Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pacific.frontAvatar border
TS
pacific.front
Landing Craft | Elemen Kunci Pendaratan Amfibi
Landing Craft | Elemen Kunci Pendaratan Amfibi

Minggu lalu kita membahas tentang sistem pertahanan pesisir dan bagaimana sistem ini dapat mempertahankan pantai kita dari kemungkinan invasi amfibi.

Namun disisi lain jika kita di sisi menyerang, sistem pertahanan pesisir merupakan ancaman nyata untuk kesuksesan operasi amfibi. Mengerahkan kapal besar seperti LPD dan LST dekat dengan pantai tanpa adanya payung pertahanan udara atau superioritas udara akan sangat berbahaya bagi pendaratan amfibi modern.
Di sinilah landing craft atau kapal pendarat sangat dibutuhkan.

Sebelum kita lanjutkan, halo semua! Bagaimana kabarnya!
Selamat datang kembali di Pacific Front! Sebuah channel YouTube yang membahas topik-topik dan peralatan militer, terutama untuk kebutuhan TNI.

Untuk topik militer menarik lainnya bisa di baca di sini.

Ancaman Pendaratan Amfibi Modern
Pendaratan amfibi masih sangat penting sampai saat ini. Terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Kemampuan melaksanakan pendaratan amfibi pun terus dilatih dan diasah oleh Marinir dan TNI secara keseluruhan.
Namun kita tidak bisa menyamakan pendaratan amfibi saat ini dengan pendaratan amfibi semasa perang dunia ke-2 atau perang kora.
Saat itu operasi amfibi bisa dilaksanakan dalam jarak yang relatif dekat antara armada kapal dengan pantai. Namun pendaratan amfibi modern tidak punya kemewahan itu lagi.

Dengan kemajuan dalam hal akurasi dan jangkauan dari artileri dan peluncur roket saja bisa menghancurkan aset kapal kita bila kita mencoba mendekat. Ditambah lagi dengan adanya ancaman dari sistem pertahanan pantai seperti yang kita bahas minggu lalu hanya akan membuat lebih berbahaya.

Opsi paling aman adalah melaksanakan operasi lebih jauh dari pantai. Setidaknya diluar jangkauan artileri dan peluncur roket yaitu sekitar 150 km dari bibir pantai.

Namun hal ini mendatangkan masalah baru.
Bayangkan jika sarana transportasi pendarat yang kita gunakan adalah ranpur amfibi seperti AAV7, LAV, dan BMP. Dengan kecepatan renang rata-rata hanya 10 km/j, akan membutuhkan waktu lebih dari setengah hari untuk bisa mendaratkan marinir kita ke pantai. Dan saat kita sampai ke pantai, kita sudah kehilangan elemen kejutan yang sangat kita butuhkan.

Jangan lupa pula kelelahan dan mabuk laut yang bisa dialami oleh pasukan kita. Duduk di ruang kecil dan sempit dengan 7 orang lainnya untuk waktu yang lama ditengah-tengah lautan tidaklah mudah. Dan ini akan mempengaruhi efektivitas tempur pasukan kita secara signifikan.

Kecepatan Adalah Kunci
Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Pasukan kita ada dalam titik terlemahnya saat mereka berenang dari kapal ke pantai. Bergerak lambat hanya akan memperparah keadaan.

Dalam Art of War, Sun Tzu berkata, kecepatan adalah kunci dalam pertempuran. Dan itulah yang kita butuhkan dalam operasi amfibi. Kita membutuhkan kapal pendarat yang bisa mengangkut pasukan, peralatan, dan logistik dari kapal ke pantai dengan cepat.

Ini akan meminimalisir kelemahan yang saya sebutkan sebelumnya. Armada kapal kita bisa berada di jarak yang aman dari rudal musuh, namun tetap bisa mempertahankan pergerakan pasukan amfibi yang relatif cepat. Dan tentu meminimalisir mabuk laut dan kelelahan yang dialami marinir kita.

Alutsista Amfibi TNI AL/Marinir
Jika kita melihat kapal TNI AL dan ranpur amfibi Marinir untuk melaksanakan operasi amfibi, mereka masih mengandalkan LST, LCU, dan ranpur amfibi AAV7, BMP3F, dan si kakek BTR 50, dan PT 76.
Dari yang saya lihat ada kekosongan kemampuan di peralatan amfibi mereka. Mungkin hal ini bukan persoalan bagi Marinir karena mereka bisa membawa daya gempur mereka tanpa diperlukannya kapal pendarat. Namun ini merupakan masalah bagi TNI AD.

Sampai saat ini satu-satunya cara mengangkut MBT dan ranpur TNI AD adalah dengan menggunakan kapal LPD, itu pun hanya bisa dilakukan dengan ketersediaan dermaga, dan LST.
Saya rasa ini tidak praktis dan efisien dalam operasi amfibi.
Menahan senjata terbesar kita saat gelombang pertama pendaratan dan hanya bisa diluncurkan saat pantai sudah aman agar LST bisa mendekat, saya rasa bukan pendekatan yang terbaik.

Pintu belakang LPD TNI AL cukup besar untuk apapun. Jadi saya rasa sudah saatnya kita berinvestasi di kapal pendarat yang dapat masuk kedalam lambung LPD kita dan bisa menahan berat dari MBT.

Ada dua kandidat yang saya rasa cocok untuk kebutuhan kita.

Landing Craft Air Cushion (LCAC)
Saat membicarakan tentang kapal pendarat amfibi, saya selalu kagum dengan LCAC milik AL AS. Hovercraft merupakan hal baru bagi saya dalam hal moda transportasi. Dan saya pertama kali mengetahuinya dari yang satu ini.

Kemampuan terbesarnya ada di kemampuannya bergerak di air dan di darat. Dan kemampuannya juga sudah dibuktikan saat menyalurkan bantuan saat gempa dan tsunami melanda Aceh tahun 2004.

LCAC memiliki panjang 26.4m, beam 14.3m, dan displacement 182 ton. Dengan kapasitas angkut 60 ton dan bisa sampai 75 ton dalam mode overload. Kecepatannya 40+ knots dan kecepatan maksimumnya bisa sampai 75 knots. LCAC memiliki jarak operasional maksimum sejauh 300 nm.

Engin de Débarquement Amphibie Rapid (EDA-R)
Satu lagi kapal pendarat amfibi yang keren menurut saya adalah EDA-R.
Atau dalam bahasa Indonesia Kapal Pendarat Amfibi Cepat. AL Prancis menempatkan EDA-R sebagai bagian dari kapal induk helikopter kelas Mistral.

Kapal ini menggunakan desain katamaran dan dek yang dapat diangkat saat di lautan. Berdasarkan CNIM, sang pembuat kapal ini, EDA-R memiliki performa yang sama seperti LCAC, namun dengan biaya yang murah seperti kapal pendarat konvensional.

EDA-R memiliki panjang 30m, beam 12.8m, dan displacement 285 ton. Dengan kemampuan angkut sebesar 80 ton atau 110 ton dalam mode overload. Memiliki kecepatan maksimum sampai 30 knots. EDA-R memiliki jarak operasional maksimum sejauh 1000 nm.

Dengan kemampuan angkut sebesar itu, tidak sulit untuk EDA-R mengangkut tank MBT seperti Leopard, peleton infanteri mekanis dengan 6 panser Anoa, atau peleton zeni dengan alat beratnya.

Penutup
Memiliki salah satu pasukan marinir terbesar di dunia, Indonesia juga harus bisa beradaptasi dengan perubahan keadaan dalam operasi amfibi modern. Ancamannya semakin berbahaya dan peralatan kita semakin berat.

Kita sudah di jalan yang benar dengan memiliki banyak LPD. Namun ada kekosongan kemampuan di alutsista amfibi kita. Dan kapal pendarat seperti LCAC dan EDA-R memberikan solusinya. Ukuran mereka masuk kedalam lambung LPD kita, bisa mengangkut kendaraan berat seperti MBT, dan mereka cepat. Menambah salah satu kapal pendarat ini ke dalam elemen operasi amfibi kita, akan sangat meningkatkan kemampuan amfibi kita.

Bagaimana menurut agan kedua kapal pendarat amfibi ini?
Apakah kemampuan ini sangat penting untuk kita miliki saat ini, atau belum?
Beritahu di kolom komentar yaa.

Terimakasih sudah mampir di Pacific Front!
Dan jangan lupa cendol nya Gan!

Lihat video:





0
1.9K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan