Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Dilema RI di Antara Pangan, Vaksin, dan Pertahanan
Spoiler for kolase:


Spoiler for Video:


“Vaksin sekarang ini bukan lagi persoalan obat tapi persoalan geopolitik dan geostrategi” – Moeldoko

Kalimat tersebut dilontarkan oleh Mantan Panglima TNI yang kini menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko pada 23 Maret 2021 lalu saat menjawab pertanyaan peserta terkait alasan Indonesia memilijh vaksin Sinovac meskipun ada vaksin lainnya.

Pertama karena vaksin Sinovac yang lebih dulu membuka diri untuk melakukan uji klinis ketiga di Indonesia. Kedua, adalah pertimbangan penanganan vaksin Sinovac yang lebih mudah ketimbang vaksin lain.

Akan tetapi, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, maka kebutuhan akan vaksin juga menjadi tinggi. Itulah mengapa, kata Moeldoko, pemerintah saat ini tengah menyiapkan alternatif vaksin lain seperti AstraZeneca dan Pfizer. Serta mengharapkan vaksin buatan dalam negeri, yakni vaksin Merah Putih dan Nusantara.

Sumber : Tribunnews[Kepala KSP Moeldoko: Vaksin Bukan Lagi Persoalan Obat, Tapi Geopolitik dan Geostrategi]

Ucapan Moeldoko terkait vaksin yang kini menjadi persoalan geopolitik dan geostrategi tersebut mengingatkan penulis pada diplomasi vaksin China yang merajalela di Asia Tenggara dan di seluruh dunia serta upaya para pemimpin aliansi Quad dalam mengantisipasinya.

Pada beberapa waktu yang lalu, para pemimpin empat negara yang tergabung dalam aliansi Quad (AS, India, Australia, dan Jepang) setuju untuk mengumpulkan pembiayaan, produksi, dan kapasitas distribusi dalam rangka mengirim 1 miliar vaksin virus corona ke seluruh Asia pada akhir 2022.

Menteri Luar Negeri India Harsh Vardhan Shringla menginformasikan bahwa keempat negara berkomitmen untuk memperluas vaksinasi global dan melawan diplomasi vaksinasi China.

Namun, pertemuan para pemimpin Aliansi Quad memunculkan persepsi beberapa pihak yang berpandangan bahwa sebenarnya keempat negeri ini berkumpul untuk menahan laju perkembangan China. Ditambah lagi, keempat negara memiliki konflik dengan China. Seperti AS yang kerap kali bersitegang dengan China mengenai HAM dan perang dagang.

Sumber : CNBC Indonesia ['Lawan' China, 4 Negara Janjian Kirim 1 Miliar Vaksin ke Asia]

Akan tetapi, jika kita melihat kondisi China saat ini, langkah keempat negara dalam melawan diplomasi vaksin China adalah suatu hal yang logis. Sebab meski negara lain darurat corona, China malah mencetak rekor surplus perdagangan. Sepanjang 2020, China menjadi satu-satunya negara yang perekonomiannya tumbuh pesat.

Surplus perdagangan China mencapai US$535 miliar, meningkat 27 persen dari 2019 dan tertinggi sejak 2015. Ekspor melonjak karena virus corona dan lockdown yang dilakukan negara lain memicu tingginya permintaan luar negeri atas produk China. Wabah Covid-19 yang telah terkendali di negeri tirai bambu tersebut pun memungkinkan China untuk memenuhi peningkatan permintaan global.

Sumber : Bisnis [Negara Lain Darurat Corona, China Malah Cetak Rekor Surplus Perdagangan]

Surplus perekonomian China makin diperkuat dengan fakta bahwa negeri komunis tersebut mampu memproduksi vaksin Covid-19 dengan cepat. Bahkan ketika negara-negara kaya berebut membeli pasokan terbatas vaksin Covid-19, China justru menawarkan suntikan vaksin produk dalam negerinya kepada negara-negara miskin.

Bantuan vaksin Covid-19 itu tentunya tidak cuma-cuma. China mengharapkan adanya imbalan kerja sama diplomatik jangka panjang.

"'Diplomasi vaksin' China bukanlah tanpa syarat," kata Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh lembaga Yusof Ishak yang berbasis di Singapura. Beijing tentunya dapat menggunakan sumbangan vaksinnya untuk memajukan agenda regionalnya, terutama pada masalah sensitif, seperti klaim China terhadap Laut China Selatan.

Sumber : Kompas [China Beri Bantuan Vaksin Covid-19 tapi dengan Imbalan, Apakah Itu?]

Tapi Indonesia bukanlah negara miskin. Republik ini memilih membeli vaksin Sinovac yang dipermudah pembeliannya oleh China. Jika kita menengok diplomasi dagang China, maka dapat kita tebak, ketika Indonesia membeli vaksin Sinovac, maka produk dari China akan membanjiri Indonesia. Seandainya bukan itu syarat yang diberikan ke Indonesia, bisa jadi pembelian vaksin Sinovac dapat digunakan untuk memajukan agenda regional China di Laut China Selatan.

Namun pembelian vaksin Sinovac oleh RI kini terhalang oleh berbagai faktor. Mulai dari keengganan publik untuk mengikuti program vaksinasi hingga datangnya vaksin gratis dari skema Covax.

Pada 23 Maret 2021, lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memaparkan hasil survei mereka terhadap kemauan masyarakat untuk melakukan vaksinasi. Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan ada 29 persen warga Indonesia yang tak mau melakukan vaksinsasi Covid-19. Hanya 46 persen responden yang mantap untuk melakukan vaksinasi. Sementara 23 persen ragu-ragu dan 2 persen tidak menjawab.

Sumber : Kompas [Survei SMRC: 29 Persen Responden Tak Mau Divaksinasi Covid-19]

Angka tersebut lebih tinggi ketimbang hasil survei Katadata Insight Center (KIC) yang diterbitkan 11 hari sebelumnya, atau pada 12 Maret 2021 lalu. Menurut KIC, masih ada 12,2 persen responden yang tidak bersedia mengikuti vaksinasi virus corona.

Sumber : KataData [Kekhawatiran Efek Samping Jadi Alasan Utama Para Penolak Vaksin Covid-19]

Data tersebut menunjukkan bahwa hanya dalam selang waktu 11 hari, terjadi peningkatan jumlah masyarakat yang tidak mau mengikuti vaksinasi Covid-19. Maka kita bisa bayangkan di masa mendatang akan semakin banyak masyarakat yang tidak mau mengikuti program vaksinasi pemerintah.

Belum lagi dengan adanya vaksin gavi covax yang didapatkan Indonesia secara gratis. Pada 7 Januari 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan adanya vaksin gratis gavi covax secara cuma-cuma dapat menghemat anggaran vaksin dan vaksinasi yang diproyeksi mencapai Rp 73 triliun.

Keengganan masyarakat untuk divaksin serta adanya vaksin gratis dari covax, tentunya akan membahayakan diplomasi dagang vaksin China. Ada kemungkinan Indonesia membatalkan rencana lanjutan pembelian vaksin kepada negeri tirai bambu tersebut. Terutama jika APBN Indonesia tidak mencukupi untuk pembelian vaksin.

Ditambah lagi, baru-baru ini ada polemik rencana impor 1 juta ton beras yang tentunya akan menambah beban terhadap APBN. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi terlihat pasang badan terkait polemik tersebut. Menurutnya, jika ada pihak yang harus disalahkan, itu adalah dirinya.

"Saya tidak melihat perbedaan antara Kemendag, Kementan, Bulog, atau Kemenko Perekonomian. Saya minta kalau salah, salahkan saja saya," ujarnya seperti dikutip dari akun Youtube Kementerian Perdagangan, Sabtu 20 Maret 2021.

Mendag Lutfi menegaskan bahwa rencana impor beras adalah langkah antisipasi, karena sudah menjadi tugasnya untuk mempersiapkan yang terburuk. Dia juga menjamin impor beras akan dilakukan tanpa menghancurkan beras lokal.

Sumber : Merdeka [Mendag Lutfi Pasang Badan di Polemik Impor Beras: Salahkan Saja Saya]

Memang kebijakan impor beras tersebut terkesan tidak berpihak pada petani. Namun, hal yang penulis tangkap dari pemberitaan, rencana impor beras itu tak akan terjadi dalam waktu dekat dimana Indonesia kini tengah berada dalam masa panen.

Meskipun begitu, walau impor beras baru sebatas rencana, tentunya APBN harus disediakan demi mengantisipasi kekurangan pangan. Maka akan ada anggaran APBN yang akan dirombak.

Ketika kita berbicara APBN untuk 2021, maka Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto mendapatkan anggaran kementerian terbesar setelah Kementerian PUPR. Yakni sebesar Rp 137,3 triliun. Anggaran terbesar Kemenhan salah satunya dialokasikan ke program modernisasi alutsista, nonalutsista dan sarpras pertahanan sebesar Rp 42,65 triliun.

Prabowo sendiri terlihat merencanakan pembelian alutsista untuk Indonesia pada bulan Oktober 2020 lalu setelah bertemu Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly. Disebutkan Prabowo telah melakukan pembicaraan lanjutan dengan Florence Parly untuk pembelian 48 pesawat jet Rafale, 4 kapal selam Scorpene yang dipersenjatai rudal Exocet SM39, dan 2 korvet Gowind yang diperkirakan bernilai USD 25-28 miliar.

Sumber : Kumparan [Prabowo Keliling AS - Eropa Belanja Alutsista dan Warning Sri Mulyani]

Jika secara logika awam, maka anggaran pembelian alutsista Kemenhan sebaiknya dipangkas demi menutupi kebutuhan pangan dan vaksin. Namun, hal yang harus diperhatikan, jika kita melihat agenda dagang vaksin China, bukankah pemangkasan APBN di sektor pertahanan akan sangat menguntungkan negara komunis tersebut?

Sebab dengan dipangkasnya anggaran pertahanan, maka rencana Indonesia untuk memperkuat alutsista dalam rangka mengantisipasi konflik Laut China Selatan tak akan terwujud. China akan lebih leluasa memajukan agenda regionalnya.

Kini terserah pemerintah Indonesia, ada tiga pilihan anggaran di APBN. Yakni pangan, vaksin, dan pertahanan. Uang negara tak akan cukup untuk mengalokasikan ketiganya. Hanya dua yang dapat dipilih. Jika memilih pangan dan vaksin, ada kemungkinan vaksin tak terpakai dan pertahanan Indonesia menjadi lemah dalam mengantisipasi konflik Laut China Selatan. Jika memilih vaksin dan pertahanan, kemungkinan terburuknya rakyat kelaparan. Oleh karena itu, secara logis yang dipilih adalah pangan dan pertahanan, karena selain banyak masyarkat yang enggan divaksin, Indonesia juga mendapatkan vaksin gratis dari skema Covax.
Diubah oleh NegaraTerbaru 25-03-2021 18:50
keniapardedeAvatar border
keniapardede memberi reputasi
1
1.1K
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan