- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kolak Pisang


TS
thesecret06
Kolak Pisang
SPESIAL RAMADAN
Cerita sederhana. Kunjungi wattpad saya di @AngellaQueen332. Jangan lupa follow 😉
Udara dingin menerpa kala tubuh ini terbasahi oleh air surga yang turun dari langit. Hujan hari ini begitu deras. Orang-orang pergi berteduh sementara aku masih sibuk mengayuh. Masih membawa barang-barang, salah satunya satu lirang pisang kapok yang tidak terjual.
Siapa juga yang mau minta laku untuk selirang pisang? Orang-orang tentu lebih suka dengan buah anggur dan juga strawberry yang tentu harganya lebih mahal daripada selirang pisang yang bahkan warna tak semua kuning.
Ku hentikan sepeda ontel tua di depan sebuah rumah berpagar bambu yang sudah sangat kusam. "Assalamualaikum," ucapku yang tengah disambut oleh istriku. Dia menjawab salamku sebelum mencium tanganku.
"Bapak kok bisa kehujanan? Kenapa tidak berteduh?"
"Habisnya, jika bapak berteduh, mau buka di jalan? Bapak kan juga mau buka puasa di rumah ...."
"Iya tidak apa-apa, ketimbang basah kuyup, besok sakit. Jika sudah sakit, ya tidak bisa bekerja."
"Tidak apa-apa juga, setahun sekali. Kali saja, Allah memberikan kita rezeki di bulan penuh berkah ini."
"Amin ...."
.
.
.
Namaku Iwan Purnomo, lahir di Semarang 36tahun yang lalu. Menikah dengan istriku---Nur Alimsyah dan memiliki seorang putra bernama Hendi Setiawan. Hendi, lahir saat bulan puasa 7 tahun silam. Saat itu malam takbir, di dekat puskesmas sekitar 2km terdapat lapangan berukuran sedang. Banyak petasan yang meledak di angkasa, aku hampir khawatir akan keadaan Hendi saat itu. Beruntung---atau memang seperti sudah tahu, anakku tidak rewel. Tidak menangis keras kala mendengar petasan meledak.
Kehidupan kami biasa saja. Tinggal di rumah berdinding bambu dengan atap genteng tanah liat. Alas juga masih tanah, tak sanggup membeli semen. Hanya pedagang buah musiman dan tidak musiman. Contohnya pisang, mangga atau rambutan.
Bulan puasa ini tak laku banyak, sebab banyak pedagang yang berjualan barang yang sama. Menggunakan mobil, penggeras musik dan juga gambar. Apalah aku yang hanya bermodalkan suara dan juga sepeda ontel tua yang sudah karatan.
"Pak ...."
Panggilan itu membuatku menoleh.
"Hendi minta dibelikan baju baru ...," ucap istriku lirih dengan wajah sendu.
Aku tidak punya cukup uang. Kuambil kaleng biskuit plastik bekas. Membuka tutupnya dan terlihat ada cukup banyak uang. Sembari menghitung kuucapkan beberapa kata pada istriku.
"Jika sudah lumayan terkumpul, kita bisa pergi ke pasar. Bapak tidak masalah pakai baju lama, jika ibu juga ingin, ibu juga bisa beli."
"Semuanya seratus lima puluh ribu," ucapku kemudian.
Istriku hanya menunduk. Aku tahu apa yang ia pikirkan selama ini.
"Tidak, ibu tidak menginginkannya, ibu hanya ingin sekali ... atau sesekali membahagiakan Hendi."
"Ibu sudah melakukan yang terbaik."
Di tengah pembicaraanku tiba-tiba suara Hendi terdengar.
"Buk, kolak pisangnya masih ada tidak?"
Dahi istriku mengernyit. Menatapku sebentar sebelum kembali melihat Hendi.
"Sepertinya tinggal sedikit, memangnya kenapa?"
"Ada Sastro di luar, datang sama Mbah Tukiyem."
Cepat-cepat aku berdiri membenarkan sarung dan peciku sebelum datang menghampiri mereka.
Sastro anak kedua dari Bu Tumini dan Alm. Bapak Sardjono yang meninggal karena kecelakaan di jalan raya. Suka sekali main ke rumah sederhana milik kami dan sering mengajak Hendi jalan-jalan.
"Eh, Mbah .... kapan datang?" tanyaku.
"Baru saja!" balasnya dengan senyum.
"Nur, kemana?"
Aku menoleh kebelakang. "Ambil minum barangkali."
"Tidak usah repot-repot, kita cuma mampir."
"Tidak apa-apa, Mbah ini sudah seperti keluarga bagi kami."
Tidak lama kemudian, istriku datang. Membawa dua buah gelas berisi teh hangat. Sementara Hendi datang dengan dua mangkuk kecil berisi kolak pisang.
"Wah, seharusnya tidak usah repot-repot," ucap Mbah Tukiyem dengan sedikit tersenyum---memunculkan gigi peraknya yang mengkilap.
"Tidak apa-apa Mbah, sekali-kali cicipi kolak pisang buatan saya."
"Mbah coba, ya ... bismillahirrahmanirrahim,"
Sekali lahap matanya terpejam. Sastro bahkan manggut-manggut tanpa bersuara.
"Enak ini, Nur. Kenapa tidak dijual saja? Mayan ... buat lebaran nanti."
Aku bertukar pandang dengan istriku. Sepertinya juga ia tengah memikirkan hal yang baru kami sadari.
"Dijual saja, barang kali suka. Kolak pisang itu makan favorit orang Jawa! Dahulu, waktu mbah masih muda ... kolak pisang itu yang jadi primadona waktu ramadan."
"Akan kami coba pikirkan mbah ...."
Setelah Mbah Tukiyem dan juga Sastro pulang, aku langsung mendiskusikan hal ini dengan Nur. Tentu ketika Hendi sudah tidur.
"Buk ... akhir-akhir ini banyak yang berjualan buah di pinggir jalan. Buah-buahan bapak tidak laku."
"Lantas? Bapak mau berjualan kolak pisang saja, begitu?"
"Yah ... bukan hanya bapak, ibuk juga bisa bantu ...."
"Bapak ini! Setiap hari, kan ibu bantu di dapur, di kebun dll," ucapnya setengah cemberut.
"Iya, mungkin bisa ditambahi pisang goreng, sale, keripik atau yang lainnya. Nanti bapak coba buat ambil pisang yang banyak di kebun."
"Iya pak ...."
.
.
3 hari setelahnya.
Jam 2 siang, kegiatan di dapur mulai agak sedikit semrawut. Sebab, aku sudah harus berangkat pukul 3 sore.
"Sudah jadi belum, buk?"
"Tinggal goreng pisang, Hendi bantu bapak tata kolak pisangnya."
"Iya buk," ucap Hendi sembari membawa beberapa gelas plastik yang sudah kubeli 2 hari sebelumnya.
"Mau dijual dengan harga berapa ini, pak?"
tanyanya sembari memasukkan kolak ke dalam gelas.
"4000 saja," ucapku.
"Pisang gorengnya?"
"1000an."
Jalan pasar agak ramai. "Buk, pegang Hendi, ya?" saranku
"Iya, bapak hati-hati juga membawa kolaknya."
Sesampainya di tempat biasa, aku terkejut. Lihatlah! Mulai banyak pedagang musiman berdatangan. Menyerukan dagangan mereka. Seketika aku dan Nur kebingungan. Tiada tempat untuk berjualan. Tempatku sudah terisi oleh pedagang lain.
"Bapak akan mencoba berbicara sama pedagang itu. Di sana tempat biasa bapak jualan."
"Hati-hati, Pak."
"Hendi, pengang sepedanya." Tanpa menjawab, anakku mengangguk patuh.
Ku berjalan menghampiri mereka. Terlihat seseorang berbadan besar, ada tato wayang Semar di lengan kanannya. Sambil menghisap rokok, asapnya ia keluarkan lewat mulut. Sebagian dari hidungnya.
"Assalamualaikum ... permisi, boleh saya berjualan di sini juga? Ini tempat saya dulu."
"Tempatmu? Memangnya kamu bayar di sini?
Siapa cepat dia dapat!" serunya dengan keras.
"Tapi ini tempat saya, kemarin saya masih---"
"Masih berjualan di sini pun juga bukan urusan saya ... sekali lagi, siapa cepat dia dapat!"
"Pergi sana! Cari tempat lain!" serunya kemudian, sembari mendorong tubuhku.
Aku sedikit terhuyung, hampir saja menubruk orang jika saja dia tidak pergi begitu saja meskipun menyiratkan wajah yang tidak suka. Mungkin aku membuatnya terkejut.
"Gimana, Pak?"
"Nggak boleh, kita harus cari tempat lain."
Ku tatap kembali di sekeliling, sebelum seseorang mendatangi kami dan meminta sesuatu.
"Kasihanilah saya nak, saya tidak sempat sahur tadi malam."
Dengan cepat, Hendi mengambil segelas kolak pisang dengan lima pisang goreng.
"Buat buka, ya Mbah ...."
"Terima kasih banyak atas makanannya."
Wanita itu pergi berjalan sedikit terburu-buru meskipun badannya sudah membungkuk dan membawa tongkat.
"Mungkin besok saja."
.
.
.
Sudah berjalan kesana-kemari, dagangan hanya laku 5 gelas dari 20 gelas yang dibuat. Itu juga tidak terhitung dengan satu gelas yang Hendi berikan untuk pengemis tadi.
"Mungkin belum rezekinya," ucapku kepada keluargaku. Secuil apapun hasilnya, tidak pernah kami---merasa terlalu berat. Bersyukur.
Sesampainya di kampung, kami berpapasan dengan Bu Kades. Beliau menyapa ramah sebelum menanyakan apa yang kami bawa.
"Ini kolak pisang dan pisang goreng, Bu."
"Oh ... saya mau beli satu, kolak pisangnya."
Bu Kades terlihat merogoh tasnya. Mengambil dompetnya dan berkata,
"Berapa?"
"Satunya 4 ribu."
Nur dengan cepat mengemasnya dalam kantung kresek.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, ya ...?"
.
.
.
Sesampainya di rumah, kulihat wajah Nur kembali sedikit tertunduk. Raut wajahnya terlihat sedih, nampak begitu kecewa dengan hasil hari ini.
"Sabar buk ... jualan memang seperti ini."
"Tapi kan sayang, mubazir."
"Alah ... siapa bilang? Itu untuk buka dan sahur juga masih enak. Hendi saja nambah 3 gelas!"
Aku sedikit tertawa kecil kala mengingat anakku yang tidak bisa tidak berkata 'enak' saat kolak pertama tandas.
"Anak itu suka sekali kolak pisang."
"Bersyukur, dia bukan tipikal anak pemilih," ujarku sembari bersandar pada dinding. Sudah waktunya untuk tidur. Bisa-bisa mereka tidak sahur malam ini.
.
.
.
"Assalamualaikum, assalamualaikum!"
Suara sedikit berteriak itu membuat Nur yang sedang menanak nasi di dandang itupun tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Aku yang sedang membenarkan caping terlihat heran pagi-pagi sekali, Bu Kades datang ke rumah.
"Eh, Bu Kades. Ada apa ini?"
"Ini, Bu. Saya mau pesan kolak pisang untuk 100 orang. Rencananya buat buka bersama."
Sembari membenarkan caping, kulihat ia menyapa.
"Pak, mau pergi ke kebun?"
"Eh, ibu. Iya, mau tanam pisang sekalian ambil pisang yang matang di kebun."
"Oh bagus, itu. Saya juga mau pesan kolak pisangnya. 100 gelas untuk buka bersama. Barangkali nanti ada yang order lagi."
Senyum bahagia terpancar dari raut wajah kami. Istriku---bahkan masih tidak percaya. Bu kades memberikan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada istriku.
"Terima kasih banyak Bu Kades ...."
Semenjak hari itu, setiap ada acara besar, kolak pisang yang selalu dipesan. Bukan hanya Bu kades, tetapi juga orang-orang kampung. Dan seperti biasa, Allah tidak akan memberikan rezekinya tanpa adanya usaha.
End.
Cerita sederhana. Kunjungi wattpad saya di @AngellaQueen332. Jangan lupa follow 😉
Udara dingin menerpa kala tubuh ini terbasahi oleh air surga yang turun dari langit. Hujan hari ini begitu deras. Orang-orang pergi berteduh sementara aku masih sibuk mengayuh. Masih membawa barang-barang, salah satunya satu lirang pisang kapok yang tidak terjual.
Siapa juga yang mau minta laku untuk selirang pisang? Orang-orang tentu lebih suka dengan buah anggur dan juga strawberry yang tentu harganya lebih mahal daripada selirang pisang yang bahkan warna tak semua kuning.
Ku hentikan sepeda ontel tua di depan sebuah rumah berpagar bambu yang sudah sangat kusam. "Assalamualaikum," ucapku yang tengah disambut oleh istriku. Dia menjawab salamku sebelum mencium tanganku.
"Bapak kok bisa kehujanan? Kenapa tidak berteduh?"
"Habisnya, jika bapak berteduh, mau buka di jalan? Bapak kan juga mau buka puasa di rumah ...."
"Iya tidak apa-apa, ketimbang basah kuyup, besok sakit. Jika sudah sakit, ya tidak bisa bekerja."
"Tidak apa-apa juga, setahun sekali. Kali saja, Allah memberikan kita rezeki di bulan penuh berkah ini."
"Amin ...."
.
.
.
Namaku Iwan Purnomo, lahir di Semarang 36tahun yang lalu. Menikah dengan istriku---Nur Alimsyah dan memiliki seorang putra bernama Hendi Setiawan. Hendi, lahir saat bulan puasa 7 tahun silam. Saat itu malam takbir, di dekat puskesmas sekitar 2km terdapat lapangan berukuran sedang. Banyak petasan yang meledak di angkasa, aku hampir khawatir akan keadaan Hendi saat itu. Beruntung---atau memang seperti sudah tahu, anakku tidak rewel. Tidak menangis keras kala mendengar petasan meledak.
Kehidupan kami biasa saja. Tinggal di rumah berdinding bambu dengan atap genteng tanah liat. Alas juga masih tanah, tak sanggup membeli semen. Hanya pedagang buah musiman dan tidak musiman. Contohnya pisang, mangga atau rambutan.
Bulan puasa ini tak laku banyak, sebab banyak pedagang yang berjualan barang yang sama. Menggunakan mobil, penggeras musik dan juga gambar. Apalah aku yang hanya bermodalkan suara dan juga sepeda ontel tua yang sudah karatan.
"Pak ...."
Panggilan itu membuatku menoleh.
"Hendi minta dibelikan baju baru ...," ucap istriku lirih dengan wajah sendu.
Aku tidak punya cukup uang. Kuambil kaleng biskuit plastik bekas. Membuka tutupnya dan terlihat ada cukup banyak uang. Sembari menghitung kuucapkan beberapa kata pada istriku.
"Jika sudah lumayan terkumpul, kita bisa pergi ke pasar. Bapak tidak masalah pakai baju lama, jika ibu juga ingin, ibu juga bisa beli."
"Semuanya seratus lima puluh ribu," ucapku kemudian.
Istriku hanya menunduk. Aku tahu apa yang ia pikirkan selama ini.
"Tidak, ibu tidak menginginkannya, ibu hanya ingin sekali ... atau sesekali membahagiakan Hendi."
"Ibu sudah melakukan yang terbaik."
Di tengah pembicaraanku tiba-tiba suara Hendi terdengar.
"Buk, kolak pisangnya masih ada tidak?"
Dahi istriku mengernyit. Menatapku sebentar sebelum kembali melihat Hendi.
"Sepertinya tinggal sedikit, memangnya kenapa?"
"Ada Sastro di luar, datang sama Mbah Tukiyem."
Cepat-cepat aku berdiri membenarkan sarung dan peciku sebelum datang menghampiri mereka.
Sastro anak kedua dari Bu Tumini dan Alm. Bapak Sardjono yang meninggal karena kecelakaan di jalan raya. Suka sekali main ke rumah sederhana milik kami dan sering mengajak Hendi jalan-jalan.
"Eh, Mbah .... kapan datang?" tanyaku.
"Baru saja!" balasnya dengan senyum.
"Nur, kemana?"
Aku menoleh kebelakang. "Ambil minum barangkali."
"Tidak usah repot-repot, kita cuma mampir."
"Tidak apa-apa, Mbah ini sudah seperti keluarga bagi kami."
Tidak lama kemudian, istriku datang. Membawa dua buah gelas berisi teh hangat. Sementara Hendi datang dengan dua mangkuk kecil berisi kolak pisang.
"Wah, seharusnya tidak usah repot-repot," ucap Mbah Tukiyem dengan sedikit tersenyum---memunculkan gigi peraknya yang mengkilap.
"Tidak apa-apa Mbah, sekali-kali cicipi kolak pisang buatan saya."
"Mbah coba, ya ... bismillahirrahmanirrahim,"
Sekali lahap matanya terpejam. Sastro bahkan manggut-manggut tanpa bersuara.
"Enak ini, Nur. Kenapa tidak dijual saja? Mayan ... buat lebaran nanti."
Aku bertukar pandang dengan istriku. Sepertinya juga ia tengah memikirkan hal yang baru kami sadari.
"Dijual saja, barang kali suka. Kolak pisang itu makan favorit orang Jawa! Dahulu, waktu mbah masih muda ... kolak pisang itu yang jadi primadona waktu ramadan."
"Akan kami coba pikirkan mbah ...."
Setelah Mbah Tukiyem dan juga Sastro pulang, aku langsung mendiskusikan hal ini dengan Nur. Tentu ketika Hendi sudah tidur.
"Buk ... akhir-akhir ini banyak yang berjualan buah di pinggir jalan. Buah-buahan bapak tidak laku."
"Lantas? Bapak mau berjualan kolak pisang saja, begitu?"
"Yah ... bukan hanya bapak, ibuk juga bisa bantu ...."
"Bapak ini! Setiap hari, kan ibu bantu di dapur, di kebun dll," ucapnya setengah cemberut.
"Iya, mungkin bisa ditambahi pisang goreng, sale, keripik atau yang lainnya. Nanti bapak coba buat ambil pisang yang banyak di kebun."
"Iya pak ...."
.
.
3 hari setelahnya.
Jam 2 siang, kegiatan di dapur mulai agak sedikit semrawut. Sebab, aku sudah harus berangkat pukul 3 sore.
"Sudah jadi belum, buk?"
"Tinggal goreng pisang, Hendi bantu bapak tata kolak pisangnya."
"Iya buk," ucap Hendi sembari membawa beberapa gelas plastik yang sudah kubeli 2 hari sebelumnya.
"Mau dijual dengan harga berapa ini, pak?"
tanyanya sembari memasukkan kolak ke dalam gelas.
"4000 saja," ucapku.
"Pisang gorengnya?"
"1000an."
Jalan pasar agak ramai. "Buk, pegang Hendi, ya?" saranku
"Iya, bapak hati-hati juga membawa kolaknya."
Sesampainya di tempat biasa, aku terkejut. Lihatlah! Mulai banyak pedagang musiman berdatangan. Menyerukan dagangan mereka. Seketika aku dan Nur kebingungan. Tiada tempat untuk berjualan. Tempatku sudah terisi oleh pedagang lain.
"Bapak akan mencoba berbicara sama pedagang itu. Di sana tempat biasa bapak jualan."
"Hati-hati, Pak."
"Hendi, pengang sepedanya." Tanpa menjawab, anakku mengangguk patuh.
Ku berjalan menghampiri mereka. Terlihat seseorang berbadan besar, ada tato wayang Semar di lengan kanannya. Sambil menghisap rokok, asapnya ia keluarkan lewat mulut. Sebagian dari hidungnya.
"Assalamualaikum ... permisi, boleh saya berjualan di sini juga? Ini tempat saya dulu."
"Tempatmu? Memangnya kamu bayar di sini?
Siapa cepat dia dapat!" serunya dengan keras.
"Tapi ini tempat saya, kemarin saya masih---"
"Masih berjualan di sini pun juga bukan urusan saya ... sekali lagi, siapa cepat dia dapat!"
"Pergi sana! Cari tempat lain!" serunya kemudian, sembari mendorong tubuhku.
Aku sedikit terhuyung, hampir saja menubruk orang jika saja dia tidak pergi begitu saja meskipun menyiratkan wajah yang tidak suka. Mungkin aku membuatnya terkejut.
"Gimana, Pak?"
"Nggak boleh, kita harus cari tempat lain."
Ku tatap kembali di sekeliling, sebelum seseorang mendatangi kami dan meminta sesuatu.
"Kasihanilah saya nak, saya tidak sempat sahur tadi malam."
Dengan cepat, Hendi mengambil segelas kolak pisang dengan lima pisang goreng.
"Buat buka, ya Mbah ...."
"Terima kasih banyak atas makanannya."
Wanita itu pergi berjalan sedikit terburu-buru meskipun badannya sudah membungkuk dan membawa tongkat.
"Mungkin besok saja."
.
.
.
Sudah berjalan kesana-kemari, dagangan hanya laku 5 gelas dari 20 gelas yang dibuat. Itu juga tidak terhitung dengan satu gelas yang Hendi berikan untuk pengemis tadi.
"Mungkin belum rezekinya," ucapku kepada keluargaku. Secuil apapun hasilnya, tidak pernah kami---merasa terlalu berat. Bersyukur.
Sesampainya di kampung, kami berpapasan dengan Bu Kades. Beliau menyapa ramah sebelum menanyakan apa yang kami bawa.
"Ini kolak pisang dan pisang goreng, Bu."
"Oh ... saya mau beli satu, kolak pisangnya."
Bu Kades terlihat merogoh tasnya. Mengambil dompetnya dan berkata,
"Berapa?"
"Satunya 4 ribu."
Nur dengan cepat mengemasnya dalam kantung kresek.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, ya ...?"
.
.
.
Sesampainya di rumah, kulihat wajah Nur kembali sedikit tertunduk. Raut wajahnya terlihat sedih, nampak begitu kecewa dengan hasil hari ini.
"Sabar buk ... jualan memang seperti ini."
"Tapi kan sayang, mubazir."
"Alah ... siapa bilang? Itu untuk buka dan sahur juga masih enak. Hendi saja nambah 3 gelas!"
Aku sedikit tertawa kecil kala mengingat anakku yang tidak bisa tidak berkata 'enak' saat kolak pertama tandas.
"Anak itu suka sekali kolak pisang."
"Bersyukur, dia bukan tipikal anak pemilih," ujarku sembari bersandar pada dinding. Sudah waktunya untuk tidur. Bisa-bisa mereka tidak sahur malam ini.
.
.
.
"Assalamualaikum, assalamualaikum!"
Suara sedikit berteriak itu membuat Nur yang sedang menanak nasi di dandang itupun tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Aku yang sedang membenarkan caping terlihat heran pagi-pagi sekali, Bu Kades datang ke rumah.
"Eh, Bu Kades. Ada apa ini?"
"Ini, Bu. Saya mau pesan kolak pisang untuk 100 orang. Rencananya buat buka bersama."
Sembari membenarkan caping, kulihat ia menyapa.
"Pak, mau pergi ke kebun?"
"Eh, ibu. Iya, mau tanam pisang sekalian ambil pisang yang matang di kebun."
"Oh bagus, itu. Saya juga mau pesan kolak pisangnya. 100 gelas untuk buka bersama. Barangkali nanti ada yang order lagi."
Senyum bahagia terpancar dari raut wajah kami. Istriku---bahkan masih tidak percaya. Bu kades memberikan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada istriku.
"Terima kasih banyak Bu Kades ...."
Semenjak hari itu, setiap ada acara besar, kolak pisang yang selalu dipesan. Bukan hanya Bu kades, tetapi juga orang-orang kampung. Dan seperti biasa, Allah tidak akan memberikan rezekinya tanpa adanya usaha.
End.


bukhorigan memberi reputasi
1
313
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan