wafafarhamuAvatar border
TS
wafafarhamu
BAB 3: MELIHAT WAJAH HANTU
[Sorry Bro, gue lagi terapi. Lain kali kita bahas]

Arya membalas WA-ku sekitar sepuluh menit setelahnya.

Lho? Bukannya dia tadi bilang tidak sedang sibuk. Arya memang sulit ditebak, bicara tanpa dipikir dulu.

[Ini genting Ya!]

Centang satu.

[Bro? Ya!]

[Segera hubungi gue begitu Loe baca  pesan ini]

Centang satu.

Entah dia mematikan internet atau dia sengaja memblokirku.

Kutatap arloji di tangan, sudah pukul sepuluh malam.

Hape seorang guru laki-laki bernama Sanjaya berdering berkali-kali.

"Iya Sayang maaf, ini Mas belum dapat giliran." Dia nampak sibuk dan meminta maaf pada orang di ujung telepon. Nampaknya dari istrinya, dasar lelaki takut istri.

Jika aku selemah dia, pasti aku akan diinjak-injak Delia. Sekarang saja aku selalu kalah dengan kemauannya. Hemh ... Wanita.

Tentu saja telepon itu mengganggu investigasi polisi. Semua orang menatap ke arah Sanjaya. Dia pun berlalu dari sana.

Baru saja aku geli dengan tingkahnya, gawaiku bergetar. Cukup keras, kini giliran semua orang menatapku.

Apa mungkin Arya menelpon? Tak nyaman pada yang lain, aku pun berlalu dari mereka.

"Selamat malam, dengan Bapak Romi?" Suara wanita di ujung telepon.

"Ya?"

"Kami dari rumah sakit Dr. Soepratman, ingin memberitahukan pasien yang Bapak bawa memerlukan tindakan operasi segera. Bisakah Bapak datang untuk mengurus administrasi?"

Aku diam, berpikir sejenak, hampir saja aku lupa dengan kejadian itu.

"Em, maaf saya tidak bisa kemana-mana. Nanti teman saya akan segera menemui Anda, dan menyelesaikan semua. Tolong lakukan yang terbaik untuk pasien."

"Baik. Terimakasih." Wanita itu menutup teleponnya.

Aku segera menghubungi orang lain, Damar sahabatku. Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit itu. Aku sengaja membawa wanita itu ke sana, karena akan lebih mudah dengan bantuan Damar.

"Bro?" Aku langsung memanggil namanya ketika dia mengangkat telepon.

"Ya?" Damar menjawab.

"Tolong ke bagian administrasi. Wanita itu memerlukan tindakan operasi. Nanti Loe sebutin semua nominalnya. Ok?"

"Oh. Siap Bro. Jangan lupa traktir gue juga."

" Ah gampang itu mah. Hahaha." Aku menutup obrolan kami.

Meski sama-sama sibuk, kami menyempatkan waktu bertemu. Barang nongkrong sebentar di akhir pekan bersama teman lama, hingga hari ini aku masih dekat dengan Damar dan Arya.

Mengingat kejadian yang kualami, aku berharap wanita itu baik-baik saja. Segera sadar. Karena hingga hari ini aku belum menemukan keluarganya.

Perasaan bersalah kembali datang.

Menghela berat, hanya itu upayaku menenangkan diri.

Aku lihat semua orang masih sibuk. Kecuali Ibu Yuna, yang memandang kosong. Kali ini dia bertukar posisi dengan Bapak Yuna.

Aku tak perlu harus bicara dan memberi keterangan. Lagipula aku hanya melihatnya sebagai teman Arya, jikapun harus memberi keterangan itu adalah Arya. Tak ingin gegabah dan salah langkah yang menjerumuskan dalam kesulitan, aku memilih diam.

Tapi jika Arya benar pelakunya, maka mau tak mau aku juga akan dimintai keterangan. Karena akulah yang menyimpan nomor Yuna, handphone Arya low bat kala itu.

Tak lama, seorang wanita dengan syal di lehernya datang. Lumayan cantik untuk wanita seusianya, meski tak secantik bidadariku, Delia. Tentu saja, karena Delia masih berumur 23 tahun. Penampilan klasik, khas seorang yang bertahan dengan tradisi takhayul.

Wanita dengan penampilan tak biasa itu adalah adik Ibunya Yuna, yang tak lain adalah bibinya Yuna. Sejak datang, matanya sudah sembab. Sepertinya dia sangat terpukul dengan kematian Yuna.

"Mbak?!" Wanita itu menghambur ke arah Ibu Yuna, berdua menangis berpelukan.

Orang-orang yang sibuk tiba-tiba saja berhenti dan melihat ke arah Ibu dan bibi Yuna dengan iba. Bahkan Sanjaya sempat terlihat mengelap air di sudut matanya. Begitu juga Delia dan Wati, guru wanita yang ada bersama mereka. Bahkan Bi Inah terlihat terenyuh.

Sedang pria berkacamata itu kenapa selalu bersikap mencurigakan? Dia hanya menyilangkan tangan di dada, kemudian kembali sibuk bicara pada polisi.

***

Di dalam mobil, Delia terus bicara tanpa jeda. Sedang aku hanya sesekali menimpali karena sibuk nyetir.

"Mas tau gak? Yuna itu ditemukan di dalam jurang, sepertinya saat dilempar ke jurang dia sudah mati. Kasian sekali Mas, pasti dia sangat menderita, meregang nyawa dan dirudapaksa. Aku yakin karena dia dalam keadaan telanjang. Duh, gak bisa bayangin ada di posisinya. Bagaimana perasaan orang tua dan bibinya?"

Dasar wanita, bagaimana dia bisa bicara tanpa lelah dengan kecepatan seperti itu?

"Lalu?" Terus terang aku pun penasaran dengan kejadian apa yang menimpa Yuna.

Apakah hantu gadis yang selalu menerorku itu adalah Yuna? Bahkan saat melihat fotonya memakai seragam aku tak tau kalau itu si Jeny. Apa dia ingin minta tolong? Atau dia sebenarnya suka padaku karena belum sempat mengutarakan, dan penasaran mengejarku? Hih, tak sadar aku menggoyangkan pundak karena ngeri.

"Mas, kenapa?"

"Gak Sayang, ngeri bayangin keadaan Yuna di jurang. Pasti gelap sekali dan banyak hantu di sana." Aku berusaha menutupi apa yang kurasa.

"Ih, Mas ini kan laki-laki, kok malah yang dibayangin hantunya. Lagian mana ada hantu jaman sekarang? Kalau buaya darat banyak. Apalagi yang suka PHP."

Aku nyengir. Pura-pura tak paham sindirannya.

"Tapi kira-kira siapa pelakunya ya? Apa karena dirudapaksa itu bangkunya selalu basah sebab ingin memberi tanda pada orang dekatnya bahwa di tubuhnya ada sperma. Tapi kira-kira siapa yang tega melakukan itu?” Aku mencoba menghubungkan bangku sekolahnya yang selalu basah dengan kondisi mayat Yuna yang ditemukan.



"Gak tau Mas, kalau aku bayangin pasti laki-laki. Jangan-jangan dia dirudapaksa pacarnya, atau temannya. Atau teman-teman pacarnya, atau laki-laki yang sama sekali tak dikenal. Siapa saja bisa jadi pelakunya? Bahkan Mas juga bisa."

Aku terbatuk-batuk mendengar ucapan Delia.

Dia melirikku,

"Habis pas malam itu kan Mas harusnya ada bersamaku. Mas kemana sih sebenarnya?"

"Kan Mas sudah bilang liburan sama teman-teman. Dan tak ada satu wanita pun di sana." Memang tak ada wanita dalam party itu, kecuali Jeny. Tapi aku tak sanggup bicara pada Delia, takut dia berpikir tidak-tidak dan membenciku.

"Iya dimana?"

"Di villa."

"Aku tanya nama tempatnya Mas." Delia menekan suaranya.

Gawainya berbunyi, membuatnya menghentikan pertanyaan padaku.

"Ya Yah? ... gak Yah. Ini sudah mau sampai. Lagian kan aku sama Mas Romi juga Bi Inah ... ya, ya."

Delia menutup telepon. Ayahnya khawatir karena hampir tengah malam Delia dan pembantunya belum juga pulang.

"Oya bagaimana dengan mayat lainnya? Apa dia juga seorang gadis seperti Yuna? Atau ...."

Aku memutar mobil karena sudah sampai di rumah Delia.

"Wah Mas, Ayah sudah menunggu di teras. Lain kali aja aku ceritain ya." Delia melepas sabuk pengamannya.

Bi Inah turun.

"Lho kok?" Aku heran Delia tak segera turun setelah melepas sabuk pengaman.

Sepersekian detik Delia mendekatkan wajahnya ke wajahku, kami saling pandang, lekat. Wajahnya sungguh cantik, mata jeli dan bibir merah merekah. Delia hendak menempelkan bibirnya ke bibirku. Aku segera menepisnya sebelum bibir sensualnya mendarat ke sasaran.

"Ehm, maaf Sayang gak enak. Ayah kamu sudah nungguin."

Delia salah tingkah atas penolakanku, lalu segera keluar. Tanpa melihat lagi ke arahku.

Hatiku sedang tak enak, rasa takut yang terus bergelayut membuatku hambar dan tak bernafsu walau sekedar mencumbu.

Aku juga sedang berproses berubah, karena sebelumnya hampir saja aku kehilangan kendali. Dan juga, aku takut hantu yang cinta mati padaku itu marah dan balik menyerang Delia karena marah dibakar cemburu.

Menjadi ganteng itu ternyata merepotkan, bukan hanya manusia, hantu pun mengejar-ngejarku.

Ayah Delia melambai, kemudian tiga orang itu masuk. Ketika sudah tak melihat siapapun, aku menginjak pedal gas meluncur ke masjid. Selain tak ada yang bisa aku lakukan di rumah karena insomnia, dan tak ingin mengganggu orang rumah, aku ada janji dengan Ustadz Harun lepas subuh di masjid.

"Apa gadis itu tak pernah jatuh cinta sebelumnya saat masih hidup, hingga memperlakukanku seperti ini. Bukankah orang jatuh cinta itu seharusnya berbaik-baik pada orang yang dicintainya, bukan malah meneror seperti ini, menakut-nakuti dengan sosok yang menyeramkan. Setidaknya dia bicara baik-baik. Dih, bagaimana aku bisa bicara baik-baik dengan hantu?" Aku bergumam sendiri dan berdecih sambil menyetir.

Suasana jalan temaram. Hanya lampu jalan, menghiasa malam gulita, hampir tak aku temui satu manusiapun. Terus kuinjak gas. Keadaan tak kalah mencekam seperti lorong rumah sakit tadi, meski bukan kamar mayat yang aku tuju. Aku sendirian, bukankah itu waktu yang ditungu-tunggunya menampakkan wujudnya padaku.

Lima belas menit ke masjid terasa begitu lama. Aku bahkan tak bisa tenang, barang sekejap.

Waspada jika sewaktu-waktu dia muncul di hadapanku. Kulihat berkali-kali kursi belakang mobil yang kosong. Membayangkan dia mengelus dan memanggil namaku. Aku bergidik.

Beruntung tak ada penampakan sepanjang jalan. Hingga hanya harus berbelok dan sampai di masjid.

Tapi ....

Sosok itu kembali ada di halte seberang masjid, bajunya lecek penuh darah, rambut masih menutup wajahnya. Kali ini dia berdiri dan mengarahkan satu tangannya ke depan seolah memanggilku. Meski berbelok, aku menginjak gas lebih dalam, ingin segera mencapai masjid.

Setelah parkir aku berlari masuk, dengan nafas tersengal-sengal. Aku menyandar ke dinding. Bertanya pada diri sendiri, bukankah aku ingin dia bicara baik-baik, mungkin dia ingin mengatakan sesuatu, kenapa aku malah ketakutan? Aku belum siap menerima cinta gadis itu.

Kembali mengintip ke seberang jalan, sosok itu sudah hilang. Aku bernafas lega.

***

Subuh hari, kami duduk di teras masjid. Suasana begitu tenang, begitupun suasana hati ini.

"Kita punya banyak waktu sampai jam mengajar saya di pondok Mas." Ustadz Harun membuka percakapan.

"Emm, iya Ustadz."

"Bagaimana? Masih sering mengalami hal aneh?"

"Tadi malam dua kali dia menampakkan diri di halte Ustadz." Aku menunjuk ke arah halte.

"Kenapa gak diajak masuk? Kan bisa sekalian ngobrol, barangkali dia mau taaruf. Hahahha."

Ustadz Harun menepuk pahaku. Tertawa terpingkal-pingkal.

Aku menggaruk kepala. Ustadz humoris ini bercandanya sudah di ambang batas.

"Becanda aja Ustadz. Apa hantu bisa jatuh cinta pada manusia Ustadz?"

"Hahaha."

Ustadz Harun kembali tertawa, sampai terlihat lelah, dia menyambung ucapannya, "Saya luruskan dulu Mas. Bukan hantu, tapi jin."

Aku mengernyit. Bukannya gadis itu arwah penasaran.

"Jadi jin itu bisa berubah-ubah wujud, termasuk jadi hantu. Dia bisa jatuh cinta pada manusia hingga si manusia mengalami banyak keanehan."

"Seperti saya Ustadz?"

"Kalau dia jatuh cinta pada Mas Romi, harusnya dia membuat Mas Romi tidak bisa jatuh cinta."

Oh dugaanku salah, bahkan hingga detik ini masih sangat mencintai Delia.

"Jadi hantu itu penampakan jin? Bukan arwah penasaran?"

"Ya." Ustadz Harun mengangguk, "Sepertinya Mas perlu di ruqyah," sambungnya lagi.

"Ruqyah Ustadz?"

Ustadz Harun mengangguk lagi.

"Allaaaahu akbaaaaaar .....!"

Aku berteriak sekuat tenaga, berjingkat dari tempat duduk.

Ustadz Harun berusaha menenangkanku.

Hantu itu tepat di sebelah Ustadz Harun, wajahnya pucat pasi dan mata pandanya hitam hampir sepipi khas seorang hantu. Menatap kosong ke arahku  Aku melotot beberapa saat karena kaget, dan sosok itu hilang begitu berkedip.

Jantungku berdegup kencang, melihat ke semua arah mencari sosoknya.

Sekarang gadis hantu berseragam itu sudah memperlihatkan wajahnya. Dan ternyata bukan Yuna? Lalu siapa?

Bersambung ke HALAMAN INI
Diubah oleh wafafarhamu 09-02-2021 11:27
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
320
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan