safiralutfianiAvatar border
TS
safiralutfiani
Cerpen Hari Ibu
Judul : Patung yang Membuat Ingin Pipis

Sejak pagi matahari tak bersembunyi. Dengan riang menyapa kami yang memang menantikan hadirnya selama dua hari. Sudah  tanggal dua puluh. Sudah waktunya untuk pulang. Namun, matahari seakan memberi tanda kami belum diizinkan untuk bersua. Masih harus memintal rindu.

Ya. Hanya di momen liburan seperti ini kesempatan untuk berlama-lama di rumah akan mudah.

Tepat pukul sebelas siang kami bertolak dari Magelang menuju Banjarnegara. Menggunakan motor matic dengan tas pakaian di depan dan sedikit oleh-oleh. Meski begitu tak mengurangi semangat kami untuk memenuhi permintaan Ibu.

"Sempatkan walau cuma tiga hari. Masa tidak liburan sama sekali?" Beliau mengirim voice note lewat WA sejak hari jum'at.

Memikirkan musim penghujan yang sudah datang juga perjalanan yang memakan waktu lima jam, opsi pulang menjadi sulit. Rumah ibu berada bukan di Banjarnegara kota. Tepatnya di daerah pegunungan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Perjalanan dari Banjarnegara menuju desa pun masih membutuhkan waktu satu jam lagi. Kalaupun dari Magelang langit nampak terang, bisa jadi saat kami sampai di arah jalan pegunungan dengan rute berkelak kelok itu hujan turun dengan deras. Untuk itu pulang di musim penghujan sangat kami pertimbangkan. Terlebih ada putri kecil kami yang baru berusia tiga setengah tahun dan memiliki kebiasaan yang cukup unik. Tidak mau naik mobil. Akhirnya ke mana-mana kami mengendarai sepeda motor.

Jangan ditanya bagaimana riangnya dia saat tahu kami akan ke tempat Ibu. Dengan berjoget dan mengangkat kedua tangan dia berkata, "Hore! Tempat Mbah Uti."

Setelah memiliki anak momen pulang bukan lagi menjadi momenku, melainkan momen pertemuan cucu dan Uti-nya. Tepat pukul empat sore kami sampai di rumah bercat bau-abu di salah satu lereng pegunungan itu.  Putri kami yang kelelahan selama perjalan pun terlelap. Dengan wajah berseri wanita berusia empat puluh delapan tahun membukakan pintu untuk kami. Dengan sigap mengarahkanku ke kamar yang sudah dibersihkan. Ibu menyambut kedatangan kami dengan sangat istimewa.

"Tidur dari jam berapa? Gak rewel, kan di jalan?" tanyanya dengan nada pelan.

"Jam tiga. Alhamdulillah enggak, Bu."

"Syukurlah. Uti dah beli jaket, mainan, apel sama jeruk. Katanya Haifa suka apel, kan?"

"Iya. Iya." Aku pun mengambil guling untuk mendampingi tidur Haifa, lalu beralih ke ruang tengah.

Ibu berjalan keluar dari kamar setelah mencium pipi cucunya. Ia langsung menuju dapur, membuatkan kopi hitam untukku dan suami. Sembari menanti Haifa bangun, aku beristirahat sejenak. Matahari masih bersinar cerah.

Pukul setengah lima aku terpaksa membangunkan Haifa. Suhu udara di sini yang dingin membuatnya nyaman dalam posisi tidur. Namun, hari kian sore. Dengan berat, Haifa membuka mata diiringi rengekan  enggan dibangunkan. Lagi-lagi, Ibu bersikap heboh. Tidak sabar untuk menggendong dan menciumnya. Namun, respons Haifa di luar dugaan. Ia semakin merengek bahkan melengkingkan tangis.

"Owww, belum mau. Belum mau. Ya udah Uti menyingkir dulu." Aku pun mengulas senyum. Lama tak berjumpa membuat Haifa harus beradaptasi lagi. Ibu terpaksa keluar dari kamar. Aku menggendong Haifa keluar.

Segala macam persiapan yang Ibu lakukan, dikeluarkan. Ada donat, jajan, susu, buah, bahkan gorengan. Namun, Haifa tak juga tertarik.

"Pergi!!! Gak mau!" teriaknya. Putri kami memang memiliki vokal tinggi.

"Sama Onti aja?" tanya adikku yang dari tadi berada di ruang televisi. Dengan cepat Haifa merentangkan tangan, minta di pangku. Sontak kami pun tertawa.

"Sabar, ya, Ma," ucap adikku seraya berlagak manja pada Haifa. Ibu kami pun hanya tersenyum.

"Yow, wes. Gak apa-apa. Biasa gitu, ya. Uti yang kangen tapi, Uti dicuekin."

"Hahhhh, berisik!" pekik Haifa.

Ibu pun menyingkir kembali. "Gak apa-apa diteriaki. Udah ketemu aja, dah seneng."

Hingga Haifa selesai mandi dan waktu maghrib serta makan malam tiba, ia masih tak mau bersama Uti-nya. Bersalaman saja tidak. Cuek dan jual mahal. Semua anggota keluarga duduk bersama menyaksikan serial kartun Riko di RTV.  Haifa mulai beraksi dengan berjoget dan menirukan suara tokoh utama kartun itu. Aku, Ibu, suami dan adik menimpali dengan melempar senyum. Ekspresi Haifa terlihat sangat bahagia. Namun, saat diperhatikan utinya dia marah. Terpaksa Ibu harus menyingkir lagi sedikit jauh. Momen itu berlangsung sampai waktu isya tiba.

Suami pun beranjak dan mengambil air wudhu. Melaksanakan solat di area khusus yang tak jauh dari ruang televisi. Kami masih bisa melihatnya. Haifa mengikuti ayahnya. Ia juga menirukan beberapa gerakan solat. Lagi, Ibu mendekat. Beliau berpura-pura fokus menonton televisi sembari mencuri pandang pada Haifa. Rakaat ke tiga Haifa menyadarinya. Responsnya pun masih sama. Merengek tidak suka. Kali ini disertai hentakan kaki. Belum sempat aku meralat sikapnya ia sudah berteriak.

"Aku mau pipis. Itu, patungnya bikin aku pipis!"

"Pipis?" tanyaku.

"Bukan! Paaaaatuuuung, pipis!" teriak Haifa masih dengan rengekannya.

"Patung?" tanya Ibu. Ekspresi kami bertiga pun bingung.

"Oh, boneka frozen?" tanyaku. Di sisi sebelah kiri ada boneka. Bisa jadi Haifa menganggapnya patung.

"Bukan! Itu, lho patung. Bikin aku mau pipis!" teriaknya dengan menunjuk ke arah Ibu yang sedang duduk.

Kami terdiam sejenak. Untuk kemudian berpikir dan memandang satu sama lain. Gelak tawa tak bisa tertahan. Sejak tadi rupanya Haifa menganggap Ibu sebagai patung. Merasa respons kami berlebihan, Haifa justru menangis. Dengan cepat aku berlari ke arahnya dan menggendong tubuh mungil itu.  Namun, ia mencoba melepaskan diri. Ia tidak terima dan tetap menunjuk Ibu sebagai patung.

"Ya Allah, Fa, Fa. Masa Mbah Uti dibilang patung." Ibu mengusap dadanya. Adikku yang melihat respons Haifa masih saja tertawa. Suami yang selesai solat juga tersenyum tipis.

"Huuhhhh! Aku gak suka sama Mbah Uti." Meski begitu perlahan ia mendekat pada Ibu. Berdiri tepat di depannya. Aku biarkan ia berekspresi. Apapun itu. Tangan mungilnya menyentuh lengan Ibu. Masih dengan gaya jual mahal.

Perlahan tawa Ibu berhenti. Sekian detik ia seperti larut dalam kebahagiaannya sendiri. Ibu mencoba menutup matanya dengan ujung bajunya. Ia menghalau tangis yang keluar tiba-tiba.

"Ya Allah, meski Mbah Uti jadi patung, Mbah Uti seneng. Mbah Uti mau asal Haifa mau sama, Uti." Buliran kristal itu sangat kentara. Rasa haru saat mampu mendekap cucunya tergambar di wajahnya.

Rumah yang biasa sepi menjadi ramai. Aku pun larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Ibu yang hanya tinggal bersama adik. Cukup menjadi patung untuk cucunya. Sederhana sekali.

****
Diubah oleh safiralutfiani 23-12-2020 08:02
sofiyuenAvatar border
sofiyuen memberi reputasi
1
157
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan