Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
KEJUTAN DI HARI "H"
Lanjutan dari kisah "NODA DALAM PESANTREN"

Bagian sebelumnya bisa dibaca DI SINI
***

Bagian 2: Kejutan Hari H

Akad nikah akhirnya digelar. Hanya ada dua keluarga besar yang hadir dan sebagian pengajar juga santri pilihan. Menyusul dua hari kemudian akan dilaksanakan resepsi akan dilaksanakan. Kami sengaja memberi jeda agar acara bisa berjalan lebih optimal.

Semua berjalan khidmat. Lelaki sempurna itu akhirnya jadi suamiku. Aku bahkan sampai meneteskan air mata saking senangnya. Bukan, maksudku senang yang didominasi rasa takut sebab pernikahan ini berdiri di atas kebohongan.

Kami semua duduk di dalam masjid pesantren yang luas. Tamu laki-laki dan perempuan dipisah gorden setinggi satu meter. Sedang aku duduk paling depan, ditemani Ning Aishwa, Kakak perempuan Gus Bed juga Ibu dan Umi Aisyah, ibu Gus Bed sekaligus istri Kiai Abdullah.

"Oh, MaasyaAllah, ini istrinya Gus Bed yang baru selesai S2 itu?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru datang. Yang kemudian aku tahu dia adalah kakak Umi Aisyah. Entah, kenapa aku merasa tak asing dengan wanita itu.

Aku tersenyum dan mencium tangannya dengan sedikit membungkuk.

"Selamat ya, Nduk. Ndak rugi walau pun bukan dari kalangan santri, calonnya cantik dan terpelajar. Bude juga sering dengar Aishwa cerita, kalau calon Gus Bed juga gadis sholehah yang banyak prestasi." Wanita itu terus memuji, senyumku makin mengembang karenanya.

Namun, saat mendongak dan akan kembali ke posisi semula, mataku tak sengaja melihat seorang pria yang berjalan di barisan ikhwan, bahu hingga bawah tertutup kain pembatas.  Terlihat bahu hingga kepala yang membuatku gagal fokus.
"Fay?" Bagaimana dia bisa ada di sini?

"Hem?" Budenya Gus bereaksi saat nama itu kusebut. Ia menoleh ke arah pandanganku tertuju. "Kamu kenal, Fay, Nduk? Dia anak saya."

"Ap-apa?" tanyaku tak percaya. Saat menoleh pada Ibu, wanita itu juga tampak syok.

Ya Rabb, baru juga akad berlangsung, Gus dan keluarganya belum tahu apa yang menimpaku, kini masalah baru muncul. Aku dan keluargaku tak pernah tahu bahwa mereka kerabat dekat.

***

Aku mematut diri di depan cermin, tampak bayangan seorang gadis yang mengenakan gamis serupa kebaya yang di desain khusus.

"Cantik, Li." Bayangan gadis dalam cermin memperlihatkan mata berkaca-kaca.
Apa gunanya kecantikan ini, jika tubuhnya tak lagi suci?

Di dalam kamar, sudah hampir satu jam aku menunggu. Gus Bed belum juga datang. Kecemasan mulai menjalar di pikiran. Mungkinkah Fay sudah bicara dengan suamiku dan menceritakan semuanya.

Aku terhenyak begitu mendengar suara derit pintu. Pria tampan yang masih mengenakan jas koko berwarna putih masuk ke kamar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jantungku berdetak tak karuan. Ya Rabb apa yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah apa yang kubayangkan tempo hari akan terjadi karena aku memilih diam dan meneruskan pernikahan?
Apa yang terjadi selama berjam-jam aku menunggu? Pikiran buruk tentang Fay terus mengganggu. Sedikit saja bahkan tak bisa berprasangka baik pada bajingan itu.

"Kamu harus tetap tenang, Li. 90 persen dari apa yang kita takutkan sering kali tak terjadi. Gegabah hanya akan menghancurkanmu!" Nasihat bijak Ibu terus terngiang-ngiang dalam ingatan. Wanita itu seorang Ibu sekaligus motivator bagiku.

"Em, maaf, ya, Dik. Tadi guru abang dari Ma'had tempat abang mondok dulu datang. Ndak enak kalau ndak ngobrol dulu."

"Inggih Gus, eh, Bang," jawabku gugup. Saat melihatnya sekilas, bibir merah Gus membentuk senyum simpul. Manis.

Kenapa dia tersenyum? Jika dugaanku tentang Fay benar, harusnya Gus marah. Kecuali dia seperti malaikat, ah, tapi aku tak percaya jika ada manusia bak malaikat. Ini dunia nyata, segala sesuatunya bersifat realistis. Itulah mengapa aku memilih bungkam.

"Apa Adek mau memulainya sekarang?" tanya Gus Bed yang memandangku dengan jarak begitu dekat. Ya Tuhan, wajah tampannya yang putih berseri membuatku tak bisa menguasai diri. Detak jantung ini tak karuan.

"Hem?" Alis tebalnya terangkat menunggu jawaban dariku. Seketika aku menunduk malu. Sangat malu.

"Duh, malah merah begitu pipinya," goda Gus menyentuh pipi, dan mengusapnya pelan. Kehangatan tangannya menjalar hingga membuat dada semakin berdebar. Aku mencintaimu, Gus. Aku sangat mencintaimu.

"Sebenarnya abang juga mau mulai sekarang, Dek.  Tapi apa daya, tamu di luar sangat banyak." Tawa kecil menyusul pernyataan yang menunjukkan sesal dan rasa bersalah.

"Ah, ndak papa, Gus eh Bang. Ke luar saja dulu." Aku menjawab cepat dengan nada canggung.

Justru ini bagus, semua itu bisa mengulur waktu untuk mencari  cara menjelaskan keadaanku sebelum keduluan Fay. Yah, setelah melihat Fay tadi, tentunya aku harus memberanikan diri bicara yang sebenarnya. Sebab, jika pemuda jahat itu yang lebih dulu, dia bisa playing victime dan memutar balikkan fakta. Harapan untuk tetap ada di sisi Gus sangat kecil. Ah, bahkan tanpa kehadiran Fay, kesempatan itu nyaris tak ada.

Lalu apa yang kuharapkan? Tentu saja aku masih percaya pada keajaiban. Allah yang membolak-balikkan hati manusia, besar harapanku Tuhan akan membuat hati Gus legowo dan menerimaku. Karena semua ini adalah takdir. Yah, takdir.

"Wah, kok abang malah jadi kecewa jawabannya gitu." Mulut pria berwajah oriental itu sedikit memanyun seperti anak kecil.

Aku sampai bingung sendiri akan menanggapinya seperti apa. Akhirnya kupilih diam saja sambil nyengir.

"Baik lah. Abang senang Adek ternyata seorang istri yang sabar dan pemalu." Lagi, senyumnya membuatku tak bisa mengendalikan diri. Tangan kanannya mengacak kerudungku hingga kusut.

Menit kemudian ....

Aku tak mengerti sejak kapan tiba-tiba tak ada jarak antara kami, beberapa detik terjadi ia melepasnya. Mataku melebar, ia tersenyum sambil mengusap pipiku lagi sebelum benar-benar bangkit dan ke luar.

Kupegangi bibir sembari melihatnya berjalan ke arah pintu.
Apa itu tadi? Kenapa rasanya seperti disetrum yang membuatku sangat bahagia.

"Oya, Dek. Sambil nunggu boleh dikhatamin kitab yang Abang berikan tempo hari. Kalau Adek lupa membawanya, di laci paling atas juga ada kitab yang sama." Pria itu kembali bicara, selagi separuh tubuhnya sudah tertutup pintu dan hanya bagian kepala yang melongok padaku.

Ya Allah, nakal juga Gus Bed.

Tempo hari, saat di kampus, salah seorang mahasiswi sekaligus santriwati Darul Falah memberikan sebuah buku yang terbungkus rapi. Katanya titipan Gus Ubaidillah. Mataku melotot saat benda tersebut adalah sebuah kitab khusus yang menerangkan hubungan dalam rumah tangg, termasuk bulan madu.

Aku pun juga memiliki dan menyimpannya di rumah, dan sudah mengkhatamkan kitab tersebut setelah mendapat ijazah dari seorang ustazah. Tapi, masa iya kutolak dan dikembalikan? Tentu saja aku malu bilang sudah membaca kitab yang membahas hal tabu dalam hubungan suami istri.

Duh,  kenapa sikapmu begitu lembut, Gus? Ini membuatku merasa bersalah, rasa yang bersamaan hadir dengan rasa tak ingin kehilangan yang makin besar.

***

Beraktivitas sekitar setengah jam, kudengar seseorang mengetuk pintu.
"Li, buka, Nduk. Ini ibu."

Aku bergegas bangkit dan membawa masuk perempuan yang melahirkanku dua puluh lima tahun silam.

"Bu, Ibu lihat pria jahat itu, kan?" tanyaku dengan bergelayut di lengannya.

"Iya, Li. Sabar, Nduk. Kamu ndak boleh gegabah. Jika ternyata Fay nekad dan Gus Bed akhirnya bertanya minta dia temui ibu dan abah, okey? Biar kami yang urus."

Aku mengangguk takut.

"Tapi, Bu. Malam ini adalah malam pertama kami, kalau pun Fay tidak bicara pada Gus, suamiku itu pasti tau Li sudah tidak perawan. Lihat Bu, pangkal kakiku saja masih sakit gara-gara ulah Fay," aduku ingin diperhatikan.

Ibu tersenyum tipis. Ia mengusap kepalaku pelan.

"Ibu senang kamu tidak lagi menangis membicarakan ini, Li. Suamimu pasti sudah berbuat kebaikan padamu. Jadi jangan membayangkan yang tidak-tidak."

"Hem?" Benar juga. Suasana hatiku tetap saja bagus ketika membicarakan mantanku yang biadab itu. Tapi ... tidak mungkin aku cerita pada Ibu bahwa Gus Bed telah menciumku barusan. Aku hanya bisa tersenyum karena sangat senang.

"Sudah ayok keluar, kamu harus dekat dengan keluarga mereka."

"Tapi ada ibu Fay di sana."

"Li, ibu bilang kamu tidak boleh lemah. Jangan menunjukkan rasa bersalahmu karena kamu tak bersalah. Kamu berhak bahagia."

Setelah Ibu membujuk, akhirnya aku ikut ke luar. Menghadap keluarga besar Gus Bed yang berkumpul di ruang tengah.
Ibu Fay juga masih duduk di sana, perempuan berpenampilan glamour itu sedang bicara akrab.

"Wah, lihat siapa yang datang." Ibu Fay menyambut kami dengan hangat. "Kirain ditahan sama tole di kamar. Hehe." Tawanya renyah.

"Ke marilah, Nak. Ini Bude Arina baruuu aja balik ke Indonesia, setelah lama menetap di Belanda." Ning Aishwa memperkenalkan.

"Iya, alhamdulillah Islam di sana disambut hangat, tak ada kasus diskriminatif terhadap aktivis malah mualaf terus bertambah tiap tahun. Mana penduduknya ramah." Bude Arina mulai bercerita betapa senangnya ia.
Ibu diam tak menanggapi, bahkan tersenyum pun tidak. Pasti karena kemarahannya pada Fay yang membuatnya benci siapa pun yang berhubungan dengan pria itu.
Tak masalah lagi pula objek di sini adalah aku, jadi tidak akan membawa kecurigaan bagi orang lain.

Aku hanya sedikit menarik bibir agar tak terlihat kaku.

"Yah, semua tergantung pemimpin kebijakan pemerintahnya, Bude. Kalau yang menjabat bisa dibeli yah, mau ndak mau toh bikin aturan yang memusuhi ummat Islam. Opini kan cepet kalau penguasa yang menghembuskan." Ning Asihwa menimpali.

"Yah, bisa jadi, Nduk. Tapi bude ndak gitu ngerti politik, taunya merasa aman aja hehe."

Di saat kami bicara ke sana ke mari, Gusku datang. Dia bicara dengan seseorang yang belum tampak sosoknya, kemudian terlihat setelah kakinya berpijak di ruangan tempat kami berkumpul. Fay!

Dua pria itu duduk di seberang kami.
"Itu Kang, yang masih pake gamis dan kerudung segi empat istriku, namanya Liana Anindita. Katanya dia dulu juga kuliah di Mataraman." Gus menunjukku, memperkenalkan sebagai istrinya.

"Oh ya? Mungkin kami beda angkatan. Yah, maklum kan aku mahasiswa yang satu semester menghabiskan waktu sampai tiga tahun, mana mungkin mahasiswi berprestasi sepertinya mengenalku. Ya kan, Mbak?" Fay bertanya yang membuatku seketika gelagapan.

"Heh? Em, ya."

Ibu masih menatap Fay dengan raut wajah kesal.

"Wah, bener kata mama, cantik istrimu, Bed." Fay melirik padaku sekilas. Seperti tatapan ancaman bahwa semua rahasiaku akan ia bongkar!

Aku sangat jijik melihat senyumnya. Seolah keberadaannya adalah pisau pengupas luka-lukaku yang mulai mengering, hingga sakit kembali menghujam dengan kalian lipat lebih perih.

'Biadab kamu, Fay!
Jika kamu tahu aku adalah calon istri sepupumu, kenapa masih tega lakukan perbuatan bejat itu padaku?!'

‘Kalau saja bukan karena banyak orang di sini, sudah kuremes-remes mulutnya, kuinjak tubuhnya sampai penyet dan mati.’

'Ah, Lian ... bahkan tempo hari kamu tak bisa mengalahkannya barang sedikit, sampai kamu kehilangan mahkotamu!' Sisi lain diriku memaki.
'Hidupmu sungguh menyedihkan Lian!
Lemah ....
Pengecut!
Tak punya pijakan!
Pembohong!'

"Ya, sudah Fay. Sebaiknya kita pulang." Bude Arina mengucap sambil melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

Bagus cepat lah pulang, Fay! Keberadaanmu membuatku muak!

"Ya, Ma." Fay menjawab cepat.

"Loh, kirain mau nginap sini?” Umi Aisyah kini menimpali.

"Yah, boleh lain kali, Bulek." Fay menjawab. Lagi-lagi matanya melirikku. Ish, ingin kucongkel saja rasanya.

****





Bagian 3: Malam Pertama

Malam akhirnya datang. Rumah semakin sepi. Hanya terdengar suara racau santri-santri yang masih terjaga di asrama dari kejauhan.

Aku dan Gus Bed menghabiskan waktu bersama. Tak ada lagi kata yang bisa melukiskan keindahannya, dari sekadar sholat, berdoa dan wirid bersama sampai bersatunya kami dalam lautan cinta.

"Ana uhibbuki," bisik Gus Bed mesra.

Aku lupa setiap rasa sakit yang kurasa, sampai semua itu usai ....

Gus lalu duduk di sisi ranjang membelakangiku. Tak ada tanda-tanda ia seperti orang kesurupan dalam bayanganku. Tapi ....
"Dek." Suara itu memanggil seolah akan mengatakan sesuatu.

"Ya?"
Ya Allah, tubuhku kembali menegang. Apa yang akan ia katakan? Mungkin kah ....

Waktu telah berganti. Namun, bayangan menjijikkan Fay dan anaknya yang bisa saja sudah tumbuh dalam rahim tidak juga hilang.  Aku harus berpura-pura tak terjadi apa pun di depan Gus Bed dengan bahagia. Layaknya pengantin  baru.
Semoga saja kehamilan benar tidak  datang di tahun pertama,  agar Fay tak mengira ini anaknya  dan terus menerorku.

Tuhan, kebohongan ini sungguh menyiksa. Sampai kapan aku terus dihantui rasa takut seperti sekarang?

"Tidak, Li!  Kamu tidak boleh lemah."

Setelah frustasi dengan pesan yang Fay kirim,  aku memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi. Dengan  atau tanpa izin Gus. Kuharap memang belum ada pembuahan dalam rahim.

Tak membuang waktu kutekan kontak temanku 'Shinta' yang kini berprofesi sebagai seorang bidan.
[Shin, lo bisa ke pesantren malam ini. Gue butuh bantuan lo buat pasang KB.]

Tak berapa lama Shinta membalas.
[Boleh, Li. Jam berapa?]

Cepat aku membalas.
[Habis magrib aja, ya,  Shin. Tolong jangan bilang siapa-siapa tujuan lo nemuin gue. Tar gue ceritain.]

[Oke]

Sengaja kuminta dia datang jam segitu karena jam Gus sibuk di masjid.

Maaf, Gus. Semua ini demi masa depan kita.

Kubuang napas kasar,  aku telah membohongi diriku sendiri. Mungkin ini bukan demi kami, tapi hanya demi aku yang takut kehilangannya.

***

"Adek, sedang apa?" Suara itu menyentak. Suara yang hadir bersamaan bau wangi yang menguar masuk ke indra penciuman. Aku menyukai bau ini.

Saat menoleh, Gus Bed sudah berdiri membungkuk. Entah, sejak kapan ada di sana. Tak ada salam atau pun ketukan pintu, apa karena aku tak mendengar lantaran pikiran ini melayang ke mana-mana?

"Loh, kiraen lagi beberes. Kok malah banyak kertas berserakan di sini."

"Astagfirullah!" Mataku melotot melihat banyak serpihan kertas di lantai. Makalah mahasiswaku hancur separuh halamannya. Mati aku! Baru juga ngajar selama satu semester, Pak Setto pasti akan memberi teguran kalau sampai tahu kejadian ini.

Maksud hati sekalian cuti kuselesaikan tugas dari kampus, malah tugas mereka jadi korban kalalaianku. Kebiasaan burukku kambuh. Menghancurkan benda-benda tak bersalah tanpa sadar.

Beginilah hidup dengan dusta. Aku selalu was-was dan membayangkan yang tidak-tidak. Ini semua karena kamu, Fay!

"Em. Maaf,  Bang," pintaku lemas.

Menyesal. Pasti Gus Bed berpikir tidak-tidak tentang istrinya. Jangan sampai ia berpikir istrinya seorang psikopat yang suka tak sadar dengan perbuatannya.

"Kok minta maaf sama Abang, minta maafnya sama yang dihancurin ini," ledek Gus Bed, ia tersenyum sampai kelihatan sedikit gigi putihnya yang berjejer rapi.

"Sini biar abang bantu beresin. Apa ada masalah sampai Adek ngelamun begini?"

"Ah, ndak ada," jawabku cepat. "Mungkin kena sydrom pengantin baru. Hehe."

"Syndrom pengantin baru?" Gus menelengkan kepala seperti tampak berpikir. Entahlah, apa yang ada di kepalanya. Aku hanya refleks menjawab dengan asal.

Pria itu  berjongkok  memungut satu persatu banyaknya kertas dan serpihannya yang berserak di lantai  kamar.

"Apa ini tugas mahasiswa, Adek?" Sejenak pria itu memperhatikan judul makalah dan lambang universitas di sampulnya.

"Iya." Segera kubereskan sebelum Gus membenahi semua yang harusnya menjadi tugasku.

"Abang masih ndak nyangka bakal punya istri  dosen," ucapnya dengan mata menggoda.

"Apalagi Adek,  lebih ndak percaya menikah sama calon kiai besar, ganteng pula."

"Duh, bucin. Hahaha."

"Hahaha." Tawa kecil kami bersahutan sementara tangan kami sibuk membereskan makalah dan serpihan kertas yang berserak.

"Ya, sudah. Sebaiknya Adek istirahat, besok adalah resepsi yang melelahkan." Tangannya  mengacak pelan rambutku.

"Enjeh, Sayang." Aku berbalik merapikan buku-buku ke lemari.

"Hem, dah berani panggil, Sayang. Alamat ndak jadi istirahat, nih." Tangan Gus malah memeluk dari belakang dengan tangan melingkar di perutku. Ia berbisik mesra, tersenyum memberi kode.

Gus, mana bisa aku menolakmu?
tet762Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan tet762 memberi reputasi
2
760
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan