Kaskus

Story

tettettowetAvatar border
TS
tettettowet
Kisah Yang Kupaksa Usai
Kisah Yang Kupaksa Usai




"Cincau jelly lecy."

Dua tahun berlalu, melewati segala hal kebersamaan yang mana saat itu begitu menjadi candu, bagiku. Egoisnya cinta yang kurasakan begitu dalam. Sampai tidak menyadari satu hal, tidak semua hal mampu dan bisa kita miliki.

Al-mira Annova. Perempuan berkacamata itu mulai sedikit berbeda. Tubuhnya yang dulu kurus seolah tersulap menjadi serupa biola, lekukan pinggangnya tetap terlihat meski hijab instan dipadukan dengan gamis panjang yang dikenakannya sedikit longgar.

Aku berdehem. Menetralkan rasa gugup yang mulai menguap. Seraya mendorong pelan minuman yang disebutnya tadi sedikit ke kiri. Lalu, menyenderkan punggung pada kursi.

"Sehat?"

Dagu petaknya memperlihatkan belahan manis saat ia tersenyum. Ditemani ginsul yang seolah memadukan kecantikannya begitu menawan.

Aku mengangguk. Tak menjawab apa-apa. Tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Seperti yang terlihat, aku memang baik-baik saja. Yang tanpa seorang pun tahu, jiwa ini sudah lama rapuh. Hancur seiring diri Almira yang bergerak menjauh. Meninggalkan sisa kenangan, yang gilanya sampai sekarang belum terlupakan.

"Kamu masih belum berubah, Mi. Masih aja suka dengan minuman gamasuk akal begitu."

Di ujung kata, ia terkekeh. Menunjuk gelas tinggi di kiriku yang isinya tinggal separuh.

"Minuman kenangan mah ini," balasku. Menegakkan badan lalu memperhatikan suasana cafe di mana kami berada yang seolah tidak kenal sepi dari pengunjung.

Asyik melihat, mataku terpaku pada pasangan yang duduk di depan mejaku. Tepatnya di belakang Almira.
Si perempuan menangis tersedu-sedu dengan ucapan tertahan yang tak kuketahui apa. Sementara pria berbadan tegap di depannya hanya memangku dagu, memperhatikan perempuan yang kemungkinan pacarnya itu seraya terkekeh. Melihat itu membuatku seolah merasa dejavu, dengan apa yang dilakukan keduanya.

"Hayuk pulang!"

Tangan Almira kutarik seraya berjalan cepat. Tanpa di sangka, ia menepis tanganku tanpa bangkit sedikit pun dari tempat duduknya. Ia diam, menatapku dalam seolah sedang memohon.

"Kenapa, sih?"

Ia menggeleng pelan, namun terus menatapku dengan aneh.

"Kenapaaa?"

Kembali ia menggeleng, membuatku mendekat ke arah di mana ia duduk. Kuperhatikan dengan seksama, mukanya tetap cantik seperti biasa, tak ada luka bahkan lecet sedikitpun. Namun, merasa aneh dengan tingkahnya.

"Kenapa Almiraa? Nyebelin banget sumpah. Semua murid uda pada balik, kamu mau tinggal di sini emang?"

Ia menggeleng, merengut dengan bibir mengerecut. Kesal, aku mendecak keras lalu berjalan keluar tanpa mengatakan apapun. Satu langkah lagi menuju pintu, Almira memanggil. Suaranya berubah, semakin aneh.

"Apaa, sih, Mira? Buru, pulang!"

"Pinjam jaket."

Aku kembali, berdiri di depannya. Menatapnya dengan tatapan semakin heran.

"Buat apa?" tanyaku.

"Ya minta aja, sih. Pinjaminn," rengeknya. Aku menggelang kuat, tak mengerti dengan permintaannya.

Sementara Almira, matanya berkaca-kaca menatapku. Lalu, menelengkupkan kepala di atas meja. Sejenak, terdiam. Kemudian terdengar susulan isak tangis di sana.

"Pinjaminn, selain itu aku udah sakit perut dari tadi," isaknya.

Aku terbahak dengan kencang, sampai tak kuasa menahan sakit perut. Satu hal yang membuat aku jatuh hati ialah, ia dengan mudah menangis bahkan dengan sebab yang tidak begitu penting.

"Yaudah, sebentar. Aku ke kantin dulu beli obatnya di sana."

"Aku mens, bego!"

Almira berteriak kencang, seraya menampilkan wajah yang begitu kacau dengan air mata masih tumpah. Tanpa banyak kata, kulepaskan jaket yang memang selalu kupakai jika ke sekolah. Aku lupa, Almira pernah mengatakan, tamu bulanannya datang tanpa memberi aba-aba, hanya sakit perut jika tamunya sudah keluar. Jadi, wajar jika kebablasan seperti sekarang ini.

Pelan, ia bangkit seraya mengambil jaket yang kuserahkan. Lalu, membuang muka saat ia mulai melilitkan benda itu ke daerah pinggangnya.

"Makasih, Mi. Dan, sorry."

Ia meringis, seraya mulai berjalan pelan.

"Sanggup jalannya?" tanyaku, sedikit merasa khawatir dengan keadaan mukanya yang terlihat pucat berat.

Ia mengangguk, lalu berjalan di depan dengan aku di belakang. Sedikit membetulkan ikatan jaket yang hampir terlepas di pinggangnya.

"Mi?"

Aku tergagap, menatap Almira yang memandangku heran. Kenangan silam itu mampu membuatku melamun sepertinya. Kenangan yang selalu membuatku rindu, rindu hanya dengan rengekan atau manjanya Almira yang kadang membuatku kewalahan. Seperti halnya pria di meja depan, kadang tingkah manja sang pacar yang membuat ia tertawa. Tak peduli dengan isak tangis perempuan tersebut yang sudah seperti angin ribut.

Layaknya Almira. Bahkan cara ia tertawa dengan khas memukul orang di sampingnya mampu membuatku terlena.

"Kamu belum jawab, kenangan dengan siapa? Sampe demen begitu."

"Bukan sesiapa, Ra. Hanya saja, kadang minuman campuran aneh begini rasanya memang enak. Itu saja," balasku tersenyum.

Dulu, saat pertama bertamu ke rumahnya aku disuguhkan dengan minuman campuran syrup lecy. Wanginya menguar kemana-mana, membelai indra penciuman. Yang kebetulan, tanpa dipaksa pun itu memang satu minuman favoritku. Karena selain wangi, warnanya cukup adem tidak aneh seperti syrup lainnya.

"Mi, gaada cemilan. Adanya cincau doang, dan jelly."

"Nggak papa. Ini udah cukup."

Tanpa mengucap apapun, perempuan mungil itu berlalu ke dapurnya. Tak lama, kembali dengan satu piring kecil di tangannya lengkap dengan satu sendok. Tanpa aba-aba, warna hitam cincau juga warna hijau dari jelly sudah mendarat mulus ke dalam gelasku.

Aku ternganga, heran melihat tingkah aneh gadis tersebut.

"Biar minumnya ada tanjakan, nggak langsung plup ke dalam perut. Gaada camilan soalnya."

Ia tertawa, lengkap dengan memukul pahaku. Mungkin merasa aneh dengan ucapannya tersebut. Ada-ada saja. Dan hasilnya memang enak, entah juga aku yang terlalu jatuh cinta sehingga menerima bagaimanapun yang disuguhkan. Yang nyatanya sampai sekarang, masih kunikmati segarnya. Jika duduk di caffe seperti ini, bahkan tak sungkan aku meminta minuman tersebut. Dengan cincau dan jelly selalu kubawa dalam kotak kecil di dalam mobil.

"Aku mau menikah, Mi," ucapnya seraya mengeluarkan satu undangan dari tas.

Kembali, ucapannya terus memberhentikanku dengan segala kenangan cinta yang pernah ada. Seolah tau, jika ia yang sedang ada dalam pikiranku.

Dua tahun tak bertemu, tepatnya aku yang menjauh meski tinggal di kota yang sama, tadi pagi Almira mengirim pesan jika ia mau bertemu. Sejujurnya, segala kemungkinan bisa terjadi saat diri ini mengiyakan permintaannya. Seperti ia mengaku rindu atau bisa jadi ia akan mengatakan perasaan yang sesungguhnya seperti harapanku. Nyatanya, kalimat keramat dalam percintaan itu membuatku sedikit kaget.

Harapanku benar-benar usai di sini. Menjauh, satu-satunya alasan kulakukan berharap ia merasakan rindu yang sama seperti yang kurasakan. Namun, ucapannya menjelaskan semua tentang perasaannya dan menyadarkanku dari rasa yang tak pernah kubuang dari dua tahun lalu.

Aku mengangguk, tersenyum.

"Semoga sakinah mawaddah warahmah. Dengan siapa?"

"Dimas," ucapnya dengan muka memerah saat menyebutkan nama calon suaminya.

Aku tersenyum perih. Sudah kuduga, pria yang menjadi sahabatku dulu itu tak pernah mengalah. Meski berteman dekat, ia dengan keras memberi peringatan agar diri ini tak perlu berteman dekat dengan Almira. Ia menyukainya walaupun dengan jelas ia tau akupun mencintai Almira.

"Semoga bahagia, Almira. Doa aja dari aku, mungkin nanti nggak bisa datang."

Ia merengut, membuatku sedikit terkekeh.

"Usahain dataang, sih!" ucapnya.

Aku menggeleng yakin, "Sibuk," jawabku.

Ya. Jelas terasa sibuk, tepatnya sibuk menenangkan hati jika di sana nanti terlihat mereka berdua dengan senyuman sempurna khas pengantin baru.

"Datang, ya?"

Kembali aku menggeleng.

"Yaudah. Kirimin kado aja kalo gitu." Almira tersenyum, matanya berbinar senang. "Aku mau kado yang gede banget."

"Sekarang?" tanyaku.

Ia mengernyit heran, "Ya nanti aja pas nikahan."

"Sekarang bahkan ada yang lebih gede dari itu."

"Apa?" Almira tersenyum. Membuat hati ini semakin tersiksa. Senyum dulu yang begitu kudamba.

"Aku mencintaimu sejak dua tahun lalu. Selayaknya untukmu, undanganmu ini juga kado terbesar dari Tuhan. Peringatan agar aku tak harus lagi mencintaimu meski dalam diam."

Matanya membulat kaget mendengar ucapanku. Menyalipkan uang di bawah gelas, dengan cepat aku berlalu tanpa menunggu jawaban apapun darinya.

Bahagia selalu, Almira.
Diubah oleh tettettowet 11-03-2021 18:58
0
420
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan