atas nama apa pun," imbuhnya.
Jakarta - Yaman, negeri yang mempunyai sejarah peradaban sangat panjang dan adiluhung, kini terjebak dalam perang dan konflik yang runyam. Kebuntuan dan tak ada kata mufakat dalam perselisihan politik telah menyebabkan Yaman menjadi medan pertempuran dan mangsa bagi perebutan pengaruh yang lebih besar dalam peta geopolitik kawasan.
Bayangkan, sejak perang bergejolak pada 2014, tercatat 6.475 warga sipil yang tewas, 16.700 luka-luka.
Lebih dari 8 juta warga Yaman terlantar, kelaparan, dan hidup dalam ketidakpastian.
Sungguh, sebuah tragedi kemanusiaan yang mencabik-cabik hati nurani kita semua.
Dalam catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 3 juta warga Yaman telah mengungsi di beberapa wilayah di Yaman, sekitar 280 ribu warga mencari suaka ke beberapa negara lain, termasuk ke Djibouti dan Somalia. Mereka kehilangan tempat tinggal dan membutuhkan bantuan makanan. Sedangkan, mereka yang memilih menetap di Yaman hidupnya lebih terpuruk lagi karena tertutupnya akses bantuan ke wilayah-wilayah yang menjadi medan pertempuran.
Pada 28 Agustus lalu, Tim investigator PBB telah mengeluarkan sebuah laporan investigatif yang terpercaya, bahwa koalisi militer Arab Saudi dan United Arab Emirates (UAE) yang telah menewaskan ribuan warga sipil, melakukan penyiksaan, pemerkosaan, dan menjadikan anak-anak kecil sebagai tentara, dapat dikatagorikan sebagai pelaku kejahatan perang.
Menurut laporan tersebut, serangan membabi buta yang dilakukan oleh Arab Saudi dan UAE tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga menghancurkan rumah-rumah warga, pasar, pemakaman, penjara, dan rumah sakit.
Bahkan, menurut Kamel Jendoubi, ketua panel dalam investigasi tersebut, serangan yang dilakukan Arab Saudi dan UAE di Yaman dilakukan secara membabi-buta, dan tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk memperkecil jatuhnya korban.
Bahkan, militer Arab Saudi dan UAE mengaku telah mendalangi serangan yang menyebabkan tewasnya 40 anak-anak sekolah di dalam bus. Artinya, Arab Saudi dan UAE sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan perang, tetapi sialnya tidak ada yang mampu meredam birahi kedua negara tersebut untuk menghentikan serangan militernya.
Salah satu alasannya, Arab Saudi dan UAE merasa telah mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Karenanya, Arab Saudi dan UAE merasa dapat angin dan bisa melakukan apa saja, termasuk serangan yang sangat brutal, meski harus melanggar hak asasi manusia dan menewaskan warga sipil dalam jumlah yang sangat besar.
Di balik kejahatan perang ini ada bisnis senjata yang sangat mengiris-ngiris hati nurani kita. Sebab, senjata mematikan yang digunakan oleh Arab Saudi dan UAE ditengarai dibeli dari negara-negara adidaya tersebut. Pantas saja, tidak ada protes keras dari AS, Inggris, dan Prancis terhadap serangan brutal yang dilakukan oleh Arab Saudi dan UAE.
Hanya Spanyol yang belakangan melakukan protes keras dan menolak untuk menjual persenjataannya ke Arab Saudi dan UAE. Spanyol sadar betul tidak ingin menjadi bagian dari kejahatan perang di Yaman.
Sebab, dunia internasional sudah menyoroti sepenuhnya apa yang terjadi di Yaman. Negara-negara yang selama ini lantang menyuarakan hak asasi manusia seperti AS, Inggris, dan Prancis telah melakukan demoralisasi dan standar ganda.
AS, Inggris, dan Prancis dikenal dalam sejarah sebagai "kolonialis" yang kerap berpihak pada rezim otoriter dan diktator di Timur-Tengah. Mereka mempunyai ketergantungan terhadap minyak, dan sebaliknya rezim-rezim otoriter membutuhkan persenjataan dari ketiga negara tersebut. Karenanya, kita patut kecewa karena AS, Inggris, dan Prancis tidak mempunyai komitmen yang serius dalam mengakhiri konflik politik yang terjadi di Yaman.
Di luar Arab Saudi dan UAE, tim ivestigator PBB juga menyebut Houthi sebagai pihak yang juga terlibat dalam kejahatan perang. Mereka juga ditengarai melakukan penyiksaan terhadap warga sipil, merekrut anak-anak untuk ikut perang, dan memblokade akses
Ketika palestina di serang dan terjadi kejahatan kemanusiaan, mereka berteriak2 penuh amarah dengan slogan keadilan dan kemanusiaan.
Namun mereka membisu sekian lamanya atas kasus tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat yaman.
Di prediksi ada 5 juta warga di sana yang sedang menderita kelaparan.
Lagi lagi mereka diam membisu.
Jangankan bicara keadilan bahkan konstitusi pun tidak ada tuk yaman.
Tidak ada bendera yaman dan tidak jargon" SAVE PEOPLE OF YAMAN"