Kaskus

News

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Dari Sangsi ke Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation
Dari Sangsi ke Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation di Jawa Tengah

16 min read

 1 hari ago  Admin

Dari Sangsi ke Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation di Jawa Tengah

Dari Sangsi ke Promosi; Refleksi Program Sekolah Damai Wahid Foundation

Siswa salah satu sekolah menengah atas di Semarang sedang menyimak penjelasan dari pengurus Wihara Semarang. [Foto: Cep]

[Semarang -elsaonline.com] Akhir Desember 2017 lalu, saya mendapat “perintah” yang cukup menantang; mengumpulkan guru-guru PAI di SMA dan SMK se Jawa Tengah. Titah itu datang dari teman-teman yang bekerja untuk kemanusiaan di Wahid Foundation –selanjutnya ditulis W–. Tak ada kata lain selain “siap”, meskipun mulanya belum ada gambaran, bagaimana supaya dapat mengumpulkan guru sejumah 35 orang itu.

Bermodal acuan kegiatan (tor), manual acara, dan gambaran tujuan kegiatan, saya mulai mencari kontak, baik melalui perorangan maupun internet. Dari sebuah situs Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI Jateng, kontak Ketua MGMP PAI Drs. Khoiri saya dapatkan.

Singkatnya, mulailah pekerjaan yang menantang itu. Mengapa menantang? Pertama, guru agama Islam di sekolah umum mempunyai peranan penting dalam “menghitam-putihkan” pemahaman keagamaan Islam para siswa. Kedua, guru PAI juga mempunyai peranan penting dalam pengembangan organisasi keagamaan Islam (Rohis) di sekolah.

Padahal, kala itu WF belum lama merilis hasil survei terhadap Rohis (tahun 2016) dan hasilnya cukup mengejutkan. Survei menunjukan bahwa sebanyak 86 persen siswa aktivis Rohis di SMA berminat untuk jihad ke Suriah. Siswa yang berminat ke suriah itu kebanyakan memiliki kecerdasan dan prestasi di atas rata-rata. Bukan saja hasil survei WF, penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menunjukan bahwa aspirasi guru agama terhadap penerapan syari’at Islam pun cukup tinggi.

Penelitian menunjukan, guru agama yang setuju pemerintah berdasarkan syari’at Islam mencapai 78 persen. Dan guru yang mendukung ormas dalam memperjuangkan syari’at Islam mencapai 77 persen. Yang lebih mencengangkan, ada 18 persen guru agama yang tidak setuju bahwa Pancasila dan UUD ’45 sejalan dengan syari’at Islam.

Berkaca pada data-data itu, ada sedikit “beban” pikiran, “mungkin saja guru-guru yang akan saya jumpai juga nanti mempunya kesamaan pemahaman keagamaan dengan hasil survei dan penelitian di atas”.

Padahal, para manajer program Aprida Sondang dan Hafizen, memberi tema kegiatan “training dan lokakarya guru Pendidikan Agama Islam untuk penanggulangan intoleransi dan radikalisme dari sekolah “Toleran Guruku, Damai Indonesiaku”. Tentu kata-kata seperti intoleransi dan radikalisme di sekolah akan jadi pertanyaan besar para guru calon peserta lokakarya.

“Bagaimana kalau guru-guru yang saya jumpai dan dijadikan peserta kegiatan adalah guru yang memiliki pemahaman intoleran,” tanya saya kepada Aprida dan Hafizen kala itu. “Ya betulan malah, bagus. Nanti pada kegiatan itu akan diskusi dan menghadirkan kiai top, Kiai Abd. Moqsith Ghazali,” jawab Hafizen kala itu. Akhirnya saya mantap.

Antusias
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan, Ketua MGMP PAI SMA dan SMK Provinsi Jawa Tengah akhirnya bersepakat untuk mengirimkan peserta sejumlah total 35 orang. Kegiatan yang berlangsung 18 hingga 20 Desember 2017 bertempat di Hotel Amanda Hills Bandungan, Kabupaten Semarang.

Antusias guru terhadap kegiatan itu luar biasa. Para guru yang tergabung berasal dari Brebes, Kendal, Kota Semarang, Jepara, Demak, Purwodadi, Magelang, bahkan dari Sragen. Rata-rata mereka berangkat mengendarai sepeda motor. Bulan Desember kala itu. Curah hujan tinggi, cuaca di kaki Gunung Ungaran pun cukup dingin. Bahkan sesekali berselimut kabut. Nyatanya, hawa dingin tak berbanding lurus dengan suhu kegiatan di kelas. Tetap hangat, bahkan sesekali memanas.

Suasana kelas yang hangat; pertanyaan, sanggahan, dan kritik sudah muncul sejak awal kegiatan dimulai. Namun semua itu sudah diduga. Sejak para peserta mengisi form registrasi, sudah banyak yang “rumpi tipis-tipis” mempertanyakan apa tujuan kegiatan, siapa pelaksana kegiatan, kok tidak ada logo pemerintah-Kemenag dan lain sebagainya.

Raut wajah yang mulanya tegang sedikit renggang setelah yang membuka kegiatan ada perwakilan dari Kanwil Kemenag Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Terlebih, ketika kedua perwakilan pemerintah itu kemudian membuka dan mendukung kegiatan secara penuh.

Pembukaan selesai. Sesi per sesi materi dimulai. Sesi pertama di awali dengan pemaparan hasil riset tentang Rohis, potensi intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Selesai sesi awal, peserta “rasan-rasan” tentang apakah survei akurat atau tidak, siapa yang di survei, didanai siapa, dan sebagainya mulai bermunculan.

Sesi kemudian dilanjutkan sharing pengalaman di masing-masing sekolah tentang Rohis. Pada sesi ini mayoritas guru mengatakan “sekolah kami baik-baik saja”. Namun, mimik muka dan nada bicara yang tidak los, menggambarkan seolah ada “ketakutan” kondisi Rohis sesungguhnya terungkap di forum.

Meskipun demikian, ada juga yang terus terang tentang kondisi sesungguhnya. Bahkan, ada yang bercerita tentang pengalamannya mengintip kegiatan “pembaiatan” Rohis hingga jam 2 dini hari. Materi-materi yang disampaikan pada pembaiatan juga dinilainya cukup ngeri. “Sekelas anak SMA diberikan pemahaman tentang negara kafir-thogut dan semacamnya,” cerita salah satu guru.

Sangsi “Indikator” Intoleransi
Puncaknya, ketika materi tentang “guru memahami nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan dalam Islam” selesai. Pemateri pada sesi ini Kiai Abdul. Moqsith Ghazali yang merupakan pengurus komisi kerukunan antarumat beragama MUI.

Kiai Moqsith, begitu sapaannya, menjelaskan tentang toleransi, saling menghargai, dan perdamaian antar agama dengan sangat titis dan detail. Dengan gaya ceramahnya yang ala-ala kiai, menjadikan mudah dipahami dan kondisi forum sedikit rileks. Satu dua ayat disampaikan lengkap dengan tafsirnya secara gramatikal. Inilah yang kemudian para guru manggut-manggut.

Kondisi pelatihan semakin dinamis pasca sesi ini. Ada beberapa guru yang balik kanan. Alias tidak melanjutkan pelatihan dan tanpa pamit panitia. Alasan formalnya “ada kepentingan yang tidak bisa ditunda”. Saat itulah saya berterima kasih pada tim dokumentasi yang sempat mengabadikan semua peserta. Akhirnya, saya dapat melihat beberapa peserta yang tak dapat melanjutkan pelatihan lewat foto dan video.

Pada sela-sela sesi hari kedua, saya nimbrung bersama kumpulan para guru. Di taman depan aula pelatihan saya mendengarkan baik-baik percakapan mereka. Pada intinya, mereka masih sangsi, ragu, bahkan tidak yakin dengan hasil survei WF. “Indikatornya apa intoleransi itu? Jangan-jangan kita semua masuk kategori intoleransi,” begitu kira-kira obrolan sesama peserta kala itu.

Bahkan ada pertanyaan terlontar yang hemat saya lebih konyol. “Kalau siswa kita, yang beragama Islam sekolah di sekolah atau yayasan milik non-Muslim, mereka tidak mendapatkan pelajaran agama Islam. Apa mereka juga intoleran?” tanya salah satu peserta kepada peserta lainnya. “Nah, betul itu. Banyak juga kan siswa Muslim yang sekolah di yayasan non-Muslim,” timpal sesama peserta.

Pertanyaan soal indikator intoleransi pun masih terlontar di forum kala sesi Hairus Salim dari Yogyakarta saat mengisi pelatihan. Dengan penjelasan yang panjang, Hairus Salim mencoba menggambarkan intoleransi dalam bentuk tindakan yang kerap muncul lengkap disertai dengan contoh-contohnya. Penjelasan Hairus tampak diterima peserta.

Sesi demi sesi dilalui. Banyak dinamika terjadi selama pelatihan. Meskipun tidak dapat merangkum dengan persis, setidaknya saya bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Utamanya dari sisi cara pandang, para guru sudah lebih terbuka dan semakin sadar pentingnya merawat dan menjaga organisasi Rohis di sekolah.

“Kadang, yang mengisi materi di kegiatan-kegiatan Rohis itu bukan guru agama. Bahkan, guru agama itu tidak diberi tahu. Mereka mendatangkan narasumber dari luar sekolah. Kita juga tidak tahu siapa mereka dan identitas keagamaannnya. Dulu pernah ada tim densus ke sekolah, kabarnya ada seseorang yang masuk jaringan teroris mengisi acara. Kita juga kaget, semua kaget,” kata salah satu perseta pelatihan.

Pasca 20 Desember 2017 itu, para guru agama berinisiatif membuat Whatsapp grup. Para guru agama penerima manfaat program “sekolah damai” aktif berdiskusi sercara daring. Mereka kerap merespon isu-isu yang muncul di lingkungan pendidikan. Salah satunya soal konten buku atau Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dinilai mengandung muatan intoleransi.

Dalam satu atau dua kegiatan, mereka juga aktif saling berkabar. Ada yang aktif mengikuti kegiatan di luar sekolah dan ada pula yang mengadakan kegiatan di lingkungan sekolah secara mandiri. Masih dalam bingkai tema sekolah damai, satu sama lain berdiskusi baik hasil maupun rencana kegiatan yang akan dilakukan.

Dari diskusi-diskusi sederhana itulah mulai terlihat mana sekolah yang berpotensi dapat mengembangkan nilai-nilai sekolah damai. Dari itu pula tampak mana sekolah serta guru yang masih ragu-ragu dalam mengembangkan budaya damai di sekolah. Inilah rujukan untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan selanjutnya.

Kunjungi Sanggar, Gereja, dan Klenteng
Sebagai wujud keseriusan WF dalam mengembangkan sekolah damai, Maret 2018 Hafizen dan Aprida mengabarkan bahwa akan ada kegiatan lanjutan. Hanya, perintah mereka, tidak semua peserta atau sekolah dilibatkan.

“Program butuh lebih fokus dalam mengembangkan sekolah damai. Jadi, tidak bisa semua sekolah kita ikutkan. Sampean (kepada saya) yang tahu perkembangan di lapangan. Intinya ada 15 sekolah yang akan diikutkan. Dari 15 sekolah itu yang mewakili guru agama dan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah,” kata Hafizen. “Siap,” saya menimpali intruksinya.

Saat menerima perintah untuk memilih sekolah, saat itu pula saya berfikir akan ada “kecemburuan”. Bagaimana tidak, dalam satu grup Whatsapp ada sekolah yang saya pilih ada pula yang harus ditinggal. Padahal, antara mereka sama-sama sedang berupaya mengembangkan budaya damai di sekolah.

Perkara ada sekolah yang sudah mulai jalan dalam wujudkan sekolah damai dan ada yang masih stagnan, mungkin karena ada satu dan lain hal. Atau mungkin tantangan mereka lebih berat. Misal; sekolah-sekolah yang tidak ada perkembangan, mungkin juga tidak didukung kepala sekolahnya. “Dan sangat mungkin para pimpinan di sekolahnyalah yang berpaham eksklusif,” pikir saya dalam hati.

Namun karena itu perintah kantor, harus saya laksanakan. Semua keputusan pasti ada pertimbangan-pertimbangan panjang. Singkat cerita, saya kontak satu persatu guru dan kepala sekolah untuk mengikuti kegiatan pada 30 Maret hingga 1 April 2018. Peserta total 30 orang dari 15 sekolah. Mereka adalah guru agama dan kepala sekolah atau wakil kepala sekolah yang ditugaskan kepala sekolah.

Pada kegiatan selama tiga hari ini, para peserta tidak hanya diberikan materi yang berbasis teori. Namun, para pahlawan aksara itu juga diberikan kesempatan untuk saling belajar secara praktik; bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Mereka mengunjungi Sanggar (rumah ibadah penganut kepercayaan), Klenteng, dan Gereja.

Rundown acara yang disusun WF juga cukup efektif. Hari pertama, kegiatan masih indoor. Ceramah dan tanya jawab adalah kegiatan yang hingga sekarang dinilai efektif untuk membongkar pemahaman. Intelektual muda NU Abdul Moqsith Ghazali yang bertugas “membongkar-pasang” pemahaman guru agama dan kepala sekolah tentang toleransi dan intoleransi.

Dari tanya-jawab, tanggapan dan dinamika yang berkembang di forum, tampaknya semua sepaham; bahwa nilai-nilai toleransi di sekolah harus diwujudkan. Tak ada perdebatan yang berarti seperti pada kegiatan sebelumnya. Singkatnya, sama-sama merasa perlu untuk menanamkan nilai-nilai ramah terhadap perbedaan keyakinan keagamaan di sekolah.

Pagi hari kedua, para peserta tampak sumringah. Sejak mentari menampakkan sinarnya, mereka sarapan dan sudah lengkap dengan pakaian rapih. Batik atau kemeja lengan panjang mereka kenakan, khas dari guru agama. Setelah persiapan selesai mereka lalu berkumpul di lobi hotel sembari membincang kegiatan hari itu; kunjungan ke rumah ibadah.

“Kelompok saya ke gereja, kalo kelompok saya ke klenteng, nah kalo kelompok saya ini ke rumah ibadah penganut Kepercayaan. Sanggar. Asline saya pengen ke sanggar, saya ingin tahu. Tapi karena panitia masukan saya ke kelompok yang ke klenteng, yasudah, manut,” kata para peserta sahut-sahutan.

Mengingat waktu yang tak banyak, panitia memang memutuskan untuk membagi peserta menjadi tiga kelompok. Tujuannya supaya dialog-dialog atau perjumpaan antara guru agama Islam dan mereka yang berbeda keyakinan itu lebih longgar. Tidak terburu-buru pindah tempat yang akhirnya berujung pada formalitas kunjungan semata.

Para guru agama itu akhirnya berkunjung ke Gereja St Theresia Bongsari Semarang, Sanggar Kepercayaan Sapta Darma (KSD) Kota Semarang, dan Klenteng Tay Kak Sie Semarang.

Kegelisahan Orang Tua
Hafizen sebagai Senior Officer Capacity Building WF menjelaskan, desain kegiatan semacam itu berawal dari kegelisahan orang tua siswa. Mereka gelisah karena siswa khususnya yang duduk di bangku sekolah menengah sangat rentan dengan doktrin ajaran radikal. Bukan saja dulu tapi hingga kini pun masih tetap menghawatirkan.

“Ini merupakan bagian untuk penguatan nilai keragaman dengan melakukan perjumpaan langsung bersama orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda. Yang membuat kita saling curiga, salah satunya karena kita mengalami krisis perjumpaan. Krisis saling mengenal. Karena itu kita kenalkan,” kata Hafizen kepada media, disela kunjungan waktu itu.

Perjumpaan langsung, lanjut Hafizen, sangat memungkinkan untuk saling berinteraksi, saling mengenal lebih dekat. Lalu kedepan memungkinkan untuk bekerja secara kolaboratif. ”Selanjutnya, para guru ini menginternalisasikannya di sekolah dalam rangka kerja-kerja perdamaian khusunya di Semarang dan Jateng,” tambahnya.

Di Gereja St Theresia Bongsari, para guru diterima Pastur Kepala Paroki Santa Theresia Bongsari Romo Eduargus Didik Cahyono, waktu itu. Esensi pertemuan ini menekankan pentingnya menjalin silaturahmi dan kerjasama untuk mencapai cita-cita perdamaian antar agama dan antar identitas yang berbeda.

Romo menyampaikan, tren baru pelaku teror sekarang dibawah 20 tahun. Tentu, kata dia, yang menanamkan faham radikal itu bukan guru agama, namun ada semacam jaringan dari luar sekolah. Karena itu, yang harus dilakukan sekarang adalah penguatan guru agama untuk memproteksi anak-anak dari paham radikal.

”Paham itu kan disusupkan oleh kelompok tertentu. Untuk itu guru agama harus waspada dengan memfasilitasi bertemu, sehingga muncul sekolah rule model yang tanggap radikalisme, tanggap intoleransi,” kata Romo.

Usai dialog formal, para guru berkeliling gereja. Ada pemandangan menarik dan ada dialog menarik antar mereka. Para guru PAI ini yang awalnya canggung masuk gereja, salaman, dan memilah-milah tempat duduk akhirnya tak tampak lagi keraguannya. Mereka bahkan asyik berswafoto di hampir semua sudut gereja yang asyik nan teduh.

Tak ada lagi prasangka dan tak ada lagi curiga antar sesama, kian saling percaya.

Ini penting. Bahkan sangat penting untuk saat ini dan masa depan generasi muda bangsa kita. Lingkungan sekolah negeri harusnya menampung berbagai macam unsur budaya, adat, agama, dan kepercayaan. Namun nyatanya menyimpan gejolak intoleransi berkepanjangan. Bukan sedang menjeneralisir semua sekolah negeri, tapi kejadian tempo hari di DKI Jakarta adalah faktanya.

Iya, kejadian di Jakarta yang tempo hari viral di media sosial. Di mana seorang guru SMA negeri mengajak murid-muridnya untuk memilih pasangan calon Ketua OSIS yang seagama. Dalam tangkapan layar grup WhatsApp (WA) Rohis, terlihat seorang guru berinisial TS meminta anggota grup supaya tidak memilih calon ketua OSIS yang bergama non-muslim.

“Assalamualaikum…hati2 memilih ketua OSIS Paslon 1 dan 2 Calon non Islam… jd ttp walau bagaimana kita mayoritas hrs punya ketua yg se Aqidah dgn kita,” demikian pesan guru TS dalam tangkapan layar grup WA yang beredar di media sosial.

Guru TS minta para siswa mendukung paslon OSIS nomor 3 karena ketua dan wakil ketuanya beragama Islam. Adapun paslon nomor 1 ketuanya seorang non-muslim dan paslon nomor 2 wakil ketuanya seorang non-muslim. “Mohon doa dan dukungannya utk Paslon 3. Awas Rohis jgn ada yg jd pengkhianat ya,” kata guru TS sebagaimana terekam dalam tangkapan layar grup WA Rohis. (Detik.com, 30/10/20)

Upaya yang dilakukan WF dan guru-guru agama di Semarang, Jawa Tengah tampaknya sederhana. Namun akan terasa istimewa dan luar biasa jika ini juga dilakukan oleh guru-guru di lingkungan SMA yang viral karena menyeru untuk memilih ketua osis yang seagama itu.

Tak Ada Dusta antar Sesama
Masing-masing kelompok punya cerita dan pengalaman yang berbeda. Kelompok yang berkunjung ke rumah ibadah Penganut Kepercayaan Sapta Darma juga punya cerita yang tak kalah menarik. Sejak awal kedatangan para guru, langsung disambut hangat oleh pengrus Sapta Darma Kota Semarang. Mereka berjajar rapih di luar pintu sanggar, sebagai tanda bahwa kehadiran para guru diterima dengan senang gembira.

Mulanya mereka bersalam-salaman canggung. Namun akhirnya membaur larut dalam gelak tawa bersama.

Sebelum suasana itu tercipta, para guru agama dan pengurus Sapta Darma duduk bersama lesehan. Dimulailah acara dengan perkenalan. Ubbadul Adzkiya yang menjadi pengatur waktu membuat sebuah aturan “semua yang ada dalam forum dilarang tersinggung. Posisikan semua dalam keadaan saling belajar. Dan jika ada pertanyaan, murni karena ketidaktauan untuk tujuan memupus prasangka,” kata Ubbed.

Semua dibicarakan dengan terbuka. Tak ada yang menyela dan ada yang menyeka. Semua itu dilakukan supaya tak ada dusta antar sesama. Sesama umat yang beriman, berkepercayaan, dan beragama.

Ketua Pengurus Kepercayaan Sapta Darma Semarang, Yudi S bersama warga sapta Darma lainnya pun memahami setiap pertanyaan yang terlontar. Mereka sangat memaklumi jika para guru agama akan banyak bertanya perihal ritual ibadah, kitab suci, Tuhan, dan cara pembelajaran “agamanya”.

Tak terasa, dialog mendalam tentang Penghayat Kepercayaan khususnya tentang Sapta Darma berjalan hampir tiga jam. Para penganut Sapta Darma tak canggung menjawab berbagai pertanyaan yang terlontar. Bahkan, saat ditanya bagaimana praktik sembahyang, tak ragu Tuntunan (kyai) Sapta Darma mempraktikan sujudan (sembahyang) sebagai ritual ibadah mereka.

Pada pertemuan itu juga terselip pembicaraan mengenai diskriminasi terhadap siswa penganut kepercayaan di sekolah. Selama ini, penganut kepercayaan memang kerap mendapat perlakuan berbeda di lingkungan pendidikan. Bahkan, ada siswa yang tidak naik kelas karena menganut kepercayaan.

“Karena itu, kami mohon kepada ibu bapak guru semua, perlakukan anak-anak kami secara sama dengan anak lain. Kami di Kota Semarang ada sekitar 300 an penganut Sapta Darma, semua anaknya sekolah di sekolah umum (negeri). Karena itu, kami berharap banyak kerpada bapak ibu guru semua,” papar Yudi.

2020; Heboh Guru dan Siswa Intoleran
Pada tahun 2020, terjadi dua peristiwa intoleran di lingkungan pendidikan yang menghebohkan dunia maya. Satu peristiwa terjadi di Jakarta di mana seorang guru SMA negeri mengajak murid-muridnya untuk tidak memilih calon Ketua OSIS non-Muslim. Lengkap dengan peringatan bahwa sebagai mayoritas, harus punya ketua osis yang seagama. Untuk peristiwa ini sudah dijelaskan di atas.

Peristiwa kedua, terjadi di Sragen di mana seorang siswa (tak berhijab) mendapat teror dari oknum pengurus Kerohanian Islam (Rohis) sekolah setempat. Januari 2020 lalu, seorang siswi di SMAN 1 Gemolong Sragen mendapat paksaan berhijab dari oknum Rohis. Siswi Kelas X asal Kecamatan Miri itu merasa diintimidasi pengurus Rohis lantaran kerap dikirim pesan supaya mengenakan hijab.
Diubah oleh dewaagni 20-01-2021 14:16
banyakmikirAvatar border
banyakmikir memberi reputasi
1
466
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan