Quote:
Quote:
Assalamualaikum, Cinta.
Telah banyak kisah kita lalui sejak pertama kali kita bersua lewat media sosial. Kamu pun pasti ingat bagaimana mulanya kita bisa sampai sejauh ini.
Mas, itulah panggilan mesra yang pertama kali aku lantunkan untukmu. Berawal dari itu pula obrolan kian kemari menjadi topik hangat di setiap harinya. Tak kusangka, bersamamu aku pernah sebucin itu.
Mas, aku tahu untuk sampai di titik ini memanglah tidak mudah. Aku tahu kamu mati-matian meyakinkan dirimu dan keluargamu untuk segera melayangkan lamaran padaku. Bahkan kamu rela berdebat dengan mereka guna mempertahankan aku yang tidak berpunya dan tidak berparas bak bidadari ini.
Mas, aku ingin kamu benar-benar bisa meyakinkan aku dan ayahku. Wujudkan betul niat baikmu itu. Sebab ayahku tak akan pernah percaya padamu bila menghadapinya saja kamu tak mau.
Sejak pertama kali kamu mengatakan akan melamarku. Entah mengapa hati ini menggebu-gebu. Ada rasa tak biasa saat aku membayangkan itu terjadi pada kita. Aku sangat mengharapkan bisa menikah denganmu.
Namun selama ini aku menunggu kepastian itu datang darimu. Kamu tak ada kabar, bahkan kamu selalu mengelak kala aku menanyakan bagaimana perkembangannya. Kamu tak mau mewujudkan apa yang sudah kamu katakan?
Maafkan aku, bukan aku tak menghargai prosesmu. Aku hanya tidak ingin terlalu lama menunggu. Untuk apa aku menunggu bila kamu tak bicara dulu pada ayahku? Bagaimana aku bisa percaya pada niat baikmu yang selalu kamu ucapkan itu? Lantas, wajarkah bila sikapku kini seperti ini? Wajar 'kan?
Kini aku memutuskan untuk kita sama-sama sendiri. Daripada aku terus menunggu tapi kamu terus mengulur waktu. Kamu kenapa berubah? Kenapa kamu takut pada ayahku? Ditolak atau diterima sudah seharusnya menjadi resiko seorang pejuang. Hanya saja aku ingin dilamar dengan cara yang elegan.
Ketika aku ingin berbagi kisah denganmu, kamu selalu membandingkan aku dengan orang lain. Aku tak suka itu! Sudah berkali-kali aku katakan, aku gak suka itu! Apa kamu tahu itu? Harus berapa kali aku mengatakannya?
Seseorang pernah berkata padaku tentang: "Janganlah kamu memutuskan suatu perkara dalam keadaan emosi". Iya aku tahu namun yang gak abis pikir saat melihat wajahmu, rasanya muak, jijik, baru kali ini aku merasa sejijik ini sama orang.
Maafkan aku. Aku lelah dan ingin menyerah. Bawa semua janji manismu itu! Tak perlu lagi melihat aku. Tak perlu lagi mengingat aku. Aku tak penting untukmu. Bahkan tak ada nilainya sama sekali. Dan aku tidak rugi bila tak berjumpa denganmu lagi.
Yakinlah, dengan atau tanpa aku hidup akan terus berlanjut. Saatnya kita gunakan waktu itu untuk memperbaiki kualitas diri. Aku yakin kamu akan baik-baik saja tanpa aku. Bahkan kamu akan mendapatkan perempuan yang jauh segalanya dari aku.
Aku pikir cukup surat ini mewakili banyaknya isi hati yang tak terungkapkan padamu. Semoga kamu memahami isi hati perempuan pendosa ini. Aku minta maaf bila banyak sekali kesalahan yang kulakukan selama kita bersama. Begitu pula sebaliknya. Aku sudah memaafkanmu.
Terima kasih atas lukanya. Aku ikhlas dan meskipun tak terbalas.
Kamarku, 16 Februari 2021
Kita memang tidak bersama. Tapi suatu saat kebersamaan itu akan terjalin kembali. Mungkin saja kamu akan bertemu dengan sisi lain dariku. Atau bahkan sebaliknya. Aku dengan pasanganku, dan kamu dengan pasanganmu.