Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia
Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia

Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia

Foto: sumber: Bambang Muryanto
Noor Sudiyati, pemuka penghayat kepercayaan Hardo Pusoro sedang berdoa dalam ritual sujud agung penghayat kepercayaan yang menjadi puncak acara “Nutup Suro” (menutup bulan suro) yang diadakan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MLKI DIY), di Pantai Bugel, Kabupaten Kulon Progo, Kamis (17/9).

Independen --- Ketika matahari sudah tenggelam dan gelap mulai menyelimuti Pantai
Bugel di Kabupaten Kulon Progo, Noor Sudiyati bersama para penganut penghayat kepercayaan berdiam diri dalam hening untuk memanjatkan doa. Mereka menjalankan ritual sujud agung penghayat kepercayaan, puncak acara “Nutup Suro” (menutup Bulan Suro) yang diadakan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MLKI DIY), Kamis (17/9).

Noor Sudiyati, Ketua Pegawas Yayasan Warga Hardo Pusoro yang duduk selonjor itu memejamkan mata dan dua belah tangannya ditangkupkan di depan dada. Semilir angin pantai membelai mereka yang khusuk berdoa kepada Tuhan,  ada yang duduk bersila atau memilih berdiri agar bisa menjalankan protokol kesehatan Covid-19, menjaga jarak.

Bau harum dupa yang dibakar segera hilang tak tersisa ditiup angin laut. Suasana hening, hanya gemuruh debur ombak laut selatan yang terdengar.

Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia


Upacara Nutup Suro dilakukan karena para penghayat kepercayaan berpendapat Bulan Suro adalah bulan suci, awal kehidupan manusia. Pada masa pandemi Covid-19, upacara ini juga menjadi doa bersama tolak bala agar virus yang muncul di Wuhan, Cina akhir tahun 2019 bisa segera berlalu.

“Selama Bulan Suro, orang Jawa menjalankan tirakat (laku spiritual) agar hidupnya tenteram. Apalagi saat ini sedang masa tanggap darurat Covid-19, semoga bisa cepat selesai,” ujar Ketua Presidium MLKI DIY, Bambang Purnomo saat memberikan sambutan dalam ritual itu.

Setelah sujud agung usai, saya menemui Noor yang malam itu berkebaya, membuat janji bertemu untuk menggali pendapatnya tentang pandemi Covid-19. Penganut agama leluhur Hardo Pusoro dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini memiliki pandangan berbeda terhadap Covid-19, tidak seperti kebanyakan orang yang menganggapnya sebagai
“musuh”, dibenci dan harus dimusnahkan.

Dalam Forum Kamisan Daring bertema “Agama Leluhur Menyikapi Covid-19” yang diselenggarakan Yayasan Satu Nama dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM), Kamis(7/5), anggota Komnas Perempuan, Dewi Kanti memberikan apresiasi terhadap pandangan Noor.

“Pendekatan Bu Noor itu humanis dan feminis. Ini berguna bagi Indonesia yang sudah kehilangan arah,” ujarnya.

Pandangan Kelompok Penghayat Kepercayaan (ada yang menyebut agama leluhur, agama asli, agama nusantara atau agama lokal) terhadap pandemi Covid-19 memang jarang didengar masyarakat. Media massa dan pemerintah hanya menyuarakan pandangan tokoh-tokoh dari enam agama yang diakui secara resmi oleh negara dan ulama yang jadi selebriti.

Sejak jaman kemerdekaan hingga saat ini para penganut agama leluhur yang terdiri penghayat kepercayaan dan masyarakat adat masih mengalami diskriminasi dari negara. Sumbernya adalah kebijakan negara yang menggunakan definisi agama versi agama-agama dunia yang mensyaratkan antara lain harus ada nabi dan kitab suci sehingga tidak bisa memasukkan agama leluhur sebagai suatu agama.
 

Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia

Dalam buku berjudul “Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia” (2017), Samsul Maarif menulis penganut agama leluhur ini dicap sebagai penganut animisme, “budaya”, dituduh pendukung komunis dan harus pindah ke agama resmi. Samsul adalah peneliti agama leluhur dan mengajar pada CRCS UGM.

Para penganut agama leluhur adalah kelompok minoritas di Indonesia. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Mahaesa mencatat ada 182 organisasi agama leluhur di tingkat nasional dan ribuan cabang di daerah, tetapi mereka dianggap tidak ada sehingga negara tidak melayani hak-hak dasar mereka.

Dalam webinar itu, Noor berpendapat manusia dan seluruh makhluk hidup baik flora dan fauna, termasuk coronavirus disease 19 (Covid-19) adalah tamu di bumi dan harus hidup saling menghormati. Para penghayat kepercayaan meyakini apapun bisa terjadi di dunia ini dan Covid-19 datang sebagai tamu istimewa di bumi untuk mengingatkan umat manusia
agar menjaga keseimbangan alam.

Para ahli sendiri menduga munculnya Covid-19 karena manusia merusak lingkungan. Aktivitas yang merusak habitat satwa liar, menangkap dan memperdagangkan satwa liar menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran patogen di antara spesies yang semula tidak memiliki kontak langsung dengan virus ini.

“Bumi sudah banyak mengalami kerusakan yang berdampak pada perubahan iklim. Semua kerusakan itu adalah virus bagi bumi, Covid-19 ini datang sebagai anti virus. Itu pandangan kami,” ujar seniman keramik itu.

Di Indonesia, pembangunan yang mengejar keuntungan ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius. Ambil contoh penambangan batu bara di Kalimantan Timur yang menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang hingga tahun 2019 menyisakan 1.735 lubang berukuran besar tanpa direklamasi. Sebanyak 33 anak meninggal karena tenggelam dalam lubang besar itu.

“Covid-19 bisa jadi sinyal kesadaran agar kita menata jagad,” tambahnya.

Aktivitas ekonomi yang berhenti beberapa saat akibat Covid-19, bisa membuat bumi menjadi segar lagi. Di perkotaan, udara menjadi lebih bersih karena orang harus tinggal di rumah sehingga tidak menggunakan kendaraan bermotor.

Dalam diskusi itu, peserta juga mendengarkan wejangan dari Kus Wijoyo, pemuka dari Paguyuban Sumarah. Saya mengenal Pak Kus beberapa tahun lalu ketika ia mengawasi pemberian pelajaran agama terhadap seorang murid pemeluk agama leluhur di suatu SMA negeri di Yogyakarta. Waktu itu proses belajar berlangsung di dalam sebuah aula besar padahal hanya ada murid dan satu guru penghayat kepercayaan.

“Covid-19 ini adalah peringatan dari Tuhan agar manusia mawas diri, menjaga hati dan sadar untuk menjaga perilaku,” ujarnya dalam webinar itu.

Pernyataan Kus Wijoyo ini sejalan dengan pendapat Noor. Manusia perlu menata perilakunya, termasuk kepada alam semesta. Sekali lagi saya menemukan unsur agar menghormati alam dalam perspektif tentang Covid-19.

Rasa penasaran menuntun saya menemui penganut agama leluhur, Sumarah Probo. Saya baru mengenal agama leluhur ini saat hadir dalam upacara Nutup Sura di Pantai Bugel.

Waktu itu, seorang perempuan dari Sumarah Purbo menjelaskan tentang makna sesaji bernama Seratan Winadi yang dihadirkan dalam upacara itu. Ada air, api, aneka makanan “jajanan pasar”, daging ayam dan buah-buahan yang menerbitkan air liur.

Covid-19, Tamu Istimewa untuk Ingatkan Manusia


Saya datang ke Kantor Desa Wijirejo, Bantul yang ternyata adalah bekas  rumah administratur pabrik gula pada jaman kolonial itu untuk menemui Ketua Sumarah Praba tingkat nasional, Heri Sujoko. Perangkat Desa Wijirejo ini juga menjabat ketua MLKI Kabupaten Bantul.

Ia menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam yang tidak ideal lagi menjadi penyebab munculnya Covid-19. Heri mengatakan manusia sudah banyak melakukan kerusakan terhadap alam seperti perusakan hutan yang terutama terjadi di luar Pulau Jawa.

“Alam juga berhak marah juga, bentuknya tidak harus seperti banjir,” ujarnya.

Yayasan Satu Nama menerbitkan buku berjudul “Kepercayaan dan Pandemi, Antologi Esai Penghayat Kepercayaan Menghadapi Covid-19” setebal 506 halaman yang diluncurkan di Kampung Mataraman, Bantul, Senin (21/9). Noor Sudiyati yang menjadi salah satu pembahas berharap banyak orang bisa membacanya karena isinya bisa menjadi “vitamin” dalam situasi pandemi.

Dalam buku itu, ada satu artikel berjudul “Acancut Taliwanda: Kepeloporan Perempuan Penghayat Menghadapi Pandemi Covid-19” yang ditulis Ketua Umum Pengurus Pusat Perempuan Penghayat Indonesia (Puanhayati), Dian Jennie Tjahjawati bersama Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Akhol Firdaus.

Artikel ini menarik karena bisa memberikan penjelasan mengapa dalam pandangannya para penganut agama leluhur selalu mengaitkan munculnya Covid-19 adalah akibat ulah manusia yang merusak alam. Dian dan Akhol menulis dasar dari spritualitas penghayat adalah tiga konsep yang saling berkaitan erat, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (proses pencarian terhadap substansi ketuhanan), Sangkan Paraning Dumadi (asal usul dan tujuan hidup manusia), dan Memayu Hayuning Bawana (partisipasi manusia dalam menjaga keharmonisan alam semesta).

Selanjutnya mereka menulis,”Dalam pandangan dunia penghayat, pengenalan terhadap asal usul dan kemanunggalan selalu membimbing seseorang untuk memancarkan budi pekerti luhur. Hal ini dimanifestasikan dalam penerimaan dan keterlibatan total seseorang
untuk menjadi bagian dari keseimbangan atau harmoni  alam semesta. Wawasan seperti ini sangat mengidealkan  keselarasan sebagai ruang jumpa antara diri pribadi manusia (jagad cilik) dengan alam semesta (jagat gedhe).

Tulisan Dian dan Akhol menegaskan dalam spirtualisme penghayat kepercayaan, alam adalah mahluk hidup yang harus dijaga dan dihormati. Seperti dengan sesamanya, manusia harus menghormati dan tidak boleh bertindak semena-mena terhadap bumi dan isinya.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, masyarakat perlu merenungkan pandangan para pemeluk agama leluhur. Dosen CRCS UGM, Samsul Maarif dalam webinar “Agama Leluhur Menghadapi Covid-19” mengatakan hilangnya perspektif penganut agama leluhur dalam soal Covid-19 ini adalah akibat diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.

Mereka ada tetapi dianggap tidak ada.

“Pandangannya sangat bijaksana, ini adalah aset kekayaan bangsa yang sayang sekali jika dilalaikan,” ujarnya.

Memikirkan pandangan para pemeluk agama leluhur, saya ingat dengan salah satu pikiran tokoh pejuang dan spiritual dari India, Mahatma Gandhi. Ia mengatakan, bumi ini bisa mencukupi kebutuhan setiap orang tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan setiap orang.


Penulis : Bambang Muryanto
Tulisan ini dibuat dengan dukungan fellowship dari AJI Indonesia dan Maverick.

https://independen.id/read/khusus/10...atkan-manusia/

0
521
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan