rirandaraAvatar border
TS
rirandara
Suratan Cinta Pertamaku



Sepanjang hidup namamu kan terbingkai indah dalam ruang hatiku.--Lesmana.

Itulah kalimat perpisahan dari cinta pertamaku yang tak pernah terjalin. Meski begitu, tiada 'kan kusesali telah jatuh hati padanya. Pada Lesmana, seorang pemuda asal dusun tetangga.

Awal mula pertemuan kami, ketika aku bersama teman-teman yang biasa mengaji duduk-duduk di teras masjid menanti Magrib tiba. Tak lama kemudian, dua orang pemuda mengendarai motor memasuki halaman masjid bersamaan dengan azan yang mulai berkumandang.

Seorang yang dibonceng turun terlebih dahulu. Kemudian mengambil jalan ke arah tempat wudhu. Seorang lagi sibuk memarkir motor honda win yang jarang sekali dimiliki oleh warga kampungku saat itu. Dialah Lesmana.

Baik jama'ah maupun anak-anak yang biasa mengaji mulai mengisi shaf-shaf kosong dalam masjid. Tidak terkecuali aku. Namun, sedetik kemudian, aku merasa ada yang lolos dari bawah. Sebelum yang lainnya menyadari, cepat-cepat aku keluar dan berjalan ke tempat wudhu lagi.

Jarak dari dalam masjid ke tempat wudhu tidaklah jauh, tapi sudah dua kali aku buang angin. Dan yang ketiga kalinya tepat saat Lesmana selesai wudhu dan berbalik. Aku yang tiga langkah di depannya seketika merasa malu setengah hidup. Kentut di depan seorang pemuda cakep yang baru pertama kali bertemu dengan bunyi cukup nyaring adalah hal paling tercanggung yang pernah kualami.

Beberapa saat kami saling terpaku di tempat masing-masing. Lalu, ketika terdengar imam mulai membaca surah Al-Fatihah barulah aku sadar. Lantas cepat mengambil wudhu. Sedangkan Lesmana buru-buru masuk dengan meninggalkan segaris senyum yang penuh misteri. Membuatku keki dan senang dalam waktu yang hampir bersamaan setelahnya.

Tragedi di tempat wudhu benar-benar tak bisa aku lupakan begitu saja. Wajah teduh dengan cambang tipis yang menghiasi rahang itu malah kerapkali menghantui. Baik dalam jaga maupun lelap. Semenjak itu pula aku sering berharap akan bertemu lagi dengan Lesmana di mana pun itu. Lalu kenalan dan saling menyebut nama masing-masing pada selayaknya. Pikiran yang konyol, bukan.

Barangkali memang sudah semestinya, tepat delapan hari dari kejadian memalukan itu, aku dan Lesmana bertemu kembali. Namun, di tempat yang berbeda. Yaitu di tepi jalan kampung saat siang-siang.

Ketika itu, aku yang tengah berjalan kaki sendirian pulang dari sekolah, kaget bukan kepalang manakala suara klakson berbunyi dari belakang secara tiba-tiba. Kekagetanku pun bertumpuk-tumpuk saat mengetahui pengendara motor tersebut sudah berhenti di sebelahku dan sedang tersenyum hangat. Lantas menawarkan tumpangannya. Tapi dengan berat hati aku menolaknya.

Lesmana sudah berlalu, namun senyumnya tertinggal bersama debar-debar hebat yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ya, kukira ... aku telah jatuh cinta pada pemuda berambut ikal itu.

Singkat kisah, aku benar-benar dibuai oleh bayangan Lesmana yang seringkali muncul manakala aku terpekur seorang diri. Baik di sekolah maupun saat di rumah. Bahkan saat mengaji pun sama. Padahal aku sama sekali tak berniat untuk memikirkannya.

Semakin hari, Lesmana sering terlihat berjamaah Magrib atau Isya di masjid tempatku mengaji. Bisa kalian bayangkan betapa hatiku bungah tiada terbilang manakala dapat melihat punggung sang pujaan meski hanya dari kejauhan. Aku berharap bisa berkenalan secara resmi dengannya

Namun, bayangan berkenalan lalu menyebut nama masing-masing menguap tak tahu kemana. Sebab, tanpa itu semua pun aku sudah mengetahui seluk beluk Lesmana. Ya, aku mendadak jadi detektif conan versi kampung. Aku sungguh dibuatnya tergila-gila. Untung enggak gila betulan, hahaha.

Setelah tiga bulan mengorek kesana kemari akan siapa Lesmana secara diam-diam, aku harus menerima kenyataan pahit. Pemuda itu kembali ke perantauan. Tempatnya mencari nafkah selama ini untuk kedua orang tuanya yang telah berpisah. Aku terhenyak betul-betul. Belum sempat perasaan ini terungkapkan, Lesmana pergi begitu saja. Menyesal aku tak menuruti saran Tita saat itu: mendekati Lesmana duluan.

Semenjak kepergian Lesmana, aku berusaha memupus semua angan-angan tentangnya. Kurasakan percuma saja, sebab sepertinya hanya aku yang cinta. Dia belum tentu sama. Setiap kami bertemu pun pemuda sembilan belas tahun itu terlihat biasa saja. Malah cenderung menghindar.

Setahun berlalu. Perasaanku pada Lesmana masih ada dan sama. Meskipun seseorang telah hadir memberi warna hari-hariku. Qomar namanya. Dia baik, teramat baik. Inilah salah satu yang membuatku menerima ungkapan cinta Qomar, setelah delapan bulan kepergian Lesmana.

Namun, tiada kabar tak ada cerita, tiba-tiba Lesmana datang ke rumah di minggu malam pada saat bulan masih muda. Penampilannya persis dengan saat awal kami bertemu di tempat wudhu. Kemeja lengan panjang kotak-kotak yang digulung tak sampai siku berpadu dengan celana levis biru tua. Senang dan kaget bertindih dengan serba salah kurasakan saat itu.

Lesmana menyerahkan sebuah buku diary baru dan sepucuk amplop merah hati yang sudah terlihat lusuh. Saat mata kami bertemu, seakan ada kilatan rindu di matanya. Membuat beku suasana malam itu. Dan mengenai buku diary yang dibawanya, kurasa hal tersebut pertanda bahwa sesungguhnya selama ini dia pun mencari tahu tentangku.

Lesmana memintaku untuk segera membacanya. Dan tanpa banyak kata, aku mengikutinya.
Bagai disengat tawon hutan aku membaca surat tersebut. Isinya betul-betul membuatku ingin menjungkalkan waktu kembali pada setahun lalu.

Di kertas itu tertulis jika surat di buat dua hari sebelum keberangkatan Lesmana. Dan seharusnya sampai ke tanganku tak lama setelah kepergiannya itu. Namun, oleh sebab kecerobohan kakaknya, ungkapan perasaan cinta Lesmana padaku pun mesti tertunda setahun lamanya. Perih rasanya mengetahui semua ini.

Melepas Lesmana bukanlah hal mudah. Teramat menyakitkan malahan. Meninggalkan Qomar? Mana tega. Cintanya tulus. Dia pemuda yang tak banyak tingkah. Tak ubahnya seperti Lesmana. Hanya saja, Qomar lebih terbuka dalam perasaannya.

Walau penuh kepedihan, kuputuskan untuk menampik ungkapan perasaan cinta pertamaku itu.

Aku tahu ada nyeri yang lamat-lamat menggerogoti ruang hati Lesmana. Sama dengan yang kurasakan. Tapi, itu lebih baik, daripada aku harus menjalani hubungan dengan dua lelaki. Setidaknya, meski masih tujuh belas tahun aku harus belajar setia, bukan.

Ah, cinta pertama yang kata orang-orang indah, bagiku hanya menyesakkan dada. Terlebih kalimat perpisahan Lesmana terucap diantara senyumnya yang penuh kegetiran. Pada akhirnya, suratan asmara kami mesti kandas tanpa terjalin sebelumnya.


💔💔💔💔💔

©2021 rirandara


Spoiler for dokpri:
Diubah oleh rirandara 03-03-2021 11:10
tien212700Avatar border
gegerorion124Avatar border
aryanti.storyAvatar border
aryanti.story dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.1K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan