- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Cerita Pasien Covid Merana & Meregang Nyawa karena RS Penuh


TS
Joko.Lee
Cerita Pasien Covid Merana & Meregang Nyawa karena RS Penuh
Quote:

Kekhawatiran akan terjadinya krisis kesehatan di negara ini makin tinggi. Di banyak daerah di Indonesia, rumah sakit penuh hingga tak lagi bisa menampung pasien yang positif Covid-19, bahkan ketika para pasien sudah dalam kritis sekalipun.
Dalam akun instagram @laporcovid19, dijabarkan beberapa kondisi terkini mengenai penangan Covid-19 di Indonesia.
Disebutkan masalah yang terjadi saat ini bukan hanya jumlah tenaga kesehatan yang berguguran karena pandemi, namun juga sistem rujukan rumah sakit yang saat nyaris tidak berfungsi. Banyak warga yang telah dinyatakan positif namun tak dapat mendapatkan fasilitas kesehatan.
Kondisi ini membuat warga terpaksa pulang kembali dan membuat risiko penularan di keluarga makin tinggi.
Hal ini disebabkan karena kasus Covid-19 yang terus mengalami peningkatan, berdampak pada kapasitas rumah sakit yang penuh sesak. Terutama untuk ruangan intensive care unit (ICU) dengan dan tanpa ventilator, ruangan isolasi bertekanan negatif, hingga ruang rawat inap pasien Covid-19 non tekanan negatif.
Sebagai contoh saja, di DKI Jakarta, data yang disampaikan di website mengenai ketersediaan kamar rumah sakit, jauh meleset dari kenyataannya. Dalam temuan tim @laporcovid-19, beberapa kali website ini menunjukkan kamar masih tersedia, namun ketika dihubungi nyatanya hampir penuh.
Kondisi ini makin parah jelang akhir tahun, bahkan tim ini telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan ICU, namun tak juga berhasil. Alhasil, tiga warga asal Bogor, DKI Jakarta dan Surabaya yang tengah sakit terpaksa pulang dengan kondisi kelelahan karena tak kunjung mendapatkan ruangan meski telah mengantri lama di rumah sakit.
"Pemerintah perlu menerima kenyataan bahwa RS sudah penuh," tulis akun tersebut, Sabtu (2/12/2021).
"Penambahan tempat tidur maupun alat kesehatan tidak akan mampu mengatasi lonjakan pasien Covid-19, maka solusi terbaiknya adalah dengan memperketat pembatasan sosial dan meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment)."
Kisah tersebut hanya satu dari sekian banyak perjuangan para pasien positif Covid-19 dan keluarganya dalam berburu tempat perawatan jelang akhir tahun.
Satu minggu sebelum 2020 berakhir, seorang pasien bernama KW yang kondisinya memburuk dan harus segera mendapatkan ruangan ICU tak kunjung mendapatkan ruangan hingga lima hari pencarian.
Pekerja gereja dan anak pendeta yang dinyatakan positif Covid namun tak mendapatkan fasilitas isolasi, terpaksa melakukan isolasi di rumah yang meningkatkan potensi terjadi klaster keluarga.
Atau kisah pendeta lainnya yang terpaksa melakukan isolasi di rumah sakit non rujukan Covid-19 karena sama-sama tak mendapatkan ruangan di Wisma Atlet.
Di Jawa Timur, bahkan seorang tenaga kesehatan juga tak bisa mendapatkan ICU karena di seluruh provinsi ini penuh. Ketika dia telah mendapatkan ruang ICU di RS Paru Karang Tembok, justru hampir seluruh perawat di rumah sakit itu juga dinyatakan positif Covid-19, sedangkan kondisi tak memungkinkan baginya untuk mendapatkan perawat mandiri.
Pada hari natal, di Bandung pencarian ICU juga tak bisa ditemukan hingga saat ini karena penuh.
Pasien asal Cirebon berupaya mencari ICU hingga ke RS Siloam Bogor, namun kamar telah terisi penuh. Dia akhirnya baru mendapatkan ventilator di RS Ciawi pada 27 Desember 2020.
Lalu dari wilayah Jawa Timur, pasien asal Kediri meninggal dunia karena rumah sakit di kotanya penuh dan telah mencari rumah sakit hingga ke Malang namun nihil. Sedang di Malang, pasien asal kota ini tak juga mendapatkan rumah sakit di kotanya hingga saat ini.
Kemudian pada 26 Desember 2020, satu keluarga di Jakarta yang terdiri dari kedua orang tua, suami-istri, dua keponakan, adik, dan anak dinyatakan posotif Covid. Mereka terpaksa melakukan swab mandiri dengan harga Rp 900 ribu per orang karena antrean yang panjang di puskesmas.
Ayahnya dalam kondisi tak sadar, namun tak mendapatkan ICU sehingga harus menunggu di IGD. Pihak rumah sakit tak mau mengantar ke rumah sakit rujukan lainnya karena takut menyalahi aturan.
Sedang keponakannya yang sedang hamil, mengalami pendarahan tetapi tidak ditangani puskesmas. Dia terpaksa dilarikan ke RS Mintoharjo dan akhirnya harus dikuritase.
Anggota keluarga lainnya terpaksa melakukan isolasi mandiri karena tidak mendapatkan ruangan isolasi di rumah sakit.
Lalu, ada satu pasien reaktif antigen yang membutuhkan IGD di RS Ciputra namun harus menunggu hingga tiga hari. Dibantu agen asuransinya untuk mencari rumah sakit di wilayah tangerang dan Jawa Barat namun nihil, sampai kini masih belum mendapatkan ruangan ini.
Di Kediri, perawat rumah sakit swasta yang sedang kritis tak mendapatkan ruangan ICU. Dia hanya dirawat dalam ruang isolasi di salah satu rumah sakit.
Pada Minggu (27/12/2020), seorang pasien yang mengalami demam dan sesak napas membutuhkan ICU namun tim tidak berhasil mendapatkannya.
Lebih ironis lagi, di Banten pada Senin (28/12/2020) satu pasien yang dinyatakan positif Covid-19 dengan hipertensi, diabetes, stroke dan gangguan ginjal baru mendapatkan rumah sakit setelah tiga hari pencarian dan menghubungi 42 rumah sakit yang semuanya penuh.
Kisah-kisah di atas hanya beberapa dari potret penanganan kesehatan di negara ini. Untuk itu diperlukan tindakan penanganan lebih lanjut oleh pemerintah.
"Pemerintah harus belajar dari kesalahan selama 10 bulan pandemi dan mulai berbenah," tulis akun ini.
Pemerintah harus bisa menjamin bahwa setiap warganya mendapatkan layanan perawatan di rumah sakit. Juga harus menyiapkan protokol untuk menyeleksi pasien yang berhak mendapatkan perawatan ICU sehingga tidak terjadi rebutan dan ketidakadilan dengan kriteria yang didasarkan pada aspek medis dan kemanusiaan.
"Penambahan tempat tidur bukan solusi terbaik. Peningkatan 3T dan pembatasan sosial seharusnya lebih dulu dilakukan."
SUMBER
Dalam akun instagram @laporcovid19, dijabarkan beberapa kondisi terkini mengenai penangan Covid-19 di Indonesia.
Disebutkan masalah yang terjadi saat ini bukan hanya jumlah tenaga kesehatan yang berguguran karena pandemi, namun juga sistem rujukan rumah sakit yang saat nyaris tidak berfungsi. Banyak warga yang telah dinyatakan positif namun tak dapat mendapatkan fasilitas kesehatan.
Kondisi ini membuat warga terpaksa pulang kembali dan membuat risiko penularan di keluarga makin tinggi.
Hal ini disebabkan karena kasus Covid-19 yang terus mengalami peningkatan, berdampak pada kapasitas rumah sakit yang penuh sesak. Terutama untuk ruangan intensive care unit (ICU) dengan dan tanpa ventilator, ruangan isolasi bertekanan negatif, hingga ruang rawat inap pasien Covid-19 non tekanan negatif.
Sebagai contoh saja, di DKI Jakarta, data yang disampaikan di website mengenai ketersediaan kamar rumah sakit, jauh meleset dari kenyataannya. Dalam temuan tim @laporcovid-19, beberapa kali website ini menunjukkan kamar masih tersedia, namun ketika dihubungi nyatanya hampir penuh.
Kondisi ini makin parah jelang akhir tahun, bahkan tim ini telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan ICU, namun tak juga berhasil. Alhasil, tiga warga asal Bogor, DKI Jakarta dan Surabaya yang tengah sakit terpaksa pulang dengan kondisi kelelahan karena tak kunjung mendapatkan ruangan meski telah mengantri lama di rumah sakit.
"Pemerintah perlu menerima kenyataan bahwa RS sudah penuh," tulis akun tersebut, Sabtu (2/12/2021).
"Penambahan tempat tidur maupun alat kesehatan tidak akan mampu mengatasi lonjakan pasien Covid-19, maka solusi terbaiknya adalah dengan memperketat pembatasan sosial dan meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment)."
Kisah tersebut hanya satu dari sekian banyak perjuangan para pasien positif Covid-19 dan keluarganya dalam berburu tempat perawatan jelang akhir tahun.
Satu minggu sebelum 2020 berakhir, seorang pasien bernama KW yang kondisinya memburuk dan harus segera mendapatkan ruangan ICU tak kunjung mendapatkan ruangan hingga lima hari pencarian.
Pekerja gereja dan anak pendeta yang dinyatakan positif Covid namun tak mendapatkan fasilitas isolasi, terpaksa melakukan isolasi di rumah yang meningkatkan potensi terjadi klaster keluarga.
Atau kisah pendeta lainnya yang terpaksa melakukan isolasi di rumah sakit non rujukan Covid-19 karena sama-sama tak mendapatkan ruangan di Wisma Atlet.
Di Jawa Timur, bahkan seorang tenaga kesehatan juga tak bisa mendapatkan ICU karena di seluruh provinsi ini penuh. Ketika dia telah mendapatkan ruang ICU di RS Paru Karang Tembok, justru hampir seluruh perawat di rumah sakit itu juga dinyatakan positif Covid-19, sedangkan kondisi tak memungkinkan baginya untuk mendapatkan perawat mandiri.
Pada hari natal, di Bandung pencarian ICU juga tak bisa ditemukan hingga saat ini karena penuh.
Pasien asal Cirebon berupaya mencari ICU hingga ke RS Siloam Bogor, namun kamar telah terisi penuh. Dia akhirnya baru mendapatkan ventilator di RS Ciawi pada 27 Desember 2020.
Lalu dari wilayah Jawa Timur, pasien asal Kediri meninggal dunia karena rumah sakit di kotanya penuh dan telah mencari rumah sakit hingga ke Malang namun nihil. Sedang di Malang, pasien asal kota ini tak juga mendapatkan rumah sakit di kotanya hingga saat ini.
Kemudian pada 26 Desember 2020, satu keluarga di Jakarta yang terdiri dari kedua orang tua, suami-istri, dua keponakan, adik, dan anak dinyatakan posotif Covid. Mereka terpaksa melakukan swab mandiri dengan harga Rp 900 ribu per orang karena antrean yang panjang di puskesmas.
Ayahnya dalam kondisi tak sadar, namun tak mendapatkan ICU sehingga harus menunggu di IGD. Pihak rumah sakit tak mau mengantar ke rumah sakit rujukan lainnya karena takut menyalahi aturan.
Sedang keponakannya yang sedang hamil, mengalami pendarahan tetapi tidak ditangani puskesmas. Dia terpaksa dilarikan ke RS Mintoharjo dan akhirnya harus dikuritase.
Anggota keluarga lainnya terpaksa melakukan isolasi mandiri karena tidak mendapatkan ruangan isolasi di rumah sakit.
Lalu, ada satu pasien reaktif antigen yang membutuhkan IGD di RS Ciputra namun harus menunggu hingga tiga hari. Dibantu agen asuransinya untuk mencari rumah sakit di wilayah tangerang dan Jawa Barat namun nihil, sampai kini masih belum mendapatkan ruangan ini.
Di Kediri, perawat rumah sakit swasta yang sedang kritis tak mendapatkan ruangan ICU. Dia hanya dirawat dalam ruang isolasi di salah satu rumah sakit.
Pada Minggu (27/12/2020), seorang pasien yang mengalami demam dan sesak napas membutuhkan ICU namun tim tidak berhasil mendapatkannya.
Lebih ironis lagi, di Banten pada Senin (28/12/2020) satu pasien yang dinyatakan positif Covid-19 dengan hipertensi, diabetes, stroke dan gangguan ginjal baru mendapatkan rumah sakit setelah tiga hari pencarian dan menghubungi 42 rumah sakit yang semuanya penuh.
Kisah-kisah di atas hanya beberapa dari potret penanganan kesehatan di negara ini. Untuk itu diperlukan tindakan penanganan lebih lanjut oleh pemerintah.
"Pemerintah harus belajar dari kesalahan selama 10 bulan pandemi dan mulai berbenah," tulis akun ini.
Pemerintah harus bisa menjamin bahwa setiap warganya mendapatkan layanan perawatan di rumah sakit. Juga harus menyiapkan protokol untuk menyeleksi pasien yang berhak mendapatkan perawatan ICU sehingga tidak terjadi rebutan dan ketidakadilan dengan kriteria yang didasarkan pada aspek medis dan kemanusiaan.
"Penambahan tempat tidur bukan solusi terbaik. Peningkatan 3T dan pembatasan sosial seharusnya lebih dulu dilakukan."
SUMBER
MUKE GILE BRAY









tien212700 dan 3 lainnya memberi reputasi
2
2.2K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan