Kaskus

Story

Rebek22Avatar border
TS
Rebek22
Seminar Hidup Tanpa Otak
Seminar Hidup Tanpa Otak


Quote:


Kenalin, nama gue jeki, Ini hanya sekedar catatan perjalanan gue. Serius, gue bukan orang sukses yang layak membukukan riwayat hidupnya.

Gue hanyalah potret remaja tanggung yang kalau pagi mengajar di sebuah TPA bagi anak kurang mampu, siangnya Kuliah dan kalau malam menjadi oprator sebuah warnet yang sering di pake buat judi online.

Gue Mencari penghasilan tambahan lewat berdagang dan menjadi kurir.
Hidup di banyak sisi yang berbeda membuat gue sering mengalami beragam kisah yang kayanya layak untuk di bagi kepada kalian.

Ini kisah tentang bagaimana rasanya menjadi sosok guru ngaji yang malemnya harus bekerja di sebuah sarang maksiat.


Metode menuhankan diri

Siang itu semua berjalan seperti biasanya, gue sedang asik menghisap rokok bersama anak kelas di tangga darurat kampus. Kuping gue agak panas karena tadi di pakai untuk mendengar ocehan dosen yang kalau ngejelasin cuman dia dan Tuhan yang tau selama dua jam lamanya.

Materi yang diajarkan oleh dosen tersebut seharusnya asik, karena mata kuliah yang dirinya pegang adalah phisikologi konsumen. Pelajaran mengenai pemasaran yang menitik beratkan pada cara pandang dan prilaku para konsumen.

Sayangnya metode yang dosen tersebut terapkan adalah pembelajaran satu arah, hanya dirinya yang berhak bicara tanpa memberi kesempatan para mahasiswa untuk menyanggah dan bertukar pikiran.

" Kalian gak tau apa-apa, jadi gak perlu kah coba-coba menyanggah " Kata tuh dosen saat gue mencoba menyanggah pendapatnya.

Kejadian ini terjadi pas awal-awal gue masuk ke semester tiga. Waktu itu pak Tono ( nama dosennya) ngebahas prihal waktu yang dapat mempengaruhi daya beli, berkatalah beliau kalau salah satu contoh pedagang yang bodoh adalah penjual es yang menawarkan dagangannya di pagi hari karena tidak akan ada orang yang mau membeli es pada saat itu. Gue keberatan dengan ungkapannya, karena gue seorang pedagang, dan di lapangan apa yang baru beliau katakan itu enggak benar.

" Tapi pak, kebiasaan masyarakat Indonesia tuh udah berubah. Mungkin iya orang-orang yang usianya di atas empat puluh akan meminum kopi dan teh di pagi hari. Tapi kaum muda saya rasa tidak demikian, banyak di antara mereka yang meminum es di pagi hari. Mengingat jumlah orang yang memiliki kebiasaan seperti itu cukup banyak, bukan kah hal tersebut bisa jadi peluang usaha dengan target pasar para kaum muda " Ujar gue sambil mengangkat tangan.

" Ngawur kamu, data tersebut situ dapat dari mana? " Jawab pak Tobi ketus.

" Kebetulan saya kalau hari minggu dagang di CFD pak, di sebelah saya ada yang jual es buah, dia jualan dari jam lima pagi, dan ramaikan pembeli di jam-jam segitu. Para anak muda lebih memilih minum es untuk menyegarkan tenggorokan dan praktis, dari pada memilih teh panas yang sulit di bawa-bawa "

" Di buku gak ada yang kaya begitu, kamu mau bikin teori sendiri? Memang kamu siapa? Sudah kuliah sampai doktor? Belum kan? Ini buku di tulis oleh kotoler keler ( kalau gak salah sih ini namanya) dia pakar ekonomi, loh kamu Strata satu saja belom lulus mau mengomentari teori dia " Ujarnya sambil nunjuk-nunjuk buku yang di bawanya.

Entah siapa lah si kotler keler itu, mau dia pakar ekonomi kek, akutansi kek, ya dia hidup tuh pada jamannya, entah sudah berapa dekade berlalu semenjak orang itu nulis tuh buku, apa nih dosen gak mikir ya, kalau ada hal-hal yang bisa mempengaruhi keabsahan sebuah teori. Iya, kita boleh mengambil teorinya, tapi jadikan sebagai landasan, bukan di jadikan sebagai hal mutlak yang harus mahasiswanya Terima.

Seenggaknya Kembangkan sedikit teorinya agar menyesuaikan zaman. Dulu, belom ada tukang es buah dan CFD, dulu kultur masyarakat ya emang begitu, tapi sekarang teknologi udah maju, pola pikir udah maju, jadi wajar aja kan kalau pisikologi konsumennya berbeda.

Gue lebih saklek kalau nih dosen jawabnya begini " Emang kebanyakan orang minum teh panas kalau pagi, tapi bukan kah bisnis yang bagus adalah bisnis yang bisa memanfaatkan peluang? Sebagian kecil orang lebih memilih minum es kalau pagi-pagi, nah yang sebagian kecil ini bisa di manfaatkan sebagai target pasar baru. Tapi bersiko, karena hanya minoritas yang melakukan hal tersebut, maka dari itu yang di cantumin adalah yang lebih lumrah "

Eh pendapat gue malah di tolak mentah-mentah, parahnya lagi gue di anggap sebagai orang yang mempertanyakan teori seorang pakar. Gimana gak kesel?

" Tapi pak saya praktisi, saya jualan dan terjun langsung ke lapangan. Maka dari itu saya tau kalau teori yang baru saja bapak ucapkan tidak mutlak benar, dan contoh yang bapak berikan sangat tidak benar "

" Tapi ini teori dari para ahli, jadi ini yang kita pakai pass ujian, bukan apa yang kamu lihat "

" Tapikan pak, kita belajar bukan buat ujian doang " Gue jelas memprotes ucapannya barusan.

" Loh ya enggak, tapi ini teori dari para ahli, jadi kalau di terapkan ya jelas lebih bagus "

" Bapak pernah nerapi hal ini? "

" Kamu bisa berhenti bertanya tidak, udah gini aja, mulai sekarang di kelas saya enggak ada sesi pertanyaan, paham? Loh ya ngawur semua kalau pada nanya "

Beliau langsung ngecut pertanyaan gue, dan hal tersebut menurut gue sangat salah untuk seorang guru. Ya logikanya gini, guru di bayar buat mensirnahakan ketidak tahuan muridnya, selama konteks pertanyaannya masuk akal, gak salah dong kalau gue berkata seorang guru wajib menjawab pertanyaan tersebut. Jika memang belum tau jawabannya, maka akuilah hal tersebut dan ajak murid-murid yang ada untuk berdiskusi bersama, atau minta waktu ke mereka buat mencari jawabannya nanti di rumah.

Menurut gue, pertanyaan yang tadi diri ini ajukan masih masuk akal. Toh, gue cuman mencoba membandingkan teori yang dia jabarkan dengan kenyataan di lapangan. Bagaimanapun teori yang menyempurnakan aksi, dan aksi lah yang menjadikan sebuah teori berati. Maka dari itu gue memilih jurusan marketing saat kuliah karena diri ini ingin menyempurnakan aksi gue yaitu dagang dengan teori-teori yang di ajarkan para dosen. Apa gunanya teori jika tidak ada aksi? Ujung-ujungnua cuman kepake buat ujian, kalau kepake pas ujian doang ngapain gue repot-repot kuliah?.

Menurut gue, Beliau sangat terpaku pada buku, ucapannya sama persis dengan yang ada di teks, tidak ada penambahan sesuatu yang sesuai dengan keadaan, sehingga contoh yang dirinya berikan sangat lah monoton dan tidak selaras dengan apa yang terjadi di lapangan. Parahnya lagi, tidak ada intonasi saat dirinya menjelaskan materi, semua datar sehingga para mahasiswa hanya berpura-pura mendengarkan.

Karena gue juga guru, maka lisan ini tentunya memiliki hak untuk mengomentari cara mengajarnya. Ya walaupun pada dasarnya perbedaan kasta antara gue sama dia tuh jauh banget, gue hanya guru ngaji dan sebagai mana yang kita ketahui tidak ada ijasah khusus yang harus di miliki untuk mengajar di TPA, lulusan SMA pun bisa selama pandai mengaji. Sementara beliau adalah dosen yang sudah tentu harus menyandang gelar paling minimal S2.

Oh iya, menurut kalian apa tugas seorang guru? Membuat muridnya pintar? Mungkin iya, tapi dari apa yang selama ini telah gue pelajari, bagi gue tugas seorang guru bukanlah membuat muridnya menjadi pintar, sebab apa gunanya pintar jika tidak berakhlak? Bukan juga membuat anak didiknya memmahami segala hal, apa gunanya paham banyak hal jika tidak ada satupun yang di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi gue, Tugas seorang guru adalah membuat muridnya menjadi jauh lebih baik. Dari yang awalnya tidak tau, menjadi tau. Dari yang mulanya hanya tau menjadi mengamalkan apa yang di ketahui. Dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi yang memperbaiki dari yang memperbaiki menjadi orang yang mengajarkan cara agar bisa membuat orang lain menjadi baik, dan Begitu seterusnya.

Oleh sebab itu, gue bener-bener gak suka dengan cara ngajar dosen tersebut. Gue sering memberi nama aneh buat sesuatu, dan gue pun memutuskan untuk memberi nama metode tuh dosen saat ngajar sebagai " Metode menuhankan diri ". Semua salah, kecuali dia, Gak ada satupun yang lebih pintar dari dia, dan enggak ada yang berhak ngomong kecuali dirinya. Gimana gak Tuhan tuh...

Gue ngajarin anak kecil prihal agama, dan gak jarang gue dapet pertanyaan yang bikin bingung, tapi sampai sekarang gak pernah satu kalipun gue ngecut pertanyaan mereka. Semua gue jawab selama itu merupakan pertanyaan yang masuk akal, dan kalau ada yang gue gak bisa jawab, maka diri ini akan menampungnya terlebih dahulu, kemudia gue cari jawabannya di rumah, bertanya sana sini, nyari di internet, bacain buku dan lain sebagainya sampai gue bener-bener tau jawabannya kemudian menjawab pertanyaan mereka di hari berikutnya.

Gue juga gak pernah ngerasa diri ini paling tau, karena percaya gak percaya bahkan kita bisa dapet pelajaran dari lisan seorang anak kecil. Gue juga gak pernah terlalu terpaku pada buku, benda tersebut hanya berfungsi bagi refresnis. Gue berusaha memberikan mereka contoh real, namun masih beracuan pada materi yang tertera di buku, kenapa? Ya karena bukti nyata itu dapat lebih mudah di bayangkan ketimbang yang ada di buku.

Maka dari itu, gak salah kan kalau gue memberi nama " Metode menuhankan diri " Kepada cara ngajarnya?.


perbudakan berkedok religi


" Asli, gelo tuh dosen " Gue membuka pembicaraan sambil ngebakar sebatang rokok.

Dosen dengan Metode menuhankan diri baru saja masuk ke kelas dan memaksa kami mendnegar ocehannya selama dua jam.

" Wkwkw. Ada yang ngerti dia ngomong apa ? " Tanya Yudi si ketua kelas.

" Enggak " Jul, Jaka, dan bagus menjawab pertanyaan tadi secara bersamaan.

" Ulangan jawab apa ya nanti kalau begini terus " Kata Jul yang merupakan anak paling agak bener di kelas gue.

" Jawab asal aja "

" Pele emang tuh guru " Gue dengan gamblang mengutarakan kekesalan hati ini terhadap guru tersebut.

" Wkwk, jangan begitu pele. Nanti karma lho. " Ujar Jul.

" Jul karma tuh emang ada, tapi bakal kena ke kita atau enggak itu kembali ke pribadi masing-masing "

" Maksudnya? "
" Kita maen logika ya. Lu pada pasti pernah denger ada guru yang ngomong gini, tolong hargain saya didepan, inget karma tuh berlaku. Nanti pass kalian dewasa pasti ngalamin apa yang saya alamin " Gue mulai ngejelasin maksud ucapan tadi.

" Iya, iya pernah " Teman-teman gue ngejawab dengan serempak.

" Di kelas kurang lebih ada empat puluh siswa, bayangin kalau semua siswa ngalamin karma sama persis kaya yang tuh guru omongin, terus ngomong begitu juga, lu itung dah bakal ada jadi berapa orang yang ngalamin tuh karma? "

" Wkwk lawak lu jek " Ujar Jul yang nyadar kalau gue lagi ngejabarin logika yang ngelantur.

" Intinya sih gini, lu pada pasti pernah ketemu guru kaya pak Tono kan? "

" Ada dulu pas SMA " Jaka angkat bicara, yang lainnya pun demikian.

" Nah lu pernah mikir kaya gini gak? Kalau nanti gue jadi guru, gue gak mau tuh kaya dia?"

" Ya pasti lah "

" Lu pada tau kan, kalau gue tuh sekarang guru? Nah jujur aja gue udah kenyang ketemu guru kaya pak Tono dari dulu, tapi gue mengambil hikmah dari pertemuan dengan orang macam mereka. Bagi gue mereka itu prototype atau contoh guru yang gagal, kesalahan mereka gue pelajaran seteliti mungkin biar nanti kalau gue jadi guru gak akan kaya mereka. Gue percaya karma itu ada, tapi masa iya kalau kita jadi guru yang beda sama mereka karma itu tetep datengin gue? "

" Nah masuk akal tuh "

" Kita gak dengerin guru tersebut pasti karena suatu sebab kan? soalnya kalau gurunya asik lu pasti gak akan mau mengabaikan penjelasan dari tuh orang, dan mendengarkan beliau dengan seksama, karena dia asik ngajarnya. Sekarang alhamdulillah gue di senengin sama murid-murid, kalau gue gak masuk mereka pada nyariin, gak kaya kita ke si Tono yang malah di sujud syukurin kalau dia gak masuk "

" Haha bener tuh, gue sih percaya kalau lu di senengin sama murid-murid, soalnya ngedengerin prestasi dari lu aja tuh asik dan beda. Gue sering mikir gini, kok lu niat baget ya, padahal cuman buat presentasi di depan kita-kita bukan di depan calon investor, udah gitu selalu aja ada yang beda " Jaka mengungkapkan kesalutannya atas presentasi yang sering gue buat.

" Ya intinya sih totalitas bro, gak peduli di depan siapa lu bicara, selama kita bisa membuatnya lebih menarik maka laku kan lah hal tersebut "

" Gue mau nanya nih ke lu jek, menurut lu, lu itu orang idealis atau realistis? " Tanya jaka
" Nah, gue juga penasaran tuh "

Kemarin kelas gue baru aja dapet wejangan dari salah satu dosen yang bernama pak Ridwan. Wejangan tersebut berisi tentang type apa kah diri kita ini? Realistis atau idealis. Realistis artinya, orang yang menjunjung tinggi realita dengan kata lain menilai segala sesuatu dengan uang atau keuntungan. Idealis adalah orang yang menerapkan ideologi pribadi, maka dari itu mereka mengukur segala sesuatu dengan kepuasan pribadi dan pahala atau sesuatu yang bersifat religi.

" Gue itu orangnya realistis " Jawab gue.

" Kok realistis? "

" Ya karena gue ngukur segala sesuatu dengan uang atau keuntungan "

" Berarti lu ngajar di TPA ngincer gajinya, emang segede apa gaji lu? " Tanya Jul yang makin penasaran.

" Tiga ratus ribu perbulan "

" Lah, bukannya gaji segitu gak sepadan sama totalitas lu saat mengajar? Lu juga gak dapet apa-apa kan kalau presentasi di depan kita, tapi kenapa lu mau berjuang biar keliatan menarik? Bagi gue sih, lu orangnya idealis " Jaka mulai berkomentar.

" Hmmm gimana bilangnya ya. Gue nanya dulu deh, Menurut lu pada gue tuh munafik gak sih? Pagi ngajar ngaji, setelan rapih, celana bahan dan baju koko, ngajarin al-quran. Siangnya gue kuliah, nongkrong sambil ngerokok sama temen-temen ngaco kaya lu pada yang bahasanya binatang semua dan hoby banget neghujat guru. Malemnya gue jadi oprator warnet yang isinya orang judi bola melulu dan gue pernah ikutan masang juga lagi. Bagi gue ya diri ini tuh contoh orang yang munafik, layak gak sih menurut lu gue ngajarin, bocah-bocah soal agama? "

" Haha, jujur aja ya. Jawaban gue munafik "

" Gue ngajar di itu TPA ada sesuatu yang nguntungin gue. Apa itu? Yang jelas bukan gaji, bukan bermaksud Ria ya, gaji gue juga kadang ke pake buat beliin bocah al-quran baru. Sianya ya buat bensin. Hal yang menguntukan bagi gue di sana adalah kekangan "

" Maksudnya? "

" Selama status gue adalah guru, melakukan hal di luar batas tuh kayanya agak gimana gitu. Di warnet gue gak pernah tuh nyentuh yang namanya bir, soalnya gue pernah ngajarin kalau bir itu haram ke anak-anak. Gue juga gak pernah tuh ampe bercocok tanam sama cewe, ya soalnya ada murid perempuan yang diri ini ajarin, gue meminta mereka nutup aurat biar gak dosa, masa iya gue malah skidipapap sama cewe. Kenangan dari status guru itulah yang membuat gue terus bener dan keluar batas. Gue merasa nyaman saat di kekang, ya karena kekangan itu gak bikin gue menderita. Gue masih bisa temenan ama lu pada yang notabanenya penenguk, lu gak risihkan temenan sama gue? "

" Enggak sih, gue malah seneng temenan sama lu. Lu asik, koplak, kadang-kadang agak ngaco juga, kalau belum kenal lu secara deket emang sifat lu keliatan kaya bocah baget, tapi klo dah deket, baru dah tuh keliatan sifat bijaknya " Ujar Jaka

" Setuju tuh " Yang lainnya ikut menyetujui ucapan Jaka

" selama lu pada gak maksa gue ikutan nyekek botol, gue pasti bakal tetep bersikap kaya gini. Lagian lu pada gak mabok tiap hari kan? Antara neguk sama ngisep roko seringan ngisep rokok, kita sama-sama ahli hisap jadi yuk nongkrong bareng. Tapi kalau mabok, silahkan lu ajak temen yang laen "

" Haha sans " Ujar Jaka.

" Dah keluar topik nih, jadi kenapa lu termasuk orang yang realistis? " Tanya jul

" Ya gampangnya gini, gue dapet keuntungan dong dari ngajar, yaitu kekangan. Kekangan tersebut jelas nguntungin gue dong. Kekekang buat gak mabok, jadinya gue hmat duit. Kekekang buat gak empat enam, empat enam, jadi gue gak perlu repot tanggung jawabin anak orang. Di lain sisi, karena gue ngajar, kesan orang terhadap gue otomatis baik dong? Dan kalau gue di anggap baik, otomatis dagangan juga bakalan lebih mudah laku, terlebih lagi gue juga jadi dapet jaringan baru buat memperluas pasar. Nah, gimana gak untung tuh, pahala dapet, pasar baru dapet juga "
" Iya juga sih, tapi kenapa gak sekalian aja lu nolak buat di bayar, biar dapet pahala juga? Kan lebih sabi tuh? " Tanya jul.

" Emang kalau gue di bayar, artinya gue gak dapet pahala gitu? Sekarang udah gak jama kerja iklas bro, jamannya kerja cerdas. Soalnya dari kerja cerdas, kita juga tetep bsa dapet pahala. Gue juga heran, kepada di Indonesia iklas tuh cenderung di anggap gak perlu bayaran, padahal yang dapet gaji bisa dapet nilai ke ikhlasan, lantas kenapa yang iklhas tidak bisa menerima nilai gaji? "

" Gue juga pernah mikir gitu sih, kenapa ya? "

" Mind set tersebut tuh harus di ubah, menurut lu ikhlas itu apa? "

" Ya kerja dengan di bayar pahala " Ujar Yudi

" Bener tuh. Tapi perlu lu inget, iklas tuh ada caranya. Contohnya gini, ada seorang atasan, ngeliat beranda kantornya bersih, nah atasan tersebut langsung gerak buat ngebersihin sambil ngajak bawahannya, pas bersih-bersih bareng si atasan bilang, bersih-bersih nya yang ikhlas ya, Biar kita dapet pahala. Nah menurut gue, itu tuh cara ikhlas yang bener "

" Yang salahnya gimana? "

" Ada bos, liat kantor kotor, terus dia nyuruh bawahannya buat bersihin, sementara dianya duduk manis sambil ngeliatin yang bersih-bersih lalu ngomong kerja yang ikhlas ya. Itu mah bukan ikhlas namanya, perbudakan berkedok religin"

"Wkwk, intinya mah kita yang gerak dulu ya, ngajak orang, baru deh ngasih tau kalau kerjanya yang ikhlas " Jaka menyimpulkan contoh yang gue berikan.

" Nah iya "

" Sayangnya malah banyak orang yang ngejadiin ikhlas sebagai alat perbudakan berkedok religi " Ujar Yudi.

" Gue mau ngajar di sno dengan bayaran tiga ratus ribu per bulan karena ya gue anggap gaji tersebut setimpal, secara tuh TPA emang di peruntukan buat orang gak mampu, dan gak di pungut biaya apapun, malah tuh TPA yang ngasih fasilitas, kalau gue minta gaji lebih, artinya gue bukan manusia "

" Wkwk iya ya "

" Kecuali kalau gue ngajar di sekolah formal, biaya masuknya enam belas juta, bayaran perbulannya tiga juta, ketua yayasan nya ganti mobil tiap bulan, tapi gue di gaji cuman tiga ratus ribu. Nah, kalau begitu namanya gue bukan ngajar, tapi ngebantu ketua yayasannya pergi haji "
" Haha, bener tuh. Terus ketua yayasannya ngomong, ngajar yang ikhlas biar dapet pahala " Kata Jaka.

" Di dalem hatinya gue yakin tuh ketua yayasan ngomong, semangat ya buat pergi hajiin gue " Yudi ikut menimpali ucapan Jaka yang langsung membuat kita semua ketawa.

" Alhamdulillah orang tua gue masih mampu buat ngebiayain kuliah, tapi mereka minta gue buat nyari duit jajan sendiri. Oleh sebab itu lah gue dagang, gue 7 tahun di pesantren, dan tuh tempat adanya di ujung peradaban, secara otomatis gue gaptek dong? Gue mau minta duit buat kursus komputer gak enak, maka dari itu lah gue puter otak, nah solusi yang saat itu gue temuin adalah jadi oprator warnet, kenapa? Di satu sosis gue gamer, kalau jadi oprator warnet kan maen gratis, dah gitu gue bisa ketemu abang-abang yang jago maen corel draw, ppt, web desain dan lain sebagainya. Gue intip cara mereka ngoprasiin tuh aplikasi, sesekali minta di ajarin juga, dan akhirnya gue jadi cukup mahir mainin tuh aplikasi, tanpa ngeluarin biaya, dan malahan gue yang di bayar "

" Wkwk kreatif lu jek "
Diubah oleh Rebek22 27-02-2021 21:47
0
778
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan