Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shotaromilkteaAvatar border
TS
shotaromilktea
Mati Surinya Konser K-pop Offline di Korea karena Ketidakadilan Pemerintah


Di bawah aturan yang berlaku, konser K-pop tidak dikategorikan sebagai "performance" (pertunjukan) tapi masuk ke kategori "gatherings" (berkumpul). Jadi saat negara mematok social distancing level 2 untuk tindak pencegahan COVID-19, acara K-pop hanya boleh mengakomodir hingga 100 orang penonton dilansir dari Korea Times.

Regulasi ini menjadi malapetaka bagi industri K-pop, memaksa penyelenggara konser menyerah mengadakan acara karena mereka tidak akan mencapai revenue dengan jumlah penjualan tiket yang kecil. Tapi acara musikal diperlakukan berbeda karena diklasifikasikan sebagai "performance", yang mana pihak penyelenggara diizinkan mengisi 75 persen kursi penonton di bawah peraturan social distancing level 2.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, kenapa konser K-pop nggak dianggap sebagai "performance"? Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mengklaim kalau konser K-pop adalah bentuk yang berbeda dari suatu pertunjukan, karena penonton sering nyanyi bareng dengan si penyanyi, yang mana dapat menyebarkan virus corona. Tapi alasan ini nggak bisa meyakinkan para pemain dalam industri K-pop dan fans, mereka percaya klasifikasi berbeda ini karena memang pemerintah cenderung diskriminatif terhadap kultur pop dan musik. 

"Kalau nyanyi bareng adalah masalahnya, pemerintah bisa melarang penonton lakukan hal itu." ujar Kim Sang Wook, direktur konser yang mengorganisir konser BTS dari 2013 hingga 2019. Dia juga adalah founder perusahaan produksi konser PLAN A. "Beberapa konser offline bisa diselenggarakan kala itu saat level social distancing masih rendah daripada saat ini, tapi para penonton nggak ikut nyanyi bareng dan dengan taat ikut aturan jaga jarak ketika diminta. Hingga kini, nggak ada infeksi cluster yang terjadi di venue konser."

Peraturan pemerintah membuat orang dalam industri K-pop termarginalisasi dan didiskriminasi. "Kami nggak meminta pemerintah untuk kasih kami perlakuan istimewa. Kami hanya meminta kesetaraan. Krisis kesehatan global sangat merugikan industri kami lebih dari setahun dan merugikan banyak pihak. Pasti ada solusi nyata yang bisa menolong kami untuk hidup. Masih ada konser online, tapi profit yang dihasilkan kalah jauh dari acara live, karena harga tiketnya lebih murah. Ditambah, porsi besar profit mengalir ke pemilik platform" jelas Kim Sang Wook.

Agar suara mereka didengar, 38 perusahaan produksi konser di Korea bekerja sama membentuk asosiasi, menuntut pemerintah mengeliminasi diskriminasi dan memberikan kompensasi atas kerugian yang sudah terjadi. Pernyataan yang dirilis pada 22 April, pihak asosiasi jalin kerjasama dengan kementerian terkait, partai politik dan agensi pemerintah untuk mengubah regulasi. "Kami meminta Kementerian Budaya, Olahraga dan Turisme, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dan pihak berwenang lokal untuk mendiskusikan isu ini bersama dan memberikan solusi untuk kita semua." jelas pihak asosiasi.



Lee Gyu Tag, profesor antropologi budaya di George Mason University Korea, menunjuk bahwa ada problem komunikasi dari semua pihak yang terlibat. "Kementerian Budaya, Olahraga dan Turisme sudah mencoba untuk menghidupkan kembali konser K-pop tapi keputusan final ada di tangan otoritas lokal. Sebagai upaya mengurangi risiko penyebaran virus, pihak otoritas menetapkan peraturan yang diberikan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan di konser K-pop." jelas profesor.

"Untuk menangani situasi ini, dua kementerian harusnya berkomunikasi lebih intens dan memutuskan cara revitalisasi industri. Dikarenakan K-pop sangat berpengaruh di kancah musik global, pembatasan konser bukan solusi tepat untuk kepentingan nasional." Di satu sisi negara lain seperti Jerman dan Inggris menyelenggarakan "konser eksperimental" di depan kerumunan besar sebagai cara aman musisi bisa tampil di tengah pandemi, Korea belum mengambil langkah berani. Malahan, Korea ambil langkah konservatif dengan membatasi acara, hasilnya Monsta X gagal mengadakan fanmeeting offline dan harus menunggu pandemi berakhir. 

Beberapa orang tarik hubungan paralel antara kasus ini dengan isu wajib militer. Di bawah hukum sekarang, semua pria berusia 18 dan 28 harus ikut wajib militer selama dua tahun. Tapi pemenang penghargaan musisi klasik dan atlet diperbolehkan tidak ikut wamil karena dianggap "mengharumkan nama bangsa". Sedangkan penyanyi pop tidak termasuk.

Tahun lalu, perdebatan tentang sistem wamil yang adil muncul di permukaan karena anggota Partai Demokrasi Korean Noh Woong Rae berujar, perubahan perlu dilakukan untuk bintang seperti BTS yang mana "mengharumkan nama bangsa" dengan menaklukan chart Billboard Hot 100 berkat lagu "Dynamite".

"Dua kasus ini menunjukan bahwa pemerintah masih melihat kultur pop dan musik sebagai kasta kedua, meskipun populer secara global." jelas profesor Lee Gyu Tag. "K-pop dan musik klasik adalah bentuk musik dan musisi harusnya diperlakukan sama dan adil apapun genre musiknya."

Foto: Twitter @OfficialMonstaX, Getty Images

0
237
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan