- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
RUBEN (Short Story)


TS
mikamaesla
RUBEN (Short Story)
Sebelumnya saya permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus.
Saya mau berbagi cerpen, semoga menghibur.
Kebetulan saya sedang aktif menulis, jadi KASKUS menjadi pilihan untuk berbagi cerita. Selama tidak dikopas

Dan untuk sesepuh yang ceritanya sangat mengispirari, mohon dukungannya.
Spoiler for Prolog:
RUBEN
Kobaran api obor terpantul di matanya yang gelap dan menyapu warna oranye pada wajahnya. Mata Ruben menyesuaikan dengan cahaya temaram. Dia mengayunkan kayu dengan sangat cepat dan cepat juga lompatan mundurnya karena khawatir sesuatu yang menjijikan akan muncrat. Hantaman meleset, jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mengucur, tapi dia merasa meluap-luap. Si makhluk hanya tertidur lemas tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah. Tarikan napas Ruben sangat dalam dan dihembuskan dengan singkat. Hantaman kedua mengenai kepala, kaki mengejang, tangan menggapai angin, sekali lagi balok itu melesat, tangan terjatuh, bau pesing dan amis darah menusuk hidung.
Ruben menyeret si makhluk, sebelum menjatuhkannya ke dalam lubang, jari-jari si makhluk solah bergerak. Jika diperhatikan perutnya juga seolah naik turun. Untuk memastikan dan bentuk rasa kasihan, Ruben sekali lagi mengayunkan sekop sekuat tenaga. Tapi hasilnya sama, mungkin hanya perasaan saja. Karena kematian itu sangat aneh tapi juga nyata. Dia teringat ibunya, tubuhnya dingin, senyumnya lembut, tapi ketika jiwa itu terangkat tubuhnya menjadi hangat. Semakin Ruben memperhatikan semakin dia tidak percaya, dia merasa jiwa itu masih ada pada tubuhnya. Kemana perginya. Sekarang hatinya lega. Tidak buruk untuk yang pertama, gumamnya dalam hati.
*
Ruben tinggal di bawah kaki Gunung Pescado yang berjarak tiga kilometer dari pusat desa. Ruben tinggal sendiri setelah ayahnya yang lima tahun menghilang dari rumah dan orang-orang desa menyimpulkan bahwa ayahnya dimangsa makhluk gunung, tragis menyusul istrinya.
“Jangan sedih, nanti kita bertemu kembali. Jaga Ruben dengan baik, ajari dia memburu dan didik untuk menjadi anak yang baik,” pesan ibunya kepada ayahnya dua puluh lima tahun lalu, terkulai lemah di samping perapian karena wabah. Dia yang masih berumur sepuluh tahun saat itu hanya duduk termenung menatap tubuh ibunya meregang dengan wajah kosong. Ayahnya menempelkan air mata dan ingus yang menjadi satu di tangan sang ibu.
Ayahnya yang tidak sanggup menerima kepergian istri tercintanya berubah menjadi sangat kacau, dan hal itu selalu dilimpahkan pada anak sulungnya. Entah berapa puluh gelas ale yang dilemparkan ke wajah Ruben yang selalu dapat menghindar dan gelas itu pecah menghantam atas dinding perapian hitam jelaga yang sudah tidak lagi memberi kehangatan dalam rumah itu.
“Tuangkan aku ale, lagi, Bocah keparat!”
Ruben hanya diam dan menurut. Ketika dia menumpahkan setetes ale ke lantai, lengan atau baju Sang ayah kemuraman akan semakin menjadi-jadi, kemurkaan yang tidak terbendung dan dipahami menggumpal pada lengan, jari-jari ditekuk keras melesat, membabi buta ke wajah, tubuh atau apapun yang ditemukannya. Memberikan bekas luka lebam di seluruh tubuh Ruben. Bahkan, terkadang gumpalan darah keluar dari mulutnya. Sumpah serapah dan caci-maki pun meluncur dengan sangat deras, keluar dengan sangat kotor dari mulut ayahnya. Perubahan drastis sikap ayahnya ini membuat dia tumbuh di luar garis wasiat ibunya.
Orang-orang desa sangat iba terhadap nasibnya dan memintanya untuk bersabar, juga berpesan untuk selalu waspada dan berhati-hati ketika di gunung. Ruben paham akan hal itu dan dia pun merasa sangat iba terhadap desa. Tidak seramai dulu, keceriaan yang biasanya terpancar dari setiap wajah orang-orang di desa menghilang. Sebagian ada yang memilih keluar dari desa dan sebagian tidak mempunyai pilihan. Dan terkadang obrolan yang ditangkap telinga Ruben selalu sama, misteri makhluk Gunung Pescado dan Ayahnya.
“Makhluk itu sangat menyeramkan,” kata si tukang kebun, serius menceritakan sambil dikerumuni pendengarnya. “Aku menyaksikannya.”
“Mana mungkin,” sanggah salah seorang. “Kau penakut. Buktikan kalau kau menyaksikannya.”
Pantat gelas alenya membentur meja. “Ya, aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku mendengarnya. Suaranya sangat suram, sedih dan membuatmu merasakan kepiluanmu sendiri.”
Tidak ada sanggahan.
“Kuku-kukunya panjang, bertaring seperti harimau, matanya sangat merah, berbulu sangat lebat.” Pria kerdil disebelah tukang kebun menambahkan.
“Kau tidak melihatnya.” Sanggah tukang kebun.
“Aku melihatnya.”
“Tidak mungkin, aku melihatmu berlari dengan celana masih di bawah dengkulmu.”
“Itu karena kau mengagetkanku.”
“Aku sudah meneriakimu dan kau asik bersiul menikmati buang air kecilmu lalu lupa memasukan burung ke dalam sangkarnya dan terjatuh oleh celananya sendiri.”
Pendengar tertawa.
Pipi si pria kerdil merona yg sudah merah karena ale dan bertambah gelap, lalu berkata, “untungnya Ruben datang dan membantuku.”
Pelayan wanita yang sedang menuangkan ale tidak sengaja menguping berkata, “dan kalian jangan pernah ke sana saat bulan purnama.”
Seluruh mata di meja itu melompat ke arah si pelayan wanita. “Aku tidak sengaja melihat bayangannya saat aku kesana dengan ayahku ketika kita kehabisan kayu, hari sangat cerah tidak ada badai, dan malam masih terasa hangat oleh sinar bulan,” kemudian suaranya mendalam dan ragu, “di sana ada gua —yang kalian juga pasti tahu, kami menyusurinya sisinya karena banyak sekali kayu musim dingin di sana, kemudian muncul cahaya dari dalam gua dan...” dia tidak bisa melanjutkan kemudian melanjutkan, “Ayahku menarikku, dan kami berdua hampir terjatuh di sudut bukit. Kami terus berlari sampai di Rumah Ruben, si makhluk sepertinya mengejar, Ruben belum ada di rumah mungkin masih berjualan di desa. Dan teriakan si makhluk masih terdengar. Kemudian Ruben muncul dari belakang kami, mengagetkan ayah dan hampir ditinjunya.”
“Kalaupun ada yang dimangsanya kita pasti tahu, tapi selama ini belum ada,” kata si tukang kebun. Dan semua mata kini tertuju padanya.
“Apa?”
“Kau lupa? Atau pura-pura bodoh?” Kata pria kerdil.
Si tukang kebun memandang keseluruh mata itu menyesali perkataannya.
“Malang sekali nasib Ruben,” simpati si pelayan.
“Ya, padahal dia anak yang baik. Ditinggal ibunya sejak kecil dan ayahnya...”si tukang kebun tertegun.
“Tapi kita harus cari tahu. kita tidak bisa tinggal di desa ini dan selalu dihantui oleh makhluk keparat itu. Kita tanyakan pada orang yang tinggal dekat sana. Siapa tau Ru--” dia berhenti mendapati Ruben masuk ke kedai, dan semua orang di meja memandangnya dan mengikuti arah matanya.
Ruben baru selesai berjualan dan hendak pulang. Seperti biasa dia harus membeli dua roti dan sebotol ale terlebih dahulu. Setelah membayar di bar, memberikan senyum terima kasih dan segera meninggalkan kedai.
“Hey, Ruben.” Si tukang kebun berdiri.
Ruben menunggu.
“Apakah kau pernah melihat makhluk di dekat rumahmu?” Pertanyaan itu kini melesat ke seluruh telinga di dalam kedai mencuri perhatian dari bubur panas, gelas ale yang siap dinikmati dan sepotong daging babi panggang, semua menjadi sunyi menunggu jawaban berharap bisa membuang keresahan di wajah-wajah mereka.
Ruben mengangguk pelan.
“Apakah suaranya sangat menyeramkan?”
Anggukan
“Apakah dia seperti yang diceritakan orang-orang desa, bertaring dan berkuku panjang?”
Anggukan.
“Apakah dia berwujud manusia?”
Anggukan.
“Apakah dia hanya keluar saat bulan purnama?”
Anggukan.
Pertanyaan itu melompat-lompat dari berbagai arah kedai.
“Lalu apakah kau takut?”
Kali ini Ruben menggeleng, tangannya mengepal dan membuka, kakinya bergoyang, dan dia memandang ke seluruh ruangan yang sepertinya tidak ada lagi pertanyaan.
“Ruben,” cegat si pelayan, “berhati-hatilah.”
Anggukan. Dan Ruben melesat ke dalam malam yang menjadi sangat tidak biasa. Kesunyiannya menjamur ke seluruh desa. Tidak ada obrolan, hanya teriakan kuda dan sapi yang lapar. Bayang-bayang rasa takut, mengutuk pikiran-pikiran mereka malam itu. Gunung pescado juga sudah menjadi oasis bagi warga karena dibalik gunung banyak sekali sumber mata pencaharian dan karena misteri itu warga menjadi sangat terpenjara.
Tapi tidak untuk Ruben. Ayahnya sudah mengajarkannya banyak hal termasuk tidak ada hal lain yang menakutkan daripada sosok pria pemabuk yang mengasihani diri sendiri dan menenggelamkan pikirannya dalam ale, dan melampiaskan nafsu sesatnya pada Ruben.
Ruben melangkah cepat walau harus menanam kakinya ke dalam salju. Dia merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan di kedai tadi dan merasakan ketidaknyamanan karena cepat atau lambat, keamanannya juga harus dipertanyakan.
Sesampainya di rumah dia segera mengecek gudang yang berada di belakang. Tempat di mana dia selalu asik bersemayam dengan mainan dan hiasan kayu yang dia buat. Hari sudah sangat gelap, malam menerobos sangat cepat. Pintu gudang dibuka, gudang itu dikunci sangat rapat, jendela-jendelanya pun ditutup palang kayu dengan sangat tidak bercelah. Obor dinyalakan, dua roti dan ale diletakan di meja. Dia melihat banyak sekali salju di sepatunya ketika dia hendak menghentakkan kaki untuk membersihkannya, matanya membelalak menangkap area penyimpanan. Lemari terbuka, hiasan-hiasan berserakan di lantai, peti terbuka, laci tidak pada tempatnya, air menetes dari botol yang terguling di rak lemari, di sampingya meja terbalik, dan sebuah kursi yang sudah tidak berbentuk.
Ruben bergerak perlahan mendekati, dia mendengar samar-samar erangan dari pojok ruangan yang tidak kebagian cahaya, dan sesuatu bersembunyi di belakang kegelapan itu. Dia melihat balok kursi di bawah kaki kemudian mengambilnya. Semakin mendekat, dan hati-hati. Suara eraman terdengar semakin jelas. Kedinginan atau sama takutnya. Mata Ruben melirik rantai yang tersemat di dinding menuju ke pojokan itu, bergerak sangat halus.
Kaki Ruben kini sejajar dengan area yang gelap dan hanya disinari cahaya bulan yang diijinkan masuk lewat atap berlubang. Tiba-tiba sesuatu bergerak cepat menerjangnya, wajah mengerikan yang sekilas terlihat oleh sinar bulan yang masuk lewat lubang atap dihantam spontan oleh Ruben dengan balok tapi dia kehilangan keseimbangan karena salju di sepatu dan hampir pantatnya mendarat di tanah tapi tangannya sampai lebih dulu menahan tubuhnya. Hantaman berbunyi tegas sepeti batok kelapa beradu, rantai-rantai bergemericik disusul bunyi yang seperti karung beras terjatuh.
Ruben berdiri menyeimbangkan tubuhnya. Dia terengah-engah, matanya menyesuaikan dengan kegelapan, dan mengamati makhluk yang terbaring lemah tidak berdaya itu. Balok kayu dibuang, Ruben memandang ke lubang atap, wajahnya diterpa cahaya bulan dengan mata terpejam. ”Sialan!”
Dia menarik nafas yang dalam menguasai tubuhnya kemudian mendekat dan menyentuh denyut di bawah leher makhluk itu. Dia memeriksa tangannya terikat dengan rantai, dan juga memeriksa hantamannya yang mengenai pelipis si makhluk. Wajahnya keriput, berkulit kering itu berhiaskan lesung pipi yang besar. Memeriksa gigi-giginya yang kini tidak lagi berwarna kuning tapi dibanjiri darah. Nafasnya terasa dingin. Wajah Ruben menyeimbang dan tersenyum.
“Huff, hampir saja. Kukira kau berhasil melepaskan ikatanmu.”
Makhluk itu mengerang lemah tidak mengeluarkan suara dengan mata masih terpejam.
Ruben berdiri membelakangi, kedua tangan bertolak pinggang. “Aku sudah lelah,” kata-katanya terdengar menusuk, “dan kurasa kau juga.”
“Dan orang-orang desa merasa terganggu. Mereka mengira kau makhluk kutukan Gunung Pescado. Dan jujur, kita hampir beberapa kali ketahuan. Untung si tukang kebun itu pengecut. Dan si pelayan, oh ya, si pelayan.”
Ruben mengambil ale di meja kemudian mengguyur si makhluk.
“Kali ini tidak ada buang air lagi di gua, atau mencari udara segar saat terang bulan. Semua sudah cukup.”
Ruben mendekat, mengangkat dagu si makhluk dan berbisik, “aku akan membebaskanmu sekarang. Dan kuharap kau bertemu dengan Ibu, Ayah.”
“Jangan sedih, nanti kita bertemu kembali. Jaga Ruben dengan baik, ajari dia memburu dan didik untuk menjadi anak yang baik,” pesan ibunya kepada ayahnya dua puluh lima tahun lalu, terkulai lemah di samping perapian karena wabah. Dia yang masih berumur sepuluh tahun saat itu hanya duduk termenung menatap tubuh ibunya meregang dengan wajah kosong. Ayahnya menempelkan air mata dan ingus yang menjadi satu di tangan sang ibu.
Ayahnya yang tidak sanggup menerima kepergian istri tercintanya berubah menjadi sangat kacau, dan hal itu selalu dilimpahkan pada anak sulungnya. Entah berapa puluh gelas ale yang dilemparkan ke wajah Ruben yang selalu dapat menghindar dan gelas itu pecah menghantam atas dinding perapian hitam jelaga yang sudah tidak lagi memberi kehangatan dalam rumah itu.
“Tuangkan aku ale, lagi, Bocah keparat!”
Ruben hanya diam dan menurut. Ketika dia menumpahkan setetes ale ke lantai, lengan atau baju Sang ayah kemuraman akan semakin menjadi-jadi, kemurkaan yang tidak terbendung dan dipahami menggumpal pada lengan, jari-jari ditekuk keras melesat, membabi buta ke wajah, tubuh atau apapun yang ditemukannya. Memberikan bekas luka lebam di seluruh tubuh Ruben. Bahkan, terkadang gumpalan darah keluar dari mulutnya. Sumpah serapah dan caci-maki pun meluncur dengan sangat deras, keluar dengan sangat kotor dari mulut ayahnya. Perubahan drastis sikap ayahnya ini membuat dia tumbuh di luar garis wasiat ibunya.
Orang-orang desa sangat iba terhadap nasibnya dan memintanya untuk bersabar, juga berpesan untuk selalu waspada dan berhati-hati ketika di gunung. Ruben paham akan hal itu dan dia pun merasa sangat iba terhadap desa. Tidak seramai dulu, keceriaan yang biasanya terpancar dari setiap wajah orang-orang di desa menghilang. Sebagian ada yang memilih keluar dari desa dan sebagian tidak mempunyai pilihan. Dan terkadang obrolan yang ditangkap telinga Ruben selalu sama, misteri makhluk Gunung Pescado dan Ayahnya.
“Makhluk itu sangat menyeramkan,” kata si tukang kebun, serius menceritakan sambil dikerumuni pendengarnya. “Aku menyaksikannya.”
“Mana mungkin,” sanggah salah seorang. “Kau penakut. Buktikan kalau kau menyaksikannya.”
Pantat gelas alenya membentur meja. “Ya, aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku mendengarnya. Suaranya sangat suram, sedih dan membuatmu merasakan kepiluanmu sendiri.”
Tidak ada sanggahan.
“Kuku-kukunya panjang, bertaring seperti harimau, matanya sangat merah, berbulu sangat lebat.” Pria kerdil disebelah tukang kebun menambahkan.
“Kau tidak melihatnya.” Sanggah tukang kebun.
“Aku melihatnya.”
“Tidak mungkin, aku melihatmu berlari dengan celana masih di bawah dengkulmu.”
“Itu karena kau mengagetkanku.”
“Aku sudah meneriakimu dan kau asik bersiul menikmati buang air kecilmu lalu lupa memasukan burung ke dalam sangkarnya dan terjatuh oleh celananya sendiri.”
Pendengar tertawa.
Pipi si pria kerdil merona yg sudah merah karena ale dan bertambah gelap, lalu berkata, “untungnya Ruben datang dan membantuku.”
Pelayan wanita yang sedang menuangkan ale tidak sengaja menguping berkata, “dan kalian jangan pernah ke sana saat bulan purnama.”
Seluruh mata di meja itu melompat ke arah si pelayan wanita. “Aku tidak sengaja melihat bayangannya saat aku kesana dengan ayahku ketika kita kehabisan kayu, hari sangat cerah tidak ada badai, dan malam masih terasa hangat oleh sinar bulan,” kemudian suaranya mendalam dan ragu, “di sana ada gua —yang kalian juga pasti tahu, kami menyusurinya sisinya karena banyak sekali kayu musim dingin di sana, kemudian muncul cahaya dari dalam gua dan...” dia tidak bisa melanjutkan kemudian melanjutkan, “Ayahku menarikku, dan kami berdua hampir terjatuh di sudut bukit. Kami terus berlari sampai di Rumah Ruben, si makhluk sepertinya mengejar, Ruben belum ada di rumah mungkin masih berjualan di desa. Dan teriakan si makhluk masih terdengar. Kemudian Ruben muncul dari belakang kami, mengagetkan ayah dan hampir ditinjunya.”
“Kalaupun ada yang dimangsanya kita pasti tahu, tapi selama ini belum ada,” kata si tukang kebun. Dan semua mata kini tertuju padanya.
“Apa?”
“Kau lupa? Atau pura-pura bodoh?” Kata pria kerdil.
Si tukang kebun memandang keseluruh mata itu menyesali perkataannya.
“Malang sekali nasib Ruben,” simpati si pelayan.
“Ya, padahal dia anak yang baik. Ditinggal ibunya sejak kecil dan ayahnya...”si tukang kebun tertegun.
“Tapi kita harus cari tahu. kita tidak bisa tinggal di desa ini dan selalu dihantui oleh makhluk keparat itu. Kita tanyakan pada orang yang tinggal dekat sana. Siapa tau Ru--” dia berhenti mendapati Ruben masuk ke kedai, dan semua orang di meja memandangnya dan mengikuti arah matanya.
Ruben baru selesai berjualan dan hendak pulang. Seperti biasa dia harus membeli dua roti dan sebotol ale terlebih dahulu. Setelah membayar di bar, memberikan senyum terima kasih dan segera meninggalkan kedai.
“Hey, Ruben.” Si tukang kebun berdiri.
Ruben menunggu.
“Apakah kau pernah melihat makhluk di dekat rumahmu?” Pertanyaan itu kini melesat ke seluruh telinga di dalam kedai mencuri perhatian dari bubur panas, gelas ale yang siap dinikmati dan sepotong daging babi panggang, semua menjadi sunyi menunggu jawaban berharap bisa membuang keresahan di wajah-wajah mereka.
Ruben mengangguk pelan.
“Apakah suaranya sangat menyeramkan?”
Anggukan
“Apakah dia seperti yang diceritakan orang-orang desa, bertaring dan berkuku panjang?”
Anggukan.
“Apakah dia berwujud manusia?”
Anggukan.
“Apakah dia hanya keluar saat bulan purnama?”
Anggukan.
Pertanyaan itu melompat-lompat dari berbagai arah kedai.
“Lalu apakah kau takut?”
Kali ini Ruben menggeleng, tangannya mengepal dan membuka, kakinya bergoyang, dan dia memandang ke seluruh ruangan yang sepertinya tidak ada lagi pertanyaan.
“Ruben,” cegat si pelayan, “berhati-hatilah.”
Anggukan. Dan Ruben melesat ke dalam malam yang menjadi sangat tidak biasa. Kesunyiannya menjamur ke seluruh desa. Tidak ada obrolan, hanya teriakan kuda dan sapi yang lapar. Bayang-bayang rasa takut, mengutuk pikiran-pikiran mereka malam itu. Gunung pescado juga sudah menjadi oasis bagi warga karena dibalik gunung banyak sekali sumber mata pencaharian dan karena misteri itu warga menjadi sangat terpenjara.
Tapi tidak untuk Ruben. Ayahnya sudah mengajarkannya banyak hal termasuk tidak ada hal lain yang menakutkan daripada sosok pria pemabuk yang mengasihani diri sendiri dan menenggelamkan pikirannya dalam ale, dan melampiaskan nafsu sesatnya pada Ruben.
**
Ruben melangkah cepat walau harus menanam kakinya ke dalam salju. Dia merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan di kedai tadi dan merasakan ketidaknyamanan karena cepat atau lambat, keamanannya juga harus dipertanyakan.
Sesampainya di rumah dia segera mengecek gudang yang berada di belakang. Tempat di mana dia selalu asik bersemayam dengan mainan dan hiasan kayu yang dia buat. Hari sudah sangat gelap, malam menerobos sangat cepat. Pintu gudang dibuka, gudang itu dikunci sangat rapat, jendela-jendelanya pun ditutup palang kayu dengan sangat tidak bercelah. Obor dinyalakan, dua roti dan ale diletakan di meja. Dia melihat banyak sekali salju di sepatunya ketika dia hendak menghentakkan kaki untuk membersihkannya, matanya membelalak menangkap area penyimpanan. Lemari terbuka, hiasan-hiasan berserakan di lantai, peti terbuka, laci tidak pada tempatnya, air menetes dari botol yang terguling di rak lemari, di sampingya meja terbalik, dan sebuah kursi yang sudah tidak berbentuk.
Ruben bergerak perlahan mendekati, dia mendengar samar-samar erangan dari pojok ruangan yang tidak kebagian cahaya, dan sesuatu bersembunyi di belakang kegelapan itu. Dia melihat balok kursi di bawah kaki kemudian mengambilnya. Semakin mendekat, dan hati-hati. Suara eraman terdengar semakin jelas. Kedinginan atau sama takutnya. Mata Ruben melirik rantai yang tersemat di dinding menuju ke pojokan itu, bergerak sangat halus.
Kaki Ruben kini sejajar dengan area yang gelap dan hanya disinari cahaya bulan yang diijinkan masuk lewat atap berlubang. Tiba-tiba sesuatu bergerak cepat menerjangnya, wajah mengerikan yang sekilas terlihat oleh sinar bulan yang masuk lewat lubang atap dihantam spontan oleh Ruben dengan balok tapi dia kehilangan keseimbangan karena salju di sepatu dan hampir pantatnya mendarat di tanah tapi tangannya sampai lebih dulu menahan tubuhnya. Hantaman berbunyi tegas sepeti batok kelapa beradu, rantai-rantai bergemericik disusul bunyi yang seperti karung beras terjatuh.
Ruben berdiri menyeimbangkan tubuhnya. Dia terengah-engah, matanya menyesuaikan dengan kegelapan, dan mengamati makhluk yang terbaring lemah tidak berdaya itu. Balok kayu dibuang, Ruben memandang ke lubang atap, wajahnya diterpa cahaya bulan dengan mata terpejam. ”Sialan!”
Dia menarik nafas yang dalam menguasai tubuhnya kemudian mendekat dan menyentuh denyut di bawah leher makhluk itu. Dia memeriksa tangannya terikat dengan rantai, dan juga memeriksa hantamannya yang mengenai pelipis si makhluk. Wajahnya keriput, berkulit kering itu berhiaskan lesung pipi yang besar. Memeriksa gigi-giginya yang kini tidak lagi berwarna kuning tapi dibanjiri darah. Nafasnya terasa dingin. Wajah Ruben menyeimbang dan tersenyum.
“Huff, hampir saja. Kukira kau berhasil melepaskan ikatanmu.”
Makhluk itu mengerang lemah tidak mengeluarkan suara dengan mata masih terpejam.
Ruben berdiri membelakangi, kedua tangan bertolak pinggang. “Aku sudah lelah,” kata-katanya terdengar menusuk, “dan kurasa kau juga.”
“Dan orang-orang desa merasa terganggu. Mereka mengira kau makhluk kutukan Gunung Pescado. Dan jujur, kita hampir beberapa kali ketahuan. Untung si tukang kebun itu pengecut. Dan si pelayan, oh ya, si pelayan.”
Ruben mengambil ale di meja kemudian mengguyur si makhluk.
“Kali ini tidak ada buang air lagi di gua, atau mencari udara segar saat terang bulan. Semua sudah cukup.”
Ruben mendekat, mengangkat dagu si makhluk dan berbisik, “aku akan membebaskanmu sekarang. Dan kuharap kau bertemu dengan Ibu, Ayah.”
***
0
225
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan