Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

davidp90Avatar border
TS
davidp90
SKUAT INDIGO 2 BAB 23 RATIH DAN JAMU
      <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-formatemoticon-Embarrassmentther; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-familyemoticon-Swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
BAB 23 RATIH DAN JAMU

            Malam hari di langit pedesaan yang menyuguhkan indah. Terang bulan begitu jelas terlihat. Langit hitam terdekap cahaya meremang. Awan-awan tipis berlekuk-lekuk turut ambil bagian. Setelah menemani sang ibu berbincang hingga beliau tertidur Akbar beranjak keluar rumah untuk menghabiskan sisa malam dengan merenung di dipan teras rumahnya. Kopi dan tembakau menemaninya dengan setia.

            Dalam renungannya munculah sosok hitam yang kian lama kian mendekat kepadanya. Sosok hitam itu datang dengan penuh ketenangan. Ia adalah sosok tua dengan satu lengan. Buyut hadir menemui Akbar malam itu.

            “Pasti ada banyak yang ingin kau tanyakan wahai manusia?”, Buyut membuka pembicaraan.

            “Sebaiknya kau langsung jelaskan saja padaku apa yang ingin engkau sampaikan wahai jin tua”, pinta Akbar.

            Tuduhan sebagai tersangka pembunuhan sadis di rumah vila di kawasan Puncak Bogor sudah dihapuskan. Kini Akbar tidak perlu lagi khawatir dengan keberadaan dirinya di alamnya sendiri. Tidak ada lagi seragam-seragam yang memburunya.

            “Bagaimana bisa begitu?”, tanya Akbar.

            “Apakah kau mengira hanya dirimu dan teman-temannmu yang kau kenal saja yang terlibat dalam semua ini. Apa yang telah kau lalui sejauh ini hanyalah sepenggal cerita dibalik sebuah tanggungjawab yang lebih besar”, jelas Buyut menyadarkan Akbar.

            “Tentang perbuatanmu dengan putri Luguh kau tidak perlu khawatir”, kata Buyut.

            “Jadi Sinar tidak akan hamil? Syukurlah”, balas Akbar.

            “Apa yang kau alami hanyalah kenikmatan semu belaka. Tidak ada ceritanya dunia kami dengan duniamu menyatu secara utuh dan nyata”, terang Buyut.

            “Lantas bagaimana dengan Rimba Hitam? Apa yang mereka sedang rencanakan?”, Akbar begitu serius.

            “Rimba Hitam sedang menjalankan rencana jahat mereka. Untuk itulah kami yang ditakdirkan berseberangan dengan mereka berusaha untuk menghentikan dan menggagalkan rencana gila mereka”, jawab Buyut.

            “Apa yang mereka agendakan?”, tanya Akbar.

            “Sesuatu yang amat mengerikan yang tak akan pernah terlintas dalam pikiran kalian”, ujar Buyut.

            “Lalu kenapa bangsa kami (manusai)juga turut terlibat?”, tanya Akbar.

            “Karena bangsa kalian juga menjadi bagian dari rencana mereka”, terang Buyut.

            Akbar juga menanyakan perihal Kabir kepada Buyut. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh kodam Kera Putih Raksasanya itu. Menurut penuturan Luguh Kabirlah yang memimpin penyerangan komplotan Rimab Hitam ke Desa Gaib.

            “Kau tak usah mengkhawatirkannya. Kabir sedang menjalankan misinya sendiri. Percayalah, ia berada di pihak kita”, jawab Buyut.

            “Bagaimana dengan sekarang? Apa yang harus aku perbuat?”, kata Akbar.

            “Nikmatilah waktumu bersama keluarga dan sahabat-sahabatmu. Tunggulah sampai datangnya kabar sebelum nanti kami akan datang kembali menjemputmu”, ungkapan terakhir Buyut kepada Akbar dipertemuannya malam itu.

***

            “Jamu... jamu...”, suara merdu nan mendayu itu membangunkan Akbar dari tidurnya tanpa mengusiknya sedikitpun. Panggilan itu membuat sang bujang terbangun dengan seringai senyuman.

            “Prei sikik mbak (tidak dulu mbak)”, sahut Ibu Akbar dari dalam rumah yang pagi itu tidak hendak membeli jamu.

            Akbar : “Siapa yang jualan jamu Mak?”

            Ibu : “Itu namanya Ratih.”

            Akbar : “Ratih anaknya siapa?”

            Ibu : “Itu orang baru. Belum juga ada seminggu dia di desa kita.”

            Ibu : “Mau aku kenalkan?”

            Akbar : Walah Mak Mak, tidak usah repot-repot. Nanti aku kenalan sendiri”, kata Akbar meremehkan sang Ibu yang belum tahu sebejat apa anak semata wayangnya itu sebenarnya.

            Ibu : “Dia janda dan belum punya anak lho Bar. Usianya juga keliatan masih muda. Kalau Mak sangka belum ada 30 anak itu.”

            Akbar : “Rondo (janda)? Justru itu yang bahaya”, ujar Akbar mengakhiri pembicaraan.

            Hari itu Akbar bertandang ke rumah Guntur. Kini sahabatnya itu tengah disibukkan dengan keluarganya. Berkuranglah waktu yang biasa dihabiskan untuk mereka berdua. Selain mempunyai istri yang tengah hamil tua. Guntur juga punya tanggungjawab lain yaitu anak mbak Marni (istri Guntur)dari pernikahannya yang terdahulu.

            Akbar : “Anakmu dimana?”

            Guntur : “Jam segini ya masih di sekolah”.

            Akbar  : “Kamu kenal Ratih?”, tanya Akbar dengan gayanya yang disantaikan.

            Guntur : “Raimu! Kamu ke sini cuma mau cari informasi.”

            Akbar melontarkan senyum pada sahabatnya itu.

            Guntur : “Ratih itu ibarat kata datang ke desa ini sudah terlambat. Kalau aku sama Marni belum kejadian pasti ceritanya lain.”

            Akbar : “Aku tidak tanya dan tidak mau tahu kalau soal itu. Semua yang cantik kok mau diembat.”

            Guntur : “Orangnya ya ramah. Anaknya juga sopan. Tapi aku tak bisa lama-lama ngobrol sama dia. Kalau Marni lihat aku bisa habis.”

            Akbar : “Lagian kamu mau ngobrol lama sama dia mau apa? Kamu mau bikin desa ramai lagi. Tobatlah! Gantian yang lainnya.”

            Akbar : “Dia (Ratih)pindahan dari mana?”

            Guntur : “Tidak jelas. Dia aslinya memang dari Jawa. Tapi dia sempat tinggal di Kalimantan. Setelah suaminya meninggal dia balik lagi ke Jawa. Itu yang aku dengar dari omongan orang-orang.”

            Akbar : “Terus dia tinggalnya di sini dimana?”

            Guntur : “Ngontrak di rumah sampingnya Bu Harjo.”

            Akbar : “Rumah kecil yang dipojokkan itu.”

            Guntur : “Ya iya. Mau yang mana lagi.”

            Akbar mulai bersiap melakukan pendekatan. Bermodal informasi yang diperolehnya dari Guntur tentang warga baru di kampung mereka ia pun memantapkan niatnya. Pintu seorang janda akan lebih mudah pikirnya. Siang itu Akbar sudah berada di posisi jalan yang nantinya akan mempertemukannya dengan tukang jamu gendong yang sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah kontrakkannya.

            Yang ditunggu pun datang. Dengan mudahnya perbincangan tercipta karena dua karakter yang sama-sama terbuka.

            Akbar : “Sampai mana mbak jualannya?”

            Ratih : “Cuma sampai desa sebelah mas.”

            Ratih : “Jangan panggil mbak dong mas. Walaupun sudah janda usiaku ini masih muda lho.”

            Akbar sedikit terkejut. Ternyata Ratih yang memulai serangan pertama.

            Akbar : “Lha maunya dipanggil siapa?”

            Ratih : “Ya Ratih saja.”

            Akbar : “Aku pikir mau dipanggil sayang.”

            Akbar melakukan serangan balasan yang berhasil membuat pipi Ratih yang tengah berpeluh keringat karena jalan yang menanjak dan beban jamu yang digendongnya kian memerah.

            Akbar : “Memang kamu tidak takut tinggal di rumah pojok yang dekat dengan kebun itu sendirian?”

            Ratih : “Mau bagaimana lagi mas? Sekarang mampunya cuma untuk sewa di rumah itu saja.”

            Tidak berapa lama sampailah Akbar dan Ratih di rumah kontrakkannya.

            Ratih : “Masnya tidak mau mampir dulu?”

            Akbar : “Memang kalau aku mampir mau Ratih kasih apa?”

            Ratih : “Aku kasih jamu kuat buat mas Akbar.”

            Akbar : “Aku tidak pakai jamu juga sudah kuat.”

            Akbar : “Aku kalau sekarang tidak bisa. Tapi kalau nanti malam aku banyak bisanya.”

            Ratih : “Ya sudah. Terserah mas Akbar saja.”

            Jurus tarik ulur dipraktekkan oleh Akbar dengan mulus. Baginya Ratih adalah sasaran empuk. Itu juga didukung dengan sikap Ratih yang memang terbuka dan juga menggoda kepada Akbar karena ia pun punya ketertarikkan yang sama terhadap warga desa yang baru pertama kali ditemuinya itu. Namun ada yang menyengat pikiran Akbar. Waktu sedang berinteraksi dengan Ratih entah mengapa diingatannya selalu muncul sekelebat bayang-bayang Sinar.

            Akbar datang lebih awal. Dengan berbekal dukungan dari sang ibu dengan membawa gorengan hangat yang penuh harap agar sang anak lekas mengakhiri masa lajangnya. Akbar pun bersemangat mendatangi rumah kontrakkan Ratih yang terletak di ujung desa yang lokasinya dekat dengan kebun-kebun warga.

            “Assalamualaikum”, sebuah salam etika baik dari Akbar yang sangat jarang ia lakukan.

            Namun beberapa menit berlalu salam-salam dari Akbar tidak kunjung terjawab. Mungkin ini karena ia datang terlalu pagi dari janjinya dan Ratih pun sedang keluar pikir Akbar. Ia pun hendak pulang dan kembali ke rumah itu lagi nanti di waktu malam. Tapi karena gorengan yang sudah dibawanya ia pun berkeinginan untuk meniggalkan titipan ibunya itu di rumah Ratih. Akbar mendorong pelan pintu rumah yang ternyata tidaklah di kunci itu. Memang sebuah situasi yang lumrah jika tidak sedang dalam berpergian jauh rumah-rumah orang di desa dibiarkan dengan keadaan tidak terkunci. Akbar pun masuk ke dalam rumah atas kepemilikan Bu Harjo itu. Ia hendak meletakkan gorengan yang dibawanya itu di atas meja. Ketika sudah berada di dalam rumah Akbar mencium wangi-wangian yang ia tahu betul bau apa itu. Memanglah Ratih yang seorang penjual jamu dimana di dalam rumahnya pastilah banyak bahan-bahan membuat jamu dengan berbagai macam racikan-racikannya. Akbar pun mendongak ke atas dan menyapu pandangannya ke setiap sudut bangunan yang sudah tua itu.

            Adzan magrib mengiringi langkah Akbar berjalan pulang. Ia tidak langsung menuju ke rumahnya. Ia justru singgah dahulu ke rumah Guntur.

            “Tur”, sapa Akbar kepada Guntur yang baru saja selesai mencuci motor di halaman depan rumahnya.

            “Apa lagi?”, jawab Guntur.

            Malam itu akhirnya Akbar kembali berkunjung ke rumah Ratih. Kali ini kedatangannya disambut dengan ramah. Janda itu mengenakan daster berwarna orange polos tak bermotif. Nada bicaranya sengaja dicengkokkan seakan sebuah isyarat untuk mendekat kepadanya. Ternyata semudah ini pikir Akbar.

            Mereka berdua berbincang-bincang panjang dan mendalam. Keduanya saling melempar tanya dan berbagi cerita-cerita. Tak hanya mengulang kisah di masa lalu mereka pun sedikit mengintip masa datang yang mungkin dengan segala peluang. Malang bagi Akbar pertemuannya malam itu dengan Ratih tidaklah berakhir sesuai dengan apa yang diharapkannya.

            “Besok lagi saja ya mas. Aku hari ini lagi kurang enak badan. Tadi sore waktu mas Akbar ke sini aku juga masih tertidur”, pinta Ratih.

            Memang terlihat dari raut wajah Ratih yang nampak sedikit pucat di malam itu. Meskipun bagi Akbar tubuh Ratih malam itu sangatlah menyegarkan.

            “Iya tidak apa-apa. Kalau begitu Ratih istirahat saja. Aku pulang dulu”, pamit Akbar.
heyholetsbroAvatar border
jiyanqAvatar border
belajararifAvatar border
belajararif dan 3 lainnya memberi reputasi
4
406
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan