Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

iissuwandiAvatar border
TS
iissuwandi
Pelangi Terakhir


Kupandangi bingkisan kado seukuran kardus televisi di atas kasur. Kak Gilang baru saja meletakkannya di sana. Lalu, beranjak pergi dari kamarku tanpa sepatah kata.

Kutarik pita penghias dan merobek kertas kadonya. Secarik surat terlipat menyembul di bagian atas.

_
Koala bulukku,

Mencintaimu adalah anugerah terindah. Waktu yang telah kita habiskan bersama akan menjadi memori indah dalam hidupku.

Aku tidak menyalahkan keputusanmu, sungguh. Kak Gilang telah menceritakan semuanya. Bagaimana ia juga mencintaimu.
Awalnya aku marah, tapi kau berhak memilih.

Aku harus merelakanmu, setelah tahu betapa ia amat mencintaimu sejak lama. Aku yakin, Kak Gilang dan keluargamu akan selalu memberikan cinta dan perlindungan.

Bersamamu, aku telah belajar banyak perihal ikhlas menjalani takdir. Kini, giliranku untuk ikhlas melepasmu.

Terimalah hadiah pernikahan dari kadal yang selalu mencintai koala. Kudoakan semoga koala bulukku selalu bahagia.

Salam hangat penuh cinta

Kadal kesayanganmu
_

Air mata kembali menetes di pipi. Bagaikan potongan film yang terus berganti, terbayang lagi saat-saat kebersamaan kami. Penuh tawa lepas, aku dan Satria menjalani setiap kegiatan sosial dengan rasa cinta.

🐨🐨🐨

Satria, dialah lelaki yang selama ini menghiasi anganku. Lelaki yang kukenal dari pertemuan di sebuah komunitas pemerhati anak jalanan, di mana kami sama-sama menjadi relawan pembinanya.

Seiring berjalannya waktu, kami pun semakin akrab. Apalagi setelah saling tahu ada kesamaan hobi, yaitu penyayang binatang. Aku penyuka koala, Satria penggila reptil, terutama kadal.

"Kenapa, sih, kamu suka sekali dengan koala?" tanya Satria suatu hari.

"Karena sebuah kisah, Sat. Dahulu ... Ibuku pernah menemukan satu kardus tergeletak di dekat pasar. Di dalamnya ada seorang bayi terlelap, dan tangan mungilnya menggenggam BULU-bulu boneka koala itu, seolah takut ditinggalkan."

"Lalu ...?"

"Lalu, kami menjualnya. Ha ha ha."

"Dasar Koala buluk! Aku serius, nih!"

"Koala itu LUCU, Sat, dan wajahnya tidak terlihat jahat."

"Gitu doang?"

"Gitu doang. Ehm ... lantas, kenapa kamu suka kadal? Jangan bilang karena kamu pandai ngadalin orang, ya!"

"Ish, dasar koala buluk! Ha ha ha."

"Oh, iya, Sat. Kenapa kamu tertarik dengan komunitas ini? Tidak semua orang, loh, bisa menerima kehadiran anak jalanan. Kebanyakan malah menganggap mereka sebagai sampah."

"Hanya ingin berbagi saja, Yas. Tidak lebih." Wajahnya mendadak sendu.

Kutatap lelaki bermata teduh di depanku. Ia terus menceritakan pengalaman berharga yang didapatkan selama mengenal komunitas kami. Ia bilang hidupnya lebih bermakna saat memberikan kebahagiaan pada orang lain. Obrolan hangat kami terus berlanjut meskipun kegiatan telah usai.

Ia memuji kinerjaku yang cekatan. Lincah katanya. Meskipun penyuka koala yang LAMBAN dan malas, tetapi sifat itu berbanding terbalik denganku. Satria kerap memanggil Yasmin si koala buluk, dan dia kupanggil si kadal. Lalu, kami pun sama-sama tertawa.

Satria mengantarku pulang. Dia bilang, tidak ingin si koala buluk ini sampai tertidur di dalam angkutan umum. Awalnya aku menolak, takut menyusahkan. Aku tahu, dia juga lelah setelah seharian mengikuti kegiatan. Namun, Satria terus memaksa, bahkan akan ikut naik angkutan umum jika niat baiknya ditolak. Dasar Kadal!

"Terima kasih, Sat. Kamu mau mampir dulu atau langsung pulang?"

"Langsung pulang, biar si koala bisa TIDUR cepat dan mimpiin si kadal."

Aku tertawa mendengarnya. Ia selalu bisa membuatku tersenyum dengan celotehannya.

"Ya, sudah, hati-hati. Terima kasih karena sudah mengantar koala pulang."

Satria melajukan kembali motornya. Setelah sebelumnya melambaikan tangan disertai seulas senyum manisnya. Kubalas lambaian tangan dan senyumnya.

"Baru pulang, Yas? Siapa lelaki yang mengantarmu barusan?" Kakak lelakiku berdiri di depan pintu.

"Itu Satria, Kak. Teman satu komunitas. Sebenarnya sudah aku tolak ajakannya, tetapi ia memaksa."

"Kalo butuh jemputan, kamu 'kan bisa telpon Kakak. Jangan terlalu dekat dengannya. Kakak tidak mau kamu terluka."

"Baik, Kak. Yasmin mengerti."

Aku pun bergegas menuju kamar tidur. Percuma menjelaskan kepada Kak Gilang. Dari dulu, ia memang tidak pernah suka pada teman-teman lelakiku. Ia beralasan tidak ingin aku terluka karena dipermainkan oleh lelaki. Padahal mereka cuma teman biasa.

Setelah membersihkan diri, aku pun merebahkan tubuh di pembaringan. Memeluk erat boneka koala abu-abu kesayangan. Boneka yang telah menemani kisahku sejak bayi. Sejak di dalam kardus itu, hingga aku menemukan kehangatan kasih sayang Ayah dan Ibu di keluarga ini.

🐨🐨🐨

Semerbak wangi nasi goreng khas buatan Ibu, menggelitik indra penciuman dan memaksaku membuka mata. Aku bergegas mencuci muka. Sejuknya air kran segera meresap ke dalam pori-pori. Lalu, segera kuturuni anak tangga untuk bergabung dengan Ayah, Ibu, dan Kak Gilang yang lebih dulu menikmati hidangan di meja makan.

"Mari sarapan, Sayang. Gilang melarang ibu membangunkanmu, katanya kamu masih capek."

Kulirik Kak Gilang. Ia balas dengan memandang sekilas. Lalu, kembali fokus dengan nasi gorengnya. Entah apa saja yang sudah ia ceritakan kepada Ibu. Sedari kecil, ia punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya. Meski terkesan cuek, aku tahu Kak Gilang amat menyayangiku.

Kugeser bangku di samping Ayah, sebelum pantat ini mendarat di atasnya. Aroma sedap menguar dari piring di depanku. Nasi goreng buatan Ibu memang tiada duanya. Aku menikmati tiap suapannya. Ibu dan Ayah tersenyum, sedang Kak Gilang bersikap seperti biasa, cuek.

Nasi goreng telah tandas. Saatnya bertemu dengan kadal lagi. Hatiku mulai merasakan getaran aneh saat teringat padanya. Apakah aku mulai jatuh cinta padanya? Apa ia mau menerima masa laluku?

🐨🐨🐨

Saat sedang menunggu angkutan umum, tiba-tiba Satria muncul di hadapanku. Sambil mengulurkan sebuah helm, ia mengisyaratkan untuk segera naik ke atas motornya. Seperti orang yang terhipnotis, aku pun menurut.

"Tahu darimana kalo aku akan menunggu di halte sana?"

"Apa perlu aku jelaskan lagi tentang semua perhatian dan sikapku padamu, Yas?"

Mendapat jawaban seperti itu, aku bingung mau berkata apa. Muka ini terasa panas. Salah tingkah. Ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.

Kegiatan di rumah singgah kali ini mengajarkan anak-anak membaca dan menulis. Sebenarnya mereka anak yang pintar, tapi karena suatu hal, anak-anak itu terpaksa menjadi gelandangan dan mengubur impian. Melihat mereka jadi teringat masa lalu. Nasibku benar-benar beruntung, dipertemukan dengan keluarga yang mau menerimaku.

Kini hubunganku dengan Satria semakin mesra. Kami sudah tidak malu untuk menunjukkan rasa sayang kami, tentu saja dalam batas wajar. Lalu, kabar tentang hubungan kami akhirnya sampai juga di telinga Kak Gilang.

"Apa benar sekarang kamu pacaran dengan Satria, Yas?"

"Benar, Kak. Kami saling mencintai. Aku yakin, Satria akan melindungiku sama seperti Kak Gilang melindungiku."

"Apa kamu tidak mengerti perasaanku, Yas? Sedikit saja. Aku menyayangimu lebih dari sekedar kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Aku mencintaimu, Yas. Aku tidak akan pernah rela, bila ada lelaki lain memilikimu."

Aku syok mendengar pengakuan Kak Gilang. Benar, aku juga menyayanginya. Apapun akan kulakukan demi kebahagiaannya. Namun, bukan seperti ini.

Dia kakakku! Kami bersaudara, meski bukan sedarah. Sampai kapanpun Kak Gilang adalah kakak lelakiku.

"Sejak kapan, Kak ... ?" Tenggorokanku tercekat, menahan emosi.

"Sejak pertama kali ibu menemukanmu waktu itu, dan aku berjanji pada diri sendiri akan melindungimu, selamanya. Tak akan kubiarkan seorang pun menyakitimu."

"Tapi aku mencintai Satria, Kak. Kita adalah saudara. Kau kakakku."

"Tidak! Kamu milikku. Tinggalkan Satria! Asal kau tahu, Yas, Ayah dan Ibu sudah memberi restu hubungan kita."

"Apaaa?"

"Kamu tidak mau mengecewakan mereka, bukan? Ayah dan Ibu yang telah menyayangi dan merawatmu selama ini. Tinggalkan Satria! Kalau kau tak berani bilang padanya, biar aku yang mengatakan pada lelaki itu secara langsung."

"Tidak perlu, Kak. Aku cukup tahu diri, mengakui jasa dan berterima kasih pada kalian. Berkat keluarga inilah, Yasmin si anak pungut ini bisa hidup layak hingga sekarang, tidak kekurangan apapun. Besok akan kutemui Satria, dan membuatnya pergi dari hidupku, selamanya."

🐨🐨🐨

Dadaku terasa sesak menahan tangis agar tak pecah. Aku tak ingin menarik perhatian pengunjung kafe yang sedang ramai ini.

Kupilih tempat duduk di pojok kanan, setelah pintu masuk. Ia pasti lebih mudah untuk menemukanku di sini.

Di saat pandangan ini menerawang ke pintu masuk, aku terkejut melihat penampakan seseorang berkostum koala. Koala kesayanganku dalam wujud lebih besar berjalan menghampiriku.

Kini, posisi kami berhadapan. Aku menahan napas, menunggu kejutan selanjutnya. Sejenak lupa dengan misi yang kubawa.

Tangan kanan badut koala itu menggenggam se-bucket mawar putih, sementara ibu jari dan telunjuk menjepit sebuah cincin emas. Tangan kirinya perlahan melepas topeng dan meletakkanya di lantai. Lalu, senyuman itu mengembang bersama binar mata penuh cinta.

"Wahai koala pujaan hatiku, maukah kamu menerima kehadiranku sebagai koala pasangan hidupmu? Menikahlah denganku!"

"Terima ... terima ... terima!"

Mendadak gendang telingaku penuh dengan suara sorak sorai pengunjung kafe.

Aku bingung, di sisi lain ingin segera memeluknya, tetapi ....

"Maafkan aku, Sat. Aku tidak bisa ...."

Keriuhan tadi berubah senyap. Dadaku berkecamuk rasa yang entah. Akhirnya kutinggalkan saja lelaki itu, meski berutang penjelasan. Ah, itu nanti saja dipikirkan.

Tak kuhiraukan teriakannya yang menyebut namaku. Kupercepat langkah meninggalkan kafe, dan bergegas menghentikan taksi yang melintas.

"Jalan, Pak!"

Dari kaca spion tengah, mataku menatap sosok lelaki itu berusaha mengejar. Namun, laju roda taksi tak mampu ia ikuti. Meski dari kejauhan, jelas terlihat gestur tubuhnya menunjukkan kekecewaan yang amat dalam.

Maafkan aku, Sat, karena lebih memilih membalas budi pada orang-orang yang telah menyayangiku. Kisah indah ini harus kukubur bersama rasa cinta yang pupus. Isak tangisku tak dapat ditahan lagi.

🐨🐨🐨

Jalan hidup memang berliku. Seperti pesan Ibu, aku harus selalu berusaha ikhlas menjalaninya. Hingga sampai di detik ini, menaburkan bunga di atas pusara suamiku.

Genap empat tahun sudah aku mendampinginya berjuang melawan sel kanker yang bersarang di paru-paru. Kak Gilang kini telah beristirahat dengan tenang.

Kutuntun pria kecil--hasil pernikahan kami enam tahun silam--berjalan meninggalkan komplek pemakaman. Di depan Avanza hitam, seorang lelaki membukakan pintu untuk kami. Di saat-saat terakhirnya, Kak Gilang meminta kesediaan lelaki itu menjaga kami.

Lelaki itu adalah Satria. Ternyata takdir masih mencatat nama kami untuk kembali mempersatukan cinta. Cinta yang telah sabar menjalani ujiannya sendiri selama ini.

Tamat

Jepara, 22 Februari 2020
annlaskaAvatar border
darmawati040Avatar border
darmawati040 dan annlaska memberi reputasi
2
169
4
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan