- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Dilema Virtual Police, Dijepit Perang ITE PDIP vs Nasdem


TS
NegaraTerbaru
Dilema Virtual Police, Dijepit Perang ITE PDIP vs Nasdem
Spoiler for Jokowi dan Plate:
Spoiler for video:
Rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa dibilang ‘hangat-hangat tahi ayam’. Niat pemerintahan Jokowi untuk merevisi UU ITE justru berubah menjadi membuat pedoman interpretasi terhadap UU tersebut.
Menkominfo Johnny G Plate mengatakan jajarannya akan membuat pedoman interpretasi UU ITE. "Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran," ujarnya pada 16 Februari 2021 lalu.
Menteri Plate bahkan berargumen pasal karet yang ada di UU ITE sebenarnya sudah tepat secara konstitusional karena telah mengalami uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ia juga menegaskan Pemerintah bersama DPR RI telah melakukan revisi terhadap UU ITE pada 2016. Dengan kata lain, Pemerintah tidak perlu melakukan revisi UU ITE, cukup dengan membuat pedoman interpretasi terkait UU tersebut.
Sumber : Kompas[Rencana Revisi UU ITE Berubah Jadi Pedoman Interpretasi]
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyoroti sikap anak buah presiden itu. Alih-alih mempersiapkan revisi, anak buah Presiden justru mengarahkan pada pembuatan pedoman interpretasi. Ia menduga ada dua kemungkinan mengapa hal tersebut justru terjadi. Pertama, jajaran di bawah presiden tidak menangkap pesan presiden dengan baik. Kedua, memang sengaja dirancang seperti itu, mengubah revisi menjadi interpretasi.
Rivanlee mengatakan pembuatan pedoman interpretasi tak tepat dan justru berpotensi menjadi ruang baru melakukan kriminalisasi. Ia menegaskan, jika pemerintah serius ingin dikritik sekaligus memberikan jaminan rasa keadilan bagi masyarakat, maka pasal karet UU ITE harus dicabut.
Sumber : Tempo [KontraS Duga Anak Buah Jokowi Tak Menangkap Pesan soal Revisi UU ITE]
Pertanyaannya, yang manakah menjadi kendala pemerintah dalam polemik UU ITE? Apakah memang wacana revisi UU ITE sengaja didesain menjadi interpretasi UU ITE? Atau memang anak buah Presiden salah menangkap maksud dari perintah revisi UU itu.
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah akan mendiskusikan inisiatif merevisi UU ITE. "Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi," kata Mahfud pada 15 Februari 2021.
Sumber : Merdeka [Mahfud MD: Pemerintah akan Mendiskusikan Inisiatif Revisi UU ITE]
Sehingga kemungkinan yang terjadi adalah anak buah presiden seperti Menkominfo Plate tidak benar-benar menangkap maksud dari presiden dengan memilih menggunakan interpretasi terhadap UU ITE. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah Menkopolhukam saja menangkap maksud dari presiden, yakni revisi pasal karet yang ada di UU ITE. Mengapa Menkominfo Plate justru memilih jalan yang berbeda?
Hal ini mengingatkan penulis pada ucapan politikus Demokrat Andi Arief pada 16 Februari 2021 lalu. Ia mengatakan Presiden Jokowi belum memiliki warisan besar tentang demokrasi dan kemakmuran. Bahkan warisan sebagai presiden dua periode cenderung negatif. Andi mengingatkan bahwa waktu efektif Jokowi untuk berkuasa tinggal setahun saja, lantaran partai-partai akan mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Seperti mempersiapkan verifikasi, pendaftaran, dan penyusunan caleg/capres.
Warisan positif untuk kemakmuran sulit didapatkan karena krisis kembar ekonomi dan pandemi yang belum ada tanda-tanda bisa teratasi. Oleh karena itu, warisan yang paling mungkin dibukukan Jokowi adalah warisan demokrasi, yaitu dengan mengembalikan kebebasan berpendapat.
Sumber : Rmol [Andi Arief: Jokowi Belum Punya Legasi Besar Tentang Demokrasi Dan Kemakmuran]
Itulah mengapa bila dari sudut pandang politik, tujuan Presiden Jokowi mewacanakan revisi UU ITE adalah demi adanya warisan positif terhadap demokrasi.
Negatifnya warisan Presiden Jokowi dapat terlihat dari merosotnya elektabilitas partai yang menaunginya, yakni PDIP. Survei yang dilakukan pada Maret 2020 lalu menunjukkan adanya penurunan elektabilitas PDIP sebesar 7,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Dari awalnya 29,8 persen menjadi 22,2 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan partai yang menaungi Menkominfo Plate, yakni Nasdem, di mana partai pimpinan Surya Paloh itu mengalami kenaikan elektabilitas sebesar 1 persen. Dari awalnya 2,3 persen di bulan Februari menjadi 3,3 persen di bulan Maret.
Sumber : Kompas [Survei: Elektabilitas PDI Perjuangan Terjun Bebas]
PDIP dan Presiden Jokowi menyadari betul masa politiknya hanya akan sampai 2024 sehingga perlu revisi UU ITE sebagai cara PDIP mencegah masa pendukung Jokowi direbut partai lain. Namun dalam hal ini pula Menkominfo Plate dan NasDem menyadari bahwa pasal karet UU ITE adalah celah menciptakan skenario blunder bagi presiden. Itulah mengapa Menteri Plate mempertahankan pasal di UU ITE lewat reinterpretasi UU ITE demi merebut massa pendukung Jokowi. UU ITE menjadi medan perang politik antara PDIP dengan Nasdem.
Setiap perang tentu akan menghasilkan korban. Perang politik kedua partai akan berdampak, tak hanya terhadap rakyat namun juga dari aparat penegak hukum.
Pihak Kepolisian berupaya mengedukasi masyarakat terkait UU ITE melalui program Virtual Police. Pendekatan dari Virtual Police yaitu mengedepankan edukasi dan imbauan kepada masyarakat di dunia maya ketimbang penindakan. Tujuannya untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui media sosial mengenai UU ITE. Virtual Police sendiri nantinya akan dibentuk di bawah Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (CCIC Polri).
Dengan ikut campurnya Kominfo dalam interpretasi UU ITE, maka pada 18 Februari 2021, pihak Kepolisian mengatakan akan berkoordinasi dengan Kemenkominfo dalam membentuk satuan khusus digital tersebut. Satgas bersama Virtual Police inilah yang nantinya akan menjadi perang politik antara PDIP dengan Nasdem.
Sumber : INews [Utamakan Edukasi UU ITE, Polri dan Kominfo Bakal Bentuk Satuan Khusus Digital]
Kolaborasi Kominfo dengan CCIC Polri hanya akan membuka persoalan yang sama, meski dalam hal Virtual Police, CCIC Polri berperan sebagai lead. Sebab, meski Kominfo selama ini telah berada di garis depan dalam penanganan informasi yang beredar di publik, tetap saja Kominfo melakukan blunder dan cenderung membela kepentingan pemerintah. Kominfo acap kali memukul mundur kritikus lewat daftar hoaks yang tidak didasari uji ilmiah, bahkan meng-hoaks-kan kritik dengan daftar opini tersebut.
Perang politik PDIP dengan Nasdem pada akhirnya akan membuat posisi penegak hukum serba salah. Namun ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menyiasatinya.
Pilihan pertama, CCIC Polri mengendalikan penuh arah dan pelaksanaan Virtual Police di lapangan, serta tidak melibatkan buzzer dalam pelaksanaannya. Ingat Buzze(Rp) pendukung istana kini memiliki citra yang buruk. Pola ini membutuhkan kesiapan pihak Kepolisian untuk merealisasikan Virtual Police yang jauh dari blunder. Kelebihan posisi ini, Polri betul-betul menjadi perubahan paradigma UU ITE yang digagas Kapolri. Kelemahannya, CCIC Polri harus siap mencegah timbulnya blunder.
Pilihan kedua, Polri membiarkan CCIC Polri menjadi lead, dan Kominfo menjadi tombak pelaksanaan Virtual Police. Namun harus ditekankan kepada masyarakat bahwa pelaksanaan Virtual Police berada di bawah kendali Kominfo. Sehingga ketika terjadi blunder maka Polisi bisa lepas tangan dan membiarkan bola panas berpusar di Kominfo. Kelebihan posisi ini, Polri tidak perlu terlalu repot karena tanggung jawab ada di Kominfo. Kelemahannya, Virtual Police telah dianggap publik sebagai gagasan Kapolri. Jika Kominfo blunder dalam pelaksanaan Virtual Police, maka kritikus bisa menilai sebagai kegagalan Kapolri.
Diubah oleh NegaraTerbaru 21-02-2021 21:06






keniapardede dan 3 lainnya memberi reputasi
4
882
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan