Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wafafarhamuAvatar border
TS
wafafarhamu
BAB 4 : RUQYAH
Ustadz Harun kini mulai serius memandangku, rasa takut yang aku alami membuatnya tak lagi tersenyum apalagi terpingkal-pingkal. Wajah teduhnya seolah  aura bijak semakin terpancar di sana.

Ustadz mengusap-usap pundakku, dan kembali bicara,

"Mas lihat penampakan lagi?"

Aku mengangguk.

Ustadz Harun memintaku membaca alfatihah empat dan ayat kursi, untunglah sebelum sempat jadi remaja badung saat kecil aku ikut mengaji bersama anak-anak komplek lainnya, hingga tak sulit bagiku melafalkan ayat-ayat Alquran tersebut.

"Saya pikir dia gak akan berani masuk area masjid Ustadz, itu kenapa dari tadi saya merasa tenang."

Ustadz Harun manggut-manggut, lalu memanggil Ujang.

Setelah Ujang datang Ustadz Harun memintanya mengambilkan segelas air putih, dan juga menyiapkan sesuatu.

"Kang Ujang, sekalian setelah mengambil air putih tolong siapkan air zam-zam dan daun bidara."

"Baik."

Ustadz Harun melihat arloji, kemudian menatapku,

"Mas Romi harus di ruqyah, sepertinya jin itu kuat juga."

"Seperti apa prosesnya Ustadz?"

"Gak tau? Katanya netizen handal, coba tanya sama Mbah Google," jawabnya sambil meninggalkanku. Sepertinya Ustadz juga tengah bersiap.

Ck, dasar Ustadz, aku pikir tadinya dia tak lagi menggodaku.

"Oya Mas, setelah selesai googling segera ambil air wudhu. Sholat tobat dan temui saya ya!" Sambung Ustadz Harun.

"Baik."

"A ... jangan lama-lama main hapenya, cukup tau saja. Soalnya jam delapan saya sudah harus sampai ponpes, banyak gadis yang menunggu di sana. Hahaha." Ustadz Harun benar-benar, sepertinya dia sendiri juga perlu diruqyah.

Seperti saran Ustadz Harun, aku membuka google. Penasaran seperti apa aku akan memulainya, dan tentu saja aku ingin tahu apa efeknya. Apakah aku bisa benar-benar lepas dari hantu itu? Dan mengetahuinya secara pasti kenapa dia selalu mengikutiku.

***

Kini di dalam masjid kami sudah siap. Ada sekitar empat jamaah termasuk kang Ujang yang diminta menjadi asisten Ustadz Harun kalau-kalau nanti memerlukan tindakan lebih.

Setelah tausiah selesai,  Ustadz Harun membacakan ayat suci Al Qur’an.

Aku merasa tak tahan,

"Maaf Ustadz saya mengantuk." Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Suara Ustadz sungguh merdu, aku seperti sedang dinyanyikan lagu penghantar tidur.

Ustadz Harun menghentikan pembacaan, melihat ke arahku.

"Ckckck," dia bergeleng-geleng, mungkin menahan kesal karena aku dianggap main-main.

" Sebaiknya Mas Romi ambil air wudhu," sambungnya lagi.

"Tapi saya belum batal Ustadz."

"Nonono." Ustadz menggoyangkan satu jarinya, melarang aku protes.

Tanpa pikir panjang aku segera pergi ke samping masjid tempat jamaah berwudhu.

Kini aku merasa segar.

Ruqyah dimulai kembali, sontak saja hanya dalam hitungan detik, rasanya isi perut seperti diaduk-aduk, mau muntah dan keluar.

Selanjutnya aku sudah tidak sadarkan diri. Jamaah lain yang menyaksikan mengatakan aku muntah-muntah dan mengeram kesakitan.

Selesai Ruqyah, Ustadz Harun mengatakan pada kami,

"Cara masuk jin ada tiga hal, pertama karena keturunan. Disini, jin tahu saat tubuh yang dihinggapi meninggal dia akan cari tubuh lain sesuai karakter yang sebelumnya dan ini biasa ditemui di keturunannya. Namun, tak menutup kemungkinan dia pindah pada orang lain yang dekat dan sekarakter karena yang meninggal tidak punya keturunan.

...

Kedua, teraniaya. Dalam beberapa kasus pernah terjadi saat orang memotong pohon besar akhirnya matanya buta, atau merobohkan bangunan. Sebab jin penunggunya marah dan dengan Ijin Allah SWT dia menyakiti pelaku dengan caranya.

...

Pernah mengikuti amalan-amalan tenaga dalam yang pengisiannya dilakukan dengan bantuan Jin."

Aku merenungkan ucapan Ustadz Harun kata demi kata, mengingat semua kejadian sejak hantu gadis itu menerorku. Sepertinya tak ada kesalahan yang aku lakukan dari yang Ustadz Harun sebutkan.

"Kalau pelet Ustadz?"

"Pelet?"

"Hehe ya Ustadz, semua sebab yang Ustadz sebut tidak saya perbuat, walaupun mantan saya sedikit karena saya tipe lelaki setia, tapi hingga hari ini banyak wanita yang mengajar-ngejar saya. Maklumlah Ustadz saya kan ...." aku sibakkan pelan dari depan ke belakang rambut, sebetulnya aku malu mengatakan yang sejujurnya. Tapi bukankah semua harus dijelaskan secara detail agar masalah bisa tuntas dari akarnya.

"Oooohhh ...." Ustadz Harun manggut-manggut. Membuatku tak enak dengan kejujuranku tadi.

"Ya, ya. Bisa jadi. Hahaha. Tapi untuk sekarang melihat reaksi Mas Romi saat diruqyah, insyaallah Mas Romi tidak akan diganggu jin lagi. Semoga saja soalnya ... em, tapi jika terjadi sesuatu cepat hubungi saya."

"Baik Ustadz," jawabku cepat.

"Mungkin hasilnya tidak maksimal karena saya ada kesibukan, jadi tidak berkomunikasi dengan jin tersebut," Ustadz Harun berkali-kali melihat arloji, "dan jauhi hal-hal yang berbau maksiat pada Allah agar jin tersebut tak kembali."

"Iya Ustadz saya mengerti."

***

Keluar dari masjid jam 07.55. Aku sudah telat ke kantor, karena memerlukan waktu 30 menit ke sana. Jauh memang. Kuputuskan libur kerja, dan menikmati hari baruku tanpa hantu gadis itu.

Delia pasti sudah ke sekolah. Kulihat gawai, tak ada notif sama sekali. "Nyesek, ngambekan banget sih wanita itu," kutarik nafas.

Begini ternyata perasaan jomblo, memegang handphone justru membuat hati perih karena tak ada kabar dari yang tercinta. Pantas saja mereka mengejar-ngejarku, sebab mencintai itu tak cukup sekedar mengingat dalam hati, tapi juga merasakan indahnya dirindui.

Kulempar gawai ke kursi samping lalu pergi menuju rumah sakit Dr. Soepratman. Langsung ke kantin, mengisi perut di kantin yang sedari subuh hanya terisi segelas air putih dan beberapa potong kue yang diberi kang Ujang.

Sembari menikmati soto ibu kantin, kukirim chat pada Damar dan menanyakan keberadaannya.

Cepat dia membalas,

[Oh Loe di RS. Ya udah buruan ke kamar pasien gue tunggu. Oya kamarnya sudah dipindahkan ke kamar Camar NO. 02, karena beberapa sarafnya mengalami masalah]

***

Begitu masuk, Damar sudah ada di sana. Duduk memperhatikan wanita paruh baya yang terbaring koma di atas ranjang. Selang oksigen yang terhubung padanya, menandakan betapa parah luka yang dia alami lima hari lalu.

Malam itu aku merasa bosan di villa, tak kudapati Arya yang pergi dan tak kunjung kembali. Akhirnya kuputuskan pulang, tiba-tiba saja hujan lebat mengguyur. Jalanan basah, di tikungan tajam aku kesulitan mengerem hingga tak sengaja menabrak wanita itu.

Aku panik, karena kami ada di jalanan sepi. Akhirnya karena cukup dekat dengan Damar dan dia seorang dokter, aku pun menghubunginya. Bersyukur wanita itu bisa diselamatkan meski belum sadar hingga detik ini.

Sejak hari itu aku terus mencari keluarganya, tapi nihil. Tak ada yang mengenalnya di area sekitar terjadi kecelakaan.

"Eh Bro," sapa Damar begitu melihatku.

"Gimana keadaannya?"

"Sepertinya cukup parah, setelah terjadi perdarahan otak dan dioperasi ... rasanya sulit untuknya bisa pulih seperti sedia kala. Kita hanya bisa berharap pada keajaiban Tuhan.”

"Semua ini salahku."

Damar menepuk pundakku setengah meremas,

"Ini takdir Bro."

Kutarik nafas dalam-dalam, membayangkan reaksi keluarganya saat mengetahui keadaan ibu ini.

Karena ada hal lain yang ingin kubicarakan dengan Damar, aku membawanya keluar.

Kami duduk di kursi taman rumah sakit.

Damar menyodorkan softdrink, tapi aku menolaknya karena kekenyangan.

"Ada apa? Keknya penting banget," tanya Damar seraya meneguk minumannya.

"Loe tau Arya sakit apa?"

"Sakit?"

"Eem," aku mengangguk, "sepertinya serius sih sampai gue diblokir. Apa jangan-jangan dia yang bunuh Jeny?"

"Hah? Blokir Lue? Siapa Jeny?"

"Iya, Jeny itu muridnya Delia yang ditemukan tewas di jurang. Di puncak sana, tempat kami menginap dan party tahun baru."

"Wah parah, Loe sendiri jangan-jangan terlibat?"

"Yaelah kalau gue terlibat ngapain cerita ke Elo segala? Bunuh diri namanya."

"Iya juga ya, gue kan waktu itu gak ikut. Misal Loe diem, dan ternyata kalo Loe pelakunya pasti aman. Secara selain dokter muda ganteng, gue ini juga detektif handal, hahha," Damar memegang janggut dengan dua jarinya.

"Oya Bro, Loe masih inget semua mantan gue?" Aku berniat meminta bantuan.

"Mantan?"

"Eemm." Aku mengangguk sambil melihat handphone, berharap Delia mengirim pesan.

"Kenapa emang? Loe kangen digilai mereka?"

Aku terkekeh mendengar jawaban yang berupa pertanyaan itu.

"Gak Bro, keknya ada yang kirim ilmu hitam ke gue?"

"Ha?" Mata Damar membulat, terkejut.

"Iya, sudah hampir seminggu gue di ganggu gadis hantu. Setelah mendengar ulasan tentang jin dari seorang Ustadz yang meruqyah, gue berpikir hanya sebab pelet atau jin yang beralih mediator yang ganggu gue. Entah ada mantan gue yang mati dan jin itu pindah ke gue, karena kami sekarakter atau ada guna-guna. Ah entahlah."

"Hehehe, Loe yakin itu hantu, gadis yang dikirim orang yang cinta mati sama Loe?"

"Yah gak yakin juga sih. Cuma penasaran aja, soalnya Ustadz itu tak berkomunikasi dengan jinnya, tapi untungnya gue udah muntah-muntah menurutnya jin itu sudah keluar. Dan semoga dia gak balik lagi ganggu gue."

"Hemm." Damar manggut-manggut, entah dia percaya atau tidak.

"Tapi kalau dipikir-pikir, wajah hantu itu mirip seseorang. Mungkin wajah mantan gue, tapi gue gak inget wajah mereka kesemuanya."

"Arghh. Kebanyakan lihat drakor Loe. Kenapa gak kirim naskah aja Loe ke produser atau penerbit "HANTU ITU MANTANKU" wkwkwk."

"Dan setelah gue pandang lekat-lekat, Ibu yang gue tabrak sangat mirip hantu itu. Bedanya dia sudah tua." Aku terus bercerita tak peduli Damar meledek.

"Ah Loe makin ngaco, udah-udah bangun. Pulang sono Loe, sebelum gue ikut-ikutan stress," Damar menarikku dari duduk dan mendorongku agar keluar rumah sakit.

"Sialan Loe ... tega amat gak mo dengerin soulmate curhat, awas Loe." Aku pun berlalu darinya.

Damar hanya tertawa dan melambai ke arahku.

***

Aku segera berlari ketika Delia keluar dari gerbang sekolah.

"Hei ...!"

"Oh Mas?"

"Ayo, Mas antar pulang."

"Gak usah Mas, aku sudah pesan grab tadi."

"Udah batalin aja."

"Mas enak banget yah, main batalin. Kan kasian dia sudah menunggu pelanggan sejak lama malah di php-in. Sakit lho di php."

Aku memicingkan mata, menyelidik apa yang terpikir di benaknya.

"Apa ini soal tadi malam?"

Delia diam, dengan memeluk tasnya di dada.

Gawainya berbunyi, sopir grab rupanya sudah menunggu dua puluh meter dari tempat kami berdiri.

Delia menatapku, aku segera berlari ke arah mobil yang dipesannya.

"Om, makasih ya." Aku memberikan selembar uang merah pada sopir tersebut, dan memintanya segera pergi.

Tapi seorang pria mendekati Delia dengan sepeda motor bututnya, seorang kepala sekolah.

"Bu mau saya antar," pria tua bangka itu memperlihatkan senyum genit pada Delia.

Aku segera menghampiri sebelum Delia sempat menjawab ucapannya.

"Maaf Pak, Ibu Delia ada janji dengan calon suaminya," aku tersenyum semanis yang aku bisa.

Delia nampak kesal. Tapi aku tak peduli dan menariknya ke mobil.

"Permisi," ucapku sembari kami meninggalkannya, dia membenarkan posisi kacamatanya.

Perjalanan ke rumahnya terasa hening. Tak ada satu kata pun meluncur dari mulutnya.

"Apa pria tua itu suka padamu?" tanyaku yang dibakar cemburu.

Delia hanya diam melihat ke arah luar jendela.

"Soal tadi malam Mas minta maaf. Mas akan jelaskan semuanya."

Delia mulai bereaksi, melihat ke arahku.

"Iyya Mas akan jelaskan semuanya di saat yang paling tepat."

Dia kembali melihat ke arah jendela.

Tak sengaja aku melihat bibi Yuna di pinggir jalan dengan seorang laki-laki memakai seragam guru, mungkin itu suaminya. Tadinya aku ingin bilang dan bertanya pada Delia, tapi urung karena dia diam. Moodnya sedang buruk, mungkin lagi PMS.

Hingga sampai di depan rumah Delia, ia lepaskan sabuk pengaman dan akan segera turun. Namun aku menyergahnya, menariknya dalam pelukanku.

Delia mendongak, kami saling tatap.

"Maafkan Mas," aku mendekat hingga bibir kami bertemu.

Delia hanya memejamkan mata. Kami tenggelam dalam indahnya surga, hingga hampir saja aku lupa diri. Ketiga kali aku akan memagutnya, wajah Delia berubah ...

"Arghh ....!" Aku terhenyak.

Wajahnya berubah menjadi wajah gadis hantu berseragam, mendelik dengan tatapan kosongnya. Aku mendorongnya keras hingga terhempas ke kursi.

"Mas!!" Delia marah, segera memperbaiki pakaiannya. Keluar dengan membanting pintu keras.

Melihatnya, aku segera sadar dan mengejarnya. Kuraih lengannya.

"Maafkan Mas, Mas akan jelaskan sekarang juga."

Tapi kali ini dia menepis keras, melemparkan tanganku dan ....

"Auu!"  Aku meringis kesakitan memegang kaki, karena hentakan keras dari high heels hitamnya. Lalu pergi meninggalkanku.

Sial, bukan hanya ketakutan mencekramku, rasa sakit karena injakannya membuatku tak berhenti meringis.

Ada apa ini? Bukankah Ustadz Harun sudah meruqyahku, bagaimana bisa aku melihat penampakan itu lagi? Bahkan aku sempat berciuman dengan hantu itu. Cuihh, hii.

Bersambung ke HALAMAN INI
Diubah oleh wafafarhamu 09-02-2021 11:50
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
325
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan