- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kotak-Kotak Agama Menyebabkan Diskriminasi, Pengalaman Penghayat Non-Paguyuban


TS
dewaagni
Kotak-Kotak Agama Menyebabkan Diskriminasi, Pengalaman Penghayat Non-Paguyuban

13 Jul Kotak-Kotak Agama Menyebabkan Diskriminasi, Pengalaman Penghayat Non-Paguyuban
Posted at 00:00h in Laporan Kegiatan by PUSAD Paramadina 0 Comments
0Likes
Para penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur di Indonesia memperoleh perlakuan diskriminatif akibat pengelompokan agama atau kepercayaan. Pengelompokan tersebut pada gilirannya memungkinkan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya yang terwujud dalam kebijakan diskriminatif terkait agama. Demikian pandangan Samsul Maarif, direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Yogyakarta, dalam webinar bertajuk “Olah Spiritual Penghayat Non-paguyuban” pada Kamis (09/07/2020) malam.
Affaf Mujahidah, alumni CRCS UGM, memandu diskusi yang mengundang Sidik Hendro Purnomo, Penghayat Non-paguyuban, dan Samsul Maarif sebagai pembicara. Diskusi rutin Kamisan ini diselenggarakan Rumah Bersama, sebuah kolaborasi organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi penghayat kepercayaan/agama leluhur di Indonesia.
Menurut Maarif, spiritualitas merupakan hakikat dari agama atau kepercayaan dalam upaya manusia membangun hubungan dengan Tuhan. Pada masa lalu, semua jenis spiritualitas sama di hadapan negara. Situasi berubah setelah akademisi dan negara bangsa menyusun dan membuat kotak-kotak spiritualitas di masyarakat. Maarif mencontohkan kotak Islam, Yahudi, dan Kristen yang berasal dari satu tradisi yang disebut abrahamic religion atau agama Ibrahim. Setelah dimasukkan ke kotak Islam, kotak Kristen, dan kotak Yahudi, perbedaan ketiga agama itu yang menonjol dari pada kesamaan-kesamaan, walaupun satu induk.
Kotak-kotak agama itu, menurut Samsul, adalah hasil konstruksi yang dibuat berbagai pihak untuk kepentingan politik, tak terkecuali sejarah agama dan atau kepercayaan di Indonesia. Pemerintah menyusun definisi agama berdasarkan paradigma subjektif dan agama dunia yang telah berkembang. Definisi itu, bagi Maarif, menempatkan para penghayat menjadi kelompok yang terpinggirkan dan menjadi kelompok yang rentan mendapat diskriminasi, bahkan persekusi. Dalam konteks ini, agama seringkali digunakan sekelompok orang sebagai alat kekuasaan. Negara, menurut Maarif, seharusnya dapat memberikan hak yang sama kepada setiap warga negara tanpa melihat latar belakang agama atau kepercayaan warganya.
Samsul menambahkan di negara demokratis seperti Indonesia setiap warga negara mempunyai hak yang setara dalam menyampaikan aspirasi. Dalam praktiknya, mereka menyalurkan aspirasi berdasarkan pandangan subjektif dan tak jarang mendiskriminasi pihak lain. Samsul mengusulkan karakter demokrasi yang tepat di Indonesia adalah demokrasi inklusif. Prinsip utama demokrasi inklusif adalah bahwa di satu sisi setiap orang mempunyai hak setara, namun di sisi lain mempertimbangkan aspirasi orang lain. Dalam konteks penghayat kepercayaan, sebagai negara demokrasi Indonesia masih harus berbenah diri dalam memosisikan penghayat kepercayaan kepada posisi yang sama dengan agama lainnya.
Sidik, pembicara lainnya, menceritakan pengalaman menjalankan pelaku penghayat kepercayaan tanpa paguyuban atau organisasi. Menurutnya, pemerintah belum optimal dalam menyediakan sarana peribadatan bagi para penghayat kepercayaan, sehingga para penghayat kepercayaan masih melakukan peribadatan di alam terbuka seperti gunung dan pantai. Tak jarang kondisi tersebut memicu masyarakat melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan dengan tuduhan syirik dan sesat. Sidik mengatakan di masa lalu situs punden berundak adalah sebuah tempat peribadatan. Pemerintah seharusnya memfasilitasi pendirian rumah ibadah yang sama agar penganut penghayat kepercayaan bisa beribadah dengan nyaman.
Sidik menjelaskan perbedaan penghayat kepercayaan nonpaguyuban dengan mereka yang bergabung dengan paguyuban adalah pada cara mempelajari ajarannya. Penghayat kepercayaan paguyuban terkadang hanya mendalami satu hal saja, misalnya hanya belajar ilmu kanuragan saja atau hanya mempelajari papat kalima pancer dan lain sebagainya. Sementara dirinya mempelajari ajaran penghayat kepercayaan secara bertahap dan menyeluruh. Kendati begitu, menurutnya yang lebih penting adalah perubahan sikap seseorang setelah mempelajari ajaran leluhur tersebut. Seseorang yang mempelajari ajaran leluhur dan menjalankan laku-lampahnya akan hidup harmonis dengan semua makhluk ciptaan Tuhan.
Sidik mengemukakan alasan kenapa tidak berafiliasi dengan paguyuban. Menurutnya, pencarian Tuhan adalah urusan personal sebagaimana dilakukan leluhurnya. Ia juga mencontohkan para nabi yang mencari Tuhan sendiri-sendiri. Ia juga menambahkan setiap orang mempunyai cara sendiri untuk menemukan Tuhan. Menurutnya inti ajaran leluhur yang sudah ada sejak zaman Jawa Kuno adalah kembali kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Seperti orang tuanya, Sidik juga menurunkan ajaran penghayat kepercayaan kepada anak-anaknya.
Sidik mengungkapkan bahwa ajaran Jawa Kuno memiliki ajaran yang sempurna, tuntunannya sudah dimulai dari seorang anak masih dalam kandungan ibunya sampai dia mati. Baginya ajaran Jawa Kuno ada untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di dunia. Meski Sidik tidak berafiliasi dengan paguyuban, dirinya tetap berhubungan baik dengan sesama penghayat kepercayaan yang ada di paguyuban, bahkan dengan penganut agama lain. Hubungan baik yang dibangun Sidik, tidak lain agar bisa saling belajar dan berdialog antar umat beragama.
Sebagai seorang warga negara, penghayat kepercayaan seperti Sidik merasa bersyukur pada tahun 2017 negara sudah mengakui keberadaannya. Meski sebelumnya Sidik kerap mendapatkan diskriminasi terkait pekerjaan, ia tetap memilih untuk “merdeka” dengan mengakui dirinya sebagai penghayat kepercayaan. Sidik mengungkapkan diskriminasi yang ia alami dalam bentuk ketidak-mampuan negara melindungi semua warga negaranya dengan baik. Negara seharusnya memberikan ruang yang sama kepada para penghayat seperti yang diberikan kepada agama-agama lainnya.
Engkus Ruswana, penghayat Budi Daya, menyetujui pandangan yang mengatakan agama sebagai alat politik negara. Menurutnya, pemerintah telah mempersempit definisi agama sebagaimana terwujud dalam berbagai kebijakan terkait agama. Bersumber pada naskah kuno Siksa Kandang Karesian Engkus mengatakan bahwa istilah agama dalam naskah itu diartikan dengan patokan dari Tuhan. Naskah itu juga mengatakan bahwa agama itu harus seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Jadi menurutnya istilah agama sudah digunakan sejak lama dan yang menggunakannya para leluhur yang mengamalkan ajaran penghayat, namun sekarang ini makna agama dipersempit sehingga para penghayat sendiri malah tidak diakui sebagai agama.**
https://www.paramadina-pusad.or.id/k...non-paguyuban/
0
385
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan