- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Peluh Penggali Kubur dan Tangis Keluarga di Makam Corona


TS
Joko.Lee
Peluh Penggali Kubur dan Tangis Keluarga di Makam Corona
Quote:

Rohadi alias Komeng refleks menepak lengan pemuda tambun di sebelahnya. Bukannya marah, ia justru terbahak saat menyumpahi kawannya itu.
"Udah enggak ketahan, Bang Komeng," timpal Ndi cengengesan usai melepas gas dari perutnya dengan kencang.
Rohadi, Ndi, dan keempat pria lainnya duduk sejenak meluruskan kaki di pinggir kali kecil, sambil menyeka butir peluh di dahi.
Mereka baru saja selesai menggotong sepuluh peti jenazah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Muslim Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (20/1) siang.
Keenam pria itu kemudian menyampirkan alat pelindung diri (APD) di jemuran khusus. Termasuk sarung tangan dan sepatu bot. Mereka lantas bergantian mencuci tangan dan kaki, serta 'mandi' disinfektan.
Sekitar 30 meter di balik punggung mereka, suara mesin ekskavator berbaur dengan derit mata cangkul menggaruk tanah berwarna merah kecoklatan. Suara azan dari ahli waris penghuni liang lahat terdengar pelan. Sayup-sayup suara tangis wanita tersedu-sedu di bawah tenda tak jauh dari makam.
TPU sedang panas-panasnya kala mereka melakoni tugas harian selaku petugas Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan.
"Ya, begini keadaannya sehari-hari, bercanda kayak gini ngelepas capek stres dikit-dikit," ujar Rohadi sembari membersihkan sisa tanah di celana dinas berwarna hijau.
Tempatnya bekerja itu baru saja difungsikan menjadi TPU Covid-19 pada Selasa (12/1).
Rohadi memang terbiasa mencangkul liang lahat, menguruk, memotong rumput dan merapikan petak makam. Saat tiba-tiba ditunjuk mengurusi pemakaman jenazah Covid-19, ia menyadari beban kerjanya bakal lebih berat.
Pikirannya pun tak keruan. Ketakutan akan tertular virus corona atau dijauhi tetangga di kampung, sempat berkecamuk di benak Rohadi.
"Sempat takut pasti ya awal-awal, tapi kan sudah tugas. Terus alhamdulillah katanya ada insentif, ya kan rejeki orang," ujarnya.

"Udah enggak ketahan, Bang Komeng," timpal Ndi cengengesan usai melepas gas dari perutnya dengan kencang.
Rohadi, Ndi, dan keempat pria lainnya duduk sejenak meluruskan kaki di pinggir kali kecil, sambil menyeka butir peluh di dahi.
Mereka baru saja selesai menggotong sepuluh peti jenazah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Muslim Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (20/1) siang.
Keenam pria itu kemudian menyampirkan alat pelindung diri (APD) di jemuran khusus. Termasuk sarung tangan dan sepatu bot. Mereka lantas bergantian mencuci tangan dan kaki, serta 'mandi' disinfektan.
Sekitar 30 meter di balik punggung mereka, suara mesin ekskavator berbaur dengan derit mata cangkul menggaruk tanah berwarna merah kecoklatan. Suara azan dari ahli waris penghuni liang lahat terdengar pelan. Sayup-sayup suara tangis wanita tersedu-sedu di bawah tenda tak jauh dari makam.
TPU sedang panas-panasnya kala mereka melakoni tugas harian selaku petugas Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan.
"Ya, begini keadaannya sehari-hari, bercanda kayak gini ngelepas capek stres dikit-dikit," ujar Rohadi sembari membersihkan sisa tanah di celana dinas berwarna hijau.
Tempatnya bekerja itu baru saja difungsikan menjadi TPU Covid-19 pada Selasa (12/1).
Rohadi memang terbiasa mencangkul liang lahat, menguruk, memotong rumput dan merapikan petak makam. Saat tiba-tiba ditunjuk mengurusi pemakaman jenazah Covid-19, ia menyadari beban kerjanya bakal lebih berat.
Pikirannya pun tak keruan. Ketakutan akan tertular virus corona atau dijauhi tetangga di kampung, sempat berkecamuk di benak Rohadi.
"Sempat takut pasti ya awal-awal, tapi kan sudah tugas. Terus alhamdulillah katanya ada insentif, ya kan rejeki orang," ujarnya.

Kendati begitu, pria 32 tahun ini belum mengetahui persis besaran insentif yang bakal ia kantongi. Hanya bermodal 'katanya' dari PJLP di TPU lain, ia yakin bakal mengantongi insentif Rp215 ribu per hari saat gajian.
Pikirnya, dengan gaji bulanan Rp4,2 juta ditambah insentif itu cukup untuk menafkahi istri dan kedua anaknya di Karawang, Jawa Barat.
"Katanya sih dapat segitu, kan lumayan, bisa buat tambah-tambah. Saya sih pulangnya seminggu sekali pas Sabtu, tapi ya kadang enggak balik," kata Rohadi usai menenggak minuman sekali teguk habis.
Rohadi tinggal terpisah dari keluarganya. Ia merantau di ibu kota sejak masih lajang, dan tinggal di gubuk tak jauh dari tempatnya bekerja itu. Rohadi dan rekan kerjanya tinggal non-permanen, sekadar untuk menumpang makan dan tidur.
Memandangi telapak kakinya yang berbalut tanah merah itu, Rohadi kilas balik menceritakan pengalamannya yang sudah lebih dari satu dekade bergelut di pemakaman.
Ia sudah banyak makan asam garam pemakaman, hingga tak takut berjalan sendirian di TPU pada malam hari atau bahkan iseng tiduran sejenak di galian makam.
Sekitar 11 tahun menggantungkan hidup sebagai petugas pemakaman membuatnya dekat dengan Sang Pencipta. Setiap hari, Rohadi harus menyiapkan bantalan tidur jenazah dengan segala suasana duka dari kerabat yang ditinggal.
"Ya, Covid-19 ini sih yang bikin kadang terharu, apa ya, sedih. Enggak bayangin gitu kalau yang meninggal istri atau anak. Terus kalau sekarang kan banyak banget jenazahnya, jadi ngerasa hari-hari lihat orang nangis mulu, kasihan," ungkapnya.
Di TPU Srengseng Sawah, menurutnya, sedikitnya ada 30-60 pemakaman setiap hari. Dengan jumlah PJPL berjumlah 24 orang, mereka membagi enam orang menjadi empat sif.
Setiap sif menggotong lima peti jenazah kemudian istirahat, dan terus berotasi. Bila dalam sehari ada 40 jenazah Covid-19 dikebumikan, maka Rohadi dalam sehari kedapatan menggotong 10 peti jenazah.
"Soalnya pakai APD seharian sebenarnya gerah ya, enggak kuat. Makanya itu inisiatif dibagi-bagi sif lima kali angkut, istirahat, nunggu giliran lagi," ujarnya.
Kebal Cacian
Puluhan kilo dari Rohadi, Thohir selaku petugas PJLP Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat lebih kenyang lagi makan asam garam. TPU Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat telah lebih dulu ditetapkan sebagai makam khusus Covid-19 sejak Maret 2020.
Pria berusia 48 tahun ini kini tidak lagi sakit hati saat beberapa keluarga jenazah meradang lantaran tak terima pemakaman dengan protap Covid-19. Pengalamannya berbulan-bulan itu cukup membekali fisik dan mental saat memakamkan jenazah penyintas Covid-19.
"Duh, kadang ada yang marah-marahin kita ini, tapi ya kita pekerja tinggal beres, 'marahnya ke kantor sana, ke dinas', saya gituin," kata Thohir sembari meratakan bongkahan tanah menggumpal di Blad 68 TPU Tegal Alur khusus pemakaman non-muslim.

Pikirnya, dengan gaji bulanan Rp4,2 juta ditambah insentif itu cukup untuk menafkahi istri dan kedua anaknya di Karawang, Jawa Barat.
"Katanya sih dapat segitu, kan lumayan, bisa buat tambah-tambah. Saya sih pulangnya seminggu sekali pas Sabtu, tapi ya kadang enggak balik," kata Rohadi usai menenggak minuman sekali teguk habis.
Rohadi tinggal terpisah dari keluarganya. Ia merantau di ibu kota sejak masih lajang, dan tinggal di gubuk tak jauh dari tempatnya bekerja itu. Rohadi dan rekan kerjanya tinggal non-permanen, sekadar untuk menumpang makan dan tidur.
Memandangi telapak kakinya yang berbalut tanah merah itu, Rohadi kilas balik menceritakan pengalamannya yang sudah lebih dari satu dekade bergelut di pemakaman.
Ia sudah banyak makan asam garam pemakaman, hingga tak takut berjalan sendirian di TPU pada malam hari atau bahkan iseng tiduran sejenak di galian makam.
Sekitar 11 tahun menggantungkan hidup sebagai petugas pemakaman membuatnya dekat dengan Sang Pencipta. Setiap hari, Rohadi harus menyiapkan bantalan tidur jenazah dengan segala suasana duka dari kerabat yang ditinggal.
"Ya, Covid-19 ini sih yang bikin kadang terharu, apa ya, sedih. Enggak bayangin gitu kalau yang meninggal istri atau anak. Terus kalau sekarang kan banyak banget jenazahnya, jadi ngerasa hari-hari lihat orang nangis mulu, kasihan," ungkapnya.
Di TPU Srengseng Sawah, menurutnya, sedikitnya ada 30-60 pemakaman setiap hari. Dengan jumlah PJPL berjumlah 24 orang, mereka membagi enam orang menjadi empat sif.
Setiap sif menggotong lima peti jenazah kemudian istirahat, dan terus berotasi. Bila dalam sehari ada 40 jenazah Covid-19 dikebumikan, maka Rohadi dalam sehari kedapatan menggotong 10 peti jenazah.
"Soalnya pakai APD seharian sebenarnya gerah ya, enggak kuat. Makanya itu inisiatif dibagi-bagi sif lima kali angkut, istirahat, nunggu giliran lagi," ujarnya.
Kebal Cacian
Puluhan kilo dari Rohadi, Thohir selaku petugas PJLP Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat lebih kenyang lagi makan asam garam. TPU Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat telah lebih dulu ditetapkan sebagai makam khusus Covid-19 sejak Maret 2020.
Pria berusia 48 tahun ini kini tidak lagi sakit hati saat beberapa keluarga jenazah meradang lantaran tak terima pemakaman dengan protap Covid-19. Pengalamannya berbulan-bulan itu cukup membekali fisik dan mental saat memakamkan jenazah penyintas Covid-19.
"Duh, kadang ada yang marah-marahin kita ini, tapi ya kita pekerja tinggal beres, 'marahnya ke kantor sana, ke dinas', saya gituin," kata Thohir sembari meratakan bongkahan tanah menggumpal di Blad 68 TPU Tegal Alur khusus pemakaman non-muslim.

Sambil mengayunkan cangkulnya, Thohir melanjutkan ceritanya soal bagaimana rasa jengkel sekaligus mafhum saat beberapa anggota keluarga jenazah datang, meraung dan menghardik.
Keluarga jenazah itu, tak jarang melampiaskan marah kepada para petugas di lapangan. Mereka berusaha tak ingin mendengarkan amarah dan memilih melanjutkan kerja.
"Jangan dicovid-covidkanlah, ini itu, tapi ya itu urusan sama rumah sakit toh," kata pria asal Jawa Tengah ini.
Setengah tahun lebih bekerja di area pemakaman Covid-19 non-muslim ini pun membuatnya ketar-ketir tertular.
Tinggal bersama ibu yang sudah berusia lanjut membuat Thohir harus lekas membersihkan diri saat pulang, rajin konsumsi vitamin, dan tak absen menjalani agenda pemeriksaan deteksi Covid-19.
Awalnya, Thohir mengaku takut tertular dan sempat tak pulang ke rumah beberapa hari. Ia menumpang di salah satu tempat istirahat yang disediakan kantor. Upaya itu dilakukannya saking khawatir apabila virus menjangkiti keluarganya.
Namun seiring waktu, ia semakin teredukasi. Thohir pun bangga dapat terjun langsung sebagai salah satu garda penting dalam penanganan pandemi di Indonesia.
"Ya, bedanya pemakamannya, hanya ini lebih kayak kemanusiaan gitu lah, tolong menolong antar-agama," kata dia.
Ditemui terpisah, Hanafi, petugas PJLP Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan yang bertugas di TPU Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan, berharap areanya tak dijadikan makam tumpang untuk jenazah covid-19.
"Kalau di sini alhamdulillah belum ada makam tumpang Covid-19, karena kita juga masih was-was gitu, takutnya nanti di TPU kita ada keluarga nuntut gitu, atau ada penolakan warga," kata Hanafi saat ditemui Kamis (21/1).
TPU Jeruk Purut sendiri, kata Hanafi, tak lagi menerima pemakaman baru. Area dengan luas 9,12 hektare itu menurutnya telah menjadi tempat persemayaman puluhan ribu orang. Sejak sekitar tiga atau empat tahun lalu, TPU tempatnya menggantungkan hidup itu hanya melayani makam tumpang bagi jenazah biasa.
Sembari bekerja, ia pun menunjuk salah satu makam tumpang yang telah terisi empat anggota keluarga, sedang di sebelahnya ada galian makam baru tumpang yang bakal digunakan untuk tiga keluarga dari kakek hingga cucu.
"Di sini tumpang semua, sudah penuh deh, ya," kata dia sembari menenteng cangkul bersiap mencangkul liang lahat lainnya.
Meski masih was-was soal pemakaman covid-19, namun pria 55 tahun ini andal melakukan prosesi pemakaman. Mulai dari pengerukan lahan, gotong peti, hingga memasukkan jenazah ke liang lahat.
Ia telah menekuni pekerjaannya itu sejak lima tahun lalu. Hingga Hanafi mendapat julukan 'panglima' oleh kawannya.
Ia pun menyatakan siap fisik dan mental jika tiba-tiba nantinya ditugaskan untuk terjun sebagai salah satu pasukan terdepan selama masa pageblug ini.
"Siap-siap saja saya mah, siap 45," kekeh kakek lima orang cucu itu.

Keluarga jenazah itu, tak jarang melampiaskan marah kepada para petugas di lapangan. Mereka berusaha tak ingin mendengarkan amarah dan memilih melanjutkan kerja.
"Jangan dicovid-covidkanlah, ini itu, tapi ya itu urusan sama rumah sakit toh," kata pria asal Jawa Tengah ini.
Setengah tahun lebih bekerja di area pemakaman Covid-19 non-muslim ini pun membuatnya ketar-ketir tertular.
Tinggal bersama ibu yang sudah berusia lanjut membuat Thohir harus lekas membersihkan diri saat pulang, rajin konsumsi vitamin, dan tak absen menjalani agenda pemeriksaan deteksi Covid-19.
Awalnya, Thohir mengaku takut tertular dan sempat tak pulang ke rumah beberapa hari. Ia menumpang di salah satu tempat istirahat yang disediakan kantor. Upaya itu dilakukannya saking khawatir apabila virus menjangkiti keluarganya.
Namun seiring waktu, ia semakin teredukasi. Thohir pun bangga dapat terjun langsung sebagai salah satu garda penting dalam penanganan pandemi di Indonesia.
"Ya, bedanya pemakamannya, hanya ini lebih kayak kemanusiaan gitu lah, tolong menolong antar-agama," kata dia.
Ditemui terpisah, Hanafi, petugas PJLP Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan yang bertugas di TPU Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan, berharap areanya tak dijadikan makam tumpang untuk jenazah covid-19.
"Kalau di sini alhamdulillah belum ada makam tumpang Covid-19, karena kita juga masih was-was gitu, takutnya nanti di TPU kita ada keluarga nuntut gitu, atau ada penolakan warga," kata Hanafi saat ditemui Kamis (21/1).
TPU Jeruk Purut sendiri, kata Hanafi, tak lagi menerima pemakaman baru. Area dengan luas 9,12 hektare itu menurutnya telah menjadi tempat persemayaman puluhan ribu orang. Sejak sekitar tiga atau empat tahun lalu, TPU tempatnya menggantungkan hidup itu hanya melayani makam tumpang bagi jenazah biasa.
Sembari bekerja, ia pun menunjuk salah satu makam tumpang yang telah terisi empat anggota keluarga, sedang di sebelahnya ada galian makam baru tumpang yang bakal digunakan untuk tiga keluarga dari kakek hingga cucu.
"Di sini tumpang semua, sudah penuh deh, ya," kata dia sembari menenteng cangkul bersiap mencangkul liang lahat lainnya.
Meski masih was-was soal pemakaman covid-19, namun pria 55 tahun ini andal melakukan prosesi pemakaman. Mulai dari pengerukan lahan, gotong peti, hingga memasukkan jenazah ke liang lahat.
Ia telah menekuni pekerjaannya itu sejak lima tahun lalu. Hingga Hanafi mendapat julukan 'panglima' oleh kawannya.
Ia pun menyatakan siap fisik dan mental jika tiba-tiba nantinya ditugaskan untuk terjun sebagai salah satu pasukan terdepan selama masa pageblug ini.
"Siap-siap saja saya mah, siap 45," kekeh kakek lima orang cucu itu.

Saat ditanya soal intensif, Hanafi mengaku belum sempat mencicipi hal itu karena dia belum pernah memakamkan jenazah Covid-19. Selama pandemi ini, setiap bulan Hanafi rutin mengantongi Rp4,2 juta untuk biaya hidup di ibu kota.
Istri dan anaknya membuka sebuah warung kopi di area pemakaman sebagai salah satu upaya menyambung hidup. Warung itu jadi tempat istirahat jika Hanafi enggan pulang karena pinggangnya kerap encok.
SUMBER
Istri dan anaknya membuka sebuah warung kopi di area pemakaman sebagai salah satu upaya menyambung hidup. Warung itu jadi tempat istirahat jika Hanafi enggan pulang karena pinggangnya kerap encok.
SUMBER
MUKE GILE BRAY



0
547
Kutip
3
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan