Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Dari “Catatan B16M”, menolak lupa Bentrokan 16 Maret 2006
Dari “Catatan B16M”, menolak lupa Bentrokan 16 Maret 2006

Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Buku catatan itu diberi judul “Catatan B16M”, mencatat berbagai temuan orang yang menginvestigasi kasus Bentrokan 16 Maret 2006 yang terjadi di depan Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, Kota Jayapura, Papua. Ada banyak cerita dan data soal bentrokan yang menewaskan empat aparat keamanan itu, juga serangkaian susulan berupa penyisiran, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap para aktivis dan warga.

Buku catatan itu berjudul “Catatan B16M” itu berisi tulisan tangan, ditulis dengan bolpoin. Isinya, catatan rinci sang investigator, kronologi bentrokan antara mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Kampus Universitas Cenderawasih dan polisi yang membubarkan unjuk rasa.

Catatan investigator itu panjang, mengingat bentrokan 16 Maret 2006 itu bukan peristiwa yang terjadi spontan. Ada berbagai peristiwa yang mendahuluinya, yang menjadi penyebab para mahasiswa dan aktivis berunjuk rasa.

Investigator itu mencatat, ada tiga tuntutan para pengunjuk rasa. Pertama, penutupan PT Freeport Indonesia. Kedua, penarikan pasukan TNI/Polri dari areal tambang Freeport. Ketiga, pembebasan delapan warga yang ditahan pasca bentrokan yang terjadi dalam penertiban pendulang tailing PT Freeport Indonesia pada Januari 2006.

“Catatan B16M” juga merinci kronologi bentrokan itu, berikut berbagai peristiwa penyisiran, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap sejumlah mahasiswa dan warga yang ditangkap pada 16 Maret 2006, ataupun hari-hari sesudahnya. Ada banyak nama korban, terduga pelaku, maupun pejabat keamanan yang disebutkan dalam catatan itu. Ada pula rincian berbagai dugaan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap orang-orang yang ditangkap dan diadili pasca bentrokan 16 Maret 2006.

Salah satu pengunjuk rasa yang ditangkap dalam rangkaian peristiwa 16 Maret 2006 itu adalah Selfius Bobii, Sekretaris Jendral Front Persatuan Perjuangan Rakyat (Pepera) Papua Barat. Saat ditemui Jubi, Bobii menuturkan bentrokan 16 Maret 2006 disusul dengan penyisiran dan penangkapan warga maupun pengunjuk rasa.


Menurutnya, ada 25 orang menjadi tersangka bentrokan 16 Maret 2006, termasuk Bobii. Mereka semua menjalani sidang dan divonis penjara dengan masa hukuman berbeda-beda. “[Sejumlah] 25 [orang] ditahan dan semua divonis serta dipenjara. Saudara Ferdinan Pakage, Stefen Wandik dan Luis Gedi divonis 15 tahun. Kami dua orang divonis 6 tahun penjara, ada empat orang [divonis] 4 tahun penjara, satu orang [divonis] 3,5 bulan, dan 15 [orang] lainnya [divonis] 5 tahun penjara,” kata Bobii, Rabu (17/3/2021).

Menurutnya, sebagian besar orang yang divonis bersalah itu tidak tahu menahu masalah demonstrasi dan bentrokan yang menyebabkan empat aparat keamanan tewas itu. Mereka yang tidak terlibat unjuk rasa harus mengaku terlibat, karena diancaman dan diintimidasi saat diperiksa polisi.

“[Ada] tiga orang yang vonis 15 tahun, [mereka] itu dipaksa mengaku membunuh polisi, [mereka membuat pengakuan] di bawah tekanan dan penyiksaan. Karena tidak mampu menahan siksaan, tiga orang itu mengaku bunuh polisi. Padahal mereka tidak ikut serta dalam demonstrasi itu,”ungkap Bobii.

Direktur Perkumpulan Advokat HAM atau PAHAM Papua, Gustav Kawer menyebut bentrokan 16 Maret 2006 bukanlah peristiwa pertama konflik vertikal yang dilatarbelakangi masalah tambang PT Freeport Indonesia. Akan tetapi, bentrokan 16 Maret 2006 adalah peristiwa pertama yang didahului unjuk rasa kelompok terpelajar Papua, dengan demonstrasi yang terjadi di seluruh Papua dan sejumlah kota di Indonesia.

Kawer menyebut keberadaan tambang PT Freeport Indonesia telah berulang kali menimbulkan konflik dan kekerasan di Papua, termasuk protes masyarakat adat Suku Amungme pada 1977. Saat itu, masyarakat adat Amungme memotong pipa konsentrat PT Freeport Indonesia, dan tindakan itu dijawab dengan penembakan yang menewaskan sejumlah warga. Protes masyarakat adat Amungme berlanjut, membuat pemerintah menggelar operasi militer di Papua.

Pada 1996, terjadi demonstrasi besar-besaran di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, tempat tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Menurut Kawer, pada 1997 juga terjadi pembunuhan, pemerkosaan, dan penghilangan paksa orang-orang di sekitar tambang PT Freeport Indonesia. Berbagi protes itu berunjung dengan pembubaran atau bahkan kekerasan oleh aparat keamanan. “Itu alat penguasa negara dan modal untuk membungkam masyarakat pemilik hak ulayat yang selalu memprotes perusahaan tambang emas, perak, dan tembaga itu,” kata Kawer.

Kawer menjelaskan konflik antara masyarakat adat dengan PT Freeport Indonesia bukanlah konflik masalah izin. Lebih daripada itu, konflik itu dilatarbelakangi nilai dan pandangan hidup masyarakat adat yang tidak sejalan dengan aktivitas pertambangan tersebut. Masyarakat adat Amungme tidak melihat Gunung Nemangkawi sekadar onggokan material untuk ditambang. Masyarakat adat Amungme memandang Gunung Nemangkawi sebagai pemberian Tuhan yang harus dijaga.

“Mereka membangun nilai-nilai kultural, merumuskan kearifan lokal, dan merajut impian di bawah gunung kemakmuran itu. Ketika mereka bersuara dan menyampaikan [pandangan mereka] kepada pemerintah, mereka berharap impian yang akan didapatkan. Sebaliknya, orang asli penguasa gunung tersebut malah dijadikan tersangka, terdakwa, dan terpidana. Selalu salah, salah, dan salah. Yang selalu benar adalah korporasi pemodal dan pemerintah, dengan aparat keamanan sebagai perisai dengan dalil melaksanakan undang-undang,” kata Kawer. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

https://jubi.co.id/papua-dari-catata...medium=twitter
Jarang dibahas hal ini emoticon-Big Grin
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
-1
717
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan