- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Berikan Perasaanmu (Short Story - Thriller - 17+)
TS
bekinyot
Berikan Perasaanmu (Short Story - Thriller - 17+)
apa yang harus kuberikan
Spoiler for :
Pagi itu, Trixia duduk diatas bangku taman pusat kota seorang diri. Seperti hari-hari sebelumnya dirinya selalu sendiri. Belakangan ini dirinya merasa bahwa jika bersama orang lain, itu akan membuat dirinya kerepotan dan seringkali membuat pusing kepalanya dengan kerumitan bersosialisasi.
Tidak jauh dari tempat Trixia duduk, ada sebuah warung kecil. Disana Trixia membeli sebuah air mineral dan beberapa makanan kecil yang akan menemaninya melamun sambil memperhatikan orang-orang yang sedang beraktivitas. “Kasus penculikan dan orang-orang hilang masih belum ditemukan.” Sebuah berita diputar di televisi tabung kecil warung tersebut. Trixia melihat berita tersebut, lalu memperhatikan penjual yang sedang menggeleng-gelengkan kepala di depan televisi tersebut dan menyerahkan beberapa lembar uang.
Sambil memakan roti, dan memperhatikan seorang anak yang sedang bermain lempar bola dengan ayahnya, seorang pria dari bawah pohon menatap ke arah Trixia. Dirinya berjalan ke arah Trixia, “hai, boleh saya duduk disini?” Tanya pria tersebut dengan suaranya yang terdengar bergetar. “Silahkan.” Jawab Trixa dengan senyum tipisnya.
“Aku Nola,” pria tersebut menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. Trixia memandang tangan tersebut beberapa saat, lalu mengeluarkan sebotol alat penyemprot dari tasnya, ukurannya yang sekecil telapak tangan dan berwarna merah. Semprotan tersebut diarahkan ke wajah pria tersebut, dengan sekali semprot sang pria tertidur di pundak Trixia, lalu Trixia juga meletakan kepalanya di atas kepala pria tersebut. Kini dari kejauhan mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih.
Nola terbangun dalam sebuah ruangan, seorang anak kecil sedang terduduk di sudut ruangan menatap dengan pandangan takut. Nola ingin bertanya dimana dirinya berada, namun rasa sakit dikepalanya membuat dia tidak dapat berkata-kata. Pintu dari ruangan tersebut terbuka, seorang wanita paruh baya berjalan masuk dan duduk di salah satu sudut ruangan tersebut tanpa berkata apa-apa dan hanya sekilas menatap ke arah Nola. “Nola.” Sebuah suara terdengar dari speaker, Nola memperhatikan sekitar, ibu paruh baya menunjuk ke arah pintu.
Di balik pintu tersebut Nola melihat sebuah kursi kayu yang tekstur nya sudah terkelupas, tidak ada siapa-siapa disana, hanya sebuah pintu lain berada di belakangnya yang tertutup dengan rapat. Nola menunggu instruksi selanjutnya apa yang harus dilakukannya.
Pintu terbuka, Trixia muncul dengan pakaian yang masih sama seperti di taman tadi. Dirinya menyilahkan Nola untuk duduk disana. Nola berjalan dengan tenang ke kursi tersebut, dan duduk. “Ada apa ini?” Tanya nola tanpa berani menoleh ke belakang, dimana Trixia berdiri menatap kepalanya. “Mengapa aku kamu bawa ke tempat seperti ini?” Tanya Nola kembali karena tidak mendengar jawaban apapun dari Trixia. “Aku perlu teman untuk berbicara.” Untuk pertama kalinya Nola mendengar suara trixia.
“Aku perlu seseorang untuk berbicara denganku,” ucap Trixia sambil berjalan kedepan Nola. “Dan aku ingin melatih diriku agar tidak panik saat berbicara dengan seseorang.”
Sejenak Nola berfikir hingga mengerutkan kepalanya, namun beberapa saat kemudian dirinya tersenyum, “baik aku akan menemanimu bicara.”
“Aku tidak tahu harus bicara apa,” terdengar getaran pada suara Trixia. “Aku ingin menghilangkan kegugupanku ini saat bicara dengan seseorang.”
“Jika kamu tidak tahu apa yang harus kamu bicarakan, kenapa kamu tidak bicarakan apa yang kamu ketahui.” Sesungguhnya Nola ingin merekomendasikannya ke psikolog, namun dirinya yakin dengan keadaannya seperti ini, Trixia sudah mencoba berbagai macam hal, hingga menempuh tindakan kriminal seperti ini.
Trixia hanya terdiam saja mendengar apa yang dikatakan oleh Nola. Dirinya berjalan ke arah pintu tersebut, setelah pintu ditutup, beberapa saat kemudian terdengar suara tangisan yang lirih.
Trixia kembali dari pintu tersebut dengan matanya yang sembab, “bagaimana cara untuk memulainya?”
“Sesungguhnya tidaklah sulit untuk kamu memulai suatu hal pada awal dari segalanya. Perhatianmu, kebahagianmu, pengetahuanmu, atau bahkan jika kamu memberikan kesedihanmu orang lain pasti akan mendengarkan.”
Kembali Trixia berjalan menuju pintu, dan setelah pintu ditutup tidak terdengar tangisan itu. Trixia kembali lagi, dan kali ini dengan sebuah kursi kayu yang bentuknya jauh lebih baik dari yang diduduki oleh Nola. “Namaku Trixia,” tangan Trixia menjulur, dan disambut oleh Nola. Mereka berdua bercakap-cakap dan Nola lebih banyak mendengarkan Trixia yang ternyata baru saja kehilangan orang yang dicintainya, sehingga melakukan hal seperti ini.
Pada akhir pembicaraan mereka, terdengar suara sirine polisi yang dipanggil oleh Trixia sendiri. “Aku rasa kini aku sudah mengerti bagaimana caranya. Terimakasih Nola.” Nola hanya tersenyum mendengar hal tersebut, mereka berdua dipisahkan oleh polisi yang menggiring Trixia keluar dari ruangan tersebut. Mereka saling melempar senyum.
Tidak jauh dari tempat Trixia duduk, ada sebuah warung kecil. Disana Trixia membeli sebuah air mineral dan beberapa makanan kecil yang akan menemaninya melamun sambil memperhatikan orang-orang yang sedang beraktivitas. “Kasus penculikan dan orang-orang hilang masih belum ditemukan.” Sebuah berita diputar di televisi tabung kecil warung tersebut. Trixia melihat berita tersebut, lalu memperhatikan penjual yang sedang menggeleng-gelengkan kepala di depan televisi tersebut dan menyerahkan beberapa lembar uang.
Sambil memakan roti, dan memperhatikan seorang anak yang sedang bermain lempar bola dengan ayahnya, seorang pria dari bawah pohon menatap ke arah Trixia. Dirinya berjalan ke arah Trixia, “hai, boleh saya duduk disini?” Tanya pria tersebut dengan suaranya yang terdengar bergetar. “Silahkan.” Jawab Trixa dengan senyum tipisnya.
“Aku Nola,” pria tersebut menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. Trixia memandang tangan tersebut beberapa saat, lalu mengeluarkan sebotol alat penyemprot dari tasnya, ukurannya yang sekecil telapak tangan dan berwarna merah. Semprotan tersebut diarahkan ke wajah pria tersebut, dengan sekali semprot sang pria tertidur di pundak Trixia, lalu Trixia juga meletakan kepalanya di atas kepala pria tersebut. Kini dari kejauhan mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih.
Nola terbangun dalam sebuah ruangan, seorang anak kecil sedang terduduk di sudut ruangan menatap dengan pandangan takut. Nola ingin bertanya dimana dirinya berada, namun rasa sakit dikepalanya membuat dia tidak dapat berkata-kata. Pintu dari ruangan tersebut terbuka, seorang wanita paruh baya berjalan masuk dan duduk di salah satu sudut ruangan tersebut tanpa berkata apa-apa dan hanya sekilas menatap ke arah Nola. “Nola.” Sebuah suara terdengar dari speaker, Nola memperhatikan sekitar, ibu paruh baya menunjuk ke arah pintu.
Di balik pintu tersebut Nola melihat sebuah kursi kayu yang tekstur nya sudah terkelupas, tidak ada siapa-siapa disana, hanya sebuah pintu lain berada di belakangnya yang tertutup dengan rapat. Nola menunggu instruksi selanjutnya apa yang harus dilakukannya.
Pintu terbuka, Trixia muncul dengan pakaian yang masih sama seperti di taman tadi. Dirinya menyilahkan Nola untuk duduk disana. Nola berjalan dengan tenang ke kursi tersebut, dan duduk. “Ada apa ini?” Tanya nola tanpa berani menoleh ke belakang, dimana Trixia berdiri menatap kepalanya. “Mengapa aku kamu bawa ke tempat seperti ini?” Tanya Nola kembali karena tidak mendengar jawaban apapun dari Trixia. “Aku perlu teman untuk berbicara.” Untuk pertama kalinya Nola mendengar suara trixia.
“Aku perlu seseorang untuk berbicara denganku,” ucap Trixia sambil berjalan kedepan Nola. “Dan aku ingin melatih diriku agar tidak panik saat berbicara dengan seseorang.”
Sejenak Nola berfikir hingga mengerutkan kepalanya, namun beberapa saat kemudian dirinya tersenyum, “baik aku akan menemanimu bicara.”
“Aku tidak tahu harus bicara apa,” terdengar getaran pada suara Trixia. “Aku ingin menghilangkan kegugupanku ini saat bicara dengan seseorang.”
“Jika kamu tidak tahu apa yang harus kamu bicarakan, kenapa kamu tidak bicarakan apa yang kamu ketahui.” Sesungguhnya Nola ingin merekomendasikannya ke psikolog, namun dirinya yakin dengan keadaannya seperti ini, Trixia sudah mencoba berbagai macam hal, hingga menempuh tindakan kriminal seperti ini.
Trixia hanya terdiam saja mendengar apa yang dikatakan oleh Nola. Dirinya berjalan ke arah pintu tersebut, setelah pintu ditutup, beberapa saat kemudian terdengar suara tangisan yang lirih.
Trixia kembali dari pintu tersebut dengan matanya yang sembab, “bagaimana cara untuk memulainya?”
“Sesungguhnya tidaklah sulit untuk kamu memulai suatu hal pada awal dari segalanya. Perhatianmu, kebahagianmu, pengetahuanmu, atau bahkan jika kamu memberikan kesedihanmu orang lain pasti akan mendengarkan.”
Kembali Trixia berjalan menuju pintu, dan setelah pintu ditutup tidak terdengar tangisan itu. Trixia kembali lagi, dan kali ini dengan sebuah kursi kayu yang bentuknya jauh lebih baik dari yang diduduki oleh Nola. “Namaku Trixia,” tangan Trixia menjulur, dan disambut oleh Nola. Mereka berdua bercakap-cakap dan Nola lebih banyak mendengarkan Trixia yang ternyata baru saja kehilangan orang yang dicintainya, sehingga melakukan hal seperti ini.
Pada akhir pembicaraan mereka, terdengar suara sirine polisi yang dipanggil oleh Trixia sendiri. “Aku rasa kini aku sudah mengerti bagaimana caranya. Terimakasih Nola.” Nola hanya tersenyum mendengar hal tersebut, mereka berdua dipisahkan oleh polisi yang menggiring Trixia keluar dari ruangan tersebut. Mereka saling melempar senyum.
Diubah oleh bekinyot 03-04-2021 16:35
0
437
Kutip
1
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan