Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

davidp90Avatar border
TS
davidp90
TANPA RASA BAB 22 GERUTU : OPINI
      <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-formatemoticon-Embarrassmentther; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-familyemoticon-Swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
GERUTU : OPINI

            Jujur saja aku tidak terlalu menyukai opini. Karena pada dasarnya setiap individu atau masing-masing orang punya opininya sendiri-sendiri dan mereka bisa beropini. Setiap orang punya matanya sendiri. Mempunyai pikirannya sendiri. Mempunyai rasa sendiri. Dan setiap orang seharusnya sadar mereka memiliki itu semua dengan penuh kuasa pada diri mereka sendiri tanpa harus ada ikut campur atau kedatangan orang lain untuk menentukan opini mereka. Bukannya aku anti dan tidak peduli dengan pernyataan orang lain. Tapi aku lebih suka untuk bergerak sesuai dengan kemauan diri sendiri yang didukung dengan data dan fakta yang ada dari pada harus menggantungkan langkah-langkah berdasarkan pendapat orang lain.

            Aku tidak menutup mata dan tetap melihat kejadian-kejadian disekelilingku. Aku sama sekali tidak keberatan akan hal yang menimpa atau sesuatu yang terjadi padaku kearena sifat ataupun tindakanku sendiri. Tapi tentu saja itu harus dalam koridor peraturan yang ada seperti hukum yang berlaku, norma-norma di masyarakat, apalagi bila sudah berkaitan dengan isu-isu yang sangat berpotensi menyulut pertikaian. Seperti kepercayaan, ras, strata sosial, gender dan yang lainnya. Kita harus bisa membawakannya dalam wujud apakah itu sebuah kalimat perkataan ataupun sebuah perbuatan kita harus bisa menjaga agar tidak menyinggung dan memancing keributan juga perselisihan. Mungkin seperti itulah gambarannya ketika kita harus menjaga hubungan kehidupan bersosial di tengah keragaman yang juga beraneka ragam. Bukan semata untuk kepentingan bersama tapi juga untuk kepentingan kelangsungan hidup diri kita sendiri. Jika ada yang mengatakan manusia adalah makhluk sosial maka ada pula yang mengatakan sejatinya manusia adalah makhluk individu yang bersosial atau lebih tepatnya bersosialisasi.

            Aku keberatan jika digolongan menjadi antisosial. Kerena pada prakteknya aku masih berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh orang-orang disini ataupun yang digagas oleh segelintir orang saja di komplek ini. Jika aku mengacau, tidak mengikuti kesepakatan, mengganggu jalannya sebuah acara dikomplek ini mungkin iya aku bisa dibilang anti sosial. Tapi kenyataannya bukan demikian. Meski aku berpartisipasi seminimal mungkin dengan secara sengaja tentu aku masih ikut terhitung di dalamnya. Jika ada iuran-iuran aku selalu turut serta dan tidak menentangnya. Aku menampakkan diriku ke beberapa orang jika ada sebuah kegiatan sosial untuk menunjukkan alibiku. Ya mungkin itu saja partisipasi minimalisku dalam kegiatan bersosialisasi dengan mereka. Aku juga masih menerima kunjugan ke rumahku jika itu benar-benar penting tanpa harus berlagak seperti aku tidak sedang berada di rumah. Menurutku itu sudah cukup untuk keadaanku yang sekarang dimana aku bukanlah pemuda atau pun seorang remaja lagi.

            Jika kau merusak panggung yang sudah didirikan untuk sebuah acara, tidak membayar iuran warga yang sudah disepakati bersama mungkin iya kau bisa dikategorikan sebagai antisosial. Tapi dengan segala hal yang aku pelajari mungkin cukup bagiku yang istilahnya bersifat introvert ini bila dibilang mempunyai kecenderungan ke arah istilah asosial. Asosial lebih tidak mempunyai ketertarikan ataupun gairah sama sekali akan sebuah interaksi sosial. Berbeda dengan antisosial yang pada implementasinya mengahasilkan sebuah perlawanan terhadap interaksi sosial atau keadaan bersosialisasi yang sudah ada.

            Apakah itu introvert, ekstrovert, atau pun asosial kembali lagi itu adalah sebuah sebutan atau penamaan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah mempelajari tentang hal-hal tersebut. Sebagaimana pada setiap cabang ilmu yang menelurkan nama-nama yang berkaitan dengan bidangnya. Bahkan orang yang ketika ingin tidur punya kebiasaan menggerak-gerakkan kakinya pun ada sebutannya.

Komunitas adalah dimana orang-orang berkumpul karena adanya suatu persamaan. Bisa karena mempunyai hobi yang sama atau pun berkaitan dengan pekerjaan mereka. Misalnya komunitas reptil, pecinta klub sepakbola, perkumpulan dokter, perkumpulan pekerja seni atau pun perkumpulan-perkumpulan profesi lainnya. Biasanya komunitas terbentuk karena adanya secuil rasa fanatisme terhadap sesuatu atau apa yang sedang atau kerap mereka lakukan. Bisa jadi juga komunitas tercipta karena memang membutuhkan kelompok dengan jumlah orang banyak untuk mewujudkan atau meramaikan kegiatan mereka demi mencapai tujuan komunitas itu sendiri. Ada juga komunitas yang terbentuk karena memang sudah turun-menurun atau pun komunitas itu sudah ada sejak lama. Ada juga yang terakhir sebuah komunitas terbentuk karena hal yang sedang mereka kerjakan adalah sesuatu yang masih terbilang baru di kalangan masyarakat umum.

            Lantas siapa saja orang yang tergabung dalam komunitas tersebut? Pada dasarnya ada dua tipikal orang. Yang pertama adalah orang yang benar-benar bergairah tinggi dengan apa yang dilakukan atau pun sesuatu yang menjadikan terbentuknya komunitas tersebut. Yang kedua adalah orang yang hanya sekedar ikut-ikutan atau pun terbawa arus semata. Sebenarnya masih ada orang ketiga yaitu orang yang mempunyai niat terselubung masuk ke sebuah perkumpulan. Tapi itu sangat kecil kemungkinannya.

            Yang menarik adalah akan terjadi bentrok antara orang pertama dengan orang yang kedua. Orang pertama akan bersikap sangat serius terhadap apa pun yang menjadi kemaslahatan sebuah komunitas. Sedangkan orang kedua yang bisa dibilang hanya iseng tidak terlalu menganggap apa yang diseriusi orang pertama itu penting dan orang kedua bisa menghilangkan dirinya kapan saja.

            Hal ini sama halnya terhadap sebuah persepsi dimana setiap orang punya penilaiannya sendiri. Jika terjadi sebuah perbedaan persepsi antara dua orang yang tidak harus bersinggungan maka tentu itu akan berlalu begitu saja tanpa harus menyinggungkan persepsi pribadi terhadap persepsi orang lain. Yang menjadi lucu adalah jika kita meladeni orang yang selalu memaksakan persepsinya untuk dijadikan persepsi orang lain. Jika itu dilakukan maka sebuah perdebatan pajang yang sia-sia bahkan sampai rasa benci pun bisa terjadi. Begitupun dengan sebuah opini. Cukup disimpan saja jika memang tidak terlalu dibutuhkan.

            Aku sering kali menemui situasi seperti ini dari sejak dulu hingga sekarang. Mungkin dulu aku harus berpura-pura untuk tertarik atau tidak mengerti akan suatu hal. Tapi kini semua itu sudah kukurangi bahkan tidak kugunakan tergantung siapa lawan bicaranya. Aku tidak lagi menyia-nyiaakan waktu dan energi untuk sebuah interaksi yang percuma.

            Mengutarakan sebuah cerita yang pernah dialami. Apakah itu cerita yang kita alami sendiri atau kita hanya sekedar menyaksikannya akan terasa lebih mudah untuk melakukannya. Biasanya kita akan memulainya dengan, “kemarin aku ...”, “aku kasih tahu...”, “sumpah...”, dengan lancar kita akan menjelaskan detail kisahnya. Berbeda dengan mengutarakan sebuah opini. Apalagi sebuah opini yang diminta. Dengan cara penyampaian yang terbata-bata, tersendat-sendat dengan memikirkan apa yang harus dikatakan. “E....”, “menurut saya,”.

            Setiap orang adalah gambaran besar dari kehidupannya sendiri. Setiap orang juga adalah gambaran kecil dari kehidupan sebagian orang yang lain.

jiyanqAvatar border
jiyanq memberi reputasi
1
270
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan