- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
LOGIKA, PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM


TS
DikiRamadhan14
LOGIKA, PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM
Dewasa ini, dalam wacana publik, khazanah intelektual, dan praktik hukum di tanah air, peran logika dan penalaran hukum dalam studi hukum semakin diperhitungkan. Banyak pemikir menyatakan bahwa untuk menjadi lawyer, hakim, jaksa, atau praktisi hukum yang handal, pemahaman terhadap logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar (Urbanus, 2017). Karena logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum membekali para mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan kemampuan berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik hukum. Hanson dalam buku Legal Method, Skills, and Reasoning (Sharon, 2010) menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum dibutuhkan karena pemahaman hukum dari perspektif semacam ini berusaha menemukan, mengungkap, menguji akurasi, dan menjustifikasi asumsi-asumsi atau makna-makna yang tersembunyi dalam peraturan atau ketentun hukum yang ada berdasarkan kemampuan rasio (akal budi) manusia. Kemampuan semacam ini tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum melainkan juga dalam seluruh bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar hukum. Tidak dapat disangkal bahwa logika dan penalaran hukum (legal reasoning) sering ditolak. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hukum berurusan dengan data, fakta, atau pengalaman praktis dan bukan pemikiran abstrak, rasional atau logis. Penalaran hukum lalu dianggap tidak perlu diajarkan kepada mereka yang mempelajari hukum karena tidak “membumi”. Hukum harus dipelajari melalui pengalaman konkret saja (Urbanus, 2017). Di dalam konstruksinya, argumentasi hukum turut berperan penting dalam menyempurnakannya, sehingga terbentuk logika atau penalaran hukum yang masuk akal. Argumentasi hukum turut berperan penting dalam menyempurnakannya, sehingga terbentuk logika atau penalaran hukum yang masuk akal.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, logika adalah pengetahuan kaidah berpikir atau jalan pikiran yang masuk akal. Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikosyang berarti “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa” (Harry, 2008). Kata Latin logos (logia) berarti perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku Fundamentals of Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking. (David and Gene, 1996). Patterson merumuskan logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of straight thinking) (Patterson, 1942). Irving M. Copi dalam buku Introduction to Logic merumuskan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah’ (Irving, 1997).
Menurut George F. Kneller, dalam bukunya "Logic and Language of Education" mengartikan logika sebagai suatu penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir yang benar (George, 1966).
Dari perspektif ilmu mantiq, dalam kamus "Munjid" logika atau mantiq, diartikan sebagai hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan dalam berpikir (Louis, 1973).
Thalib Thahir A.M, mengartikan logika atau mantiq, sebagai ilmu untuk menggerakkan pikiran manusia kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suara kebenaran (Thahir, 1966).
Jujun S. Suriasumantri, dengan sederhana dan simpel mengemukakan bahwa cara penarikan kesimpulan yang benar disebut sebagai logika. Lebih luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih. (Suriasumantri, 2007).
Logika hukum menurut Munir Fuady, mengatakan bahwa logika hukum (legal reasoning), dapat dilihat dalam arti luas dan juga dalam arti sempit. Logika hukum dalam arti luas, berpautan dengan aspek psikologis yang dialami oleh hakim dalam membuat suatu penalaran dan keputusan hukum. Dalam arti sempit, logika hukum dihubungkan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, dengan cara melakukan telaah terhadap model argumentasi, ketepatan, dan kesahihan alasan pendukung putusan, serta hubungan logika antara pertimbangan hukum dengan putusan yang dijatuhkannya. (Fuady, 2007).
Prof. Hadjon, mengemukakan bahwa dalam logika hukum dikenal tiga model, yaitu logika silogisme, logika proposisi, dan logika predikat. Untuk analisa penalaran, dikembangkan logika dianotis. Lebih lanjut Prof. Hadjon, mengatakan bahwa kekhususan logika hukum menurut Soetarman dan PW. Brouwer, adalah satu dalil yang kuat. Satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan lain adalah suatu "Conditio sine quo non" agar suatu keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi (Hadjon, 2007).
Dari berbagai pendapat dan pandangan tentang istilah dan pengertian logika tersebut di atas, maka meskipun secara redaksional berbeda antara satu dengan lainnya, akan tetapi ada prinsip yang mempautkannya yaitu logika selalu tentang kesahihan, kebenaran dan validitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan. (Qamar, Bushtami dkk, 2014).
Dari berbagai pendapat dan pandangan tentang istilah dan pengertian logika tersebut di atas, maka meskipun secara redaksional berbeda antara satu dengan lainnya, akan tetapi ada prinsip yang mempautkannya yaitu logika selalu tentang kesahihan, kebenaran dan validitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan. (Qamar, Bushtami dkk, 2014).
Penalaran hukum dalam kamus besar bahasa Indonesia, penalaran adalah suatu cara (perihal) menggunakan nalar atau hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman, bisa juga berarti proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip.
Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa penalaran merupakan sebuah bentuk pemikiran (Soekadijo, 2003).
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran (logika) dalam hukum’ (Urbanus, 2017).
Argumentasi hukum dalam kamus besar bahasa Indonesia, adalah alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Argumentasi merupakan karangan yang membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari sebuah pernyataan (statement). Dalam teks argumen penulis menggunakan berbagai strategi atau piranti retorika untuk meyakinkan pembaca ihwal kebenaran atau ketidakbenaran pernayataan tersebut (Alwasilah, 2005).
Nursisto menyatakan bahwa argumentasi adalah karangan yang berusaha memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Karangan argumentasi pasti memuat argumen, yaitu bukti dan alasan yang dapat meyakinkan orang lain bahwa pendapat yang disampaikan benar (Nursisto, 1999).
Argumentasi merupakan suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan penulis. Melalui argumentasi penulis mampu merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak. Dasar dari tulisan yang bersifat argumentatif adalah berpikir kritis dan logis. Hal tersebut menjadikan tulisan argumentasi harus didasarkan pada fakta-fakta yang logis. Keraf menyatakan bahwa menyatakan bahwa penalaran harus menjadi landasan sebuah tulisan argumentasi. Penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Berpikir yang berusaha menghubungkan untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran (Keraf, 2004).
Menurut Aceng Hasani, pengertian argumentasi adalah suatu karangan yang mencoba untuk mempengaruhi orang lain dengan menghadirkan bukti yang memperkuat argumen dimana penyajiannya dilakukan secara logis dan faktual dengan tujuan pembaca atau pendengar tertarik dengan yang dikemukakan oleh penulis. (Hasani, 2005).
Argumentasi hukum berasal dari istilah argumenteren(Belanda), atau argumentation (Inggris) yang selanjutnya dimaknakan argumentasi hukum atau nalar hukum. Argumentasi hukum atau nalar hukum bukan merupakan bagian dari logika, namun merupakan bagian dari teori hukum (Ruslan, 2006).
Logika dan penalaran hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum. Marry Massaron Ross dalam ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’, mengutip Wedell Holmes, menyatakan bahwa trainingbagi para lawyer tidak lain dari training logika. (Massaron, 2006). Ross menambahkan bahwa logika yang perlu diberikan kepada para lawyer, mahasiswa, bahkan juga hakim dan calon hakim (termasuk mahasiswa hukum) adalah analogi, “diskriminasi” (disanalogi), dan deduksi. Karena bahasa putusan pengadilan pada dasarnya adalah bahasa logika (Urbanus, 2017).
Pandangan tradisional bahwa hukum berisikan premis-premis yang komplet, formal, dan sistem yang teratur secara konseptual, memuaskan, normatif, objektif dan konsisten, perlu dipikirkan ulang. Anggapan bahwa sebagai sistem hukum dipercaya mampu memberikan solusi dan jawaban yang tepat dan benar bagi semua probem hukum terutama kasus yang di bawa ke pengadilan, sudah jauh ditinggalkan. Pandangan Justice Holmes bahwa “napas hukum bukan persoalan logis melainkan persoalan pengalaman” sudah ditentang berbagai pihak (Urbanus, 2017).
Ross, sebagai seorang praktisi hukum, mengatakan bahwa proses pengadilan di tingkat banding, lebih bekerja berdasarkan statuta, konstitusi tertulis, dan prinsip-prinsip logika untuk mengungkap kebenaran sebuah kasus dari pada pengalaman atau kenyataan (Massaron, 2006).
Ross menulis, “This, logic is critical on appeal. As a result, appellate advocates mustlearn how to best frame their arguments in the classic style of logic. Advocates who seek to prevail must test the logic of their arguments.Advocates must also search out any weakness in the logic of their opponent’sargument. The ability to engage in such analytically precise and logicalthinking is a hallmark of good advocacy. Like any skill, it requires practiceand training. Study of books on rhetoric and logic is helpful” (Massaron, 2006).
Thomas Halper dalam‘Logic in Judicial Reasoning’, (Halper, 1968) menyatakan bahwa penalaran hukum tidak banyak disukai oleh orang hukum sendiri. Persoalan hukum dianggap bukanlah persoalan logis. Logika dianggap berisikan kode-kode yang kaku dan tidak fleksibel tentang persoalan-persoalan hukum dan konsitusi yang begitu kompleks (Urbanus, 2017).
Argumentasi Hukum (legal argumentation) bagi komunitas pakar hukum merupakan suatu keharusan sebagai parameter keseimbangan antara penguasaan teori dengan implementasi dalam praktik hukum, sehingga segala bentuk problematika dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui debat konstruktif yang produktif, bukannya debat destruktif yang kontraproduktif (debat kusir) (Muttaqin, 2012). Sebelum diperkenalkan argumentasi hukum, seringkali kita diberikan suatu kuliah pengantar (Introductory Lecture) dalam rangka memberikan pemahaman yang baik mengenai argumentasi hukum, misalnya : Ilmu Logika Dasar, Ilmu Mantiq dan Logika Praktis. Yang membedakan di sini hanyalah istilah bahasa, sehingga dalam kepustakaan Inggris dikenal istilah “legal argumentation” atau “legal reasoning” serta dalam kepustakaan Prancis dikenal istilah “raison d’etre” (Muttaqin, 2006).
Tatkala kita membahas argumentasi hukum, maka kita tidak mungkin mengabaikan peranan logika. Logika secara terminologis, diartikan sebagai suatu metode yang penilaian terhadap ketepatan penalaran yang dipakai untuk menyampaikan suatu argumentasi, sedangkan teori argumentasi adalah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi (secara cepat dan jelas), serta rasional yang kemudian diimplementasikan dengan cara mengembangkan kreteria universal dan/atau kreteria yuridis sebagai suatu landasan rasional argumentasi hukum (Feteris, 1994).
Tulisan ini penulis maksudkan untuk menambah khazanah keilmuan tentang konstruksi berpikir dalam hukum, karena secara abstraksi logika dan penalaran serta argumentasi sangat diperlukan dalam mempelajari hukum.
0
1K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan