- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Tak Seindah Cinta yang Semestinya


TS
orysetha
Tak Seindah Cinta yang Semestinya
Quote:
Quote:
Semua itu bermula ketika aku dan sahabatku di SMP saling menelpon satu sama lain, mengabarkan bahwa kami berdua sama-sama lulus dengan nilai yang memuaskan. Hari-hari berikutnya diisi dengan kegiatan non akademis, seperti porak – pekan olahraga antar kelas, ataupun mencari info tentang sekolah SMA yang akan dituju selanjutnya. Aku dan sahabatku itu memilih SMA yang sama, dengan keyakinan bahwa pertemanan kita harus berlanjut terus.
Tidak selamanya yang kita mau harus terwujud, terbukti dengan perpisahan aku dengan sahabatku itu. Kami berbeda sekolah, namun komunikasi masih terjalin. Apalagi ketika berhubungan dengan game online, ketika pulang sekolah kami menyempatkan diri bermain bersama. Saat awal SMA dunia dihebohkan dengan media sosial baru yaitu Facebook. Tentu saja aku tidak mau ketinggalan, dan langsung membuatnya.
Teman-teman semasa SMP dan juga SD tidak luput dari pantauan, semuanya aku undang sebagai teman. Tidak itu saja, rasa penasaranku terhadap omongan temanku bahwa siswi di sana memiliki paras yang cantik. Meskipun level cantik itu relatif bagi semua orang, beda pandangan beda rasa. Tapi aku pun mencoba mencari lewat pertemanan temanku di Facebook itu. Benar saja, teman-temannya termasuk ke dalam kriteria cantik menurutku. Aku tambah satu-persatu, ajaibnya mereka semua menerima pertemananku.
Diantara semua yang aku tambah, ada satu perempuan yang menurutku memiliki paras wajah yang cantik. Ia putih, wajahnya sedikit bulat, matanya agak sipit dan rambutnya hitam panjang dengan poni samping. Kuperhatikan foto-fotonya didominasi gaya bebek yang begitu fenomenal pada jamannya, selain itu gaya menekuk wajahpun mendominasi album digitalnya itu. Ingin rasanya aku mengenalnya, meminta tolong kepada teman untuk sekedar meminta nomor ponselnya. Tapi semua kubatalkan, karena rasa malu dan juga perbedaan sekolah yang cukup jauh. Seperti prajurit yang menyerah sebelum perang dimulai.
Yang ku bisa lakukan hanyalah memandangi fotonya dan juga kadang-kadang memberikan reaksi pada saat ia memasang status. Aku tidak muluk-muluk, karena puluhan orang temannya juga melakukan hal sama.
Suatu ketika aku sedang di warnet, mengerjakan tugas dan membaca serial manga ninja favoritku. Aku sempatkan untuk membuka Facebook nya, banyak foto yang ia unggah waktu itu. Mungkin ada enam atau delapan foto yang diunggah bersamaan. Aku pun melihatnya, memberikan tanda ‘like’ disetiap fotonya. Lalu di satu foto aku terhenti, ada seorang perempuan yang memiliki senyuman yang manis. Entah mengapa jantungku berdegup kencang saat itu, karena baru kali ini aku melihat perempuan yang memiliki senyum yang indah. Lebar dengan memamerkan gigi-giginya yang dibalut oleh kawat gigi.
Untungnya perempuan itu di ‘tag’ olehnya, sehingga aku bisa menambahkannya sebagai teman. Belum ada semenit aku menambahkannya, perempuan itu sudah menerima undangan pertemananku. Saat itu aku berpikir bahwa perempuan ini bukanlah perempuan yang sombong dan bersikap jual mahal. Aku bisa berkata demikian karena perempuan cantik dan manis disekolahku bersikap seperti itu, dilirik saja mereka sudah membuang muka. Tidak lupa memungut muka mereka kembali ketika siswa lelaki tidak meliriknya lagi.
Sama seperti perempuan sebelumnya, rasanya ingin sekali mengenal perempuan manis ini. Diriku memang cepat pindah haluan, mungkin saat itu aku masih baper tingkat awal sehingga semua perempuan aku menyukainya. Lagi-lagi karena masalah malu, dan terlebih lagi temanku yang satu ini tidak terlalu dekat denganku. Kami memang tertawa bersama saat masa SMP, namun tidak sedekat dengan sahabatku itu. Karena aku rasa mustahil mendapatkan cinta di sekolah orang, maka sudah kucukupkan sampai sini saja.
Waktu berlalu cepat, aku dan sahabatku semasa SMP benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali. Kami nyaman dengan pertemanan baru masing-masing, dan akhirnya lulus dengan memori masa SMA yang lebih indah dengan sayup-sayup hilangnya memori masa SMP. Beranjak ke masa perkuliahan, aku banyak bertemu orang-orang baru. Benar-benar baru karena tidak hanya orang sekota saja, banyak orang dari daerah lainnya di Indonesia berkuliah di tempat aku kuliah.
Sebagai mahasiswa baru, setelah melakukan ospek yang melelahkan fisik dan bathin. Kami semua diminta menyelenggarakn suatu acara, seniorku sih bilangnya acara penyambutan mahasiswa baru. Teman-temanku yang lain sibuk memasuki unit-unit panitia penyelenggara, aku sendiri tidak berminat karena memang membuang waktuku saja. Acara pun berakhir dengan sukses, temanku dengan bangga menceritakan semuanya padaku. Lalu ia memintaku untuk ikut dengannya ke warnet untuk sekedar menyalin foto-fotonya.
Aku menolaknya secara halus, lalu menyarankannya agar melakukannya dirumahku saja karena aku memiliki akses internet sendiri dan juga lebih hemat pengeluaran, belum lagi kecepatan warnet dekat kampus yang sangat buruk jika banyak yang memakainya. Kami berdua berangkat kerumahku, lalu temanku mulai membuka Facebook nya untuk menyimpan semua foto kenangan saat menjadi panitia. Dengan rasa penasaran aku bertanya, kenapa tidak memintanya lewat flashdisk. Temanku menjawab bahwa jika dibagikan di Facebook maka semua orang dapat mengaksesnya langsung dan tidak menunggu giliran untuk diberikan file nya.
Aku dan temanku melihatnya satu-satu, berbagai keseruan terpancar dalam foto itu. Sedikitpun aku tidak iri dengan kegiatan mereka, karena dari awal aku memang tidak berniat mengikutinya. Lalu ada sebuah foto yang mengingatkanku pada sesuatu, seseorang yang tidak asing bagiku. Aku meminta temanku untuk berhenti sebentar, lalu bertanya siapa perempuan yang ada di foto tersebut.
Temanku hanya menggeser kursor ke arah wajah perempuan itu, lalu namanya ditampilkan secara otomatis. Aku bersigap mengambil ponselku lalu membuka Facebook, ternyata perempuan itu sudah berteman denganku. Lantas aku pun kaget, karena tidak ingat kapan aku menambahkannya sebagai teman. Saat aku buka album digitalnya, perempuan ini ternyata perempuan yang memiliki senyuman paling manis saat aku SMA.
Jantungku kembali berdegup kencang, aku kegirangan dalam hati. Perempuan yang sudah lama aku taksir kini berada di dalam kampus yang sama sepertiku. Aku berperilaku dingin kepada temanku itu, tidak ingin memberitahunya agar tidak menyebar kemana-mana. Apalagi perempuan itu masuk ke dalam jajaran panitia, sudah pasti orang-orang di sana sudah mengenalnya. Selanjutnya aku mengaguminya dalam diam, ia tipe perempuan yang jarang aktif di media sosial miliknya. Jadi aku gunakan sebagai bahan pencarian informasi, namun dari sana yang aku dapatkan hanyalah jurusannya saja. Masih satu fakultas denganku.
Pada suatu hari kelompokku mengajak tuk mengerjakan tugas bersama, kami tidak melakukannya di perpustakaan tetapi di sebuah kostan milik temanku yang seorang perempuan. Kami berangkat bersama dan betapa terkejutnya aku ketika teman perempuanku ini pernah satu kelompok saat sedang ospek, aku melihatnya dalam sebuah foto. Karena mereka teman-teman dekatku saat di kelas, maka aku buka semuanya jauh-jauh hari sebelum kerja kelompok ini. Dan mengetahui itu semua aku tentunya senang dan langsung meminta nomor ponsel perempuan yang aku taksir. Namun jawaban yang berakhir kekecewaan yang aku dapat. Teman perempuanku itu tidak mau memberinya dengan alasan belum meminta izin dan ia tidak mau repot ditanyai ini itu.
Pupus sudah harapanku waktu itu, namun temanku yang lain memberikan semangat. Lalu menanyakan apakah aku mempunyai teman lain yang kenal dengan perempuan itu. Aku jawab ada, temanku semasa SMP namun kami tidak sedekat yang mereka kira. Setelah menjawab seperti itu malah aku yang ditertawai, kenapa aku tidak melakukannya sedari dulu jika tahu bahwa perempuan itu mengenal teman masa SMP. Aku tidak berani memintanya, salah satu temanku merampas ponselku. Lalu bertanya siapa nama temanku itu, aku beritahu dan ia langsung mengirimkan pesan tanpa basa basi bertanya kabar atau bagaimana. Aku memperhatikan dari jauh teman-temanku itu malah membuat wajah yang berseri-seri.
Ponselku dikembalikan, lengkap dengan nomor perempuan yang aku taksir. Temanku begitu usil, ia menamai perempuan yang aku taksir dengan sebutan ‘sayang’ dibelakang namanya. Karena malu aku ganti menggunakan namanya saja. Di saat yang lain fokus kerja kelompok, aku malah bingung bagaimana memulai percakapannya. Temanku ini merebut ponselku lagi, tetapi kali ini aku mampu bertahan dan mulai mengetikan apapun yang ada diotaku. Sambil menunggu aku mengikuti jalannya kerja kelompok sambil berharap-harap cemas. Tanpa kusangka pesanku terbalas, sudah kuduga memang ia perempuan baik-baik. Balasan yang kuterima pun sangat hangat, padahal saat itu aku hanyalah orang asing baginya. Obrolan pun berlanjut sampai pesanku tidak terbalas lagi.
Aku menunggunya sampai malam tetap tidak ada balasan, barulah pagi harinya pesanku berbalas. Alasan klasiknya kemarin ia kecapekan dan memilih langsun istirahat saja. Aku memakluminya sambil membalas pesannya mengucapkan kata-kata penyemangat. Obrolan berlanjut dengan nyaman, membuat hariku lebih berwana. Walaupun belum sama sekali bertemu diakibatkan jadwal kami yang menyilang satu sama lain, jika aku ada kelas ia sedang santai begitupun sebaliknya. Tiba-tiba semuanya berubah ketika pesanku sama sekali tidak terbalas. Karena aku berpikiran ia tidak ingin diganggu lagi, maka aku mengirimkan pesan panjang yang sebelumnya berkonsultasi dengan temanku agar kata-kata yang aku ketikan tidak menyudutkannya.
Setelah aku kirim ternyata dibalasnya cepat, kali ini ia beralasan jarang mengisi pulsanya dan lebih fokus mengisi pulsa kuota BBM. Satu sisi aku senang pesanku kembali dibalas, satu sisinya aku sedih dikarenakan ponsel yang kumiliki bukanlah ponsel canggih pada jamannya itu. Sudah dipastikan semuanya berakhir, mungkin aku harus mencari perempuan lain saja. Tetapi lagi-lagi temanku memberikan semangat, menyarankan aku agar mengganti ponsel. Waktu itu adalah waktu yang sangat memalukan bagiku, aku merengek kepada orang tua agar minta dibelikan ponsel canggih berwarna hitam itu. Alasannya simpe, teman-temanku sudah beralih dari sms dan juga dosen lebih sering memberikan tugas dan jadwal pengganti lewat BBM.
Keinginanku pun terwujud, memiliki ponsel canggih yang sama dengan perempuan yang aku taksir. Ia menjadi salah satu orang pertama yang aku tambahkan kedalam pertemanan, dan komunikasi kami kembali seperti semula. Semuanya berjalan sangat lancar dan aku merasa bahwa kami sudah dekat walaupun hanya dalam maya. Hingga pada akhirnya kampusku kembali masuk setelah libur lebaran, tradisi maaf-maafan masih dilakukan. Pada hari itu aku bertemu dengannya, tetapi betapa bodohnya aku. Di situ aku hanya menyalami temannya saja, dan mendiamkannya mematung. Padahal dari raut wajahnya ia mengharapkan bahwa aku berbicara dengannya, ketika di BBM lancar sekali tetapi pas bertemu aku malah diam. Sebuah penyesalan yang amat sangat, tetapi untungnya ia masih mau membalas pesanku itu.
Lalu tibalah hari itu, hari di mana aku memutuskan untuk mengatakan semuanya pada perempuan yang aku taksir. Sudah berjalan berbulan-bulan saat pertama kali mengirimkan pesan singkat padanya lalu berlanjut di BBM. Temanku juga beranggapan bahwa waktunya sudah cukup panjang, dan memang harus dipastikan. Jika aku ingin melangkah ke hubungan yang lebih lanjut maka aku harus memberitahunya tentang perasaanku itu. Waktu itu kebetulan kampus sedang mengadakan ujian, dan ada salah satu hari semuanya dipertemukan dengan jadwal yang bersamaan. Aku tidak langsung mengeksekusi, tetapi meminta bantuan teman-temanku juga. Terutama temanku yang dulunya satu kelompok dengannya.
Rencana awalnya adalah temanku itu akan mengajaknya makan siang setelah ujian beres di salah satu tempat makan dekat kampus. Lalu di saat seperti itu aku dikondisikan secara tidak sengaja juga datang ke tempat makan yang sama. Temanku memintaku bergabung tuk makan bersama dan ketika sudah waktunya, mereka secara sukarela akan ‘pulang’ terlebih dahulu dan hanya menyisakan aku dengannya di meja itu. Baru mendengar rencananya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, aku menyiapkan mental bersiap dengan segala keadaan nantinya. Waktu ujian selesai, kami berkumpul dahulu sebelum menjalankan rencana. Tiba-tiba aku merasakan ada suatu hal yang tidak beres ketika aku melihat teman perempuanku itu jalan dengan raut wajah yang lesu.
Aku bertanya padanya dan jawabannya hanya menggelengkan kepalanya. Temanku itu gagal mengajaknya makan bersama dikarenakan perempuan yang ingin aku taksir ada janji dengan teman-temannya. Melihat status temanku yang hanya teman semasa ospek memang sudah pasti akan sulit bergaul ke tahap yang lebih jauh. Ia akan memilih teman sekelas dan sejurusannya dibandingkan hanya kenalan semasa ospek. Temanku pun meminta agar melakukannya di hari yang lain, tetapi aku menolaknya. Momen seperti ini sangat langka, di mana aku sudah bertekad tuk mengatakan semuanya. Akhirnya aku memberanikan diri meneleponnya, tetapi jemari ini sungguh berat hanya sekedar menekan tombol telepon.
Suasana kampus mulai sepi, orang-orang mulai pulang kerumahnya masing-masing. Dan aku masih berkutat dengan ponselku, temanku bukannya menambah semangat dengan menaikan moril tetapi mereka malah menertawakanku dikarenakan sikapku yang seperti orang dungu. Waktu semakin siang dan akhirnya aku beranikan untuk menekan nomornya, menunggu tuk dijawab. Suara lembut itu memberikan sapa terlebih dahulu, dikarenakan kami sudah saling menyimpan nomor masing-masing maka ia sudah tahu bahwa yang menelepon itu aku. Tidak ada basa-basi karena jadwalnya sudah molor dari waktu yang direncanakan, dan aku langsung memberitahu maksud dan tujuan aku menelepon dirinya. Aku mengajaknya bertemu karena ingin menyampaikan sesuatu, aku menolak mengucapkannya via telepon karena menurutku pesannya tidak akan sampai.
Setelah kudesak akhirnya perempuan yang aku taksir itu memberikan jawabannya, ia tidak bisa menemui sekarang ini karena sudah waktunya ia pulang dan sudah ada yang menjemputnya dari pihak keluarganya. Jawaban seperti itu sudah jelas bagiku, bahwa aku ditolak. Aku bisa berkesimpulan seperti itu karena ia sama sekali tidak memberiku kesempatan sedikitpun, aku akan senang jika ia memberi hari lain tuk bertemu. Aku pun akan menyempatkan waktuku sekalipun terhalang dengan jadwal. Tertawaan dari temanku menjadi penghibur rasa yang sangat pedih. Bukannya mereka tidak perduli dengan menertawakanku tetapi dengan membuat suasana yang lebih santai, dikarenakan tertawa itu sangat menular. Mereka berharap bahwa aku bisa mencari penggantinya dan tidak larut dalam kesedihan.
Dari kejadian itu komunikasi kami masih berlanjut sampai pada akhirnya lagi-lagi tidak ada balasan, aku sempat menghapusnya lalu berteman kembali tanpa ada rasa curiga bahwa aku telah menghapusnya. Ternyata semua itu memiliki alasan tersendiri, karena ia telah memilih laki-laki lain. Jadi ia sama sekali tidak merepotkan harus memikirkan ini itu di luar hubungannya. Aku sempat merenung apakah tindakan bodohku waktu itu merubah segalanya atau memang ia hanya menganggapku sebagai salah satu pemuja dari sekian banyak lelaki yang mendekatinya.
Memori ini akan selalu kuingat, bukan karena aku susah ‘move on’ tetapi sebagai pembelajaran saja bahwa kita harus siap menerima segala resikonya ketika mengagumi seseorang. Seperti halnya sepakbola, kalah menang itu biasa. Dari sini bahwa segala sesuatunya kadang tidak bisa seperti yang diharapkan. Jika kita sudah berusaha sekeras mungkin namun kenyataannya berbeda maka tidak perlu disesalkan. Perasaan mencinta itu merupakan perasaan yang paling tidak masuk akal, seakan-akan kita masuk ke dalam suatu dimensi yang sangat sulit untuk keluar darinya.
Tidak selamanya yang kita mau harus terwujud, terbukti dengan perpisahan aku dengan sahabatku itu. Kami berbeda sekolah, namun komunikasi masih terjalin. Apalagi ketika berhubungan dengan game online, ketika pulang sekolah kami menyempatkan diri bermain bersama. Saat awal SMA dunia dihebohkan dengan media sosial baru yaitu Facebook. Tentu saja aku tidak mau ketinggalan, dan langsung membuatnya.
Teman-teman semasa SMP dan juga SD tidak luput dari pantauan, semuanya aku undang sebagai teman. Tidak itu saja, rasa penasaranku terhadap omongan temanku bahwa siswi di sana memiliki paras yang cantik. Meskipun level cantik itu relatif bagi semua orang, beda pandangan beda rasa. Tapi aku pun mencoba mencari lewat pertemanan temanku di Facebook itu. Benar saja, teman-temannya termasuk ke dalam kriteria cantik menurutku. Aku tambah satu-persatu, ajaibnya mereka semua menerima pertemananku.
Diantara semua yang aku tambah, ada satu perempuan yang menurutku memiliki paras wajah yang cantik. Ia putih, wajahnya sedikit bulat, matanya agak sipit dan rambutnya hitam panjang dengan poni samping. Kuperhatikan foto-fotonya didominasi gaya bebek yang begitu fenomenal pada jamannya, selain itu gaya menekuk wajahpun mendominasi album digitalnya itu. Ingin rasanya aku mengenalnya, meminta tolong kepada teman untuk sekedar meminta nomor ponselnya. Tapi semua kubatalkan, karena rasa malu dan juga perbedaan sekolah yang cukup jauh. Seperti prajurit yang menyerah sebelum perang dimulai.
Yang ku bisa lakukan hanyalah memandangi fotonya dan juga kadang-kadang memberikan reaksi pada saat ia memasang status. Aku tidak muluk-muluk, karena puluhan orang temannya juga melakukan hal sama.
Suatu ketika aku sedang di warnet, mengerjakan tugas dan membaca serial manga ninja favoritku. Aku sempatkan untuk membuka Facebook nya, banyak foto yang ia unggah waktu itu. Mungkin ada enam atau delapan foto yang diunggah bersamaan. Aku pun melihatnya, memberikan tanda ‘like’ disetiap fotonya. Lalu di satu foto aku terhenti, ada seorang perempuan yang memiliki senyuman yang manis. Entah mengapa jantungku berdegup kencang saat itu, karena baru kali ini aku melihat perempuan yang memiliki senyum yang indah. Lebar dengan memamerkan gigi-giginya yang dibalut oleh kawat gigi.
Untungnya perempuan itu di ‘tag’ olehnya, sehingga aku bisa menambahkannya sebagai teman. Belum ada semenit aku menambahkannya, perempuan itu sudah menerima undangan pertemananku. Saat itu aku berpikir bahwa perempuan ini bukanlah perempuan yang sombong dan bersikap jual mahal. Aku bisa berkata demikian karena perempuan cantik dan manis disekolahku bersikap seperti itu, dilirik saja mereka sudah membuang muka. Tidak lupa memungut muka mereka kembali ketika siswa lelaki tidak meliriknya lagi.
Sama seperti perempuan sebelumnya, rasanya ingin sekali mengenal perempuan manis ini. Diriku memang cepat pindah haluan, mungkin saat itu aku masih baper tingkat awal sehingga semua perempuan aku menyukainya. Lagi-lagi karena masalah malu, dan terlebih lagi temanku yang satu ini tidak terlalu dekat denganku. Kami memang tertawa bersama saat masa SMP, namun tidak sedekat dengan sahabatku itu. Karena aku rasa mustahil mendapatkan cinta di sekolah orang, maka sudah kucukupkan sampai sini saja.
Waktu berlalu cepat, aku dan sahabatku semasa SMP benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali. Kami nyaman dengan pertemanan baru masing-masing, dan akhirnya lulus dengan memori masa SMA yang lebih indah dengan sayup-sayup hilangnya memori masa SMP. Beranjak ke masa perkuliahan, aku banyak bertemu orang-orang baru. Benar-benar baru karena tidak hanya orang sekota saja, banyak orang dari daerah lainnya di Indonesia berkuliah di tempat aku kuliah.
Sebagai mahasiswa baru, setelah melakukan ospek yang melelahkan fisik dan bathin. Kami semua diminta menyelenggarakn suatu acara, seniorku sih bilangnya acara penyambutan mahasiswa baru. Teman-temanku yang lain sibuk memasuki unit-unit panitia penyelenggara, aku sendiri tidak berminat karena memang membuang waktuku saja. Acara pun berakhir dengan sukses, temanku dengan bangga menceritakan semuanya padaku. Lalu ia memintaku untuk ikut dengannya ke warnet untuk sekedar menyalin foto-fotonya.
Aku menolaknya secara halus, lalu menyarankannya agar melakukannya dirumahku saja karena aku memiliki akses internet sendiri dan juga lebih hemat pengeluaran, belum lagi kecepatan warnet dekat kampus yang sangat buruk jika banyak yang memakainya. Kami berdua berangkat kerumahku, lalu temanku mulai membuka Facebook nya untuk menyimpan semua foto kenangan saat menjadi panitia. Dengan rasa penasaran aku bertanya, kenapa tidak memintanya lewat flashdisk. Temanku menjawab bahwa jika dibagikan di Facebook maka semua orang dapat mengaksesnya langsung dan tidak menunggu giliran untuk diberikan file nya.
Aku dan temanku melihatnya satu-satu, berbagai keseruan terpancar dalam foto itu. Sedikitpun aku tidak iri dengan kegiatan mereka, karena dari awal aku memang tidak berniat mengikutinya. Lalu ada sebuah foto yang mengingatkanku pada sesuatu, seseorang yang tidak asing bagiku. Aku meminta temanku untuk berhenti sebentar, lalu bertanya siapa perempuan yang ada di foto tersebut.
Temanku hanya menggeser kursor ke arah wajah perempuan itu, lalu namanya ditampilkan secara otomatis. Aku bersigap mengambil ponselku lalu membuka Facebook, ternyata perempuan itu sudah berteman denganku. Lantas aku pun kaget, karena tidak ingat kapan aku menambahkannya sebagai teman. Saat aku buka album digitalnya, perempuan ini ternyata perempuan yang memiliki senyuman paling manis saat aku SMA.
Jantungku kembali berdegup kencang, aku kegirangan dalam hati. Perempuan yang sudah lama aku taksir kini berada di dalam kampus yang sama sepertiku. Aku berperilaku dingin kepada temanku itu, tidak ingin memberitahunya agar tidak menyebar kemana-mana. Apalagi perempuan itu masuk ke dalam jajaran panitia, sudah pasti orang-orang di sana sudah mengenalnya. Selanjutnya aku mengaguminya dalam diam, ia tipe perempuan yang jarang aktif di media sosial miliknya. Jadi aku gunakan sebagai bahan pencarian informasi, namun dari sana yang aku dapatkan hanyalah jurusannya saja. Masih satu fakultas denganku.
Pada suatu hari kelompokku mengajak tuk mengerjakan tugas bersama, kami tidak melakukannya di perpustakaan tetapi di sebuah kostan milik temanku yang seorang perempuan. Kami berangkat bersama dan betapa terkejutnya aku ketika teman perempuanku ini pernah satu kelompok saat sedang ospek, aku melihatnya dalam sebuah foto. Karena mereka teman-teman dekatku saat di kelas, maka aku buka semuanya jauh-jauh hari sebelum kerja kelompok ini. Dan mengetahui itu semua aku tentunya senang dan langsung meminta nomor ponsel perempuan yang aku taksir. Namun jawaban yang berakhir kekecewaan yang aku dapat. Teman perempuanku itu tidak mau memberinya dengan alasan belum meminta izin dan ia tidak mau repot ditanyai ini itu.
Pupus sudah harapanku waktu itu, namun temanku yang lain memberikan semangat. Lalu menanyakan apakah aku mempunyai teman lain yang kenal dengan perempuan itu. Aku jawab ada, temanku semasa SMP namun kami tidak sedekat yang mereka kira. Setelah menjawab seperti itu malah aku yang ditertawai, kenapa aku tidak melakukannya sedari dulu jika tahu bahwa perempuan itu mengenal teman masa SMP. Aku tidak berani memintanya, salah satu temanku merampas ponselku. Lalu bertanya siapa nama temanku itu, aku beritahu dan ia langsung mengirimkan pesan tanpa basa basi bertanya kabar atau bagaimana. Aku memperhatikan dari jauh teman-temanku itu malah membuat wajah yang berseri-seri.
Ponselku dikembalikan, lengkap dengan nomor perempuan yang aku taksir. Temanku begitu usil, ia menamai perempuan yang aku taksir dengan sebutan ‘sayang’ dibelakang namanya. Karena malu aku ganti menggunakan namanya saja. Di saat yang lain fokus kerja kelompok, aku malah bingung bagaimana memulai percakapannya. Temanku ini merebut ponselku lagi, tetapi kali ini aku mampu bertahan dan mulai mengetikan apapun yang ada diotaku. Sambil menunggu aku mengikuti jalannya kerja kelompok sambil berharap-harap cemas. Tanpa kusangka pesanku terbalas, sudah kuduga memang ia perempuan baik-baik. Balasan yang kuterima pun sangat hangat, padahal saat itu aku hanyalah orang asing baginya. Obrolan pun berlanjut sampai pesanku tidak terbalas lagi.
Aku menunggunya sampai malam tetap tidak ada balasan, barulah pagi harinya pesanku berbalas. Alasan klasiknya kemarin ia kecapekan dan memilih langsun istirahat saja. Aku memakluminya sambil membalas pesannya mengucapkan kata-kata penyemangat. Obrolan berlanjut dengan nyaman, membuat hariku lebih berwana. Walaupun belum sama sekali bertemu diakibatkan jadwal kami yang menyilang satu sama lain, jika aku ada kelas ia sedang santai begitupun sebaliknya. Tiba-tiba semuanya berubah ketika pesanku sama sekali tidak terbalas. Karena aku berpikiran ia tidak ingin diganggu lagi, maka aku mengirimkan pesan panjang yang sebelumnya berkonsultasi dengan temanku agar kata-kata yang aku ketikan tidak menyudutkannya.
Setelah aku kirim ternyata dibalasnya cepat, kali ini ia beralasan jarang mengisi pulsanya dan lebih fokus mengisi pulsa kuota BBM. Satu sisi aku senang pesanku kembali dibalas, satu sisinya aku sedih dikarenakan ponsel yang kumiliki bukanlah ponsel canggih pada jamannya itu. Sudah dipastikan semuanya berakhir, mungkin aku harus mencari perempuan lain saja. Tetapi lagi-lagi temanku memberikan semangat, menyarankan aku agar mengganti ponsel. Waktu itu adalah waktu yang sangat memalukan bagiku, aku merengek kepada orang tua agar minta dibelikan ponsel canggih berwarna hitam itu. Alasannya simpe, teman-temanku sudah beralih dari sms dan juga dosen lebih sering memberikan tugas dan jadwal pengganti lewat BBM.
Keinginanku pun terwujud, memiliki ponsel canggih yang sama dengan perempuan yang aku taksir. Ia menjadi salah satu orang pertama yang aku tambahkan kedalam pertemanan, dan komunikasi kami kembali seperti semula. Semuanya berjalan sangat lancar dan aku merasa bahwa kami sudah dekat walaupun hanya dalam maya. Hingga pada akhirnya kampusku kembali masuk setelah libur lebaran, tradisi maaf-maafan masih dilakukan. Pada hari itu aku bertemu dengannya, tetapi betapa bodohnya aku. Di situ aku hanya menyalami temannya saja, dan mendiamkannya mematung. Padahal dari raut wajahnya ia mengharapkan bahwa aku berbicara dengannya, ketika di BBM lancar sekali tetapi pas bertemu aku malah diam. Sebuah penyesalan yang amat sangat, tetapi untungnya ia masih mau membalas pesanku itu.
Lalu tibalah hari itu, hari di mana aku memutuskan untuk mengatakan semuanya pada perempuan yang aku taksir. Sudah berjalan berbulan-bulan saat pertama kali mengirimkan pesan singkat padanya lalu berlanjut di BBM. Temanku juga beranggapan bahwa waktunya sudah cukup panjang, dan memang harus dipastikan. Jika aku ingin melangkah ke hubungan yang lebih lanjut maka aku harus memberitahunya tentang perasaanku itu. Waktu itu kebetulan kampus sedang mengadakan ujian, dan ada salah satu hari semuanya dipertemukan dengan jadwal yang bersamaan. Aku tidak langsung mengeksekusi, tetapi meminta bantuan teman-temanku juga. Terutama temanku yang dulunya satu kelompok dengannya.
Rencana awalnya adalah temanku itu akan mengajaknya makan siang setelah ujian beres di salah satu tempat makan dekat kampus. Lalu di saat seperti itu aku dikondisikan secara tidak sengaja juga datang ke tempat makan yang sama. Temanku memintaku bergabung tuk makan bersama dan ketika sudah waktunya, mereka secara sukarela akan ‘pulang’ terlebih dahulu dan hanya menyisakan aku dengannya di meja itu. Baru mendengar rencananya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, aku menyiapkan mental bersiap dengan segala keadaan nantinya. Waktu ujian selesai, kami berkumpul dahulu sebelum menjalankan rencana. Tiba-tiba aku merasakan ada suatu hal yang tidak beres ketika aku melihat teman perempuanku itu jalan dengan raut wajah yang lesu.
Aku bertanya padanya dan jawabannya hanya menggelengkan kepalanya. Temanku itu gagal mengajaknya makan bersama dikarenakan perempuan yang ingin aku taksir ada janji dengan teman-temannya. Melihat status temanku yang hanya teman semasa ospek memang sudah pasti akan sulit bergaul ke tahap yang lebih jauh. Ia akan memilih teman sekelas dan sejurusannya dibandingkan hanya kenalan semasa ospek. Temanku pun meminta agar melakukannya di hari yang lain, tetapi aku menolaknya. Momen seperti ini sangat langka, di mana aku sudah bertekad tuk mengatakan semuanya. Akhirnya aku memberanikan diri meneleponnya, tetapi jemari ini sungguh berat hanya sekedar menekan tombol telepon.
Suasana kampus mulai sepi, orang-orang mulai pulang kerumahnya masing-masing. Dan aku masih berkutat dengan ponselku, temanku bukannya menambah semangat dengan menaikan moril tetapi mereka malah menertawakanku dikarenakan sikapku yang seperti orang dungu. Waktu semakin siang dan akhirnya aku beranikan untuk menekan nomornya, menunggu tuk dijawab. Suara lembut itu memberikan sapa terlebih dahulu, dikarenakan kami sudah saling menyimpan nomor masing-masing maka ia sudah tahu bahwa yang menelepon itu aku. Tidak ada basa-basi karena jadwalnya sudah molor dari waktu yang direncanakan, dan aku langsung memberitahu maksud dan tujuan aku menelepon dirinya. Aku mengajaknya bertemu karena ingin menyampaikan sesuatu, aku menolak mengucapkannya via telepon karena menurutku pesannya tidak akan sampai.
Setelah kudesak akhirnya perempuan yang aku taksir itu memberikan jawabannya, ia tidak bisa menemui sekarang ini karena sudah waktunya ia pulang dan sudah ada yang menjemputnya dari pihak keluarganya. Jawaban seperti itu sudah jelas bagiku, bahwa aku ditolak. Aku bisa berkesimpulan seperti itu karena ia sama sekali tidak memberiku kesempatan sedikitpun, aku akan senang jika ia memberi hari lain tuk bertemu. Aku pun akan menyempatkan waktuku sekalipun terhalang dengan jadwal. Tertawaan dari temanku menjadi penghibur rasa yang sangat pedih. Bukannya mereka tidak perduli dengan menertawakanku tetapi dengan membuat suasana yang lebih santai, dikarenakan tertawa itu sangat menular. Mereka berharap bahwa aku bisa mencari penggantinya dan tidak larut dalam kesedihan.
Dari kejadian itu komunikasi kami masih berlanjut sampai pada akhirnya lagi-lagi tidak ada balasan, aku sempat menghapusnya lalu berteman kembali tanpa ada rasa curiga bahwa aku telah menghapusnya. Ternyata semua itu memiliki alasan tersendiri, karena ia telah memilih laki-laki lain. Jadi ia sama sekali tidak merepotkan harus memikirkan ini itu di luar hubungannya. Aku sempat merenung apakah tindakan bodohku waktu itu merubah segalanya atau memang ia hanya menganggapku sebagai salah satu pemuja dari sekian banyak lelaki yang mendekatinya.
Memori ini akan selalu kuingat, bukan karena aku susah ‘move on’ tetapi sebagai pembelajaran saja bahwa kita harus siap menerima segala resikonya ketika mengagumi seseorang. Seperti halnya sepakbola, kalah menang itu biasa. Dari sini bahwa segala sesuatunya kadang tidak bisa seperti yang diharapkan. Jika kita sudah berusaha sekeras mungkin namun kenyataannya berbeda maka tidak perlu disesalkan. Perasaan mencinta itu merupakan perasaan yang paling tidak masuk akal, seakan-akan kita masuk ke dalam suatu dimensi yang sangat sulit untuk keluar darinya.
Quote:
Tulisan : Pengalaman Pribadi
Gambar : Tertera
Gambar : Tertera






tien212700 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
442
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan