

TS
AF31FR
A MAN OF THE RULES, PIERLUIGI COLLINA

Setiap pertandingan olahraga seperti permainan sepakbola tidak hanya soal aksi para pemain dari masing-masing tim yang sedang bertanding. Namun, dari keindahan permainan sepakbola yang mendunia, peran seorang wasit saat memimpin jalannya pertandingan juga akan memengaruhi keseluruhan laga.
Wasit memiliki hak penuh selama pertandingan terhadap pelatih, pemain, dan pengurus sebuah tim untuk lebih dari puluhan keputusan yang akan dibuatnya dalam satu pertandingan. Tentu dari segala hak penuhnya, secara resmi juga jelas ada hak perlindungan penuh dari Asosiasi Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) kepada setiap wasit yang perannya sangat penting demi terselenggaranya sebuah pertandingan sepakbola dengan teratur.
Jika ada pertanyaan tentang siapa pesepakbola terbaik dunia sepanjang masa, jawabannya pasti beragam seperti Cristiano Ronaldo, Diego Maradona, Lionel Messi, Pelé. Persoalan ini jelas akan selalu menimbulkan perdebatan yang ujung-ujungnya malah jadi ajang adu bacot antara Decul dan Demit.
Namun, bila pertanyaannya tentang siapa wasit sepakbola terbaik di dunia dalam sejarah, pasti semua sepakat menyebut namanya. Pierluigi Collina.
Dari sosok Pierluigi Collina ini ada banyak hal menarik padanya. Jika Anda seorang penggemar anime Jepang, tentu mengenal sosok karakter Piccolo yang merupakan kawan sekaligus lawan Goku di serial Dragon Ball. Pada karakter Piccolo ini muncul sebuah peranggapan terhadap perwujudan sosok alien asal planet Namek itu yang memiliki keidentikan dengan seorang manusia bumi dari Bologna, Italia bernama Pierluigi Collina.
Lahir pada 13 Februari 1960, Pierluigi Collina yang sosoknya sangat melegenda tersebut menghabiskan waktu hampir dua dekade untuk menjalani pekerjaan profesional sebagai wasit sepakbola. Lebih tepatnya dia melakukan itu sejak usia 28 tahun pada 1988, hingga pensiun di usia 45 tahun pada 2005.
Sepanjang kariernya dia memimpin 467 pertandingan di semua ajang resmi untuk total 1.471 kartu kuning, 49 kartu kuning yang berujung merah, 131 kartu merah langsung, dan memberikan 159 penalti.
Bagi b̶a̶p̶a̶k̶-b̶a̶p̶a̶k̶ orang-orang yang telah aktif menonton sepakbola sejak jaman 1990-an hingga 2000-an awal pasti tidak asing dengan Pierluigi Collina.
Pada era itu sebenarnya juga banyak wasit ikonik lain seperti Anders Frisk, Graham Poll, Markus Merk, Roberto Rosetti, Urs Meier, atau bahkan Byron Moreno yang pernah jadi sasaran sumpah serapah oleh publik di seluruh dunia, kecuali orang Korea Selatan.
Tapi, di antara nama tadi hanya sosok Pierluigi Collina yang paling dapat dengan mudah diingat oleh para penggila sepakbola.
Pierluigi Collina yang botak plontos dan sorot tajam matanya yang membelalak melotot itu menjadi sosok wasit yang kepemimpinannya sering terlihat pada pertandingan bergengsi di Kejuaraan Sepakbola Eropa UEFA, Olimpiade, Piala Dunia FIFA, dan tentunya Serie A.
Namun, di balik penampilannya yang unik itu, dia menyimpan sebuah rahasia dari dirinya yang pernah menderita penyakit Alopecia yang membuatnya benar-benar mengalami kebotakan.
Tetapi bukan fisiknya yang membuat Pierluigi Collina akan selalu diingat. Pierluigi Collina adalah wasit sepakbola terbaik di dunia. Fakta yang ada memang membuktikan klaim itu.

“Tidak pernah, tidak mudah mengintimidasi saya.” kata Pierluigi Collina dalam wawancara dengan Asosiasi Sepakbola Uni Eropa (UEFA) pada April 2012. “Tidak, saya hanya bercanda.” imbuh dia tentang kalimat terakhirnya.
Entah memang bercanda atau tidak, dalam pekerjaannya Pierluigi Collina jelas mampu menjadi pemimpin pertandingan yang dihormati lewat keputusan dan tindakan tepat serta sah. Dia bahkan tidak segan untuk melakukan kontak fisik demi mengatur para pemain, yang pastinya aura dan tatapannya adalah senjata utamanya untuk menaklukkan oknum-oknum itu.
Karakternya ini hampir tidak ada bedanya lah dengan wasit sepakbola fiksional asal Jepang bernama Kazuki Ito. Dalam game sepakbola Winning Eleven yang sekarang ini lebih populer dengan nama Pro Evolution Soccer, sosok Kazuki Ito sangat dikenal sebagai wasit super galak dan baper banget yang jadi momok para pemain Play Station pada masanya. Meski begitu, setiap keputusan yang dibuat Pierluigi Collina tidak sekontroversial Kazuki Ito.
***
Masa kecil Pierluigi Collina tidak jauh berbeda dari cerita-cerita tentang seorang bocah yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Namun, takdir tidak menghendaki rencananya tersebut. Dia tidak bisa mewujudkan cita-cita untuk menjadi pesepakbola karena terhalang faktor bakatnya yang tidak sanggup menghadapi persaingan ketat. Skill-nya pas-pasan, fisiknya pun tidak terlalu mendukung.
Semasa masih memperjuangkan cita-cita menjadi pemain sepakbola, Pierluigi Collina adalah seorang pemain yang berposisi sebagai bek tengah. Memang dasar bakatnya tidak bisa mencapai potensi terbaik, saat bermain di lapangan dirinya sangat sering diganjar kartu merah oleh wasit lantaran tekel dan pergerakan bertahannya dianggap membahayakan.
Kartu merah yang sering didapatnya ketika menjadi pemain itu seolah jadi bekal buat Pierluigi Collina begitu dirinya menapaki karier di lapangan hijau sebagai seorang wasit. Artinya sebelum berhak mengusir pemain dari lapangan, dulunya dia memang pernah merasakan sendiri pahitnya diusir wasit.
Kegagalan menjadi pesepakbola sempat bikin Pierluigi Collina muda hilang motivasi dalam menentukan langkah nasibnya di masa depan. Tetapi, kenyataan pahit itu bukan berarti membuatnya putus asa.
Dia sempat mencoba peruntungan lain di olahraga basket yang juga merupakan salah satu permainan kesenangannya. Namun, lagi-lagi usahanya berujung kegagalan karena dia juga tidak terlalu menguasai basket.
Pada akhirnya Pierluigi Collina memilih untuk fokus pada pendidikan dengan melanjutkan sekolah pasca SMA ke Fakultas Ekonomi Universitas Bologna.
Meski sibuk menjadi pelajar, sepakbola dan lapangannya tetap adalah hidupnya walaupun dia gagal menjadi pemain. Tidak lama setelah masuk ke perguruan tinggi, atas dasar saran dari seorang temannya Pierluigi Collina pun memutuskan mendaftar menjadi wasit.
Menjadi wasit adalah cara lain yang dilakukan Pierluigi Collina untuk mencari jalan karier yang tetap berhubungan dengan dunia sepakbola dan permainannya di lapangan.
Dari sana, hukuman kartu merah yang pernah diterimanya tersebut kemudian menjadi pelajaran dari Pierluigi Collina terhadap para pemain yang dihadapi agar mereka bermain dengan otak, sikap, dan teknik yang baik saat tampil dalam suatu pertandingan.
Ketimbang menjadi pesepakbola maupun pebasket, ternyata dirinya lebih memiliki bakat alami untuk menjadi wasit dan pekerjaan ini rupanya adalah pilihan yang tepat bagi Pierluigi Collina.

“Seseorang dipilih menjadi wasit bukan karena Anda adalah wasit, tetapi karena orang lain percaya kepada Anda. Artinya Anda dapat memberikan tugas terbaik sebagai seorang pemimpin pertandingan, yang harus diterima sekalipun Anda membuat kesalahan.” jelas Pierluigi Collina tentang pandangannya terhadap profesi menjadi wasit.
Selama sebelas tahun serius menekuni kursus wasit, perjalanannya dicoba dengan memimpin pertandingan level amatir di tingkat regional pada 1983. Karier perwasitan Pierluigi Collina langsung melesat kencang setelah pada 1984 sukses menyelesaikan pendidikan perguruan tingginya.
Dari jenjang regional dia naik kelas ke nasional. Pada 1988 level profesionalnya diawali dengan memimpin pertandingan Serie C1 dan Serie C2.
Dasar dirinya memang hebat, di sana dia hanya memakan waktu tiga tahun sebagai wasit di divisi terendah Italia. Langkah besar Pierluigi Collina akhirnya terjadi pada tahun 1991 ketika dipromosikan untuk menjadi wasit di Serie A dan Serie B. Dia mengakhiri musim debut pada divisi tertingginya itu dengan penghargaan wasit pendatang baru terbaik.
Semua kapasitas yang dimiliki Pierluigi Collina itu tidak lepas dari pengalamannya saat wajib militer pada 1998. Dijelaskannya pengalaman wajib militer yang menerapkan banyak peraturan menjadi dasar bagi dia untuk memimpin dengan tenang di tengah kekacauan "perang" dua tim yang sedang bertanding.

“I am a man of the rules, every game is my rules”. Dalam kariernya, seorang Pierluigi Collina memiliki prinsip mengenai aturan yang dipegang teguh terhadap dirinya sendiri saat bertugas memimpin pertandingan. Sebagai seorang pengadil di lapangan, Pierluigi Collina mengaku dalam melakukan pekerjaannya itu dia hanya mencoba untuk menerapkan peraturan. Berkat ketaatan aturan yang dipegangnya itulah dirinya berhasil masuk ke dalam daftar wasit FIFA sejak 1995.
“Saya hanyalah seorang pria yang taat peraturan. Anda harus diterima di lapangan pertandingan bukan karena menjadi wasit, namun karena mereka memercayai Anda.” ujarnya tegas.
Sejak kecil Pierluigi Collina memang hidup dan tumbuh menjadi seorang yang berpegang teguh pada tata tertib peraturan. Latar belakang dari kedua orangtuanya, yakni sang ibu yang berprofesi sebagai guru, dan ayahnya yang bekerja di Kementerian Pertahanan Italia sangat memiliki pengaruh besar pada karakternya yang selain tegas, namun juga mengutamakan kejujuran.
Selain itu, menjadi wasit bukan soal otoritas, tetapi lebih kepada sikap hormat dan menghormati. Pemain harus dapat menerima semua keputusan wasit. Di sisi yang lain, wasit juga harus menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa harus memihak salah satu kubu.
“Saya benar-benar beruntung telah pernah mewasiti banyak pertandingan hebat. Final Piala Dunia FIFA 2002 tentu salah satunya, tapi saya khusus mengingat Final Liga Juara UEFA 1999 antara Manchester United FC versus FC Bayern München. Saya akan selalu mengingatnya karena beberapa alasan. Yang utama adalah reaksi para supporter Manchester United FC ketika mereka mencetak gol kedua itu suara yang luar biasa, seperti auman singa. Lalu reaksi pemain-pemain FC Bayern München setelah gol itu, semuanya tak terlupakan.” ungkap Pierluigi Collina saat mengenang momen tersebut.
Perjalanan karier perwasitan Pierluigi Collina tidak lepas dari tiga momen besar dalam hidupnya yakni Final Liga Juara UEFA 1999, Final Piala Dunia FIFA 2002, dan Calciopoli 2006.
Pada pertandingan Final Liga Juara UEFA 1999 antara Manchester United FC kontra FC Bayern München, di sinilah terlihat sisi lain dari wasit yang terkenal galak ini ternyata memiliki rasa kemanusiaan yang besar saat berusaha membangkitkan para pemain FC Bayern München yang lemas tak berdaya usai kalah menyakitkan dalam laga yang dianggap sebagai “salah satu akhir yang paling mendebarkan untuk pertandingan sepakbola”.
Saat perhelatan Piala Dunia FIFA 2002 yang berlangsung dengan banyak memunculkan kontroversi wasit, Pierluigi Collina menjadi sosok pembeda dari kejadian itu. Dirinya dengan baik memimpin pertandingan final antara Jerman lawan Brasil sekaligus menjadi saksi kehebatan Ronaldo yang membawa Brasil menang 0-2 untuk meraih gelar juara kelima dalam sejarah.
Pierluigi Collina benar-benar menunjukkan integritasnya sebagai wasit yang tegas dan teguh pendirian tatkala pada 2006 skandal Calciopoli mengguncang Serie A yang dilakukan oleh petinggi klub Juventus FC, Luciano Moggi. Saat itu Pierluigi Collina membuktikan kejujurannya sebagai seorang pengadil karena dari belasan dan puluhan wasit yang terbukti "kotor" hanya dua wasit yang teridentifikasi "bersih" tidak terjerumus kasus tersebut yakni selain Roberto Rosetti, tentu Pierluigi Collina pastinya.

Walau begitu, sebagai manusia biasa Pierluigi Collina tidak lepas dari khilaf dan kesalahan. Meski punya catatan prestasi bergengsi, akhir kariernya berlangsung dengan sebuah kontroversi.
Awalnya pada 2005 ketika Pierluigi Collina berusia 45 tahun, Federasi Olahraga Sepakbola Italia (FIGC) mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yakni menaikkan batas usia wasit menjadi 46 tahun. Tujuan yang dilakukan FIGC itu dikarenakan agar Pierluigi Collina tetap bisa bertugas menjadi wasit Piala Dunia FIFA 2006.
Akan tetapi, terjadi konflik setelahnya karena Pierluigi Collina menandatangani kontrak sponsorship dengan Opel. Saat itu, Opel merupakan sponsor utama AC Milan, dan itu pastinya tidak disetujui oleh FIGC yang melarang wasit untuk bekerja sama dengan pihak ketiga karena alasan konflik kepentingan.
Kebijakan FIGC itu rupanya juga direspon dengan tegas oleh Pierluigi Collina yang mengajukan pengunduran diri dari statusnya. FIGC sempat berusaha menolak itu. Tetapi, Pierluigi Collina yang tidak mau melawan aturan ngotot pada keinginan pensiun dan keputusannya itu memang tidak bisa dicegah. Pada 24 Agustus 2005, laga antara Everton FC dan Villarreal CF dalam ajang Kualifikasi Liga Juara UEFA jadi pertandingan profesional yang terakhir dipimpinnya. Lalu, lima hari setelahnya dia resmi mengumumkan pensiun.
***
Menjadi wasit seperti Pierluigi Collina jelas bukan pekerjaan mudah. Dalam satu pertandingan sepakbola, wasit rata-rata berlari 12 kilometer selama laga berlangsung untuk tugas menjadi pengadil yang seadil-adilnya terhadap sebuah pertandingan yang bersih dan fair.
Percayalah, dari pekerjaan seorang wasit, setiap gerakannya selalu diawasi oleh lebih dari ribuan penonton di stadion dan jutaan pemirsa yang menyaksikan suatu pertandingan dari televisi.
Ada lebih dari puluhan keputusan yang akan dibuatnya dalam satu pertandingan. Dengan sebuah peluit yang melengkapi tugasnya, bunyi dari peluit yang ditiup wasit merupakan sumber penanda baik dan buruk yang didapat dan diterima oleh setiap pemain maupun tim. Bersama peluitnya itu juga wasit selalu siap memberikan satu peringatan, satu ganjaran, satu kartu kuning, atau satu kartu merah yang diputuskannya.
“Salah satu masalah utama pada setiap aktivitas manusia adalah pengambilan keputusan. Mengambil keputusan adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan. Membuat keputusan di bawah tekanan adalah sesuatu yang harus Anda pelajari. Misalnya, jika Anda ingin menjadi seorang manajer hebat di perusahaan besar. Tak ada cara yang lebih baik ketimbang menjadi wasit untuk belajar hal-hal seperti itu.” tutur Pierluigi Collina.
Bagi seorang wasit, pastinya tidak mudah untuk membuat segala keputusan mutlak kala harus bekerja di bawah tekanan ketika pertandingan sedang berlangsung. Apalagi jika harus memimpin suatu partai besar dan sengit antar dua klub rival. Seperti itulah yang dulu dialami Pierluigi Collina.
Semua tekanan tersebut berpotensi membuat wasit ragu-ragu dalam menilai sebuah insiden dan kejadian sehingga tak bisa memberikan keputusan yang jernih. Paling sial, tekanan-tekanan itu bisa berubah menjadi ancaman serius di luar lapangan.
Inilah yang pernah terjadi pada Pierluigi Collina. Pada 2007 dirinya menerima sejumlah kiriman surat yang berisi teror kepadanya. Tidak hanya surat teror, keselamatan sang wasit juga pernah benar-benar terancam ketika dikirimi peluru oleh orang tak dikenal. Dugaan pun muncul jika itu semua sangat berhubungan dekat dengan skandal pengaturan skor Calciopoli yang ketika itu sedang panas di Italia.
Provokasi yang datang dari para pemain, pelatih, bahkan ribuan pendukung kedua tim bisa sangat mungkin membuat seorang wasit tak berkutik. Jika wasit melakukan pekerjaan dengan baik, semua tidak akan ada yang benar-benar peduli dan berterimakasih. Tetapi, begitu wasit melakukan kesalahan, wasit bisa dengan seenaknya dicacimaki.

Dia Pierluigi Collina yang auranya luar biasa. Kharisma itulah yang membantunya mengendalikan ego dan gengsi para superstar. Alih-alih dirinya terintimidasi, justru sebaliknya malah manajemen, pelatih, pemain, pendukung yang dibuatnya berhati-hati.
Di bawah kepemimpinannya, tak ada protes yang melampaui batas karena para pemain itu biasanya tidak ada yang berani adu argumen dengannya. Tatapan matanya yang membelalak melotot dan ketegasannya saat membentak adalah hal yang menakutkan bagi setiap figur. Meski begitu, semua tetap hormat kepadanya karena dia juga hormat pada mereka.
Di tengah perkembangan sepakbola yang semakin maju, makin banyak pula pemain sepakbola terbaik yang baru dilahirkan. Namun, di waktu yang sama rasanya sulit menemukan dan melihat apakah ada wasit baru yang memiliki kapasitas sekaliber Pierluigi Collina. Entah belum ada, atau memang tidak akan ada lagi yang sepertinya.

Sumber/Referensi:
- https://en.m.wikipedia.org/wiki/Pierluigi_Collina
- https://www.fourfourtwo.com/features...lian-world-cup
- https://thesefootballtimes.co/2019/1...lier-in-black/
- https://www.sportbible.com/football/...story-20191016
Diubah oleh AF31FR 17-02-2021 00:38




tien212700 dan jurumudi75 memberi reputasi
2
2.2K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan