- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Salah Asuh UU ITE Lahirkan Super Kominfo


TS
NegaraTerbaru
Salah Asuh UU ITE Lahirkan Super Kominfo
Spoiler for Plate dan daftar hoaks:
Spoiler for Video:
Isu reshuffle jilid II gugur. Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan merombak kabinet dalam waktu dekat. Presiden ke-7 Indonesia itu berdalih bahwa pemerintah saat ini masih fokus menangani pandemi Covid-19.
"Enggak ada! Saya tegaskan, enggak ada reshuffle. Pemerintah masih fokus menangani pandemi," kata Jokowi saat berjumpa dengan sejumlah pimpinan redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Februari 2021.
Sumber : CNN Indonesia[Fokus Pandemi, Jokowi Tegaskan Tidak Ada Reshuffle]
Isu reshuffle jilid II sendiri berhembus ketika Presiden Jokowi menjadi sorotan perihal pernyataannya yang minta dikritik. Isu tersebut bahkan diutarakan oleh pendukungnya sendiri, Relawan Jokowi Mania (Joman) Emmanuel ‘Noel’ Ebezener.
Noel yang juga Direktur Utama salah satu perusahaan pelat merah, mengungkapkan pada 15 Februari 2021, bahwa Jokowi telah mengantongi tiga nama menteri dan dokumen-dokumennya sudah berada di atas meja Presiden. Jokowi hanya tinggal melakukan pelaksanaaan reshufflenya.
“Reshuffle jilid dua sudah pasti di atas meja Presiden. Yang direshuffle itu tiga kementerian,” kata Noel.
Sumber : Fajar [Isu Reshuffle Jilid II Muncul, Noel: 3 Nama Menteri Sudah di Meja Jokowi]
Sungguh disayangkan, kesempatan untuk mengaktifkan kembali citra pemerintah yang demokratis tidak dimanfaatkan Presiden Jokowi. Keengganan Presiden Jokowi untuk mereshuffle kabinetnya setelah desakan untuk Revisi UU ITE, bahkan akan menghasilkan situasi yang lebih berbahaya bagi demokrasi itu sendiri.
Pada 15 Februari 2021 lalu, di hadapan para pimpinan TNI-Polri, Jokowi menyoroti Undang-Undang ITE. Ia menyebutkan pelaksaaan UU ITE yang seharusnya mampu menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, dan beretika ternyata justru menimbulkan rasa ketidakadilan.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo benar-benar selektif memilah laporan berdasarkan UU ITE.
Ia juga meminta agar ada pedoman interpretasi resmi terhadap pasal yang ada di Undang-Undang ITE agar jelas. Namun jika UU ITE tidak mampu jua memberikan rasa keadilan, maka ia akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, terutama menghapus pasal-pasal yang penafsirannya mudah diinterpretasikan secara sepihak. Sehingga tidak ada lagi penggunaan pasal-pasal karet UU ITE untuk mengkriminalisasi pihak tertentu.
Sumber : CNBC Indonesia [Dear Pak Jokowi, Ini Lho 9 Pasal 'Karet' dalam UU ITE]
Kapolri lantas merespon perintah itu dengan memberikan instruksi kepada jajarannya untuk membuat panduan tentang penyelesaian kasus-kasus yang menggunakan UU ITE. Salah satunya terkait laporan-laporan yang bersifat delik aduan berdasarkan UU ITE yang selama ini dapat diwakilkan pihak lain. Ia meminta agar pelapor nantinya haruslah korban yang merasa dirugikan.
Sumber : Kompas [Kapolri Ingin Pelapor UU ITE Harus Korban, Tak Bisa Diwakilkan]
Akan tetapi, langkah Kapolri tersebut hanya akan sia-sia jika pola pikir Menkominfo dalam menyikapi suatu informasi tidak berubah.
Kita semua tahu bahwa Kominfo, terutama semenjak pandemi Covid-19 telah mengeluarkan berbagai daftar hoaks. Sayangnya daftar hoaks yang diterbitkan Kementerian yang dipimpin Johnny G Plate tersebut dibuat secara sepihak tanpa uji ilmiah bahkan acap kali hanya didasari opini Kominfo secara spekulatif.
Sumber : Tempo [Kominfo Temukan 1.402 Hoaks Soal Covid-19]
Tidak percaya? Coba saja tengok contoh saat Presiden Jokowi mengatakan akan mengimpor Klorokuin dan Avigan demi menyembuhkan pasien corona pada 20 Maret 2020 silam. Padahal sebelumnya Menkominfo Plate pernah menempelkan stempel hoaks terkait informasi yang menyebut obat Klorokuin dapat menyembuhkan virus corona.
Sumber : KataData [Kominfo Cabut Stempel Hoax soal Klorokuin Bisa Sembuhkan Virus Corona]
Maih kurang bukti? Tengoklah betapa mudahnya Kominfo menyatakan bahwa kemungkinan virus corona berasal dari laboratorium pemerintah China yang bocor sebagai hoaks, hanya karena belum ditemukan bukti pendukung sementara penyelidikan asal usul virus tersebut masih terus dilakukan. Menkominfo Plate justru lebih memilih mempercayai secara mutlak pernyataan Pemerintah China yang mengatakan virus corona berasal dari pasar makanan laut di Wuhan.
Sumber : Kominfo [[DISINFORMASI] Virus Corona Merupakan Senjata Biologis yang Bocor dari Laboratorium Wuhan]
Tak tahukah Menkominfo Plate bahwa pada 11 Februari 2021, tim ahli yang ditunjuk oleh WHO telah memperoleh sejumlah petunjuk setelah menyelesaikan misi 28 hari menyelidiki asal mula virus corona di China?
Pakar penyakit hewan terkemuka WHO, Peter Ben Embarek mengatakan bahwa ada empat skenario utama tentang cara virus SARS-CoV-2 (penyebab dari Covid-19) dapat menyebar ke manusia. Salah satu skenario tersebut adalah kebocoran virus dari laboratorium di Institut Virologi Wuhan.
Meski Peter mengatakan skenario itu sangat tidak mungkin terjadi, namun bukankah ini pertanda skenario virus Corona berasal dari kebocoran laboratorium tetap ada? Kecil kemungkinan terjadi bukan berarti ia tak mungkin terjadi. Tapi mengapa Menkominfo masih menyatakan info tersebut sebagai hoaks?
Sumber : Kompas [4 Skenario Asal Mula Virus Corona di Wuhan Menurut WHO]
Dari daftar hoaks yang diterbitkan oleh Kominfo kita dapat simpulkan bahwa mekanisme pelabelan hoaks oleh Kominfo didominasi dari rujukan pernyataan resmi pejabat serta jurnalisme media massa. Ingat, keduanya bukanlah rujukan primer dalam metodologi riset ilmiah.
Oleh karena itu, jika suatu informasi dari ranah sains yang masih harus diselidiki lebih lanjut dapat dengan mudah dilabeli hoaks oleh Kominfo, bagaimana dengan informasi yang bersifat politis?
Kita ambil contoh saja kasus UU ITE yang sempat ramai baru-baru ini, yakni antara Abu Janda dengan Natalius Pigai terkait pernyataan rasis. Seandainya Natalius Pigai melaporkan langsung Abu Janda terkait kasus rasisme yang menimpa dirinya. Lalu Abu Janda yang memiliki kedekatan dengan pemerintah meminta agar Kominfo menerbitkan daftar pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai rasis yang menguntungkan Abu Janda sebelum proses penyelidikan terhadapnya berjalan. Maka penegakan hukum nantinya akan selalu dianggap berat sebelah.
Jika penegak hukum membela Natalius, maka akan bertentangan dengan kategori pernyataan rasis yang diterbitkan Kominfo. Akibatnya publik akan berpandangan telah terjadi kriminalisasi sebelah sebab pernyataan Abu Janda tidak termasuk kategori rasis dari daftar yang diterbitkan Kominfo. Sebaliknya, jika penegak hukum membela posisi Abu Janda, maka masyarakat yang tidak terpengaruh dengan daftar kategori rasis yang diterbitkan Kominfo akan menganggap telah terjadi ketidakadilan. Akibatnya, rasa ketidakadilan terhadap UU ITE akan terus tetap ada. Akan ada terus pihak yang merasa dikriminalisasi.
Kita juga bisa analogikan dengan analogi pencuri. Seandainya publik A menuding publik B sebagai pencuri. Kemudian Kementerian K menerbitkan daftar pencuri sebelum pengujian penegakan hukum dilakukan yang mencakup nama publik B. Maka daftar dari Kementerian K akan menggiring opini publik bahwa jika penegakan hukum tidak sesuai dengan daftar pencuri yang diterbitkan Kementerian K sebelum proses penegakan hukum terhadap Publik B, maka penegak hukum akan dinilai berpihak pada publik B. Sebaliknya, jika penegakan hukum sesuai dengan daftar pencurian yang diterbitkan Kementerian K, maka penegak hukum akan dinilai berpihak pada publik A.
Hal yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap kritikus. Niat baik Jokowi ingin menciptakan rasa keadilan hanya akan menghasilkan rasa ketidakadilan yang lebih dalam.
Mungkin pembaca berpikir bahwa hal tersebut mustahil dilakukan oleh lebaga sekelas Kementerian. Tapi ancang-ancang untuk ke sana sudah mulai terlihat.
Dalam pernyataan Presiden Jokowi terkait UU ITE, ia mendorong revisi UU ITE bila UU tersebut tidak dapat memberikan rasa keadilan. Revisi itu bisa dilakukan dengan menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa diinterpretasikan berbeda oleh banyak pihak.
Namun yang menjadi perhatian Menkominfo Plate bukanlah revisi pasal karet UU ITE, melainkan interpretasi resmi UU ITE. Menkominfo Plate ingin memperjelas interpretasi dari pasal karet UU ITE. Bukankah interpretasi ini hanya akan menghasilkan interpretasi kebenaran sepihak? Sama saja dengan daftar hoaks Kominfo yang menyatakan kebenaran hanya berasal dari pihaknya, sementara yang lain sudah pasti salah.
Sumber : CNN Indonesia [Pedoman Interpretasi UU ITE di Tengah Desakan Revisi Pasal]
Pada akhirnya daftar hoaks serta interpretasi Kominfo dapat digunakan untuk melangkahi hukum serta mengkriminalisasi kritikus. Lahirnya superpower Kominfo bukan lagi isapan jempol.
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” – John Dalberg-Acton (Politikus Inggris)
Diubah oleh NegaraTerbaru 19-02-2021 16:56
0
623
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan