yosiyahuAvatar border
TS
yosiyahu
apakah natal itu sebenarnya?
SEBAGIAN BESAR umat Kristen di seluruh dunia merayakan hari kelahiran Yesus Kristus (Inggris; Jesus Christ, Ibrani;  Yashua Hamasiach, Arab; Isa Almasih) yang diyakini menurut Alkitab (Injil) sebagai Mesias sang Juru Selamat pada tanggal 25 Desember tiap tahunnya. Namun pertanyaannya, apakah benar Yesus lahir pada tanggal 25 Desember dan apakah itu sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab? Dapatkah kita menentukan hari kelahiran Yesus yang sesungguhnya?

Pertanyaan tersebut memang tidak bisa dijawab oleh umat (jemaat) Kristiani yang tidak pernah mempelajari sejarah dan dasar Alkitabiah mengenai lahirnya Yesus Kristus berdasarkan literatur-literatur kuno (asli) berbahasa Ibrani dari tradisi bangsa Israel (Yahudi) menurut perhitungan kalender mereka. Sebab sampai sejauh ini, narasi sejarah gereja dunia yang dominan sebagai hasil peninggalan Gereja Katolik Roma telah mendikte banyak Gereja dan orang Kristen hingga mereka meyakini bahwa tanggal 25 Desember merupakan hari kelahiran Yesus Kristus, sang penebus dosa manusia.

Nah, untuk mencari jawaban mengenai hari kelahiran Yesus Kristus yang sebenarnya, kita dapat mendasarkannya pada apa yang tertulis dalam Alkitab itu sendiri. Jadi tidak perlu mencari ke mana-mana. Sebab Alkitab telah menyediakan informasi yang jelas dan berharga tentang kelahiran Yesus. Tulisan ini mungkin berisi penjelasan yang ofensif untuk orang Kristen yang sudah terlanjur menganggap kelahiran Yesus adalah pada tanggal 25 Desember. Padahal ini jelas kekeliruan !

Mesias Palsu dan Hari Kelahirannya

Setelah manusia jatuh ke dalam dosa oleh tipu daya Setan di Taman Eden, maka TUHAN (Ibrani: YAHWE, YHWH/ELOHIM) berfirman bahwa Mesias akan datang dari keturunan perempuan sehingga Setan (Iblis) akan dikalahkan olehnya (Kejadian 3:15). Karena itu Setan tidak tinggal diam begitu saja. Ia berusaha untuk menggagalkan rencana YAHWE dengan menciptakan “Mesias Tandingan” atau “Mesias Palsu”.

Rencana itu dimulai ketika umat manusia mula-mula bermukim di satu tempat bernama Babylon (Babel, menurut sejarah Alkitab, Babel merupakan suatu tempat yang sekarang masuk dalam wilayah negara Irak modern). Setan (Iblis) telah merencanakan agar mesias yang palsu harus sebisa mungkin identik dengan mesias asli yang akan datang nanti. Karena itu Setan menirukan apa yang menjadi rencana besar YAHWE, pertama-tama dengan menghadirkan mesias palsu itu juga dari keturunan perempuan.

Setan (Iblis) lalu menerapkan gagasannya itu pada diri seorang perempuan yang ambisius bernama “Semiramis” yang merupakan janda dari Nimrod (seorang yang dalam Alkitab dijelaskan sebagai pemburu yang gagah perkasa dan orang yang pernah berkuasa atas seluruh umat manusia di bumi serta menjadikan dirinya seolah-olah Tuhan atas rakyatnya). Nimrod sangat terkenal sehingga disembah sebagai “titisan Sang Dewa Matahari”.

Setelah kematian Nimrod, Semiramis (istri Nimrod) berusaha untuk mempertahankan kekuasaan suaminya itu. Seperti suaminya, ia juga berambisi untuk menjadikan dirinya seolah-olah sebagai Tuhan bagi rakyatnya. Semiramis kemudian menipu rakyatnya dengan melacurkan diri dan hasilnya ia kemudian mengatakan bahwa dia telah mengandung secara ajaib dan bahwa suaminya Nimrod telah berinkarnasi kembali dengan menjadi anak yang tengah berada di kandungannya.

Atas dasar inilah, Semiramis kemudian disembah sebagai Dewi Ishtar yang digelari Ratu Sorga dan Bunda. Anak yang dilahirkannya itu kemudian dinamakan “Tammuz” yang artinya “Sang Tunas”, raja Babylon (Babel) yang baru, tuhan yang gagah perkasa. Tammuz ini kemudian disembah dengan simbol pohon sebagai sang tunas.

Ungkapan “Sang Tunas” ini mengingatkan kita akan berbagai nubuatan Alkitab tentang bagaimana Yesus sebagai Mesias yang sesungguhnya akan dipanggil (baca Yesaya 11:1, 52:2, Yeremia 23:5, Zakaria 6:12). Disini jelas bahwa Setan (Iblis) si jahat penipu itu telah menghadirkan Tammuz untuk menjadi mesias tandingan, jauh mendahului kehadiran Mesias yang sebenarnya: Yesus Kristus. Inilah yang kemudian menjadi sumber penyembahan berhala (Paganisme) di dunia.

Seluruh berhala di muka bumi, baik yang diceritakan di dalam Alkitab maupun yang terdapat dalam berbagai mitologi dengan perubahan dan variasi nama, dapat ditelusuri akarnya berasal dari penyesatan Babylon ini. Sebab dalam Alkitab diceritakan bahwa Babylonia (Babel) sejak awal telah menjadi pusat peradaban manusia yang pertama. Peristiwa besar yang dikenal pada masa itu adalah rencana pendirian menara Babel yang tingginya sampai ke langit. Namun gagal dan akhirnya manusia dikacaukan dengan bahasa yang berbeda-beda untuk selanjutnya menyebar ke seluruh bumi.

Ada dua perayaan besar yang diadakan di Babylonia berkaitan dengan kisah Paganisme tersebut. Perayaan pertama adalah perayaan musim dingin yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Tammuz sebagai inkarnasi dewa matahari. Kelahirannya dirayakan pada saat titik balik matahari di musim dingin (winter soltice), yang tiap tahunnya jatuh pada tanggal 25 Desember.

Perayaan kedua adalah perayaan musim semi (spring equinox) untuk memperingati kebangkitan Nimrod. Perayaan ini berlangsung selama 40 hari dimana setiap harinya pada saat matahari terbit. Disini mereka akan menaikan puji-pujian kepada Nimrod yang diyakini telah bangkit dari kematiannya.

Alkitab dan Hari Kelahiran Yesus

Alkitab secara jelas mengatakan bahwa Yesus Kristus (Inggris; Jesus Christ, Ibrani;  Yashua Hamasiach, Arab; Isa Almasih) yang lahir sebagai Mesias di tengah-tengah bangsa Ibrani (Yahudi/Israel) melalui perawan Maria adalah pada Hari Raya Pondok Daun atau disebut Hari Raya Sukkot oleh bangsa Ibrani yang jatuh pada musim gugur. Tepatnya pada 15 Tishri (antara akhir September-Oktober) sesuai penanggalan kalender orang Ibrani (Yahudi/Israel) yang juga memiliki 12 bulan dalam sistem kalender mereka.

Adapun bulan dalam kalender Ibrani adalah : Nisan (Maret-April), Iyyar (April-Mei), Sivan (Mei-Juni), Tammuz (Juni-Juli), Av (Juli-Agustus), Elul (Agusuts-September), Tishri (September-Oktober), Keshvan (Oktober-November), Kislev (November-Desember), Tevet (Desember-Januari), Shevat (Januari-Februari dan Adar (Februari-Maret).

Hari raya Pondok Daun (fFeast of Tabernacle) atau disebut Hari Raya Sukkot dalam tradisi bangsa Ibrani, dilakukan sebagai peringatan bahwa TUHAN (YAHWE/ELOHIM) telah berdiam di tengah-tengah kemah orang Israel ketika DIA (YAHWE) menuntun mereka melalui perantara Musa (Ibrani; Moshe) dan Harun (Ibrani: Aaron) keluar dari perbudakan/penjajahan/penindasan di tanah Mesir.

Imamat 23:34,42-43 berbunyi:  YAHWE Berfirman Kepada Musa (Moshe): “Katakanlah kepada orang Israel begini; Pada hari yang kelima belas bulan yang ke tujuh (Tishri) ada Hari Raya Pondok Daun (Sukkot) bagi YAHWE tujuh hari lamanya….Di dalam pondok-pondok daun kamu harus tinggal tujuh hari lamanya, setiap orang asli di Israel haruslah tinggal di dalam pondok-pondok daun supaya diketahui oleh keturunanmu, bahwa AKU telah menyuruh orang Israel tinggal di dalam pondok-pondok selama AKU menuntun mereka sesudah keluar dari tanah Mesir.”

Masih ada tema dan pesan-pesan lain yang berhubungan dengan hari Raya Sukkot (Pondok Daun) sebagai saat dimana Yesus dilahirkan. Dalam Lukas 2:12, kita menemukan bayi Yesus (Yashua) dibungkus dalam kain lampin. Kain ini biasanya digunakan sebagai suluh (obor) tong minyak dalam Ruang Pertemuan pada salah satu ruangan dalam bait suci orang Israel (Sinagogue) selama perayaan Sukkot. Dalam Alkitab Yesus diceritakan lahir di dalam sebuah kandang hewan dan dibaringkan dalam palungan (Lukas 2:7). Kata Ibrani untuk kandang hewan semacam ini adalah “Sukkhot” (jamak), seperti dalam Kejadian 33:17.

Ketika malaikat menampakan diri di hadapan gembala-gembala, mereka mengucapkan perkataan yang sangat mirip dengan liturgi kuno  hari raya Sukkot (Pondok Daun) itu: “aku memberikan kepadamu kesukaan besar” (Luk 2:10). Tentu saja diluar informasi yang terdapat dalam Alkitab mengenai kapan tepatnya Yashua (Yesus) dilahirkan. Ada pula alasan kuat mengapa IA tidak dilahirkan pada bulan Desember. Kaisar Agustus (Kaisar Romawi saat itu) memerintahkan pelaksanaan sensus di seluruh kerajaan Romawi (Lukas 2:1).

Selama bulan Tevet (Desember-Januari) dalam kalender Ibrani, pada bagian dunia ini sedang berlangsung musim dingin. Salju turun di banyak tempat dalam kerajaan Romawi (Israel/Palestina saat itu dikuasai Romawi) dan cuacanya sama sekali tidak mendukung untuk bepergian. Jadi secara logika, Kaisar Agustus tidak mungkin mengharapkan seluruh penduduk untuk berpergian dalam keadaan bersalju (dingin), melalui jalan-jalan yang menjadi sulit dilewati untuk mengikuti program sensus penduduk tersebut. Sehingga jelas, sensus ini tidak mungkin dilaksanakan pada bulan Desember.

Alkitab (Lukas 2:8) juga menceritakan kepada kita bahwa para gembala sedang menunggui kawanan domba mereka: “Di daerah itu ada gembala-gembala yang yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”. Jadi sangat tidak logis membayangkan ada gembala-gembala yang menggiring domba-domba mereka merumput diatas salju di bulan Desember, sebab tidak ada rumput yang tumbuh di musim dingin.

Dengan menempatkan kelahiran Yesus pada hari raya Sukkot (Pondok Daun), maka hari ke delapan menurut tradisi Yahudi, Yesus disunat pada hari terakhir dari Perayaan Sukkot (Imamat 23:36,39), yang dikenal dalam tradisi orang Israel sebagai Hari Raya Simkhat Torah (Sukacita Taurat).

Sebaliknya, tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang menyatakan Yesus (Yashua/Isa/Jesus) lahir pada tanggal 25 Desember. Secara logika juga sulit untuk menjelaskan bagaimana mungkin para gembala bisa berbaring di malam hari pada bulan Desember yang dingin dan bersalju. Bagaimana mereka bisa menggiring domba-domba untuk merumput diatas salju pada bulan Desember, sebab tidak ada rumput yan g tumbuh di musim dingin.

Pertanyaannya, Jika Yesus tidak dilahirkan pada musim dingin dan tidak ada satu pun firman TUHAN (YAHWE) yang menyatakan kita harus merayakan kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember, maka apa yang menyebabkan manusia (Gereja dan Umat Kristiani) menerapkan tanggal itu sebagai hari kelahiran Yesus?

Dalam karya monumental, “The Two Babylons” Rev. Alexander Hislop (1858) menulis: “Bahwa hari raya Natal berasal-usul dari perayaan berhala (Paganisme) sangat tidak diragukan lagi. Penentuan waktu dan upacara-upacara di dalamnya yang masih dirayakan sampai hari ini membuktikan asal usul itu. Di Mesir, anak Isis, dewi yang dikenal sebagai ratu surga, dilahirkan pada masa-masa Natal. Sekitar saat titik balik matahari di musim dingin”.

Nama mula-mula dari Natal (bahasa Italia; Natale, Inggris;Christmas) yang populer dikenal diantara kita “Yule Day” membuktikan pada awalnya berasal dari kebudayaan berhala (Paganisme) Babylonia. Kata “Yule”, dalam bahasa Kaldea berarti “Bayi” atau “anak Kecil” dan tanggal 25 Desember disebut juga oleh Bangsa Anglo-Saxon (orang-orang kulit putih Eropa) sebagai “Yule Day” atau “Hari Anak” dan malam sebelum hari itu (24 Desember malam) disebut dengan “Hari Bunda”.

Perayaan “Hari Anak” dan “Hari Ibu” itu telah lama dikenal oleh orang kulit putih Eropa (Bangsa Angglo-Saxon) kuno jauh sebelum mereka mengenal dan memeluk Agama Kristen. Hal ini jelas memberi bukti seperti apa wujud asli dan sejarah perayaan tanggal 25 Desember. Sebab hari raya kelahiran ini telah lama dikenal dan dirayakan dalam kebudayaan kafir-berhala Paganisme kuno.

Rev. Alexander Hislod dalam bukunya “The Two Babylons” lebih jauh menerangkan bahwa sebelum adanya ke-Kristenan (agama Kristen), penduduk Roma telah mengadaptasi perayaan-perayaan Paganisme Babylon itu menjadi hari-hari raya utama mereka. Karena telah diadaptasi, orang Roma telah terbiasa melaksanakan perayaan itu secara besar-besaran tiap tahunnya. Ketika orang Roma menciptakan sistem kalender mereka sendiri, mereka lalu menetapkan penanggalan yang pasti untuk hari-hari raya mereka itu.

Menurut penanggalan mereka (orang Roma), saat terjadinya titik balik matahari di musim dingin selalu jatuh pada tanggal 25 Desember dan itulah hari dimana penduduk Roma setelah menjadi Kristen lantas merayakannya sebagai hari kemenangan YAHWE yang terlahir kembali ke dunia sebagai Mesias dalam diri Yesus (Yeshua). Nama hari itu adalah “Natalis Invicti Solis” atau “Hari Kelahiran Dewa Matahari Yang Tak Terkalahkan”. Dari nama itulah kita memperoleh istilah Natal.

Orang-orang Roma menyebut Dewa Matahari ini dengan sebutan “Saturnalis” dan perayaan ini kemudian dikenal sebagai “Perayaan Saturnalia”. NAMUN, ketika penduduk Roma secara perlahan-lahan menjadi pengikut Yesus (Yashua) melalui pemberitaan Rasul Paulus dan murid-murid lain yang menginjili wilayah kerajaan Roma, mereka (orang Roma) tidak mudah melepaskan tradisi lama dan hari-hari raya Paganisme Saturnalia mereka begitu saja.

Perlu diketahui bahwa setidaknya sejak abad pertama, Rasul Paulus telah mengecam orang-orang (bangsa-bangsa) bukan Yahudi (non Yahudi, Inggris: Gentiles, Ibrani: Goyim) yang mencoba untuk menyesuaikan (mensinkretisme) tradisi dan hari-hari raya berhala mereka yang lama ke dalam kepercayaan Iman Kristen sebagai agama yang baru dianut oleh mereka (baca Galatia 4:8-11). Kecaman serupa juga bisa ditemukan dalam tulisan Bapa Gereja Tertulianus (sekitar tahun 230) yang mengecam ketidak-konsistenan orang-orang Kristen, dibandingkan ketaatan mereka kepada penyembahan berhala (Paganisme).

Tertulianus menulis “Kita (orang-orang bukan Yahudi) yang asing terhadap Sabat (hari Sabtu), bulan baru dan hari-hari raya  (YAHWE), ketika dijadikan layak oleh YAHWE, mengapa terus merayakan perayaan Saturnalia (perayaan Dewa Matahari), Perayaan Januari, Perayaan Brumalia, dan Matronalia,: penyembahan dibawa ke sana-kemari,  hadiah tahun baru dibuat dengan hiruk-pikuk, permainan dan perjamuan pesta dirayakan dengan hingar-bingar. Oh.., alangkah jauh lebih taatnya para penyembah berhala itu terhadap agama lama mereka, yang dengan teliti tidak mencampuradukan peribadatan mereka dengan peribadatan Kristen.”

Salah satu bukti sejarah lain yang menyatakan bahwa orang Kristen Roma saat itu masih kuat merayakan tradisi perayaan mereka yang lama (Saturnalia) dan mencampuradukannya ke dalam agama Kristen karena saat itu Kaisar Konstantinus melalui Dekrit Milan (313) menyatakan bahwa “barangsiapa (diantara orang-orang Kristen) yang kedapatan masih merayakan hari-hari raya Ibrani (orang Israel/Yahudi), mereka akan dihukum.”

Hal itu terjadi karena ada beberapa hal. Menurut sejumlah referensi sejarah gereja, salah satunya karena gereja telah dipengaruhi oleh doktrin/ajaran “Theologia Penggantian (Replacement Theology)” yang menyakini bahwa bangsa Israel/Yahudi hanyalah bangsa pilihan menurut sejarah masa lalu mereka. Namun karena ketidaktaatan dan karena mereka telah menolak Yesus sebagai Mesias dari YAHWE, lalu membunuh dan menyalibkan Yesus, maka keselamatan sudah menjauh dari bangsa Yahudi/Israel dan beralih kepada bangsa-bangsa lain bukan Yahudi (Inggris: Gentiles, Ibrani: Goyim) yang percaya dan mengakui Yeshua (Yesus) sebagai Mesias dari YAHWE.

Doktrin “Replacement Theology” yang masih terbawa sampai hari ini itu pun mengakui bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi yang percaya dan mengakui Yesus sebagai Mesias praktis telah menggantikan/menggeser (mere-place) posisi bangsa Israel/Yahudi sebagai bangsa pilihan secara fisik namun tidak lagi menjadi bangsa pilihan secara rohani. Bahwa bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi namun telah mengakui Yesus sebagai Mesias adalah Israel-Israel rohani yang sejati.

Gereja pada masa itu juga sangat antipati dan tidak menyukai tradisi ke-Kristenan yang terkait dengan pengaruh tradisi ke-Yayahudian. Gereja menganggap bahwa orang Yahudi telah membunuh Yesus dan menolaknya sebagai Mesias sehingga mereka patut menanggung hukuman dengan dibakar di neraka atas penolakan mereka kepada Yesus sebagai Mesias dari YAHWE. Mengenai hal ini, film “Passion of Christ” hasil garapan sutradara terkenal Mel Gibson dapat memperjelasnya.

Disamping itu, faktor lain adalah karena sikap “Anti-Semitisme” yang berkembang pada gereja dan jemaat di masa-masa awal, dimana pencampuran hal-hal politis dan agama telah menciptakan jurang permusuhan antara gereja dengan orang-orang Yahudi yang juga dibenci karena hal-hal eksklusifitas ke-Yahudian dan pengaruh-pengaruh sosial-politik lainnya.

Istilah Christmas dan Pohon Natal

Istilah “Christmas “ itu sendiri baru muncul sekitar tahun 450 ketika Paus Yulius mengeluarkan dekrit bahwa seluruh umat Kristen harus merayakan hari kelahiran Mesias (Yesus Kristus) pada saat yang bersamaan dengan perayaan Saturnalia (perayaan Dewa Matahari). Ini untuk menandakannya sebagai “Christe-Masse” atau “Masa Pengikut Yesus”.

Seribu tahun kemudian “Christe –Massa”sudah menjadi perayaan terbesar, atau tidak terpisahkan dan identik dengan ke-Kristenan. PERSOALANNYA, tidak ada satu pun yang tahu tentang asal-usul itu sehingga tokoh reformasi gereja Marthen Luther dan Yohanis Calvin, karena ketidaktahuan mereka, lantas meneruskan saja tradisi ini (tradisi Paganisme Saturnalia) setelah muncul Gereja Protestan yang terpisah dari Gereja Katolik Roma.

Lalu bagaimana dengan latar belakang sejarah dari ikon Pohon Natal (Christmas Tree) yang diatas puncaknya sering dipasang bintang? Ternyata, hanya sedikit pula yang mengetahui pohon natal berasal-mula dari kepercayaan berhala (Paganisme) Babylon itu, yang dulunya dipakai sebagai simbol Tammuz (anak Nimrod dari Semiramis yang disimbolkan sebagai jelmaan Dewa Matahari), yang tidak lain sebagai “Mesias Palsu” buatan Setan (Iblis). Pohon natal dulu dipakai sebagai “redivivus” Nimrod atau YAHWE yang lahir kembali dari kematian.

Orang Mesir memakai Pohon Palem sebagai pohon natal. Orang Rusia memakasi Pohon Cemara. Pohon Palem itu melambangkan Mesias Palsu: Baal-Tamar dan Pohon Cemara melambangkan Baal-Berith. Orang-orang barat (Anglo-Saxon) dan Druit juga menggunakan pohon sebagai simbol berhala mereka. Pohon-pohon inilah yang dikatakan dalam Alkitab sebagai kesia-siaan (baca Yeremia 10: 1-4).

Lantas, tidak ada keraguan lagi bahwa perayaan berhala pada tanggal 25 Desember (dengan kata lain Hari Natal), dilaksanakan untuk memperingati “hari kelahiran Anti Mesias” dari Babylon. Perayaan besar lainnya yang memperkuat kesimpulan ini adalah perayaan yang disebut sebagai “Lady-Day” yang diselenggarakan pada tanggal 25 Maret setiap tahun oleh Gereja Katolik sebagai hari dimana malaikat mengabarkan kepada perawan Maria bahwa ia tengah mengandung Mesias Yesus Kristus (Yeshua Hamasiach).

Lalu dari mana tanggal itu berasal? Mengapa tanggal itu dipilih? Ternyata perayaan ini dulunya merupakan perayaan orang-orang Roma (sebelum mereka memeluk agama Kristen) untuk menghormati Cybele (istri Saturnus, ibu dari segala dewa). Cybele ini bisa diidentikan sebagai Rhea atau Semiramis yang digelari Ratu Surga dan Bunda YAHWE karena melahirkan Tammuz sang mesias palsu.

Fakta lainnya adalah bahwa gelar yang paling lazim dipakai oleh penduduk Roma untuk menghormati Cybele adalah “Domina” atau “Sang Bunda” (OVID, Fasti), sedangkan di Babylon sendiri disebut dengan Beltis (EUSEB, Praep, Evang). Dari sini tanpa keraguan terjawab sudah mengapa perayaan ini sekarang dinamakan “Lady-Day”.

Jadi teramat jelas bahwa antara Hari Natal dan Lady-Day ini terdapat hubungan yang erat satu sama lain. Antara tanggal 25 Maret dan 25 Desember adalah tepat Sembilan bulan usia kandungan seorang ibu. Selama sembilan bulan itulah, Mesias Palsu Babylon (Tammuz) dikandung oleh ibunya Semiramis!
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
342
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan