

TS
gitalubis
Cemburu
Di bawah nabastala berwarna jingga, kami duduk berselonjor menyaksikan keindahan alam yang begitu memesona. Segerombolan burung putih berbondong-bondong mengepakkan sayap ke arah timur—mungkin pulang ke sarang—lantaran sang surya hampir tenggelam di ufuk barat.
“Sejauh apa pun kamu berkelana, jangan pernah lupa untuk kembali, seperti mereka yang selalu pulang walau hampir setiap hari bumi menghadiahinya tempat yang mungkin saja lebih indah dari sarangnya," ucap lelakiku seketika, kala kami menyaksikan puluhan burung di angkasa.
Aku menatapnya dengan senyuman yang tak kalah indah dari suasana yang begitu romantis. Gemuruh ombak yang menghunjam menciptakan gelombang berbeda yang diterima oleh gendang telinga. Sesekali air laut mencium telapak kakiku yang sudah terbalut pasir putih.
“Pulang yuk!” ajaknya dengan mengulurkan tangan.
Aku menengadah, warna kulit sawo matangnya kini tidak begitu terlihat. Uluran tangannya yang sedari tadi menjuntai, enggan untuk kuterima.
“Seindah apa pun langit menyuguhi senjanya, tetap saja rumah adalah tempat yang paling indah untuk didiami. Senja tak akan pernah menemani harimu sepanjang waktu, dia hanya menetap sebentar, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak,” katanya yang seolah paham bahwa aku enggan untuk beranjak.
Karena tak ada tanda-tanda pergerakan, dia langsung membopong tubuh mungilku sambil berlari. Tawa kami pecah dalam keadaan yang berbeda, warna keemasan dari lampu jalan yang berpijar menggantikan warna senja yang sudah menghilang.
Aku mengembuskan napas berat, siluet dua manusia itu telah menghilang. Betapa aku merindukannya. Kembali aku menatap nyalang ombak yang saling berkejaran, beberapa perahu yang berlayar sedikit oleng akibat hantamannya yang datang tanpa permisi, meski begitu sang nakhoda tidak memutar arahnya untuk kembali.
Aku teringat tentang wejangan yang diberikan Kakek Burhan saat aku menangis di tepian pantai, kala itu ia hendak pergi berlayar menangkap ikan.
“Kehidupan itu layaknya perahu yang berlayar, selalu ada ombak yang datang menghantam, tak peduli perjuangan itu baru dimulai atau sudah hampir selesai. Namun, saat perahu mulai oleng karena sapaannya yang terlalu keras, kuatkan keseimbangan, dan berdoalah pada Sang Kuasa untuk menjamin keselamatanmu. Jangan pernah berpikir untuk memutar arah kembali. Ombak tidak akan berhenti menerjang hanya karena haluan seseorang berbeda. Kencangkan kayuhan, karena dengan begitu tujuanmu akan tercapai.”
Aku mengusap pipi yang telah dibanjiri air mata, isak karena tangisan masih terasa begitu sesak. Kakek benar, ombak tak akan pernah berhenti menghantam selama perahu masih di atas air. Manusia tidak akan pernah berhenti menerima cobaan selama ia masih berpijak di bumi.
Aku bangkit dari pasir putih yang sedari tadi kududuki, menapaki jalan selangkah demi selangkah. Tampak para bapak membawa jala di tangan kanannya, berjalan berlawanan arah denganku. Ini daerah pesisir, tak heran banyak penduduk di sini menjadi nelayan sebagai mata pencaharian.
“Aku suka melihat ini.”
Tanganku yang sudah siap untuk mengetuk seketika batal tatkala mendengar suara lelaki itu. Entah apa yang selanjutnya terjadi, suara tawa mereka benar-benar membuatku jijik, terutama wanita itu. Aku menguatkan hati, memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum akhirnya membuka pintu tanpa ketukan.
Pemandangan yang begitu buruk membuatku membatu, mereka yang saat itu sedang berpelukan segera melepaskan satu sama lain setelah menyadari kehadiranku. Padahal sebelum kembali ke sini, aku sudah memutuskan untuk melupakan semua hal yang sudah terjadi. Berdamai dengan diri sendiri, dan memutuskan untuk membuka lembaran baru. Namun, mengapa sulit sekali? Terlebih lagi saat melihat ini.
“Tak cukupkah kalian bermesraan di dalam kamar? Aku masih di bawah umur, jadi jangan suguhi mataku dengan pemandangan yang tak pantas!”
Sebenarnya tak ada yang salah dengan pelukan mereka yang biasa saja, terlebih lagi mereka sudah menjadi sepasang suami istri. Hanya karena benciku yang terlalu dalam, apa pun yang mereka lakukan akan tampak salah dalam penilaianku.
“Ayo, makan bersama, Wi. Lauknya masih hangat,” ajak lelaki itu yang salah tingkah.
“Aku nggak mau makan semeja dengan pengkhianat!” jeritku yang membuat mukanya memerah.
“Dewi!”
Bentakan yang terlalu tinggi membuat pelupuk mataku terasa menghangat, mereka menjadi kabur dalam penglihatanku. Jangan berkedip, sekali saja aku berkedip, maka bulirannya akan jatuh.
“Sudahlah, dia hanya butuh waktu,” ucap lelaki itu menenangkan wanitanya yang dulu amat kucintai.
Aku berlalu meninggalkan mereka berdua, membanting pintu dengan kerasnya. Menumpahkan segala emosi yang berhasil menguras tenaga. Air mata yang dari tadi kuhalau, kini sudah tumpah membentuk anak sungai di pipi.
“Kenapa? Kenapa harus secepat ini?” Aku terus memukul-mukul bantal sambil menjerit. Tak terima dengan kenyataan yang terjadi. Lama-kelamaan pukulanku melemah, aku lelah.
“Dewi, makan yuk, Nak. Dari siang kamu belum makan, ‘kan?”
Belaian tangannya yang menyisir pucuk kepala membuatku merasa jauh lebih baik.
“Nak, bangun dulu, ya. Ibu buatkan serundeng kerang kesukaanmu, ni.”
Aku tetap memejamkan mata, ingin merasakan belaiannya lebih lama. Sudah lama Ibu tidak melakukan ini padaku.
“Nak, bagaimana caranya agar kamu bisa memaafkan Ibu? Tolong jangan diamkan Ibu seperti ini.”
Suara Ibu terdengar berbeda dari sebelumnya, kali ini lebih serak. Aku tahu, pasti saat ini ia sedang menangis.
“Tinggalkan lelaki itu, maka aku akan memaafkan Ibu,” jawabku yang tak tahan mendengar isakannya.
Berulang kali sudah kukatakan pada Ibu, bahwa aku tak akan pernah mengizinkannya untuk menikah lagi. Tak ada yang boleh menggantikan posisi lelakiku, sekalipun itu Om Anto. Dari dulu aku sudah curiga dengan kebaikannya.
“Tapi, Nak, dengan menikahi Om Anto hidup kita akan menjadi lebih baik. Kamu tak perlu lagi memikirkan biaya sekolah, Om Anto juga bersedia membayar hutang-hutang kita ... Ibu tahu kenapa kamu lakukan ini, kamu hanya cemburu saat melihat Om Anto berusaha merebut posisi bapakmu.”
Saat melihat Om Anto mengantar Ibu ke pasar, aku mengepalkan tangan seraya membatin, seharusnya Bapak yang melakukan itu. Saat Om Anto mencium Ibu, lagi-lagi aku membatin, seharusnya Bapak yang melakukan itu. Semua yang dilakukan Om Anto selalu berakhir dengan kata ‘seharusnya’ di benakku.
“Besok kita akan mengunjungi bapakmu, mengobati rindu yang begitu dalam, tapi Ibu mohon makanlah ini. Setidaknya agar bapakmu tidak begitu sedih melihat tubuhmu yang mulai mengecil.”
🌸🌸🌸
Gamis berwarna abu sudah melekat di tubuhku dengan sempurna, Bapak pasti akan senang melihat penampilanku yang menutup aurat. Sinar mentari pagi ikut mengantar kepergian kami, padatnya angkutan umum yang kami naiki tidak membuatku merasa sesak sama sekali.
“Bukan tempatnya yang sempit, tapi karena keadaan hatimu yang kacau, makanya semua terasa sesak. Pejamkan matamu, pikirkanlah hal-hal yang membuat bahagia, tarik napas, lalu buang secara perlahan.”
Bapak benar, setelah itu rasa sesakku secara perlahan menghilang. Benarlah katanya, di dalam jiwa yang tenang, terdapat hati yang bersih. Sama seperti saat ini, hatiku hanya terfokus pada kenangan bersama Bapak, sehingga hanya hal-hal bahagia saja yang kuingat.
“Pinggir, Pak!” titah Ibu pada sopir angkot.
Bahkan perjalanan yang jauh, tidak terasa sama sekali. Kami memasuki wilayah tempat tinggal Bapak yang baru, mengucapkan salam sebagi tamu.
Air mataku selalu tumpah kerap kali aku datang mengunjunginya, tak menyangka bahwa kami akan berpisah secepat ini. Irisan pandan dan beberapa jenis bunga lainnya sudah memenuhi pusara milik Bapak.
Penyakit leukimia yang diderita Bapak, mengharuskannya wajib mencuci darah yang awalnya sebulan sekali menjadi seminggu sekali. Ibu menjual semua yang bisa dijual, selagi itu mampu membuat Bapak bertahan hidup. Bahkan, rumah yang menjadi harta satu-satunya, tergadaikan untuk biaya pengobatan. Setahun sudah Bapak berjuang, tapi akhirnya ia kalah. Seakan perjuangan kami tidak berarti.
Ibu begitu histeris saat itu, sedangkan aku sebagai anaknya yang begitu manja tak kalah nelangsanya. Saat-saat seperti itulah Om Anto datang, membantu kehidupan kami yang begitu terpuruk.
Lima bulan setelah kematian Bapak, Ibu memutuskan untuk menikah dengan Om Anto walau aku menolak. Katanya, semua yang dilakukannya hanya untuk kehidupanku agar jauh lebih baik.
“Kita pulang sekarang, Nak?”
Aku menggeleng, rasa rinduku pada Bapak belum juga reda.
“Ibu juga merasakan apa yang Dewi rasakan, meski Om Anto telah menjadi suami Ibu, tetap saja bapakmu tak tergantikan. Mari kita berdamai, menghilangkan duka ini secara bersama.”
Aku melangkah meninggalkan pusara Bapak sebelum melantunkan Alfatihah yang entah keberapa kalinya.
🌸🌸🌸
Mereka benar, semua luka pada akhirnya akan sembuh. Meski beberapa bagian masih meninggalkan bekas. Semua memang membutuhkan waktu, baik itu tentang penerimaan, atau hal lainnya. Ibu benar, aku hanya cemburu pada Om Anto, terlalu takut kalau ia akan mengambil hati milik Ibu sepenuhnya, sehingga kebaikannya yang begitu tulus sering kali terabaikan. Meski begitu, aku tetap tidak terima kalau alasan Ibu menikah lagi hanya untuk kebahagiaanku.
Tanjung pura, 2020




wanitatangguh93 dan tien212700 memberi reputasi
2
580
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan