Kaskus

Entertainment

fauzulfaqihAvatar border
TS
fauzulfaqih
First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
Seperti bir dan wine, kopi juga diproses dan dicintai dengan hormat yang sama oleh mereka yang berkecimpung di dunia kopi. Third Wave Coffee adalah masa ketika orang-orang tak lagi hanya menikmati kopi untuk pelepas dahaga atau pemompa semangat di saat kafein mendadak menjadi kebutuhan. “Gelombang Ketiga” pada dunia kopi menyadarkan kita bahwa kopi adalah sesuatu yang sahih, kompleks, dicintai, dielu-elukan dan merasuk menjadi sebuah ritual yang tak sembarangan. Tapi sebelum membahas lebih jauh tentang Third Wave Coffee, alangkah lebih baik jika sedikit memaparkan tentang gelombang terdahulu yaitu The First Wave Coffee and The Second Wave Coffee.

First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
“Gelombang Pertama” diawali pada 1800-an. Waktu itu kopi disiapkan untuk harga yang lebih terjangkau dan juga mudah disajikan. Coffee brand seperti Folgers dan Maxwell House secara singkat merajai industri dan hampir seluruh dapur di Amerika Serikat pasti mengonsumsi dua jenis brand ini. Pada era First Wave Coffee industri lebih memusatkan kepada inovasi kemasan, kepraktisan penyajian dan pemasaran yang gila-gilaan sehingga mendapatkan kritik pedas karena kualitas rasa yang jauh dari harapan.


Inovasi paling yang paling diingat datang dari pembuat kapal yang menjadi coffee roaster, Austin dan R.W. Hills, pendiri Hill Bros Coffee. PAda 1900, RW Hills menciptakan proses kemasan vacuum packaging yaitu proses yang menghilangkan udara dari kemasan kopi sehingga menghasilkan biji yang lebih segar. Vacuum packaging ini mengubah cara mengemas kopi pada masa itu. Hal ini menyebar dari sebuah roaster lokal melebar ke rak-rak grocier stores dari San Fransisco ke Chicago dan meluas ke New York.



First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter



Pada awal 1900-an industri modern menghasilkan berbagai inovasi yang tak ribet dan praktis. Dan pada masa itulah lahir sebuah inovasi untuk pecinta kopi: kopi instan. Pada 1903, Satori Kato seorang Japanese-American mengaplikasikan dehydration process dan untuk itu dia menerima paten untuk kopi instan pertama di Amerika Serikat yaitu “Coffee Concreate and Process of Making Same” yang kini dikenal dengan nama “kopi instan”. Kopi instan sangat mudah diterima karena tak lagi membutuhkan alat-alat membuat kopi, juga sangat cepat dan praktis disajikan. Bahkan tentara Perang Dunia I pada 1917 menggunakan kopi instan dalam keseharian mereka.


Pada 1938, Nestle dengan brand Nescafe mereka menjadi brand paling inovatif di sejarah kopi instan dunia. Bahkan menjadi satu-satunya brand yang memasok kopi untuk militer Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Kopi instan memasuki masa jayanya pada 1970-an. Hal itu diketahui karena hampir sepertiga dari impor kopi diolah menjadi kopi instan. Sementara itu di tanah air, merek seperti Kapal Api yang sukses merajai pasar kopi di

setiap kalangan di masa itu.

First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
Lahirnya “Kopi Gelombang Kedua” ini terdorong oleh “kopi buruk” yang dihasilkan secara gila-gilaan di First Wave Coffee. Peminum kopi di era Second Wave Coffee menginginkan kopi yang nikmat serta keinginan mereka untuk mengetahui asal-usul dari kopi yang mereka minum. Mereka ingin mengetahui bagaimana secangkir kopi nikmat bisa sampai pada mereka. Mereka ingin mengetahui proses roasting hingga kenapa ada sebutan untuk “specialty coffee beans”. Di era ini masyarakat ingin menambahkan bahwa kenikmatan kopi lebih dari sekedar rasa, tapi juga pengalaman. Bukan hanya minuman, tetapi sebuah proses.
Beberapa sejarahwan kopi mengatakan bahwa apa yang terjadi pada industri wine terjadi juga pada kopi. Kosa kata tentang dunia kopi bertambah dengan pesatnya dan kata-kata seperti café latte, espresso, cappuccino dan french press menjadi kata-kata yang mendadak bergaung di mana-mana.



Seperti layaknya First Wave Coffee yang mendapatkan kritik atas kopinya yang melupakan rasa dan kualitas, Second Wave Coffee juga mendapatan kritik yang tak kalah menarik. Ritual minum kopi mendadak tergeser menjadi pengalaman minum kopi yang dikaitkan dengan kehidupan sosial. Kedai kopi dan café merebak menjadi bisnis yang besar-besaran. Coffee shop menjamuri kota-kota besar. Minum kopi menjelma gaya hidup yang sangat penting di kehidupan bermasyarakat pada masa itu. Kopi Gelombang Kedua ini juga tumbuh seiring lahirnya sebuah brand besar yang menjalari seluruh dunia: Starbucks.



Pada 1971, Starbucks berdiri dengan optimis di California. Pada saat itu Starbucks hanya berfokus menjual biji kopi segar yang baru disangrai. Jerry Baldwin, Zev Siegl dan Gordom Barker sangat bergairah dengan bisnis freshly roasted beans yang diusung mereka. Tak ada yang menyangka bahwa awal mulanya Starbucks justru berkecimpung di bisnis biji kopi, bukan minuman kopi seperti sekarang.

Semuanya berubah saat Howard Schultz bergabung ke dalam tim Starbucks sebagai Direktur Pemasaran. Dia dengan kukuh meyakinkan trio pemilik Starbucks untuk menjual kopi yang telah diseduh. Pada saat itu Jerry Baldwin, Zev Siegl dan Gordom Barker menolak ide tersebut mentah-mentah.


Shultz ternyata tak menyerah dan berhasil menemukan coffee chain yang sangat sukses bernama II Giornale Coffee. Dan pada 1987 dia kembali untuk membeli Starbucks senilai 3.8 juta dolar. Di masa itu espresso dan latte adalah menu terlaris dengan penjualan gila-gilaan. Starbucks berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 2000 Starbucks memiliki 3000 cabang yang tersebar di seluruh dunia. Starbucks menjadi wajah dari Second Wave Coffee sekaligus ikon yang mengusung perkembangan kopi di masa itu. Starbucks tak hanya sekedar coffee shop tempat orang-orang menyeruput kopinya tetapi juga menjadi gaya hidup dalam kehidupan sosial. Kemunculannya menjadi inspirasi oleh banyak pebisnis yang bergelut di dunia kopi. Starbucks membuktikan bahwa kopi tak sekedar proses tetapi juga pengalaman saat meminumnya.



First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
Istilah Third Wave Coffee masih terbilang baru. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Thrish Rothgeb pada sebuah artikel di Wrecking Ball Coffee Roasters pada 2002. Pada artikel yang dipublikasikan oleh Roaster Guild, The Flamekeeper, Rothgeb mendefinisikan ada tiga pergerakan di dalam dunia kopi dan menyebutnya dengan istilah “gelombang” atau “waves”. Melalui pengertian tersebut, “third wave” menjadi istilah yang popular hingga sekarang.


Kebangkitan Third Wave Coffee ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap kopi itu sendiri. Baik itu asal muasal bijinya, prosesnya sampai kepada penyajian sebelum kopi tersebut sampai ke tegukan. Gelombang Ketiga ini memberikan reaksi terhadap kopi yang rasanya buruk dan cara penyajian kopi yang dianggap tidak benar. Meskipun tidak mengenyampingkan masalah pemasaran dan promosi, Third Wave Coffee peduli lebih dalam dari sekedari menikmati kopi saja.



Pada “Gelombang Pertama” konsemen memimpin industri dengan menarik masa untuk mengonsumsi kopi sebanyak-banyaknya. Dengan mengedepankan kepraktisan dan kemudahan. Pada “Gelombang Kedua” industri kopi mulai membaik dengan mementingkan kualitas tapi lebih berfokus pada memasaran. Sedangkan pada “Gelombang Ketiga” produksi dan pemasaran tak lagi melulu dikedepankan, tetapi kopi itu sendiri yang menjelma aktor utama yang menguasai panggung.



Pada era Third Wave Coffee proses produksi terhadap kopi terasa lebih transparan. Para konsumen dengan mudah mampu mengetahui dari mana sebuah biji kopi berasal, bagaimana biji tersebut diproses dan kelak dengan apa kopi tersebut disajikan. Di era ini istilah single origin mulai muncul. Asal mula kopi adalah salah satu faktor paling penting di era “Gelombang Ketiga” sekaligus menandai bahwa industri kopi telah berubah.

Di sini juga mulai banyak bermunculan roaster dan kedai kopi independen yang mengoperasikan bisnisnya secara kecil-kecilan. Coffee shop baik kecil maupun besar menyangrai kopi mereka sendiri dan bereksperimen dengan beragam biji kopi. Di era ini juga perburuan biji-biji kopi eksotis mulai digemari. Seluruh penjuru dunia mulai mencari ragam-ragam kopi dan tertarik mengeksplorasi after taste yang ada pada setiap kopi. Bodi, acidity, bitterness, sweetness, aroma, manual brew dan lain-lain adalah kosa kata yang kerap mewarnai “Gelombang Ketiga” ini. Mengupas tuntas karakter kopinya dengan meragam metode penyeduhan.



Tiga nama yang tak bisa dilepaskan dari era “Gelombang Ketiga” adalah Intelligentsia Coffee & Tea dari Chicago, Counter Culture Coffee dari Carolina Utara dan Stumptown Coffee Roasters dari Portland. Tiga nama besar yang lebih dikenal denga sebutan “Big Three” ini mewakili apa-apa yang disebutkan dalam “Kopi Gelombang Ketiga”.


Sumber: stumptowncoffee.com, craftbeverage.com, podcast: Speciality Coffee Asociation (Fauzul Faqih, 2020).



First Wave, Second Wave dan Third Wave, Perjalanan Kedai Kopi dalam 3 Chapter
yeduokaAvatar border
yeduoka memberi reputasi
1
321
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan