- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Suami Jahannam Part 2


TS
tettettowet
Suami Jahannam Part 2
Part 2

"Tempe mulu, sih!"
Suamiku itu menghentakkan tudung saji ke lantai. Dengan gerakan penuh amarah tak lupa ia menendang benda mati itu. Lalu mengambil gelas kemudian meneguknya secara kasar, sampai membasahi sebagian bajunya di bagian depan. Seolah amarahnya sedang mendidih kuat.
Aku yang tengah membersihkan kompor setelah membuat nasi goreng dan tempe sebagai menunya tersenyum. Bukan senang. Hanya saja ini yang bisa kulakukan sejak beberapa tahun lalu bahkan sejak menikah dengan pria yang kuketahui dari Ibunya itu berprilaku lembut.
Senyum maklum.
Jelas aja. Aku sudah hapal di luar kepala dengan sifat Mas Hadi. Ia pria yang seolah diciptakan Tuhan tanpa percikan kelembutan. Bicaranya kasar dengan khas suara tinggi layaknya teriakan. Pun, ia pria yang gemar main tangan.
Seumur hidup, hanya setelah menikah aku mengenal tamparan juga tendangan dari manusia. Karena jauh sebelum ini, dari Ibu bahkan Bapak tak pernah kuketahui apa itu makna pukulan.
Seperti minggu lalu, Mas Hadi memaksaku melayaninya sewaktu aku mencuci pakaian. Dengan lembut, kukatakan alasan sesungguhnya pada pria beringas itu tanpa berniat menolaknya sama sekali.
Layaknya film perang, aku merasa seolah seorang musuh bagi Mas Hadi. Mengingat tendangannya pada kaki kiriku hingga pinggang ini menabrak mesin cuci. Tak cukup sampai di situ, pria itu bahkan terus memaksaku meski tengah dalam keadaan sakit yang luar biasa di dalam kamar mandi. Yang tanpa disadarinya, Farez, bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu melihat semua kelakuan Papanya.
"Tempe mulu tempe mulu!"
Teriakan itu membuatku kembali sadar dengan keadaan. Terlihat Mas Hadi mulai berjalan keluar dapur.
"Mana uangnya biar sekalian kubelikan ayam," seruku. Dengan gerakan cepat, Mas Hadi membalikkan badan kembali menuju ke arahku.
"Uang-uang saja terus maumu!" bentaknya.
"Minggu lalu sudah kuberi banyak, sialan!"
"Kebutuhan banyak, Mas. Belum lagi jajan sekolah Farez."
"Harusnya kamu pinter-pinter ngaturnya! Jangan banyak minta anu ini segala macam!"
Suaranya tetap seperti biasa. Pria power full itu tak pernah berubah. Padahal yang kukatakan jelas benar. Uang lima puluh ribu yang ditargetkan Mas Hadi untuk dua minggu, cukup apa?
Jangankan untuk barang dapur, kadangkala jajan untuk Farez harus kuhemat dengan segala perhitungan. Sejujurnya, aku tak begitu menuntut pada Mas Hadi. Mengingat pekerjaannya sebagai sopir di pabrik garam dengan gaji yang lumayan sedikit membuatku paham.
Hanya saja, hitung-hitung ini sebagai protesku secara tidak langsung padanya yang super pelit itu.
"Lima puluh cukup apa, Mas?!"
"Biadab!"
Seperti yang kukatakan, tamparan tangannya terasa lagi. Bahkan tak segan pria itu meludah ke wajahku berkali-kali. Aku tau ia marah, karena bagaimanapun ia bersikap, Mas Hadi benci pada orang yang berteriak padanya. Puas dengan amarahnya, Mas Hadi keluar dengan tak lupa menendang kursi meja makan dengan keras.
Aku tak tau mengapa. Lagi-lagi Tuhan seakan menolak doaku. Semalam, ikhlas kupinta supaya pagi tak menjelang. Mengingat keadaan suamiku yang jauh dari kata buruk. Percintaan panas di antara kami membuatku sedikit lega. Setidaknya ia memang membutuhkanku sebagai istrinya. Selebih itu dengan harapan baik kucoba menggantungkan doa pada Tuhan. Disertai pikiran positif tentang sikapnya yang memang jauh dari kata lembut.
Nyatanya, semakin ke sini Tuhan seolah semakin mencoba. Mencobaku menghadapi sikap Mas Hadi yang kupendam sendiri selama ini. Di mana hanya aku dan Tuhan yang tau.
Lalu, Tuhan.
Apakah diri ini akan sanggup?

"Tempe mulu, sih!"
Suamiku itu menghentakkan tudung saji ke lantai. Dengan gerakan penuh amarah tak lupa ia menendang benda mati itu. Lalu mengambil gelas kemudian meneguknya secara kasar, sampai membasahi sebagian bajunya di bagian depan. Seolah amarahnya sedang mendidih kuat.
Aku yang tengah membersihkan kompor setelah membuat nasi goreng dan tempe sebagai menunya tersenyum. Bukan senang. Hanya saja ini yang bisa kulakukan sejak beberapa tahun lalu bahkan sejak menikah dengan pria yang kuketahui dari Ibunya itu berprilaku lembut.
Senyum maklum.
Jelas aja. Aku sudah hapal di luar kepala dengan sifat Mas Hadi. Ia pria yang seolah diciptakan Tuhan tanpa percikan kelembutan. Bicaranya kasar dengan khas suara tinggi layaknya teriakan. Pun, ia pria yang gemar main tangan.
Seumur hidup, hanya setelah menikah aku mengenal tamparan juga tendangan dari manusia. Karena jauh sebelum ini, dari Ibu bahkan Bapak tak pernah kuketahui apa itu makna pukulan.
Seperti minggu lalu, Mas Hadi memaksaku melayaninya sewaktu aku mencuci pakaian. Dengan lembut, kukatakan alasan sesungguhnya pada pria beringas itu tanpa berniat menolaknya sama sekali.
Layaknya film perang, aku merasa seolah seorang musuh bagi Mas Hadi. Mengingat tendangannya pada kaki kiriku hingga pinggang ini menabrak mesin cuci. Tak cukup sampai di situ, pria itu bahkan terus memaksaku meski tengah dalam keadaan sakit yang luar biasa di dalam kamar mandi. Yang tanpa disadarinya, Farez, bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu melihat semua kelakuan Papanya.
"Tempe mulu tempe mulu!"
Teriakan itu membuatku kembali sadar dengan keadaan. Terlihat Mas Hadi mulai berjalan keluar dapur.
"Mana uangnya biar sekalian kubelikan ayam," seruku. Dengan gerakan cepat, Mas Hadi membalikkan badan kembali menuju ke arahku.
"Uang-uang saja terus maumu!" bentaknya.
"Minggu lalu sudah kuberi banyak, sialan!"
"Kebutuhan banyak, Mas. Belum lagi jajan sekolah Farez."
"Harusnya kamu pinter-pinter ngaturnya! Jangan banyak minta anu ini segala macam!"
Suaranya tetap seperti biasa. Pria power full itu tak pernah berubah. Padahal yang kukatakan jelas benar. Uang lima puluh ribu yang ditargetkan Mas Hadi untuk dua minggu, cukup apa?
Jangankan untuk barang dapur, kadangkala jajan untuk Farez harus kuhemat dengan segala perhitungan. Sejujurnya, aku tak begitu menuntut pada Mas Hadi. Mengingat pekerjaannya sebagai sopir di pabrik garam dengan gaji yang lumayan sedikit membuatku paham.
Hanya saja, hitung-hitung ini sebagai protesku secara tidak langsung padanya yang super pelit itu.
"Lima puluh cukup apa, Mas?!"
"Biadab!"
Seperti yang kukatakan, tamparan tangannya terasa lagi. Bahkan tak segan pria itu meludah ke wajahku berkali-kali. Aku tau ia marah, karena bagaimanapun ia bersikap, Mas Hadi benci pada orang yang berteriak padanya. Puas dengan amarahnya, Mas Hadi keluar dengan tak lupa menendang kursi meja makan dengan keras.
Aku tak tau mengapa. Lagi-lagi Tuhan seakan menolak doaku. Semalam, ikhlas kupinta supaya pagi tak menjelang. Mengingat keadaan suamiku yang jauh dari kata buruk. Percintaan panas di antara kami membuatku sedikit lega. Setidaknya ia memang membutuhkanku sebagai istrinya. Selebih itu dengan harapan baik kucoba menggantungkan doa pada Tuhan. Disertai pikiran positif tentang sikapnya yang memang jauh dari kata lembut.
Nyatanya, semakin ke sini Tuhan seolah semakin mencoba. Mencobaku menghadapi sikap Mas Hadi yang kupendam sendiri selama ini. Di mana hanya aku dan Tuhan yang tau.
Lalu, Tuhan.
Apakah diri ini akan sanggup?


bukhorigan memberi reputasi
1
406
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan