Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Agenda Genosida Multikulturalisme Indonesia
Spoiler for Multikulturalisme:


Spoiler for Video:


Kasus SMKN 2 Padang yang viral baru-baru ini terkait peraturan wajib menggunakan jilbab bagi siswi di sekolah. Sebuah kearifan lokal yang mengacu pada kultur mayoritas masyarakat Sumbar. Kearifan lokal yang telah diatur dalam instruksi Walikota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005. Dengan kata lain, peraturan itu telah diterapkan selama 15 tahun lamanya.

Namun kultur tersebut dengan mudahnya ditekan oleh pemerintah pusat berdasarkan kacamata sekuler, “anti intoleransi” serta “multikulturalisme.” Kacamata itu pula yang digunakan oleh pendukung istana, memenangkan hak minoritas ketimbang kultur mayoritas.

Padahal pemerintah telah benar dalam memenangkan kultur mayoritas di kasus Bali, tahun 2014. Saat itu ada kasus serupa dengan yang terjadi di SMKN 2 Padang. Yakni viralnya pelarangan menggunakan jilbab bagi siswi muslim di Bali.

Pada mulanya, ada siswi tamatan SD Muhammadiyah 3 Denpasar bernama Fitratunnisa yang mengeluh karena ditolak jalur prestasi untuk masuk SMP Negeri di Denpasar yang ia duga karena foto ijazahnya yang menggunakan jilbab.

Di tahun yang sama, Anita Wardhana seorang siswi SMA Negeri 2 Denpasar juga dilarang untuk mengenakan jilbab saat kegiatan belajar mengajar di sekolahnya. Anita yang saat itu duduk di bangku kelas XI, menolak larangan tersebut. Lantas ia pun diberi dua pilihan, melepasnya atau harus pindah dari sekolah tersebut.

Kepala Sekolah Drs Ketut Sunarta berargumen bahwa penggunaan jilbab menyebabkan logo OSIS SMA menjadi tidak terlihat.

“Kalau pakai jilbab kelihatan tidak logo OSIS SMA-nya? Kelihatan tidak emblem SMAN 2 nya?”

“Kan masih bisa dinaikkan sedikit jilbabnya, Pak, jadi masih bisa kelihatan logonya,” jawab Anita.

Namun, Kepala Sekolah tetap tidak mengizinkan, Anita pun disarankan pindah sekolah jika memang tetap ingin memakai jilbab.

Sumber : Riau News[Mengingat Sekolah di Bali Melarang Siswi Muslim Menggunakan Jilbab]

Kasus pelarangan menggunakan jilbab pun direspon oleh Komnas HAM saat itu. Drs Maneger Nasution MA dari Komnas HAM RI mengatakan mereka menerima laporan kasus pelarangan mengenakan jilbab di sekolah di Bali bukan hanya dilakukan SMAN 2 Denpasar, tapi hampir di seluruh Bali.

"Dari laporan yang kami terima, kasus itu tidak hanya terjadi di Denpasar saja, tapi hampir di seluruh Bali," kata Maneger.

Sumber : Republika [Komnas HAM: Pelarangan Jilbab Terjadi Hampir di Seluruh Bali]

Pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menemukan bukti-bukti tertulis terkait pelarangan jilbab oleh sejumlah sekolah di Bali.

“Terdapat bukti-bukti tentang sejumlah sekolah melarang penggunaan jilbab di Bali. Jelas tertulis tidak boleh memakai jilbab di salah satu sekolah di Bali,” tutur Rita Pranawati yang merupakan anggota KPAI bidang Hak Sipil dan Perlindungan Anak pada 12 Maret 2014 lalu.

Terkait hal itu, Rita Pranawati menjelaskan ada beberapa persoalan seperti otonomi sekolah dan siswa tidak boleh menggunakan jilbab. Sekolah berhak mengatur semua hal tentang siswa, termasuk dalam hal pelarangan penggunaan jilbab.

Menurut KPAI, peraturan sekolah ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, misalnya tentang kebebasan siswa untuk melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. KPAI pun sedang melakukan verifikasi data dan berkoordinasi dengan pihak sekolah serta dinas pendidikan di Bali.

“Jika sudah ada hasilnya, kami akan informasikan ke semua pihak, termasuk media. Yang pasti negara harus menyediakan perlindungan dan menghargai (to fill/ to protect) terhadap hak-hak warga negara,” tegas Rita Pranawati.

Sumber : KPAI [KPAI Temukan Bukti Tertulis Larangan Jilbab di Bali]

Namun hingga saat ini, 2021, KPAI belum kunjung jua melaporkan hasil verifikasi tersebut.

Diamnya KPAI menunjukkan bahwa memang sudah tepat larangan menggunakan jilbab diterapkan di sekolah di Bali. Sebab itu merupakan hak dari kultur mayoritas Bali. Hak bagi penduduk Bali menerapkan larangan yang tidak sesuai dengan nilai nilai yang mereka anut.

Itulah yang dimaksud dengan multikulturalisme, tiap daerah memiliki aturan sendiri yang sejalan dengan kearifan lokal masyarakat di daerah itu.

Oleh karena itu, sungguh aneh ketika kasus serupa muncul kembali di Sumbar. Kasus yang menjadi kebalikannya, yakni siswi yang dipaksa menggunakan jilbab di sekolah negeri. Bedanya, pemerintah pusat memberikan tekanan pada rakyat Sumbar untuk menghapus peraturan tersebut.

Pemerintah pusat dalam kasus Bali memenangkan kultur mayoritas rakyat Bali ketimbang memaksakan hak minoritas muslim. Akan tetapi, dalam kasus Sumbar, sikap itu tidak diterapkan. Dengan kata lain, pemerintah pusat telah memaksakan nilai kebenaran dari kacamata Jakarta terhadap rakyat Sumbar dengan mengutamakan kepentingan minoritas Kristen ketimbang kultur masyarakat ranah minang.

Tak ada bedanya dengan FPI yang merasa benar telah memaksakan nilai kebenaran mereka terhadap kultur masyarakat sekuler di perkotaan seperti Jakarta. Hak minoritas dimenangkan atas kultur mayoritas.

Hal ini mengingatkan penulis akan wawancara menarik bersama Pakar Politik Islam Indonesia Dr Gregeory John Fealy atau yang akrab dengan nama Greg Fealy saat peringatan ‘Australia Day’ tanggal 26 Januri lalu.

Greg Fealy yang juga seorang ‘associate professor’ di Australian National University (ANU) mengaku merasa pirhatin dengan kualitas demokrasi Indonesia yang merosot. Merosot karena pemerintah tidak melindungi HAM dan suara-suara yang ingin mengecam pemerintah. Ia mencontohkan larangan atas FPI serta sebelumnya terkait pembubaran HTI.

Ia memahami kekhawatiran pemerintah Indonesia mengenai kegiatan tertentu oleh FPI, tapi ia menilai belum ada kasus yang kuat dan menjadi penyebab kedua organisasi itu dibubarkan. “Saya kira pembubaran itu agak represif dan punya konsekuensi yang negatif bagi masa depan sistem demokrasi di Indonesia. Komunitas Islamis dalam masyarakat Indonesia sangat besar dan dalam sistem demokrasi mereka bisa menyuarakan aspirasi-aspirasinya, walaupun tidak disukai oleh orang lain,” ujar Dr Greg.

Jika kedua organisasi melanggar hukum memang harus ditindak secara tegas. Tapi jika belum ada pelanggaran besar, justru sulit untuk menjustifikasi pembubaran organisasi seperti FPI.

Sumber : Republika [Greg Fealy Ingin Banyak Orang Australia Berbahasa Indonesia]

Dengan kata lain, Dr Greg memiliki pandangan bahwa hak FPI yang minoritas harus dimenangkan atas kultur mayoritas seperti DKI Jakarta.

Dari wawancara tersebut ada satu hal yang dapat saya tangkap. Bahwasannya Pemerintah Jokowi sebenarnya sama saja dengan FPI atau pro FPI dalam hal memandang ‘multikulturalisme’. Pemerintahan Jokowi maupun pendukungnya menginginkan hak minoritas non muslim di Sumbar lebih diutamakan ketimbang kultur mayoritas Sumbar. Para pendukung Jokowi menginginkan hak minoritas non orang asli Yogyakarta harus lebih diutamakan ketimbang kultur mayoritas masyarakat Yogya. 

Sumber : Tagar [Menteri ATR Sofyan Djalil Dinilai Rasis, Jokowi Diminta Pecat Dia]

Tidak sadarkah pihak istana dampak dari logika ‘multikulturalisme’ dan ‘toleransi’ seperti itu?

Ketika hak minoritas dimenangkan atas kultur mayoritas, maka: siswi non muslim di Sumbar boleh tak berjilbab, siswi muslim Bali boleh berjilbab, FPI tidak bisa dibubarkan, pendatang boleh melanggar aturan penggunaan listrik dan elektronik di Badui Dalam, Jafar Umar Thalib bebas memaksakan pengajian di perayaan umat Kristiani Papua, Bule tidak boleh dilarang minum bir di tengah pengajian, muslim sholat di gereja saat misa tidak boleh dilarang, muslim boleh mengatakan Tuhan Umat Kristen salah di tengah khutbah di gereja, Kristiani boleh katakan Tuhan Islam salah saat ceramah hari Jumat di masjid, dan lain-lain.
Diubah oleh NegaraTerbaru 30-01-2021 03:32
fitrigraciaAvatar border
dionovirwanAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
963
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan