Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

davidp90Avatar border
TS
davidp90
TANPA RASA BAB 14 SEPI (ALONE)
      <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-formatemoticon-Embarrassmentther; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-familyemoticon-Swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
SEPI

            Belum genap satu minggu setelah rumah kosong benar-benar menjadi sebuah rumah kosong karena ditinggalkan oleh pemiliknya. Ternyata itu menular ketika Susi dan juga Lisa yang menitipkan salam pamitnya kepada Massu bahwasanya mereka akan pindah dari komplek ini karena mengikuti Susi yang juga harus pindah tempat kerja. Mereka sebenarnya ingin langsung berpamitan padaku namun sayang di hari itu pagi-pagi buta aku sudah harus pergi karena urusanku. Massu yang menghentikan mobilku di pintu masuk komplek juga memberikan sebuah paper bag yang beratnya lumayan. Itu titipan dari Lisa katanya. Aku pun langsung tersenyum mendengar perkataannya sambil langsung terlintas bayangan anak kecil itu dibenakku.

            Beruntungnya Rocco. Sesampai di rumah aku buka paper bag berwarna ungu itu. Terdapat empat kaleng makanan kucing dan itu saja. Tidak ada apa-apa lagi buatku. Aku lantas terkekeh dengan itu semua. Jika memang Lisa bermaksud untuk bercanda untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi, ya dia berhasil membuatku tertawa. Langsung terbayang wajahnya yang tertawa puas ketika sudah berhasil mengerjaiku.

            Dua rumah di depan rumahku kembali tidak berpenghuni seperti waktu pertama kali aku menempati rumah ini. Sungguh sebuah kebetulan sekali dimana dalam kurun waktu yang hampir bersamaan aku kembali seorang diri di sudut komplek perumahan berada diantara dua rumah kosong ini.

            Susi mungkin punya beban yang lebih ringan dibandingkan dengan Pak Burhan karena dia status rumahnya hanyalah rumah kontrak saja. Berbeda dengan si tua Burhan yang dari hari pertama ia masuk ke perumahan ini status rumah kosong itu adalah atas kepemilikannya. Rumah itu pun kembali ke tangan agensi diamana sampai sekarang rumah itu terkesan dibiarkan begitu saja setelah peristiwa kebakaran. Hanya sudah tidak ada lagi perabotan dan juga isian lainnya. Benar-benar nampak seperti rumah kosong dalam arti yang sesungguhnya.

            Bermunculan banyaknya perumahan-perumahan lain yang terletak di lokasi strategis menambah persaingan dengan komplek perumahan ini. Mungkin itu salah satu alasan kenapa rumah kosong belum juga direnovasi dan kenapa rumah Susi juga masih belum berpenghuni.

             Selama aku menjadi penghuni komplek ini baru kali inilah aku merasakan kedekatan yang lebih diamana aku mendapatkannya dari Susi dan Lisa dan juga si tua Burhan. Meskipun dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang tapi entah kenapa rasanya bagiku itulah yang paling pas dan tidak harus berlebih-lebihan apalagi berpura-pura. Bahkan untuk Pak Burhan yang tabiatnya seperti itu. Aku sempat terkagum ketika mendengar kabar bahwasanya ialah yang bersikukuh untuk tetap Massu bekerja sebagai satpam di komplek ini dan sama sekali tidak menyalahkannya karena tertidur ketika api menyalakan rumahnya. Apakah mereka juga merasa kedekatan yang sama seperti apa yang aku rasakan? Atau ini hanya perasaanku saja karena aku yang hidup seorang diri. Aku sering bertanya-tanya akankah suatu hari nanti aku ada kesempatan untuk berjumpa dengan mereka lagi.

            Kembalinya sepi suasana rumahku dan lingkungan sekitarku mengingatkanku akan cerita dulu. Sudah menjadi rahasia umum sampai sekarang bahwasanya kawasan disekitar rumahku yang memang terletak memisah dari rumah-rumah warga yang lain mempunyai kesan angker. Dimulai dari sebuah cerita yang disebarkan oleh anak-anak kecil hingga menjadi sebuah rumor sampai terbawa oleh waktu hingga menjadi sebuah mitos. Darimana kisah yang dibawa anak-anak itu waktu dulu? Akulah yang memberikan kisah itu pada mereka.

            Awal-awal aku menempati rumah ini ada sebuah kebiasaan yang telah lebih dulu ada sebelum aku datang. Setiap sore anak-anak komplek bermain bola di jalan yang terletak di depan rumahku. Jalananya yang cukup lebar dan juga teduh karena ternaungi pohon-pohon membuat tempat ini terpilih oleh mereka untuk menyalurkan hobi mereka tersebut. Awalnya tidak menjadi masalah bagiku. Bahkan aku juga beberapa kali menyempatkan diri untuk ikut bermain bersama bocah-bocah kecil itu. Sampai di suatu titik kegiatan mereka yang hampir dilakukan setiap hari ini menjadi gangguan yang begitu bising. Bahkan suara dari orang tua – orang tua mereka turut meramaikan riuhnya kebisingan ketika jam magrib anak-anak mereka juga belum pulang. Apa yang aku lakukan waktu itu?

            Dua buah speaker kecil aku persiapkan. Speaker 5 inch berukuran kecil yang terhubung via bluetooth langsung tersambung ke hpku. Kecanggihan teknologi memungkinkan kita untuk berkreasi sesuai dengan kemauan kita. Aku tempatkan kedua speaker itu diantara jalan yang biasanya digunakan oleh anak-anak komplek bermain bola. Aku sembunyikan dengan rapi speaker-speaker itu agar lolos dari mata-mata yang mencari. Satu speaker kutaruh di halaman rumahku. Satu speaker lagi aku sembunyikan di halaman rumah yang berada tepat di sebrang depan rumahku. Tidak ingin ada kegagalan di siang harinya aku pun sudah melakukan uji coba dengan skala volume kecil dan ternyata berhasil.

            Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Sesuai dengan dugaanku bocah-bocah itu masih terlena dengan permainan bola mereka sambil teriak-teriak tanpa ada letih-letihnya. Inilah waktu yang sudah kutunggu-tunggu. Segera kubunyikan suara tertawa wanita yang kuperoleh dari youtube. Tanpa ada sedikitpun perhitunganku yang meleset suara mengerikan itu membuat kumpulan anak-anak itu porak-poranda berlari tunggang langgang ketika suara dari kedua speaker yang kupersiapkan sebelumnya terdengar oleh mereka. Bola dan juga alas-alas kaki mereka berserakan mereka tinggalkan begitu saja. Komplit sudah misiku di hari itu.

            Keesokan paginya kehebohan sedikit demi sedikit mulai menyebar di komplek kami. Entah saking takutnya atau lantaran terlalu kebanyakan melihat konten horor salah satu anak yang ikut bermain bola di sore itu juga bersaksi bahwa ia tidak hanya mendengar suara ketawa perempuan yang mengerikan. Ia juga berkeyakinan melihat sosok perempuan bergaun hitam dengan wajah pucat, rambut panjang keriting berantakan, dengan kantung matanya yang hitam pekat dan mata yang berlubang alias tidak ada bola matanya menyeringai kepadanya. Ada-ada saja imajinasi bocah-bocah itu. Bahkan anak itu sampai harus tiga hari bolos sekolah karena sakit katanya. Itulah awal terciptanya mitos yang aku ciptakan. Bahkan setelah berthaun-tahun cerita tersebut masih sering mengudara.

            Di komplek ini ada sosok pahlawan bagi kami semua warga komplek terutama para laki-laki selaku kepala keluarga. Namanya Heru laki-laki yang masih muda untuk ukuran bapak-bapak. Usianya yang baru masuk kepala tiga dengan segala ambisi-ambisinya yang dapat dilihat dari mulai carannya berbicara hingga caranya berjalan yang begitu lugas dan lantang. Dengan adanya sosok berkepribadian sepertinya lega sudah kami para pria-pria yang ketika sudah sampai rumah hanya ingin menghabiskan waktu dengan bersantai bersama keluarga.

            Memangnya siapa yang ingin menjdi RT? Sama sekali tidak ada. Tapi di perumahan kami Herulah yang begitu antusias untuk mengemban tugas ini. Tanpa ada kesepakatan yang terjalin secara langsung kami para bapak-bapak di komplek ini mengamininya. Kami semua memanggilnya Pak RT atau pun kadang Pak Heru. Kami harus menjaga moodnya untuk selamanya supaya dia saja yang selalu menjadi RT kami. Bukan tanpa alasan juga kami mempercayainya. Dikarenakan memang sebelum pindah ke komplek ini Pak RT adalah juga Pak RT di tempat tinggalnya sebelumnya.

            Pak RT Herulah temanku mengobrol kesana-kemari ketika dia ada keperluan dengan warganya. Aku suka dengan pembawaanya yang tidak berbelit-belit dan tahu waktu jika sudah saatnya mengakhiri sebuah pembicaraan. Meski kami para warga niat pertamanya hanya ingin menjorokkan dia saja tapi nyatanya kamilah yang dibuat menelan ludah kami sendiri ketika performanya sebagai ketua RT memanglah sangat mengayomi. Kami pun menjadi menaruh rasa hormat, segan sekaligus bangga terhadapnya.

jiyanqAvatar border
jiyanq memberi reputasi
1
315
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan