

TS
tettettowet
Kenangan

Rama ....
Gerbang hitam yang dulu menjadi pijakan ketika kita dipertemukan takdir dalam keadaan telat sampai kini masih ada di sampingku. Namun, ia tak sekokoh dulu, warnanya berubah pudar lelah terkena pancaran sinar matahari yang diberi Tuhan.
Seperti halnya gerbang, bangku taman di sebelah kiri kampus pun mulai rapuh sebagian. Tepat di samping bagian yang sering kau duduki. Tempat dudukku sekarang.
Masihkah kau ingat, Rama? Tentang pertemuan kita yang dulu begitu lucu. Tak hanya gerbang dan taman ini, perpustakaan yang jika kamu melihatku di dalamnya akan terkesan bagai istana seperti katamu dulu, pun pernah menjadi tempat dalam cerita kita.
Selain pandai merayu, kamu satu-satunya pria manis yang pernah kutemui. Dengan percaya diri, dirimu tak segan melarang para mahasiswa lainnya, menggunakan bahasa isyarat lalu menunjukku sebagai alasan.
'Jangan berisik. Aku dan Puja sedang belajar untuk masa depan kami berdua.'
Yang kala mendengar itu, tak hanya aku, mereka turut tertawa mendengar ocehanmu. Namun, kuakui. Sifat manismu itu yang membuatku jatuh hati.
********
Saat itu dengan keadaan basah kuyup, kamu menyodorkan dua batang coklat ke hadapanku. Bibirmu tersenyum, mengisyaratkan untuk aku mengambilnya yang saat itu menatapmu heran.
"Apa ini?" tanyaku.
"Pintaku dua, Puja," balasmu seraya menarik kursi. Lalu duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang.
"Apa dia?"
"Besar dan kecil."
Lagi, kamu tersenyum. Menatapku lembut seperti biasanya.
"Yang besar, sedang kupanjatkan kepada Tuhan. Yang mana, masih menjadi rahasiaku, namun jika Tuhan meridhai, nanti tetap kuberitahu kepadamu," lanjutmu.
"Lalu yang kecil?"
"Aku ingin menikah."
Kurasakan, dunia seolah berhenti berputar. Menyisakan aku yang tengah dilanda panik mendengar ucapanmu barusan. Hatiku seolah menjerit meminta tolong kepada siapa saja yang berada di ruangan caffe itu.
Tidak! Terkecuali kepadamu!
Meja menjadi pilihanku menumpahkan segalanya. Aku terisak dalam diam, tak peduli denganmu yang juga ikut terdiam menatap bingung.
"Kamu sesenang itu, Puja?" tanyamu.
"Senang bagaimana yang kau maksud, Rama? Senang melihatmu dengan perempuan lain?"
Kamu terkesiap, terdiam lama mencerna ucapanku. Sejurus kemudian tertawa, hingga membuatku bingung. Aku tak peduli, yang terpenting saat ini hanya hatiku. Bagaimana seorang pria dengan mudahnya mengaku akan menikah dengan orang lain jika sebelumnya ia juga mendekati seorang wanita?
"Yang kumaksud itu kamu, Puja. Bukan orang lain."
Selanjutnya hal yang paling kutunggu, tiba. Kamu memberi warna sepenuhnya dalam harapan-harapan yang telah kusemai. Dengan mantap, Bapak mengangguk, menerimamu sebagai calon imamku. Hanya perlu menentukan tanggal untuk hari baiknya.
Selain manis, satu hal lainnya yang tak bisa kulupa tentangmu, Rama. Kehadiranmu membuat damai keluargaku. Penuh suka cita.
********
Waktu berlalu cepat. Meninggalkan beberapa tahun di mana penuh kenangan di antara kita. Pun, dengan tanggal yang ditentukan Bapak untuk kita membina hubungan baru dalam biduk rumah tangga.
"Aku mencintaimu, Rama. Lebih dari apapun. Halalkan cintaku segera untuk kita tak terlampau jauh membina hubungan tak pasti."
Saat itu, bangku taman kampus menjadi pilihan kita bukan perpustakaan seperti biasa. Berbeda dengan hari sebelumnya yang telah kita lewati, sikapmu hari itu berbeda. Pandanganmu kian lama menatapku, sesekali mencium tanganku yang tak terhitung sudah kali yang berapa.
"Terima kasih, Puja, untuk cintamu selama ini. Aku mencintaimu."
Kita saling melempar senyum. Lalu, beranjak pulang dengan janji yang kupegang bahwa kamu akan datang. Melunaskan janji kepada Bapak, menghalalkanku dengan cepat.
*********
Dua tahun setelah kepergianmu saat pertemuan terakhir kita di taman, aku masih di sini. Melakukan hal apa saja yang memperjelas serta memperlihat pada dunia jika keadaanku baik-baik saja. Aku bahagia. Meski tanpa mereka tahu, kenangan bersamamu terus membuatku merasa sepi, menyiksa diri. Bukan tak pernah kucoba, untuk sedikit saja melupakanmu. Membuang harap yang sesekali terlintas jika suatu saat kau akan kembali, jika aku sabar menanti. Di sini.
Pernah juga kucoba, berbincang dengan diri jika tanpamu aku bisa. Aku jauh lebih baik-baik saja. Nyatanya, kenanganmu terus mengitari diri memeluk hangat setiap hari.
Bukan tak pernah juga kucoba, mengikat hati dengan pria yang kutebak mampu membuang bayangmu, mencoba memulai menambatkan hati dengan mereka seperti yang dulu kulakukan padamu. Demi menjauh dari apa yang sedang terjadi, memaksakan diri untuk lebih mengikhlaskan apa yang terjadi.
Nyatanya, aku gagal.
Namamu masih cukup berarti di sini, Rama. Segala kenangan tentangmu yang kubuang paksa seakan menggantungkan diri tak mau lepas dalam ingatan. Membuat diri semakin terpuruk, serta menyesali tentang pertemuan kita dulu yang terjadi begitu manis.
Sesungguhnya, bagaimana pun diri ini berusaha, perasaanku masih belum bergeser sedikit pun dari hati yang dulu pernah kuberikan sepenuhnya. Tidak mudah membunuh harapan yang dulu kita semai bersamaan. Namun, satu hal yang kupastikan. Kamu bukan lagi jiwa yang ingin kutemui di masa depan.
Hujan akan segera turun. Semoga setelah ini, bagian bangku taman yang lelah kududuki ini rapuh ditetesi hujan. Terima kasih untuk segala rasa yang kau tuai.
Aku pulang, Qusyairi Ramadana.
Sehat selalu untukmu yang sampai saat ini tak kuketahui di mana, setelah perjumpaan terakhir kita di bangku taman saling berucap cinta. Setelah hari ini, kupastikan jiwaku bukan lagi seperti dulu, jiwa yang begitu memuja dan merindu dirimu. Akan tetapi, akan lahir satu jiwa dengan lembaran baru tanpa kenanganmu.
Kamar, 29 Desember 2020.
Diubah oleh tettettowet 29-12-2020 21:06






khodzimzz dan 7 lainnya memberi reputasi
8
706
67


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan