- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Kisah Cinta Pertama Yang Pelik


TS
zatilmutie
Kisah Cinta Pertama Yang Pelik
Cinta Pertama, Simalakama

Ilustrasi: Pexels
Kisah cinta pertamaku mungkin tidak seindah kisah lainnya, bahkan penuh dengan tangisan.
Hari itu seorang gadis berwajah oval dengan dekik manis di pipi putih nan halus menepuk pundakku pelan. Aku memang baru sebulan masuk di SMP ini. Sejak tadi aku memang melamun menatap rimbunnya rumpun bambu di belakang sekolah.
"Kenapa ngelamun, Mut?" tanyanya
"Ah, enggak. Lagi menikmati sejuknya udara di sini aja," jawabku menghindar.
Tentu saja bukan itu jawabannya, sejak aku masuk di sekolah ini, Diana yang pertama kali menjadi teman dekatku, bahkan bisa dibilang kami sekarang bersahabat.
Diana gadis yang pendiam, dia sangat pandai dan termasuk siswi yang cantik di sekolah itu. Sebagai siswi pindahan, tak gampang menemukan teman yang ramah dan baik. Diana memang berbeda dari yang, dia tak pernah pilih-pilih teman.
*
"Eh, kalian tau, gak?" Kata seorang siswi berbadan tambun.
"Tau, apaan?" timpal temannya yang berambut keriting penuh selidik
"Si Diana itu naksir sama Kak Rizki, loh," cerocosnya sambil mengunyah permen karet.
"Ah, yang bener, Des?"
"Eh, gak percaya? Aku liat sendiri dia nitipin surat sama sepupunya kakak ganteng itu."
Aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka di kantin. Sejak datang di sekolah baru ini, memang Rizki selalu menjadi buah bibir para siswi. Rumah kakak kelasku itu kebetulan terlewati jika kebetulan berjalan kaki dari rumah ke sekolah.
Rizki Altafariz, seorang ketua OSIS berwajah khas Arab, hidung mancung, kulit putih dan badan yang atletis. Prestasinya tak main-main. Dia juara umum setiap tahun, sering juara lomba pidato antar sekolah.
Orang tuanya adalah seorang pemilik yayasan pendidikan yang kini aku masuki. Mereka terkenal kaya raya, rumah megahnya berhiaskan hijaunya palem dan puluhan bonsai yang cantik. Itu yang sering aku lihat jika kebetulan melintas ke daerah itu.
*
Rimbunnya pohon bambu menaungi jalan kecil menuju sekolah. Aku tertegun melihat seorang siswa yang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah. Senyum manis terukir di bibirnya
"Ya, ampun! Dia ... dia tersenyum kepadaku?" Hati ini tiba-tiba meracau. Siapa yang tak terkesima dengan senyuman dan tatapan tajam milik Kak Rizki.
*
"Mut, aku mau curhat sama kamu, tapi ... jaga rahasia ini, ya." Suara Diana membuyarkan lamunanku.
"O-ok, aku selalu menyimpan rahasia, kok!" seruku. Tapi hati ini mulai berdebar.
"Aku menyukai seseorang. Tapi aku takut dia menolakku."
"Siapa, sih, yang akan menolak gadis cantik dan pintar seperti kamu, Diana?" Aku tersenyum memegang pundaknya.
"Ah, kamu. Aku bak pungguk merindukan bulan, banyak yang mengantre untuk jadi pacarnya, dan aku ...."
"Aku kenapa, yakinlah! Kamu pasti bisa, kok."
"Kamu tau siapa, Kak Rizki?" tanyanya dengan pipi bersemu merah.
"Kak Rizki? Jadi selama ini kamu menyukai dia?" Aku pura-pura, padahal, jauh di dalam sana hatiku terguncang hebat.
Ya Tuhan ... mengapa kami sama-sama menyukai Rizki?
Libur semester satu menjelang, ada lomba pidato tingkat kecamatan yang baru saja diumumkan oleh guru. Aku dengan antusias mendaftar. Pidato adalah salah satu ekstra kurikuler kesukaanku.
Mts-ku mengirimkan 2 orang peserta pidato, yaitu ; aku dan Rizki. Lomba pun berakhir dengan seru, setelah tim juri menjumlahkan nilai. Kini waktu yang menegangkan itu tiba, Diana menggenggam tanganku. Dia ikut mensuport sebagai penonton.
"Kami tim juri lomba pidato telah memutuskan bahwa hasil lomba pidato putri tahun ini diraih oleh ... Zatil Mutie dari SMP N 1 Cicurug!" Suara lantang juri bertubuh subur itu menggema ke seluruh penjuru aula.
Meisya dan aku berpelukkan, tak terasa air mataku menetes karena bahagia dapat mengharumkan nama sekola.
"Untuk juara pidato putra tahun ini jatuh kepada ... Rizki Altafariz dari sekolah yang sama, selamat untuk para juara." Lagi-lagi tepuk tangan penonton bergemuruh.
Aku dan Rizki berdiri di panggung, saling melempar senyum dan ucapan selamat. Semua siswa dan guru dari sekolahnya tersenyum bahagia.
*
Awal semester dua dimulai ....
Kulihat sesosok siswa berdiri dengan gelisah di tikungan jalan kecil menuju sekolah. Berkali-kali dia mengusap butiran peluh yang mulai membasahi dahinya. Aku melangkah dengan hati yang dag dig dug tak keruan.
"Hai! Mut." serunya, mengagetkan langkahku.
"Ya ampun! Kak Rizki, ngagetin aja!" jawabku pura-pura terkejut untuk mengalihkan rasa was-was.
"Jalan bareng, yuk!"
"A-apa! Jalan bareng?" Aku tergagap.
"Iya ... kamu gak apa-apa, kan?" Mata berbulu lebat itu menatap setajam elang, aku menunduk tak kuasa membalas tatapan yang sebenarnya telah menaburkan kepingan bunga-bunga merah muda di ruang hatiku
"Kok, diem? Ayo jalan! Nanti kesorean pulangnya," gumam Rizki sambil tersenyum.
"Ehm ... i-iya, Kak," jawabku gelagapan.
Aku berjalan dan saling terdiam dihujani helai daun bambu yang berjatuhan tersibak lembutnya angin sore. Hingga kami tiba di sebuah jembatan kecil dengan aliran sungai deras berhiaskan batu-batu besar. Rizki menarik tanganku.
"Mut ... selama ini aku ... aku mengagumimu." Suara Rizki memecah keheningan, tubuh mungilku terguncang.
Jawaban apa yang harus aku ungkapkan, sedangkan aku tahu Diana juga menyukai Rizki.
"A-aku--"
"Gak usah menjawab, Mut. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku menyukaimu sejak pertama kali kamu pindah ke sekolahku," ungkap Rizki tanpa ragu.
Aku hanya menunduk dengan perasaan bahagia dan bersalah.
Kami akhirnya pulang setelah gerimis mulai turun.
"Sya ... kenapa kamu tega! Di belakangku kau malah merebut orang yang kukagumi!" seru Diana sambil meremas ujung bajuku.
Ternyata sehak tadi dia menguntit dari kejauhan, dan hasilnya kini hatinya hancur. "Pagar makan tanaman" itulah istilah untukku kini. Cinta pertama yang dia impikan, harus hancur.
Aku berusaha menjelaskan. Jika aku belum menjawab pertanyaan Rizki.
Seminggu sudah Diana tak muncul di sekolah. Kabarnya dia sakit. Aku menengok ke rumahnya sore itu, tapi entah mengapa, gadis itu begitu acuh melihatku datang. Bahkan dia lebih sering membuang muka.
Kata ibunya memang sejak kecil Diana sering sakit dan sekarang dokter memvonis dia terkena sakit lever. Aku memeluknya, tapi Diana malah mendorongku.
"Jangan pura-pura kamu, Mut. Kamu seneng, kan, liat kondisiku sekarang?" Matanya menatapku tajam.
"Maksudmu apa, Di? Aku sedih kamu kaya gini," jawabku keheranan.
"Bohong! Aku tau, kok. Kamu jadian sama Kak Rizki, kan? Huh! Dasar pagar makan tanaman," cecar Diana tanpa menoleh.
"Kamu salah paham, Di. Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, memang benar dia menembakku, tapi aku menolaknya. Aku gak mau nyakitin kamu, dan ... aku emang gak menyukai dia," jawabku. Ada sembilu yang kini menyayatnya perlahan, aku harus menolak Rizki demi Diana, sahabatku. Padahal Rizki adalah pemuda pertama yang membuatku jatuh cinta.
"Oh, ya? Benarkah? Maafin aku, Mut." Diana memelukku. Airmata membanjiri pipiku. Aku mengalah demi kebahagiaan Diana.
"Mut, ajak dia ke sini, melihatku, untuk terakhir kalinya, ya."
"Hus! Kok, kamu ngomong kaya gitu, kamu pasti sembuh. Apalagi setelah bertemu dengan dia," godaku sambil tersenyum menjawil pipi Diana.
*
Sebulan berlalu, penyakit Diana semakin parah. Kata dokter, dia mengidap gangguan lever akut. Setiap hari nama Rizki yang disebutnya. Bahkan sampai mengigau memanggil nama itu.
*
"Kak, ayolah! Tengok Diana sebentar aja," pintaku kepada Rizki. "Siapa tahu dia akan sembuh jika melihat Kakak."
"Mut, kamu kenapa, sih? Dulu kamu nolak aku hanya gara-gara gak mau nyakitin Diana, sekarang kamu minta aku juga nemuin dia. Kamu tau? Sejak dulu dia mengejar-ngejar aku, tapi aku gak suka, dia terlalu sombong karena merasa dia itu juara kelas," papar Rizki.
Aku terperangah, begitu bencinya Rizki kepada sahabatku.
"Dia gak kaya gitu, Kak. Dia baik dan ... sejak dulu mengagumi Kakak." Aku tertunduk menahan kecamuk di jiwa yang harus mati-matian kupendam.
Rizki menatapku. Lalu tatapan lembutnya bertemu dengan mataku yang mulai basah.
"Jawab aku dengan jujur, Mut! Kamu menyukai aku, kan?"
Aku terdiam, daya magis yang kini ditebarkan oleh lensa kecokelatan itu benar-benar menghipnotisku. Lalu tanpa sadar kepalaku mengangguk.
"Ah, syukurlah! Makasih, ya, Mut," desah Rizki penuh haru.
"Ehm ... Kakak janji, kan? Kakak mau nemuin Diana, dan menyembunyikan semua ini?"
"Aku gak mungkin bisa berbohong, Mei. Kamu tau lambat laun dia juga akan tahu dari orang lain tentang hubungan kita!" kilah Rizki sambil meraih jemariku.
"Please, Kak? Dia sahabat baikku, aku gak mau dia tambah parah hanya karena aku."
"Ok, Mutie! Asal kamu senyum dulu," goda Rizki sambil mengguncang kepalaku lembut.
*
Baru saja kami memasuki lorong tunggu ruang rawat inap rumah sakit, tiba-tiba jerit dan tangis membahana dari kamar rawat inap. Dengan tergesa Rizki dan aku menuju ruang di ujung koridor itu.
Aku terkejut saat sosok yang selama ini aku sayangi kini terbujur kaku. Diana pergi setelah melawan sakit yang menggerogotinya, juga rasa cinta yang dia simpan untuk Rizki--siswa yang sejak lama dia kagumi--tapi tak pernah menolehnya sedikit pun.
"Diana ... Diana, Kak!" jeritku histeris, tanganku meronta saat tim dokter membawa tubuh kaku yang mengukir senyum itu dibawa untuk dimandikan.
"Maafin aku, Diana ...," gumam Rizki penuh sesal. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku merasa bersalah karena tak bisa membawa Rizki untuk bertemu dengan Diana. Mungkin jika Diana bertemu Rizki, sahabatku akan sembuh dan kembali ceria, tapi ... Tuhan lebih dulu memanggilnya.
*
Aku dan Rizki menaburkan bunga di atas pusara yang masih basah. Tangis ini pecah melepas kepergian sahabat karibku. Rizki mengusap lembut bahuku, dia juga tak menyangka secepat ini Diana akan pergi. Bahkan dia merasa berdosa karena tak sempat menengoknya.
Angin lembut menggoyang dedaunan di pinggir pemakaman, kami perlahan melangkah meninggalkan pusara Diana. Sungguh kisah cinta pertama ini begitu membekas dalam benakku hingga saat ini.
Cianjur, 20022021
Opini pribadi
Gambar: pexels.com

Ilustrasi: Pexels
Kisah cinta pertamaku mungkin tidak seindah kisah lainnya, bahkan penuh dengan tangisan.
Hari itu seorang gadis berwajah oval dengan dekik manis di pipi putih nan halus menepuk pundakku pelan. Aku memang baru sebulan masuk di SMP ini. Sejak tadi aku memang melamun menatap rimbunnya rumpun bambu di belakang sekolah.
"Kenapa ngelamun, Mut?" tanyanya
"Ah, enggak. Lagi menikmati sejuknya udara di sini aja," jawabku menghindar.
Tentu saja bukan itu jawabannya, sejak aku masuk di sekolah ini, Diana yang pertama kali menjadi teman dekatku, bahkan bisa dibilang kami sekarang bersahabat.
Diana gadis yang pendiam, dia sangat pandai dan termasuk siswi yang cantik di sekolah itu. Sebagai siswi pindahan, tak gampang menemukan teman yang ramah dan baik. Diana memang berbeda dari yang, dia tak pernah pilih-pilih teman.
*
"Eh, kalian tau, gak?" Kata seorang siswi berbadan tambun.
"Tau, apaan?" timpal temannya yang berambut keriting penuh selidik
"Si Diana itu naksir sama Kak Rizki, loh," cerocosnya sambil mengunyah permen karet.
"Ah, yang bener, Des?"
"Eh, gak percaya? Aku liat sendiri dia nitipin surat sama sepupunya kakak ganteng itu."
Aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka di kantin. Sejak datang di sekolah baru ini, memang Rizki selalu menjadi buah bibir para siswi. Rumah kakak kelasku itu kebetulan terlewati jika kebetulan berjalan kaki dari rumah ke sekolah.
Rizki Altafariz, seorang ketua OSIS berwajah khas Arab, hidung mancung, kulit putih dan badan yang atletis. Prestasinya tak main-main. Dia juara umum setiap tahun, sering juara lomba pidato antar sekolah.
Orang tuanya adalah seorang pemilik yayasan pendidikan yang kini aku masuki. Mereka terkenal kaya raya, rumah megahnya berhiaskan hijaunya palem dan puluhan bonsai yang cantik. Itu yang sering aku lihat jika kebetulan melintas ke daerah itu.
*
Rimbunnya pohon bambu menaungi jalan kecil menuju sekolah. Aku tertegun melihat seorang siswa yang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah. Senyum manis terukir di bibirnya
"Ya, ampun! Dia ... dia tersenyum kepadaku?" Hati ini tiba-tiba meracau. Siapa yang tak terkesima dengan senyuman dan tatapan tajam milik Kak Rizki.
*
"Mut, aku mau curhat sama kamu, tapi ... jaga rahasia ini, ya." Suara Diana membuyarkan lamunanku.
"O-ok, aku selalu menyimpan rahasia, kok!" seruku. Tapi hati ini mulai berdebar.
"Aku menyukai seseorang. Tapi aku takut dia menolakku."
"Siapa, sih, yang akan menolak gadis cantik dan pintar seperti kamu, Diana?" Aku tersenyum memegang pundaknya.
"Ah, kamu. Aku bak pungguk merindukan bulan, banyak yang mengantre untuk jadi pacarnya, dan aku ...."
"Aku kenapa, yakinlah! Kamu pasti bisa, kok."
"Kamu tau siapa, Kak Rizki?" tanyanya dengan pipi bersemu merah.
"Kak Rizki? Jadi selama ini kamu menyukai dia?" Aku pura-pura, padahal, jauh di dalam sana hatiku terguncang hebat.
Ya Tuhan ... mengapa kami sama-sama menyukai Rizki?
Libur semester satu menjelang, ada lomba pidato tingkat kecamatan yang baru saja diumumkan oleh guru. Aku dengan antusias mendaftar. Pidato adalah salah satu ekstra kurikuler kesukaanku.
Mts-ku mengirimkan 2 orang peserta pidato, yaitu ; aku dan Rizki. Lomba pun berakhir dengan seru, setelah tim juri menjumlahkan nilai. Kini waktu yang menegangkan itu tiba, Diana menggenggam tanganku. Dia ikut mensuport sebagai penonton.
"Kami tim juri lomba pidato telah memutuskan bahwa hasil lomba pidato putri tahun ini diraih oleh ... Zatil Mutie dari SMP N 1 Cicurug!" Suara lantang juri bertubuh subur itu menggema ke seluruh penjuru aula.
Meisya dan aku berpelukkan, tak terasa air mataku menetes karena bahagia dapat mengharumkan nama sekola.
"Untuk juara pidato putra tahun ini jatuh kepada ... Rizki Altafariz dari sekolah yang sama, selamat untuk para juara." Lagi-lagi tepuk tangan penonton bergemuruh.
Aku dan Rizki berdiri di panggung, saling melempar senyum dan ucapan selamat. Semua siswa dan guru dari sekolahnya tersenyum bahagia.
*
Awal semester dua dimulai ....
Kulihat sesosok siswa berdiri dengan gelisah di tikungan jalan kecil menuju sekolah. Berkali-kali dia mengusap butiran peluh yang mulai membasahi dahinya. Aku melangkah dengan hati yang dag dig dug tak keruan.
"Hai! Mut." serunya, mengagetkan langkahku.
"Ya ampun! Kak Rizki, ngagetin aja!" jawabku pura-pura terkejut untuk mengalihkan rasa was-was.
"Jalan bareng, yuk!"
"A-apa! Jalan bareng?" Aku tergagap.
"Iya ... kamu gak apa-apa, kan?" Mata berbulu lebat itu menatap setajam elang, aku menunduk tak kuasa membalas tatapan yang sebenarnya telah menaburkan kepingan bunga-bunga merah muda di ruang hatiku
"Kok, diem? Ayo jalan! Nanti kesorean pulangnya," gumam Rizki sambil tersenyum.
"Ehm ... i-iya, Kak," jawabku gelagapan.
Aku berjalan dan saling terdiam dihujani helai daun bambu yang berjatuhan tersibak lembutnya angin sore. Hingga kami tiba di sebuah jembatan kecil dengan aliran sungai deras berhiaskan batu-batu besar. Rizki menarik tanganku.
"Mut ... selama ini aku ... aku mengagumimu." Suara Rizki memecah keheningan, tubuh mungilku terguncang.
Jawaban apa yang harus aku ungkapkan, sedangkan aku tahu Diana juga menyukai Rizki.
"A-aku--"
"Gak usah menjawab, Mut. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku menyukaimu sejak pertama kali kamu pindah ke sekolahku," ungkap Rizki tanpa ragu.
Aku hanya menunduk dengan perasaan bahagia dan bersalah.
Kami akhirnya pulang setelah gerimis mulai turun.
"Sya ... kenapa kamu tega! Di belakangku kau malah merebut orang yang kukagumi!" seru Diana sambil meremas ujung bajuku.
Ternyata sehak tadi dia menguntit dari kejauhan, dan hasilnya kini hatinya hancur. "Pagar makan tanaman" itulah istilah untukku kini. Cinta pertama yang dia impikan, harus hancur.
Aku berusaha menjelaskan. Jika aku belum menjawab pertanyaan Rizki.
Seminggu sudah Diana tak muncul di sekolah. Kabarnya dia sakit. Aku menengok ke rumahnya sore itu, tapi entah mengapa, gadis itu begitu acuh melihatku datang. Bahkan dia lebih sering membuang muka.
Kata ibunya memang sejak kecil Diana sering sakit dan sekarang dokter memvonis dia terkena sakit lever. Aku memeluknya, tapi Diana malah mendorongku.
"Jangan pura-pura kamu, Mut. Kamu seneng, kan, liat kondisiku sekarang?" Matanya menatapku tajam.
"Maksudmu apa, Di? Aku sedih kamu kaya gini," jawabku keheranan.
"Bohong! Aku tau, kok. Kamu jadian sama Kak Rizki, kan? Huh! Dasar pagar makan tanaman," cecar Diana tanpa menoleh.
"Kamu salah paham, Di. Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, memang benar dia menembakku, tapi aku menolaknya. Aku gak mau nyakitin kamu, dan ... aku emang gak menyukai dia," jawabku. Ada sembilu yang kini menyayatnya perlahan, aku harus menolak Rizki demi Diana, sahabatku. Padahal Rizki adalah pemuda pertama yang membuatku jatuh cinta.
"Oh, ya? Benarkah? Maafin aku, Mut." Diana memelukku. Airmata membanjiri pipiku. Aku mengalah demi kebahagiaan Diana.
"Mut, ajak dia ke sini, melihatku, untuk terakhir kalinya, ya."
"Hus! Kok, kamu ngomong kaya gitu, kamu pasti sembuh. Apalagi setelah bertemu dengan dia," godaku sambil tersenyum menjawil pipi Diana.
*
Sebulan berlalu, penyakit Diana semakin parah. Kata dokter, dia mengidap gangguan lever akut. Setiap hari nama Rizki yang disebutnya. Bahkan sampai mengigau memanggil nama itu.
*
"Kak, ayolah! Tengok Diana sebentar aja," pintaku kepada Rizki. "Siapa tahu dia akan sembuh jika melihat Kakak."
"Mut, kamu kenapa, sih? Dulu kamu nolak aku hanya gara-gara gak mau nyakitin Diana, sekarang kamu minta aku juga nemuin dia. Kamu tau? Sejak dulu dia mengejar-ngejar aku, tapi aku gak suka, dia terlalu sombong karena merasa dia itu juara kelas," papar Rizki.
Aku terperangah, begitu bencinya Rizki kepada sahabatku.
"Dia gak kaya gitu, Kak. Dia baik dan ... sejak dulu mengagumi Kakak." Aku tertunduk menahan kecamuk di jiwa yang harus mati-matian kupendam.
Rizki menatapku. Lalu tatapan lembutnya bertemu dengan mataku yang mulai basah.
"Jawab aku dengan jujur, Mut! Kamu menyukai aku, kan?"
Aku terdiam, daya magis yang kini ditebarkan oleh lensa kecokelatan itu benar-benar menghipnotisku. Lalu tanpa sadar kepalaku mengangguk.
"Ah, syukurlah! Makasih, ya, Mut," desah Rizki penuh haru.
"Ehm ... Kakak janji, kan? Kakak mau nemuin Diana, dan menyembunyikan semua ini?"
"Aku gak mungkin bisa berbohong, Mei. Kamu tau lambat laun dia juga akan tahu dari orang lain tentang hubungan kita!" kilah Rizki sambil meraih jemariku.
"Please, Kak? Dia sahabat baikku, aku gak mau dia tambah parah hanya karena aku."
"Ok, Mutie! Asal kamu senyum dulu," goda Rizki sambil mengguncang kepalaku lembut.
*
Baru saja kami memasuki lorong tunggu ruang rawat inap rumah sakit, tiba-tiba jerit dan tangis membahana dari kamar rawat inap. Dengan tergesa Rizki dan aku menuju ruang di ujung koridor itu.
Aku terkejut saat sosok yang selama ini aku sayangi kini terbujur kaku. Diana pergi setelah melawan sakit yang menggerogotinya, juga rasa cinta yang dia simpan untuk Rizki--siswa yang sejak lama dia kagumi--tapi tak pernah menolehnya sedikit pun.
"Diana ... Diana, Kak!" jeritku histeris, tanganku meronta saat tim dokter membawa tubuh kaku yang mengukir senyum itu dibawa untuk dimandikan.
"Maafin aku, Diana ...," gumam Rizki penuh sesal. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku merasa bersalah karena tak bisa membawa Rizki untuk bertemu dengan Diana. Mungkin jika Diana bertemu Rizki, sahabatku akan sembuh dan kembali ceria, tapi ... Tuhan lebih dulu memanggilnya.
*
Aku dan Rizki menaburkan bunga di atas pusara yang masih basah. Tangis ini pecah melepas kepergian sahabat karibku. Rizki mengusap lembut bahuku, dia juga tak menyangka secepat ini Diana akan pergi. Bahkan dia merasa berdosa karena tak sempat menengoknya.
Angin lembut menggoyang dedaunan di pinggir pemakaman, kami perlahan melangkah meninggalkan pusara Diana. Sungguh kisah cinta pertama ini begitu membekas dalam benakku hingga saat ini.
Cianjur, 20022021
Opini pribadi
Gambar: pexels.com






derinurhandi dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.1K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan