Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

davidp90Avatar border
TS
davidp90
TANPA RASA BAB 26 BAGIAN 2 RUMAH SAKIT
      <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-formatemoticon-Embarrassmentther; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-familyemoticon-Swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
“Ada menu apa saja mbak?”, jawabku kepada mbak kantin.

Nasi pecel menjadi menu makananku sore itu di kantin rumah sakit. Mulanya aku sama sekali tidak berniat untuk makan makanan berat. Tapi ketika mendapati menu nasi pecel yang menjadi menu utama di kantin itu pikiranku langsung kembali menarik waktu mundur ketika dulu nasi pecel jugalah yang sering menjadi menu favoritku ketika di rumah sakit ini diantara para penjajak-penjajak makanan yang lain. Ingatanku kembali menajam ketika rasa dari nasi pecel yang aku makan memiliki kesamaan dengan nasi pecel yang dulu sering aku makan. Atau bisa aku bilanng rasanya hampir sama bahkan sangat mirip. Apa jangan-jangan ini nasi pecel yang sama seperti yang kumakan dulu? Pikirku. Aku pun juga tidak tahu bagaimana rasa nasi pecel yang lainnya. Apakah rasanya semua sama? Karena aku sendiri dulu hanya makan nasi pecel di rumah sakit ini saja. Mungkin juga ini hanya sebuah sugesti karena aku makan di tempat yang dimana dulu aku sering memakannya. Bedanya dulu dihidangkan dengan pincukkan daun pisang sebagai alasnya. Sekarang pecel ini disajikan dengan piring di atas meja. Jika orang-orang di luar sana punya saus atau mayones. Maka kepunyaanku adalah bumbu kacang ini.

“Sudah lama jualan di sini mbak?”

“Semenjak kantin ini dibangun Pak. Saya termasuk yang pertama jualan di sini”, jawab mbak kantin dengan logat jawanya.

“Mbaknya ini asli Jawa ya?”

“Lho bapaknya kok tahu. Bapak pernah ke Jawa ya?”

“Ya saya tahu. Soalnya nasi pecelnya enak”, jawabku membuat mbaknya tertawa.

“Terimakasih lho Pak pujiannya. Tapi dari tadi itu saya merasa sering lihat bapak tapi dimana ya? Saya merasa tidak asing begitu dengan bapak.”

“Banyak yang bilag seperti itu”, candaku.

“Tapi lha wong saya saja baru pertama kalinya ke sini mbak.”

            Begitulah obrolanku dengan mbak kantin sebelum aku melanjutkan petualanganku di rumah sakit ini. Setelah melihat dengan seksama mbak kantin itu aku tahu siapa dia sebenarnya dan mengapa dia merasa pernah melihatku dan tidak asing denganku.

            Dia adalah anak dari penjual nasi pecel gendong yang dulu berjualan di rumah sakit ini. Bekas luka di pelipis kirinya. Itu adalah percakapan pertamaku dengannya sewaktu dia masih kecil dulu. Dia yang tampak muram dengan perban yang membalut bekas luka jatuhnya. Di hari-hari selanjutnya ketika dia turut dengan ibunya untuk berjualan di rumah sakit di situlah kami menjadi sering bertukar cerita. Bahkan sesungguhnya aku masih mengingat namanya.

            Setelah selesai dari kantin aku segera menuju ke ruangan dimana Lisa menjalani rawat inap. Tidak terlalu sulit untuk mencari dimana bangsal dan ruangan ia berada. Terdengar dan terlihat jelas kerumunan pengunjung yang merupakan penggemar atau pun pencari berita berada di sekeliling bangsal Lisa berada. Terdapat sebuah antrian yang lumayan panjang jika ingin menjenguk dan bertemu dengan Lisa.

            Beberapa hari sebelum kabar Lisa jatuh sakit dan dirawat inap. Aku bertemu dengan Susi. Saat itu di sebuah antrian di bank. Keperluanku adalah untuk meminta buku tabungan nasabah yang baru karena buku yang kupunya sudah habis. Meskipun sebenarnya sebagian besar transaksi keuanganku dilakukan dengan online atau pun menggunakan mesin ATM tapi aku selalu rutin untuk mengupdate dan mengupgrade buku tabunganku. Antrian yang lumayan panjang waktu itu menjadi terasa cepat berlalu ketika Susi duduk di sampingku dan berbincang denganku. Setelah beberapa tahun tidak bertemu bagaimana kamu masih bisa mengenaliku? Itu pertanyaanku padanya. Dan ia pun menjawab, “Kalau masih mengenali tentu saja masih mengenali. Tergantung mau atau tidaknya saja.” “Atau mungkin karena situasi?”, jawabku menimpalinya. Begitulah bercandaan dan obrolan kami waktu itu. Aku pun juga menanyakan bagaimana keadaan Lisa dan juga pertanyaan umum lainnya dan juga sebaliknya.

            Aku mengira saat itu Susi ada keperluan juga dengan customer service atau pun teller bank. Tapi ternyata setelah aku selesai mendapatkan buku tabunganku yang baru ia masih berada di sana. Aku pikir dia masih mengantri menunggu giliran nomornya untuk dipanggil. Tapi ternyata Susi membarengiku untuk keluar dari bank. Ternyata keperluannya saat itu hanyalah dengan mesin ATM. Kami pun keluar dari bank. Setiba di parkiran aku diperkenalkannya dengan suaminya yang baru beberapa bulan yang lalu mereka menikah. Susi sempat bertanya kepadaku kapan-kapan ia mau datang ke rumah. Tentu saja aku mempersilahkannya. Dia juga sempat bercerita bahwasanya Lisa sempat beberapa kali memimpikanku dan mengajak untuk berkunjung ke rumahku. Aku pun mengiya-iyakan semua perkataannya kala itu sebelum akhirnya ia dan suaminya berlalu dengan mobil mereka. Aku sudah berburuk sangka pada Susi ternyata ia benar-benar melihatku dan memang berniat untuk berbincang denganku. Aku rasa mereka sekedar kebetulan saja lewat dan menggunakan mesin ATM di bank yang sama denganku. Pertemuan dengan Susi itulah yang memberikanku alasan untuk menjenguk Lisa di rumah sakit. Jika tidak ada pertemuan itu kemudian aku berkunjung rasanya sungguh aneh.

            Tapi antrian yang lumayan panjang itu membuatku kembali berpikir. Apakah aku akan lanjut atau balik badan lalu pulang? Aku jadi teringat ketika mengantri membeli tiket untuk bedah buku Lisa waktu itu. Sesaat sebelum aku memutuskan apakah aku akan pulang atau jadi menjenguk Lisa tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang memanggil namaku. Rupanya dia adalah suami baru Susi atau ayah angkat dari Lisa. Dia pun merangkulku dan mengawalku menembus barisan antrian mengantarkanku langsung masuk ke kamar dimana Lisa dirawat.

            Ramai yang kudapati di ruang VVIP itu. Ada beberapa orang yang sedang mengabadikan momen mereka menjenguk Lisa. Ada juga yang sedang berfoto dengannya. Ada Susi juga di sana yang juga nampak sibuk bercengkrama dengan para penjenguk yang aku yakin adalah para penggemar dari anaknya. Bunga-bunga dan pernak-pernik banyak terlihat sejauh mata memandang ruangan yang luas ini.

            Ketika Susi menyadari kehadiranku ia langsung menyalamiku dengan senyum ramahnya. Aku sedikit terkejut dengan sikap Susi yang sebelumnya tak pernah sehangat ini terhadapku. Ia pun memperkenalkanku sebagai mantan tetangganya kepada orang-orang yang berada di ruangan itu. Aku heran dengan sambutan ini. Mereka menyalamiku dan ada sebuah camera yang terus menyorot padaku. Aku hanya cengar-cengir saja menyambut mereka. Setelahnya aku pun beralih ke Lisa. Aku menghampirinya di tempat tidurnya. Dengan sedikit terperanjak dia menyambutku dengan pelukannya ketika aku hendak menjulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Aneh sekali perasaan ini. Aku melihat Lisa ia tampak baik-baik saja. Tidak ada selang infus dan tampangnya segar-segar saja. Sakit apa bocah ini?

            Setelah berbasa-basi dan juga memenuhi ajakan berfoto bersama mereka. Aku pun pamit untuk pulang. Kunjunganku ke rumah sakit dengan segala kenangan yang aku punya di sana adalah sebuah kegiatan yang kurasa tepat dan terbayarkan. Tapi mengunjungi Lisa dan Susi aku rasa bukanlah suatu keputusan yang tepat.

jiyanqAvatar border
jiyanq memberi reputasi
1
248
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan