Kaskus

Story

thesecret06Avatar border
TS
thesecret06
Dek Lastri
#CERPEN

Dek Lastri
Sinar akan lebih terang ketika malam
HANI MARINE

Jangan lupa untuk gabung di group Facebookku ya ...!

https://facebook.com/groups/389852435431363/

“Berawal dari beberapa tahun yang lalu, aku pun tak tahu. Pikiranku masih terbayang-bayang. Bahuku terangkat, mataku melihat malas. Telingaku kututup tatkala lonceng delman terdengar pelan, kubuka telingaku kembali. Syahdu kudengar beberapa orang bernyanyi. Teruntuk dia terutama, gadis berkebaya ungu dengan selendang berwarna senada namun lebih pucat. Berjalan menuju panggung bernyanyi dengan syahdu. Alunan gamelan menggiringnya membuatku mabuk akan suara yang membuatku jatuh hati padanya.”
Eyang Kakung


Saat Eyang Kakung sekarat, hanya satu yang dia panggil. Dek Lastri. Begitu seterusnya, hingga membuat Eyang Putri mengamuk lantaran seperti tengah di duakan.

Beberapa kali juga kuganti kompres kain di dahinya, mengelap keringat yang bercucuran di leher. Demam akibat cuaca membuat Eyang Kakung terus merancau nama Dek Lastri hingga Eyang Putri meradang.

“Beruntung bukan menjadi simpanan mu! Terlebih, gadis desa penjual caping dan besek itu tak bisa memilikimu, Mas.”

Meskipun sudah tua, sepertinya ada kisah tentang wanita bernama Dek Lastri yang bisa membuat Kakung menjadi seperti ini.
“Eyang, istighfar! Jangan marah-marah di depan orang sakit!” tukas ibuku yang datang semenit yang lalu. Menuntun Eyang Putri untuk duduk. Dirinya termenung, kian air mata mengalir, diputarnya kembali masa lalu. Saat mudanya terambang pada hubungan asmara.

“Dia itu tidak bisa digantikan, meskipun posisi Eyang sudah menjadi istri Kakung mu, tidak pernah sekalipun sakit, mengigau sampai seperti itu.”

“Gadis desa penjual caping dan juga besek itu telah menjelma menjadi keabadian walau raganya entah pergi kemana,” ucapnya lagi.

Ibuku menunduk, sedikit kasihan pada Eyang sebenarnya. Sudah puluhan tahun sakit hati, hingga rasanya mati rasa.
“Bu, jangan dipikirkan lagi. Dek Lastri tidak akan menggantikan posisi ibu. Percaya sama saya,” ucap ibu.

Aku hanya diam. Tak enak hati menyampuri urusan orang tua. Setelah ibu menenangkan Eyang Putri di ruangan sebelah, kamar ini masih seperti ramai, walaupun hanya ada aku dan Kakung di sini. Rupanya, beberapa percakapan yang berupa bisikan halus terus terlontar dari mulut Kakung, seperti untaian puisi yang terkadang cukup sangsi terucap di zaman sekarang.

Ku peringati kau! Tunggu saja walaupun sudah petang, akan kucari. Ingat, akan kucari! Sampai sedetik pun ragaku membanting di kubur, jiwaku masih tertancap untukmu.

Segera setelah itu, kuputuskan untuk mengadu nasib. Mengumbar senyum palsu di bawah awan mendung.

Dek Lastri ....
Dek Lastri ....
Dek Lastri ....

Semakin penasaran, setelah Eyang tertidur aku segera menanyakan pada ibu.

“Bu, siapa sebenarnya Dek Lastri Itu?”

“Kamu tidak usah tahu, ceritanya panjang.”
Tiba-tiba ibu membawa pergi beberapa lauk dan nasi. Rupanya, ada anak yang duduk di depan rumah. Tampilannya kucel dengan rambut menggulung ke atas.

Anak itu seperti bukan dari desa sini. Tidak pernah aku melihatnya, dengan tampilan seperti itu, kurasa dia anak jalanan.

“Ini, makanlah.”
Anak itu yang tanpa sepatah kata pun langsung menerima, melahap dengan rakus seolah-olah tidak makan berhari-hari.

Kubawa ibu, setengah menyeret. Membawanya masuk ke ruang tamu sebelum berkata, “Kenapa ibu membawanya kemari? Nanti jika pak RT tahu, dia akan diusir.”

“Kamu tega? Coba lihat cara makannya, sudah seperti orang kesetanan belum? Tahu saja peringai Pak RT, sudah memberi aturan tetapi lupa kewajiban. Biar nanti ibu yang urus, lagi pula beberapa warga sedang sibuk ke dusun sebelah. Mengurusi capres yang entah berapa lama lagi.”

Sekali lagi kulihat. Benar juga, terkadang ada kalanya harus melanggar hukum untuk tujuan tertentu.
“Nama kamu siapa?” tanyaku padanya ketika makanya sudah habis.

Tak menjawab dan hanya menunduk, gemas dengan itu, nadaku sedikit meninggi.

“Namanya siapa!” tubuhnya sedikit terlonjak.
Matanya mulai berkaca-kaca. Sesaat aku tersadar bahwa itu cukup keterlaluan.

“Nama kamu siapa?” tanyaku kembali. Sedikit lebih halus daripada sebelumnya.

“Dewi,” ucapnya.

“Dewi ini dari mana?”

“Desa Lendu,”

Desa Lendu, desa terpencil dan dekat dengan hutan. Terlebih jaraknya juga lumayan jauh dari sini.

“Bagaimana kamu bisa berada di sini?”

“Saya diusir, gara-gara saya dan warga lain mendiami tanah pemerintah tanpa ijin.”

“Orang tuamu kemana?” tanyaku.

“Saya anak angkat, tidak tahu di mana orang tua saya, terus terang, hanya nenek yang menjadi orang tua saya dulu. Sekarang dia sudah meninggal.”

Seperti itu rupanya, kasihan juga. Apa yang harus dilakukan setelah ini? Menyuruhnya pergi begitu saja?

“Sudah makanya? Ayo kesini, mandi dan istirahat. Ini pakaiannya, mudah-mudahan muat.”

Kulihat ibu nampak biasa saja. Dia memang seperti itu, terlalu baik.

“Bu, bisa jelaskan siapa Dek Lastri itu?” tanyaku setengah mendesak. Kembali ku pegang lengannya. Terlihat jelas ibu tidak mau mengungkapkan semua itu.
“Duduklah,” ucapanya dengan helaan napas panjang.

“Dulu di desa Kanthil, Eyang Kakung mu dan Eyang Putri mu bertemu untuk pertama kalinya. Eyang Kakung mu dulu penjual rokok kretek dan kopi di pinggir jalan. Sementara Eyang Putri hanya gadis petani yang setiap hari pergi ke sawah. Mereka sering bertemu dan di juluki pasangan capung karena peringai malu-malunya.” Sedikit tertawa, ibu pun meneruskan.
“Sementara Dek Lastri Itu, setahu ibu gadis penjual caping dan besek. Akan tetapi, terkadang dia juga menjadi penyanyi sinden juga. Wajahnya cantik dan sifatnya lugu.”

Melihat itu, pikiranku mendadak terpenuhi oleh sosok Dek Lastri ini. Dalam hati merasa pantas saja karena memang wanita dengan sifat seperti itu akan lebih mudah mendapatkan pasangan.

“lalu, bagaimana Eyang Kakung bisa bertemu dengan Dek Lastri Itu?”

“Menurut Eyang Putri, saat acara pemilihan kades, Eyang Putri merasa cemburu karena Eyang Kakung mu terus saja digoda oleh perempuan lain. Merasa jengkel karena omelan Eyang Putri, Eyang kakungmu pergi ke belakang panggung, tidak sengaja bertemu dengan Dek Lastri hingga menyukainya.”
Cinta segitiga. Jika dahulu ada yang mengatakan jika cinta itu buta, kurasa cocok dengan apa yang terjadi pada Eyang Kakung saat ini.
“Setelah itu?”

“Setelah itu tidak ada lagi. Eyang Putri enggan berbicara banyak.”

Di saat merenung, terdengar suara gelas pecah yang cukup nyaring. Segera aku dan ibuku datang menghampirinya.

“Kamu tidak apa-apa nduk?”

“Tidak, Bi.”

“Ya sudah, untuk sementara, kamu tidur di sini dulu. Sampai Pak RT datang.”

Gadis yang seperti berusia 12 tahun itu terus menunduk. Mengamati lantai dengan tangan mengapit satu sama lain. Kurasa dia takut melihatku.
“Hey, tidak usah takut. Aku Roro.” Tanganku menjabatnya dan dia menerimanya.
“Ayo, kuantar ke kamar sebelah,” ucapku sembari menuntun langkahnya. Kamar yang bersebelahan dengan kamar Eyang Putri di sebelah barat.

“Selamat malam.”

“Selamat malam ....”

.
.
.
.

Kembali ku tengok Eyang Putri. Di elusnya selendang merah yang ada di pangkuannya.
Akhir-akhir ini, Eyang selalu mengelusnya. Terkadang air mata juga menetes deras hingga selendang menjadi sedikit basah.
Ada apa gerangan?

“Eyang?” panggilku.

Kulihat Eyang menoleh dengan mata yang sudah memerah.
“Eyang kenapa belum tidur?”
“Eyang belum mengantuk,” ucapanya. Terus terang, tidak pernah terucap satu pun patah kata setelah ini. Aku yang melihat semakin tidak tega.

“Eyang, tidur. Nanti sakit.”

“Dek Lastri itu pergi kemana juga Eyang tidak tahu. Jika nanti dia kembali, Eyang hanya berharap dia datang ke sini. Eyang sudah menyerah akan masalah ini.”

“Jika ada sesuatu yang mengganjal, lebih baik Eyang menyampaikannya. Biar tenang.”

Kulihat dia menghapus air matanya kembali. Pergi menuju almari di dekat pintu, mengambil sebuah kotak coklat dengan tertatih-tatih.

“Dahulu, dia itu Cuma penjual besek dan caping, suaranya bagus dan terkadang menjadi sinden.”

“Lastri dan Eyang memiliki sifat berbeda, Eyang yang sangat pencemburu buta dan dia yang begitu perhatian. Kita seringkali menjadi perbincangan, siapa yang patut disayangi Eyang Kakungmu,” lanjutnya lagi.
“Kemana Lastri itu sekarang?” tanyaku.

“Dia itu hanya bayangan. Sudah seabad orang-orang mencoba mencari siapa itu Dek Lastri demi bisa menikahinya.”

Kulihat Eyang sedikit menunduk. Melihat dari dekat sebuah selendang ungu yang berada di kotak. Selendang ungu sewaktu berjumpa dengan seseorang.

“Dia itu hanya bayangan, yang takkan pernah terwujud walaupun seribu orang berusaha mencarinya.”

Semakin besar rasa penasaranku, aku bisa berasumsi satu hal, tetapi tidak berani mengatakan.

“Di hati Eyang Kakung mu, hanya ada Dek Lastri.”

.
.
.
.

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumsallam, Pak.”

Suara salam itu terdengar lebih keras. Aku yang sedang menemani Dewi untuk sarapan tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran Pak RT sembari membawa bingkisan.
“Silahkan duduk,”

‘Cepat sekali pulangnya’ batinku.

“Bu, langsung saja. Saya mau menjenguk Pak Kardiman. Katanya beliau sakit,” terangnya.

“Iya, sudah sebulan Eyang sakit. Terima kasih banyak, ya Pak. Sudah repot-repot mampir.”

Kulihat ibu lantas menuntun Pak RT, sembari berbicara perihal kesehatan Eyang Kakung yang semakin menurun.

Eyang Putri masih tertidur lantaran terjaga tadi malam. Masih memikirkan juga tentang Dek Lastri itu.
“Mbak, kakeknya mbak kenapa?” tanyanya.
“Eyang sakit, sudah sebulan karena memikirkan seseorang.”
“Oh, iya? Kalau boleh tahu siapa namanya?”
“Dek Lastri,” jawabku sembari mencuci piring setelah sarapan tadi.

“Dulu, nenek saya juga pernah berbicara tentang Dek Lastri, Cuma ... dia ini penjual caping dan besek di desa lain.”
Ucapannya membuatku menoleh cepat.
“Kamu tahu di mana dia?”
Dewi hanya menggeleng sebelum berkata, “Saya tidak tahu di mana Dek Lastri itu. Tetapi, nenek saya berkata bahwa, dia sering memakai kerudung dan cadar, seperti tak ingin siapa pun melihatnya. Suaranya halus, kata orang, dia pastilah wanita cantik. Maka dari itu orang-orang menyebutnya cantik. Dia juga suka dengan tembang Gambang Suling.”
Aku terdiam. Kembali meneruskan cuci piringku dibantu dengan Dewi. Tiba-tiba ibu datang dan langsung menyuruhku untuk membuat teh hangat.

“Antar ke depan, untuk Pak RT.”

.
.
.
“Pak, jadi begini. Kemarin saya berjumpa dengan anak kecil. Gadis itu dari desa Lendu. Dia kena gusur, kalau bisa bapak tolong bawa ke yayasan sosial untuk ditangani. Kasihan, tidak ada sanak saudara.”

“Boleh, Bu. Di mana anaknya?”

“Ro ... panggilkan Dewi kemari!” teriak ibu.
Lekas ku gandeng Dewi, gadis itu terlihat menurut saja.

“Baiklah, Bu saya bawa sekarang saja, ya?”

Sedikit berat sebenarnya, tetapi itu juga untuk kebaikanya. Ibu terlihat kaku ketika harus mengucapkan salam perpisahan, kentara sekali tidak sanggup untuk berpisah dengan Dewi.

“Hati-hati, ya nduk.”

“Terima kasih banyak Bi, dan mbak Roro,” aku hanya tersenyum. Gadis itu pergi dengan mobil menuju rumah Pak RT untuk di urus.

Ibu kemudian pergi ke dapur, sambil membawa teh yang terminum setengah. Saat aku ingin menghampirinya, kulihat ibu tengah mengintip dari balik tirai korden kamar Eyang Kakung.

“Gambang suling, tumandhang swarane ...
Tula-tuli kepenak unine ....”

Gambang suling? Suara itu tak pernah terdengar saat aku berada di sini, dan kenyataan bahwa seseorang tengah terduduk di pinggiran ranjang membuatku berasumsi sesuatu.

“Ibu ....”

“Ssst!”

“Dek Lastri ....” panggilan akrab yang selalu kami dengar. Entah itu di saat malam maupun siang.

Deru napasnya mulai memberat. Kudengar Eyang memanggil nama Dek Lastri berulang kali.

“Kang, ini saya ....”

Dari suaranya terdengar jelas. Aku dan ibu tahu siapa dia.

“Kenapa tidak pernah bilang?” tanya Eyang dengan suara seraknya.
“Kang Mas tidak pernah menyukai saya, berharap saya ingin tinggal jauh, saya mencoba menjadi Dek Lastri. Seseorang yang memiliki sifat yang jauh berbeda. Hingga sekarang di hati mas hanya ada Lastri.” Aku dan ibu terkejut bukan main.

“Saya hanya ingin tahu, seberapa besar rasa sayang Kang Mas untuk saya.”

Tak ada lagi kata setelah itu. Ibu dan aku hanya diam, mereka terlihat menangis sebelum pelukan hangat menyapa.

Pelukan pertama dari Eyang Kakung untuk Eyang Putri, bukan Lastri.
.
.
.
Kutaburi bunga setaman di atas gundukan tanah itu. Terlihat tangis yang masih terdengar, Eyang Putri terlihat begitu menyesal tetapi dia juga sebenarnya malu dan takut jika Eyang Kakung mengetahui itu semua. Namun, biarlah menjadi kenangan. Dikala waktu sisa usia semakin habis, berharap juga bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Cinta itu harus jujur dan apa adanya. Kutekankan kembali, untuk diriku dari mereka.

END.
Diubah oleh thesecret06 30-03-2021 14:45
tien212700Avatar border
namakuveAvatar border
disya1628Avatar border
disya1628 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.3K
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan