Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Kerumunan Jokowi : Perangkap Gubernur NTT?
Spoiler for Jokowi:


Spoiler for Video:


Kedatangan Presiden Jokowi ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT pada Selasa 23 Februari 2021 lalu mengundang polemik. Kunjungan kerja dalam rangka meresmikan bendungan itu ternyata menimbulkan kerumunan warga yang hendak menyambut kedatangan Presiden.

Andaikan saja pandemi Covid-19 tidak pernah terjadi, maka kerumunan seperti itu adalah hal yang biasa. Namun karena kunjungan terjadi saat pandemi Covid-19 menggila di seluruh daerah, maka kerumunan karena kunjungan Jokowi dianggap oleh publik (terutama kelompok oposisi), sebagai pelanggaran protokol kesehatan. Ditambah pula dengan kerumunan yang semakin terjadi ketika Jokowi melemparkan beberapa hadiah atau cinderamata ke arah masyarakat.

Alhasil, sejumlah pihak melemparkan kritik keras terhadap Presiden. Ada yang membandingkannya dengan kasus kerumunan Rizieq Shihab, hingga melaporkan Jokowi ke aparat penegak hukum.

Sumber : Suara[Kronologi Jokowi Dituding Buat Kerumunan Warga sampai Dilaporkan ke Polisi]

Hal yang terlupakan dari pihak yang menuntut penegakan hukum terhadap Presiden Jokowi adalah :  tak akan mudah memproses hukum seorang Kepala Negara.

Ahli hukum tata negara, Refly Harun mengatakan terdapat sejumlah pengecualian yang berbeda antara Kepala Negara dengan warga negara biasa.

“Hukum itu harus ada sense of justice, rasa keadilan. Tapi, tentu tidak mudah memproses seorang kepala Negara dan juga kepala pemerintahan, karena kepada dia berlaku pengecualian-pengecualian yang berbeda dari warga biasa,” tutur Refly Harun pada 25 Februari 2021 lalu.

Menurut Refly, sebelum proses hukum dapat diterapkan kepada Kepala Negara, maka kita harus mengacu pada pasal 7A UUD 1945 terlebih dahulu. Pasal tersebut menyebutkan, Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan dua sebab. Salah satunya melakukan pelanggaran hukum. Namun pelanggaran hukum di sini berupa pengkhianatan terhadap negara, seperti korupsi, suap, maupun tindak pidana berat lainnya.

“Kalau kita bicara tindak pidana berat lainnya, maka kita bicara tindak pidana yang diancam hukuman minimal 5 tahun penjara,” ujar Refly.

Refly juga mengingatkan, perkara yang dilakukan oleh seorang Presiden, bukan lagi berada di tingkat polisi akan tetapi pada tingkat politisi, yakni DPR RI. Sehingga untuk memproses hukum seorang Presiden, dibutuhkan inisiatif dari DPR untuk menilai apakah tindakan yang dilakukan Presiden tergolong dalam tindakan berat.

Proses hukum dari DPR tentunya sulit dilakukan, sebab DPR mayoritas diisi partai-partai pendukung istana.

Sumber : Pikiran Rakyat [PP GPI Ingin Jokowi 'Dipolisikan' Seperti HRS, RH: Tidak Mudah Memproses Kepala Negara, Butuh Inisiatif DPR]

Akan tetapi, masyarakat tentu tidak akan puas. Masyarakat terutama kelompok oposisi akan menganggap kondisi itu sebagai manifestasi ‘hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas’.

Sementara dari sudut pandang masyarakat pendukung pemerintah, Jokowi tidak bersalah. Pendukung istana berargumen bila dibandingkan dengan kerumunan lain yang ditindak secara hukum, maka kerumunan Jokowi adalah soal spontanitas warga.

Politikus PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan kerumunan yang terjadi sifatnya spontanitas dan tidak ada unsur kesengajaan.  "Ini sifatnya spontan sehingga tidak sepenuhnya masuk protokol antisipasi," kata Hendrawan, pada 24 Februari 2021.

Meskipun begitu, dia meminta kejadian serupa tak terulang lagi. Sehingga perlu untuk diantisipasi ke depan.

Hal yang menarik dari pernyataan politikus PDIP adalah kesadarannya bahwa yang terjadi di Maumere tidak menunjukkan contoh yang baik bagi rakyat Indonesia. Itulah mengapa, di masa mendatang ia berharap kejadian seperti ini dapat diantisipasi.

Sumber : Kumparan [PDIP soal Kerumunan Warga Sambut Jokowi: Spontan, tapi Harusnya Diantisipasi]

Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pun mengeluarkan pernyataan serupa terkait kerumunan di Maumere. Tenaga Ahli Utama KSP, Donny Gahral Adian mengatakan Presiden Jokowi tidak melakukan pelanggaran. Semestinya yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah setempat.

“Ya ini kan bukan Presiden yang melanggar. Ini ada elemen pemerintah daerah, ini sesuatu yang berbeda,” ujar Donny pada 25 Februari 2021.

Donny mengatakan, kunjungan Presiden ke daerah pasti akan mengundang animo masyarakat. Oleh karena itu seharusnya pemda setempat sudah mengantisipasinya. Ia pun berharap ke depannya kasus di NTT bisa dijadikan bahan evaluasi.

Sumber : Jawa Pos [Timbulkan Kerumunan di NTT, KSP Sebut Jokowi Tidak Melanggar Prokes]

Pernyataan Donny mengisyaratkan bahwa kunjungan Presiden ke Maumere tentu tak lepas dari tanggung jawab Gubernur NTT Victor Laiskodat.

Menarik, sebab Gubernur NTT Victor Laiskodat merupakan kader Nasdem. Bukankah ia separtai dengan Menkominfo Johnny G Plate? Di mana terkait UU ITE, Presiden Jokowi menginginkan Revisi namun Menkominfo Plate justru membuat pedoman interpretasi terhadap UU tersebut. Interpretasi UU ITE tersebut menyebabkan kesan negatif publik terhadap Presiden Jokowi makin kuat yakni sosok yang ‘tukang bohong’ serta inkonsisten.

Mungkinkah kerumunan massa presiden merupakan perangkap yang telah disiapkan imbas perang UU ITE antara PDIP dengan Nasdem?

Namun yang jelas, demi memuaskan rasa keadilan dari berbagai pihak dan sebagai pelajaran bagi pemda setempat yang tak mengantisipasi kerumunan saat kedatangan Kepala Negara, maka ada baiknya Mendagri memberikan sanksi kepada Gubernur NTT Victor Laiskodat.
Diubah oleh NegaraTerbaru 26-02-2021 21:05
0
897
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan