sumber

Dalam hidup, terkadang kita tak bisa menggenggam beberapa hal secara bersamaan. Semakin kita ingin, semakin terlihat jelas perpisahan itu.

Takdir mempertemukan kita dalam situasi tak terduga. Kupikir hari itu, hari terakhir kulihat senja. Namun, nyatanya seorang lelaki datang menyelamatkan disertai rinai yang jatuh membasahi bumi.

“Kau pikir mati itu menyenangkan?”

Masih kuingat bagaimana sinisnya suaramu kala itu. Namun, aku yang sudah terluka tak lagi peduli akan katamu. Bukannya mundur, aku semakin yakin melangkah untuk mengakhiri segalanya di sini.

“Bayangkan bagaimana hancurnya kepalamu saat jatuh dari ketinggian ini ... atau bagaimana jika kau akan berakhir setengah mati?”

Melihatku yang semakin nekad untuk melompat membuatmu kalap, terbukti dengan suara yang bergetar dan cepat.
Aku yang mendengarkan mendadak mundur, phobia akan ketinggian kembali hadir. Melihatku yang gemetar, kau langsung mengambil langkah dengan menarikku cepat menjauhi batas jembatan yang tinggal beberapa langkah lagi untuk terjun.

Seperti adegan film yang sering berputar, kita jatuh ke aspal jalanan lincin lantaran hujan. Tanpa tahu nama ataupun masalahku, kau mengatakan “Percayalah pada Tuhan, bahwa rencana-Nya selalu baik. Apapun masalahnya, kau hanya perlu mengikhlaskan dan menjalankan.”

Hujan semakin deras, seperti air mataku yang terus menetes. Aku yang biasa selalu tampak kuat di depan orang-orang, hari itu begitu lemah di depanmu yang masih asing. Meski begitu, kau sama sekali tak berniat untuk meninggalkanku kala itu.

Waktu terus berputar, tadinya kita dua orang yang begitu asing sebelum saling dekat. Dengan kebaikan tulus yang selalu kau tunjukkan, berhasil membuatku mencintaimu begitu cepat. Tawa yang awalnya suatu kemustahilan dalam hidup lantaran luka yang begitu menyanyat, kini terjadi hampir setiap harinya. Kupikir kau benar, bahwa “Rencana Tuhan selalu baik.”

Tanganku melambai kala melihatmu yang sudah keluar dari pagar gedung tempatmu beribadah. Setelan jas hitam membuatmu terlihat sangat gagah.
Perlahan langkahmu semakin mendekat, sedangkan senyum itu terus saja mengembang. Aku menatap lekat pada sebuah kitab yang kau pegang erat.

“Mari kita akhiri semuanya di sini,” ucapku menahan sesak yang begitu menyakitkan.

Seketika bola matamu membesar, mungkin tak menyangka kalau akan secepat ini. Walau tak selebar tadi, tapi kau tetap tersenyum sembari mengangguk menyetujui. Membuat bulir bening dari mataku menetes saat tahu hubungan kita telah berakhir.

“Jika hubungan ini adalalah larangan dalam agamamu, maka tinggalkan aku. Bagaimapun, pada masanya orang-orang yang kau cintai ataupun mencintaimu akan pergi apapun alasannya. Namun, Tuhan tidak begitu.”

Setelah semua selesai dan mengucapkan perpisahan, kita sama-sama berbalik meninggalkan. Semua kisah yang kita lalui bersama selama beberapa bulan terakhir, hanya akan menjadi sebuah kenangan.

Kepergianmu benar-benar membuatku kehilangan, ternyata berpisah di saat saling mencintai jauh lebih menyakitkan. Tadinya, aku berharap kebersamaan kita kan ditutup dengan bahagia, karena perjumpaan kita sudah diawali tangis. Namun, ternyata aku salah, sebab masing-masing dari kita sangat mencintai Tuhan.

sumber

Seperti katamu, Semua rencana Tuhan itu baik, kita hanya perlu mengkhilaskan dan menjalaninya. Untuk itu aku terus melangkah walau dengan hati patah, karena kehilangan. Setelah hari ini, mungkin kita tak akan bertemu lagi. Namun, jika nantinya takdir mempertemukan kita kembali, kuharap kita mempunyai iman yang sama.

Untukmu yang sedang merasa kehilangan, baik itu cinta, barang, maupun yang lain. Hanya satu solusi untuk menghentikan sakitnya, yaitu mengikhlaskan. Kuharap setelah itu kau akan baik-baik saja.

Langkat, 02 Januari