Pintu terbuka dengan keras, gagangnya membentur tembok, lapisan cat yang sudah mengelupas semakin membesar, Irawan menarik dasinya dan merasa kesal sendiri karena dia merasa mencekik dirinya sendiri. Jasnya dilemparkan begitu saja ke lantai, dan tas kerjanya ke atas ranjang kemudian dia pun langsung membanting dirinya ke atas kasurnya yang empuk. Menatap langit-langit kamar kosannya. Sebentar saja ia memejamkan matanya.
“Contoh draftproposal pengembangan sistem perusahaan yang kau kirimkan membuatku bergidik merinding dan otakku sepertinya mau meledak.” Irawan masih memejamkan matanya.
Brilliant! Temannya menjawab.
“Tapi sayangnya kau tidak pernah mengirimkannya pada bosmu hanya karena kau sibuk memilih penataan kata-kata dan googling bagaimana membuat proposal dengan baik. Khawatir akan komentarnya.” Irawan menarik napas. “Dan aku disalahkan karena tidak menyelesaikannya.”
Burukkah?
Sekarang Irawan mencoba membuka dasinya dalam posisi terlentang.”Jelas. Yang jadi masalah kenapa kau membiarkan divisi lain menentang visimu, mengiyakan pendapat mereka padahal kau seharusnya mengatakan ‘tidak’”
Lebih baik lagi.
“Dan Jefri, lagi-lagi kau meminjaminya uang, yang dulu dulu saja belum dibayarkan lunas.”
Tidak masalah!
Kali ini Irawan duduk. “Kepintaranmu membuatmu terlihat semakin BODOH, simpatimu membuatmu MATI RASA, dan TOLERANSIMU hanya membuatmu semakin apatis. Itu semua hanya membawamu ke saat ini, sore ini dengan sebungkus rokok yang sudah berbatang-batang kau hisap tidak sampai habis dan menyulut batang yang baru sambil melamuni penyesalan akan keputusan-keputusanmu di masa lalu.”
Wow, apa maksudmu?
“Berpura-pura mengembangkan kepribadian diri dengan bersabar yang aku tahu bahwa kesabaranmu adalah PASRAH.
“Menjunjung tinggi cinta bahwa cinta itu membebaskan tapi kau sendiri terpenjara oleh perasaan rasa bersalah karena gagal menjaganya, beranggapan bahwa kau sudah menyia-nyiakan yang terbaik, belahan hatimu.” Senyum sinis tersungging di wajah Irawan.
Kau mengungkit Claudia?
“Claudia? Sudah lupakan dia. Hidung mancung, bermata indah, suka menolong, tidak takut mengutarakan pendapatnya dan kalau berangkat ke kantor mengendarai Camry. Dari ceritamu dia memiliki masalahnya sendiri. Her loss, banyak ikan di lautan. Coba kutanya sudah berapa lama kau tidak membuka hatimu lagi? Dua tahun? Empat tahun? Spermamu jadi batu, mending kalau jadi mutiara. BATU.”
Irawan berdiri melangkah menghampiri temannya di toilet, menyandarkan tubuhnya di pintu dan menyilangkan kedua tangannya. “Padahal Lia tertarik padamu, tapi katanya kau seperti Zombie yang tidak memiliki rasa kepekaan. Bukannya kau sempat mengunduh aplikasi kencan online, ya? Kenapa tidak kau teruskan! Swipe right! Be free!”
Aku tersesat, dan mereka yang punya aplikasi itu sama tersesatnya. Di Indonesia, ya. Jawab temannya tak acuh.
“Bukannya tersesat tapi kau terlalu banyak mengantisipasi.”
Bukan, tapi lagi mau sendiri saja.
“Bilang saja kau terlalu banyak berpikir hanya membuatmu selalu sanksi, lupa diri, mencaci maki diri sendiri, tidak peduli, berlari, mencibiri, menyalahi, menjalani hal yang tidak kau sukai, meratapi, menertawai, tidak bernyanyi, tidak bernyali,” tangan Irawan memukul pintu dan menunjuk temannya, “berdiskusi tanpa eksekusi, mendiami, mencemoohi, membenci, meludahi, yang tidak gatal digaruki, mengintipi, mencuri, korupsi, membohongi diri sendiri, menghawatiri, menghantui, pura pura peduli, menggurui, menyiasati, mengotori, melupai, meluapi emosi, menyesali, mati, menggali, menggali, menggali kuburanmu sendiri!” Teriak Irawan
OH TUHAN, CUKUP! Mata temannya bertemu pandang dengan pandangan tajam. Kau hanya menyiksa dirimu sendiri.Kau ini sadar. Lupakan pikiran yang beranggapan bahwa kau memiliki hati dan jiwa yang dalam. Suara temannya meninggi.
Jangan main monopoli itu hanya membuatmu jadi kapitalis, Bumi itu bulat, bodoh mereka yang menyebutnya datar.
“Siapa yang berfikir seperti itu. Sudah lah.” Irwan berpindah lagi keranjangnya dan membuka kemejanya.
Tapi jujur aku juga mengalami proses yang sama. Dari apa yang kau alami sebenarnya tidak terlalu buruk. Aku juga lagi banyak berpikir, membenci semua yang aku lakukan, membenci semua orang dan mengasihani diriku sendiri.
Irawan tersenyum sinis.
Tapi MUNGKIN itu DIA. Mengasihani dirimu sendiri. Tidakkah KAU lelah? Fokus sudah dengan apa yang kau kerjakan. Dan ketika kau selesai kau akan lihat hasilnya sendiri.
Memang ketika kau fokus pada apa yang kau kerjakan kau selalu membumbuinya dengan ide, tindakan atau metode gila. Tapi lebih baik gila dari pada berfikir. Kosong.
Irawan mendekati temannya kembali. “Ngomong-ngomong, idemu tentang layar speedometer motor full digital dan bisa dikoneksikan dengan Bluetooth handphone sangat lumayan. Buka peta tidak perlu lewat handphone tapi langsung di layar motor. Tinggal kau tambahkan lagi saja fitur-fiturnya. Tapi ayo jalan!
Tak apa, itu yang kumaksud, berfikir. IDE. Bukan hal yang sifatnya self-centered. “Kau adalah pusat Dunia dan bertanggung jawab untuk merubahnya. Peduli setan dengan dunia. Sesekali tidak ada salahnya kau teriaki dunia “baik DUNIA”. Dan pikirkan nasibmu sendiri.
Irawan mengangguk.
Kapan mau mulai berolahraga?
“Entah lah. Ingat masa dulu, ya. Kau sangat fokus dengan diri sendiri, tidak peduli apa kata orang. Keren atau tidak kau adalah kau. Harusnya tetaplah seperti itu. Tidak perlu khawatir apa kata orang biarkan mereka mengurusi urusan mereka dan aku yakin kau paham ini.”
Oh, ya. Buang sedikit egomu.
“Kau sudah lama tidak menghubungi Nenek dan Adikmu. Berkabar sedikit. Teknologi sudah canggih, tidak perlu sok sibuk atau tidak punya waktu. Kau sudah melewatkan pernikahan Nena, dan dia sangat membencimu karena kau melewatkan hari terpentingnya. Kau juga penting. Kami sangat menyayangimu, dan kau harus tahu itu.”
Kuusahakan. Yang terpenting kita harus memikirkan diri kita sendiri. Tapi jangan terbawa arus dan salah asumsi akan pentingnya kesendirian.
“Aku paham itu.” Irawan menyela.
Kesendirian itu baik untuk memahami diri sendiri, tapi jangan sampai menjadi gila, kita butuh seseorang yang dapat mendengarkan kita, mengingatkan kita, terutama saat kita keluar dari jalur takdir kita sendiri. seperti sekarang ini. Berbicara sendiri ke cermin.
Irawan terkejut mendengar kawannya berkata demikian. Dan itu menyakiti hatinya. Dengan handuk yang menutupi pinggangnya, dia mendekatkan diri ke cermin. Menatap mata temannya itu dengan sangat dalam. Tangan menyanggah di wastafel dan berkata, “Kau benar, Kawan.”
Dia pun membasuh mukanya.
Sendiri tapi tidak kesepian selama kita tidak terjerumus kedalam gelapnya pikiran.
Saya pernah mendengar orang bijak bilang: "Dalam kesendirian teman terbaik adalah diri kita sendiri, dan musuh terburuk juga diri kita sendiri"
Seperti sebuah koin yang mempunyai dua sisi berbeda, dan bagaimana koin itu dapat berputar tapi tidak jatuh pada sisi yang salah. Dan dapat memanfaatkan sisi baiknya. Ada orang yang ketika di kelilingi banyak orang dia justru merasa kesepian, dan ada yang sudah sendirian dia tidak bisa memposisikan koin menghadap pada sisi baiknya, jadi dia lebih menyendiri, mengisolasi diri, berakhir dengan menyakiti diri sendiri. Dan ada yang memaksakan untuk tetap tinggal di keramaian tapi pada akhirnya berbohong dan terjerumus dengan kemaksiatan. Melampiaskan dengan cara apapun menghindari rasa sepi.