- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Selingkuh Dengan Kakak Ipar


TS
tettettowet
Selingkuh Dengan Kakak Ipar

"Makasih, Sayang. Aku menikmatinya."
Sekali lagi, dengan mesra penuh kelembutan ia lumat bibirku. Ia ikut tersenyum manja kala pagutan panas kami meninggalkan jejak basah. Setelahnya ia membalikkan badan membelakangiku seraya menarik selimut menutupi bahu polosnya, kembali tidur.
Aku tersenyum senang mengingat kejadian semalam. Di mana kami melakukannya dengan sama-sama mau tanpa rasa terpaksa. Saling melepas rindu karena beberapa minggu ini aku terlalu sibuk hingga tidak ada waktu bertemu. Dan jelas sudah, bukan hanya dia, aku sendiri sungguh menikmatinya. Setidaknya, dua tahun berlalu sejak kejadian itu, aku bisa memilikinya kembali saat ini. Meskipun secara diam-diam.
Lamunanku buyar kala ponsel pada meja kecil di samping tempat tidur berbunyi. Panggilan dari Fahry. Kubiarkan saja, malas menjawab. Panggilan kedua masuk, kemudian berhenti dipanggilan ke lima dengan aku menjawabnya.
"Kamu niat kerja nggak, sih, Ul? Kalo memang nggak niat, kembalikan kunci toko ke aku, aku yang kerja di sana."
Sejujurnya, ini bukan hal baru dalam hidupku. Ia tak payah mengucapkan salam atau basa-basi segala macam ketika menelponku. Cukup mengomel, bahkan memaki, untuk menjadi salam pembuka darinya.
"Lu nggak usah sibuk. Toko punya Mak gue, bukan punya lu!" balasku, mencoba tidak terpancing dengan suara tingginya.
"Sialan! Kalo kamu niat kerja, ya pulang! Gausah ngebiarin karyawan yang ngerjain semuanya."
"Yang bayar karyawannya gue, bukan lu."
Mungkin kesal, dengan sepihak ia mematikan panggilan. Biar kutebak, besok atau malam nanti ia ke rumah Mak, mengadu perihal aku. Yang tak berguna apa-apa bagi keluarga.
Cih, Abang kurangajar.
***********
Niar yang sedang membuatkan kopi tampak berbeda hari ini. Badan biolanya tampak menggoda karena hanya menggunakan daster tipis selutut. Aku ingat, itu baju yang dulu kuberikan sebagai hadiah perayaan pernikahannya yang pertama dengan sikutu kupret Fahry.
"Aul kenapa nggak pulang semalam?" tanya Mak tanpa menatapku sama sekali, ia tampak lahap menikmati nasi gorengnya.
"Kenapa? Niar nggak pulang juga semalam?" balasku. Seperti kaget, Niar membalikkan badan menatapku dengan gelas kopi di tangannya, aku tersenyum, mengedipkan mata padanya lalu dengan cepat beralih menatap Mak, takut Mak melihat. Juga, sikutu kupret yang duduk tepat di samping Mak.
"Niar nggak pulang ya dikarenakan pekerjaannya, harusnya kamu pulang, jadinya Mak nggak sendirian di rumah!" Fahry membalasku dengan cepat.
Niar menarik kursi di sebelahku dengan sedikit jauh, hampir mendekati sisi kanan Mak, karena sebelum itu tangannya sengaja kusentuh saat ia meletakkan cangkir seolah secara bersamaan aku ingin meminumnya segera. Aku kembali tertawa, meski hanya di dalam hati. Entah kenapa, senang mengganggunya seperti ini.
Dari ekor mata, dapat kulihat Fahry melihat ini. Bersyukur, ia tak menampilkan raut wajah curiga atau semacamnya.
"Kenapa nggak pulang semalam?" Mak tiba-tiba bertanya lagi.
Saat hendak menjawab, Fahry kembali menyela dengan cepat, "kan habis dari penginapan foya-foya," balasnya santai. Sambil membersihkan mulutnya selesai sarapan.
Mak yang mendengar itu menatapku garang, seolah bersiap melempar sendok yang sedang dipegangnya.
"Sama temen, Mak. Gausah selalu mikirin soal jelek tentang Aul."
Mak tak menjawab, memilih menghabiskan minum dalam gelas panjangnya kemudian berlalu. Sejujurnya, aku hampir saja pasrah atau mengakui segalanya kala Fahry menebak benar kemana perginya aku semalam. Jadi, segala yang kulakukan selama ini, tak harus lagi secara diam-diam, terutama kepadanya akan tetapi terkecuali pada Mak. Karena jika mengetahui ini, bisa jadi kepalaku putus bercerai dengan badan.
Niar memilih bangkit dengan terburu-buru mengikuti Mak, tanpa menyelesaikan sarapan. Membuat kening Fahry berkerut, hingga ia bersiap bangun mengikuti istrinya.
"Lu tau dari mana gue di penginapan?"
"Fais kasi tau," ucapnya.
"Dia kasi tau nggak, gue sama siapa?" tanyaku memancing.
"Ya bodo amat, mau siapa kek, bukan urusan aku," ucapnya berlalu.
Ah, ternyata iya. Fahry hanya mengetahui aku di sana tanpa melihat aku dengan siapa. Aku tertawa untuk kebodohannya, juga untuk raut kaget Niar. Saat betisnya kugesek dengan jemari kaki tadi.
********
"Berasnya taruh di pojok sana aja, Pak. Yang ringan-ringan di sini aja, gapapa," ucapku memberi arahan pada Bapak-Bapak yang membawa perlengkapan kenduri untuk malam besok, mereka berlalu-lalang memasuki rumah membawa segala yang sudah kubeli. Membuat Mak, Fahry, dan Niar terkejut. Ini jelas kusengaja, karena aku tau Fahry di rumah. Istrinya beberapa hari ini tidak enak badan. Mak menyuruhnya pulang kemari, agar jika terjadi sesuatu pada Niar, Mak bisa mengawasi ketika Fahry sedang bekerja.
"Apa ini, Ul?" tanya Fahry. Sesaat sesudah para pembawa barang itu berlalu pergi.
"Ya ini."
"Buat apa?" tanya Mak kemudian.
Aku mengambil tempat duduk di samping Mak, menormalkan napas yang tersengal, sedikit capek. Seharian keliling pasar demi membeli itu semua. Sendiri, tanpa bantuan siapapun.
"Ya untuk kenduri memberkati Niar hamil, dong."
Semuanya terperanjat kaget, terlebih Niar yang terlihat salah tingkah duduk di samping suaminya.
"Hamil gimana, Aul kan tau kalo Abang ...." Mak menjeda ucapannya, melihat Fahry yang masih memasang muka kaget.
"Mandul?" tanyaku. "Aul tau."
"Kamu gausah main-main Aul! Bicara yang jelas!" Fahry mulai emosi, duduknya mulai gelisah. Sementara Niar masih diam tak mengucapkan sepatah kata.
"Kamu tau dari mana kalo Niar hamil?!" tanyanya lagi.
Niar bangkit, namun dua detik kemudian ia berdiri kaku mendengar ucapanku.
"Selangkah lagi kamu maju, asbak ini melayang ke atas. Kalo nggak kena kepalamu, ya mukamu."
"Aul!"
"Niar hamil sama aku!"
Semua terdiam. Sama kaget karena ucapan tinggi Fahry serentak dengan ucapanku. Entah bagaimana, aku jatuh tersungkur ke bawah, kepalaku terbentur dengan meja karena ditendang Fahry. Bahunya naik turun, Fahry menatapku nyalang seakan ingin menerkam.
"Bangun! Ayo bangun!" ucapnya lagi, seraya menarikku bangkit dengan kasar.
"Beri tanggung jawab, atas ucapanmu barusan!"
Mak menatap kami takut di pojok lemari, tangannya memegang lengan Niar yang entah kapan berpindah di mana Mak berada.
"Jawabb! Jangan diam!"
Kini, giliran Fahry yang kutendang. Punggungnya dengan mulus bertabrakan dengan ujung kursi yang runcing. Tak habis sampai di situ, ia kutarik kasar seperti ia menarikku barusan. Wajahnya kutampar keras, bogem juga kuberikan pada wajah brengsek itu, kemudian tendangan kedua kulakukan hingga kepalanya menyentuh lantai.
"Aul!!" teriak Mak. Ia mendekat, mencoba menggapai Fahry yang tergeletak pasrah dengan bibir pecah berdarah.
"Coba Mak pegang dia, Fahry bisa kubuat lebih dari ini!" ucapku kasar. Membuat Mak berhenti melakukan inginnya. Fahry kutarik kembali, ia berdiri dengan lunglai. Matanya mulai membiru, bengkak.
"Aul, jangan begini, Aul. Mak mohon, jangan begini." Mak duduk di bawah meja, berdekatan dengan Fahry. Menangis hebat, ditemani Niar yang menggosok punggung Mak ikut menangis, memandangku takut. Dari ekor mata, dapat kulihat Fahry bergerak mengangkat tangan seperti ingin memukulku kembali. Dengan cepat, tangannya kupegang, ia kembali kutendang.
"Auul!" Kali ini Niar yang berteriak. Ia bangkit, mendekati suaminya. Membantu suami mandulnya duduk.
Dengan napas tersengal, aku duduk di lantai dengan badan bergetar hebat. Kemudian menangis sejadi-jadinya, berteriak, serta meraung. Ada rasa lega, ketika sudah kuluahkan semuanya. Kejadian dua tahun lalu saat Fahry meminang Niar secara tiba-tiba membuatku hampir gila. Niar yang saat itu masih menjadi kekasihku pin tak bisa melakukan hal banyak, Bapaknya juga seakan memaksa jika ia harus menikah dengan Fahry.
Sehari sebelum pernikahan digelar, dengan menghiba kudatangi Fahry, memohon supaya acara pernikahan itu tidak dilanjutkan. Kukatakan juga dengan sepenuhnya jika Niar masih berstatus kekasihku. Dengan santai, Fahry memberi jawaban jika ini takdir Tuhan hingga mereka berjodoh.
Cih, jodoh paksaan.
Ini memang kusengaja, dengan perencanaan matang pastinya. Minggu lalu, dengan air mata Niar menangis mengadu jika ia mengandung anakku. Entah, mungkin Tuhan sayang kepadaku hingga memunculkan ide cemerlang untuk membalas semua sakit hati selama ini. Karena sejak kejadian itu, hidupku seolah tinggal separuh. Jiwa seakan mati, semua yang kulakukan terasa hampa. Tak bisa kupungkiri, sedalam ini aku mencintai Niar. Lima tahun bersama, tidak sesingkat usia pernikahan mereka yang baru jalan dua tahun.
Aku bangkit, keluar. Tak tahu ke mana, pastinya tak akan lagi menetap di sini.






darklight89 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
5.9K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan