- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Negara Sulit Akui Pernikahan Adat Warga Cireundeu Jawa Barat


TS
dewaagni
Negara Sulit Akui Pernikahan Adat Warga Cireundeu Jawa Barat
Negara Sulit Akui Pernikahan Adat Warga Cireundeu Jawa Barat
Bambang Arifianto
- 26 November 2020, 12:38 WIB
/photo/2020/11/26/3296522635.jpg)
PIKIRAN RAKYAT - Kerap dielu-elukan pemerintah sebagai destinasi wisata unggulan dengan kearifan lokal dan mandiri pangan, praktik diskriminasi masih terjadi di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi.
Hingga kini, warga Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di kampung tersebut masih kesulitan agar pernikahan adatnya diakui negara atau tercatat dalam dokumen pencatatan sipil.
Begitu terjal dan berlikunya upaya warga supaya pernikahannya secara adat diakui demi menghindari stigma dari masyarakat umum.
Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dewi Lisnuryanah, 34 tahun, masih ingat pengalaman berliku saat mengurus pernikahannya pada 2009.
Warga adat di Kampung Cireundeu tersebut mesti menyiapkan sejumlah syarat agar pernikahannya bisa memiliki akta perkimpoian atau memperoleh surat catatan sipil dari Dinas Kependudukan, Pencatatan Sipil, Sosial dan Tenaga Kerja Kota Cimahi kala itu. Sebagai penganut Sunda Wiwitan, Dewi ingin kepercayaannya tersebut dituliskan dalam akta tersebut.

Akan tetapi, keinginannya terbentur peraturan yang ada. Sebagai masyarakat adat, Akur Sunda Wiwitan di Cireundeu, Kota Cimahi tidak tercatat atau terdaftar sebagai organisasi penganut kepercayaan di pemerintah.
Akibatnya, warga Sunda Wiwitan di Cireundeu harus menggunakan organisasi penghayat lokal yang sudah diakui pemerintah.
Warga adat Cireundeu mengistilahkannya dalam bahasa Sunda, muntang atau berpegangan kepada yang lain. Dewi dan calon suaminya, Tatang Tarsana akhirnya muntang kepada organisasi kepercayaan lokal, Aji Dipa yang telah tercatat di dinas itu.
Dengan menggunakan identitas Aji Dipa, pernikahan dua sejoli tersebut akhirnya tercatatkan alias mendapatkan akta perkimpoian. Namun, jalan panjang harus dilalui pasangan tersebut hanya demi sekadar memperoleh pengakuan negara.
Baca Juga: Perkimpoian Dijamin Konstitusi, Ironi di Kampung Adat Cireundeu Jawa Barat
Sebelum dicatatkan, Dewi menyertakan sejumlah syarat seperti kartu keluarga, berita acara pernikahan adatnya, KTP, serat surat keterangan Aji Dipa bahwa ia dan calon suaminya merupakan anggota atau bagian organisasi kepercayaan tersebut.
"Setelah (surat dari Aji Dipa) keluar, (kami) diminta hadir (dalam kegiatan) seperti sidang di kantor catatan sipil," kata Dewi saat ditemui di kediamannya di Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Sabtu 14 November 2020.
Kegiatan itu juga menjadi bagian dari verifikasi pernikahan adat yang sebelumnya telah berlangsung melalu pemeriksaan saksi-saksinya.
Selepas menempuh proses tersebut, barulah pernikahan Dewi dicatatkan dalam dokumen pencatatan sipil meskipun meminjam identitas Aji Dipa. Menurut Dewi, kesulitan warga adat agar pernikahannya diakui negara masih terjadi hingga kini.
Kerabatnya juga mesti muntang kepada organisasi kepercayaan lokal agar bisa memiliki akta perkimpoian yang tercatatkan dalam dokumen pemerintah. Pasangan muda warga adat Cireundeu yang ingin menikah pun ada yang mengalami keraguan karena persoalan itu saat ini.
Baca Juga: kimpoi Ulang, Buntut Sulitnya Negara Akui Pernikahan Adat Warga Cireundeu Jawa Barat
Hal serupa dialami warga adat Cireundeu lain, Jajang Zakaria, 36 tahun. Pernikahan Jajang pada 2018 lalu terbilang perkimpoian adat terakhir yang berlangsung di Cireundeu.
Setelah Jajang, belum ada lagi pernikahan adat digelar di sana. Hingga kini, Jajang tak bisa mencatatkan pernikahan adatnya di Disdukcapil Kota Cimahi. Padahal, ia telah memiliki seorang anak yang baru berusia enam bulan.
Alasan belum adanya pemangku adat di Cireundeulah yang membuat keinginan Jajang mencatatkan pernikahannya agar diakui negara terganjal. Ia menilai, persoalan sulitnya pencatatan oleh negara justru karena status warga/masyarakat adat Cireundeu yang bukan organisasi.
"Saya juga ingin dicatatkan di catatan sipil, diakui negara," kata Jajang.
Opsi muntang atau menggunakan identitas organisasi penghayat lokal, Budi Daya sebenarnya menghampiri Jajang. Namun, Jajang tetap enggan karena tak sesuai pilihan hatinya agar tetap dicatatkan sesuai dengan identitas kepercayaan yang dianut.
Jika memang tak ditulis sebagai penganut Sunda Wiwitan, ia memilih identitasnya dicatat sebagai penghayat saja tanpa embel-embel atau numpang kepada kepercayaan lain yang tak dianutnya.***
[url]https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-011017072/negara-sulit-akui-pernikahan-adat-warga-cireundeu-jawa-barat [/url]
miris sekali
Bambang Arifianto
- 26 November 2020, 12:38 WIB
/photo/2020/11/26/3296522635.jpg)
Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu 14 November 2020. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto
PIKIRAN RAKYAT - Kerap dielu-elukan pemerintah sebagai destinasi wisata unggulan dengan kearifan lokal dan mandiri pangan, praktik diskriminasi masih terjadi di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi.
Hingga kini, warga Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di kampung tersebut masih kesulitan agar pernikahan adatnya diakui negara atau tercatat dalam dokumen pencatatan sipil.
Begitu terjal dan berlikunya upaya warga supaya pernikahannya secara adat diakui demi menghindari stigma dari masyarakat umum.
Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dewi Lisnuryanah, 34 tahun, masih ingat pengalaman berliku saat mengurus pernikahannya pada 2009.
Warga adat di Kampung Cireundeu tersebut mesti menyiapkan sejumlah syarat agar pernikahannya bisa memiliki akta perkimpoian atau memperoleh surat catatan sipil dari Dinas Kependudukan, Pencatatan Sipil, Sosial dan Tenaga Kerja Kota Cimahi kala itu. Sebagai penganut Sunda Wiwitan, Dewi ingin kepercayaannya tersebut dituliskan dalam akta tersebut.

Warga adat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan Kampung Cireundeu memperlihatkan kutipan Akta Perkimpoiannya yang dicatatkan dengan identitas organisasi penghayat Aji Dipa saat ditemui di Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu 14 November 2020.
Akan tetapi, keinginannya terbentur peraturan yang ada. Sebagai masyarakat adat, Akur Sunda Wiwitan di Cireundeu, Kota Cimahi tidak tercatat atau terdaftar sebagai organisasi penganut kepercayaan di pemerintah.
Akibatnya, warga Sunda Wiwitan di Cireundeu harus menggunakan organisasi penghayat lokal yang sudah diakui pemerintah.
Warga adat Cireundeu mengistilahkannya dalam bahasa Sunda, muntang atau berpegangan kepada yang lain. Dewi dan calon suaminya, Tatang Tarsana akhirnya muntang kepada organisasi kepercayaan lokal, Aji Dipa yang telah tercatat di dinas itu.
Dengan menggunakan identitas Aji Dipa, pernikahan dua sejoli tersebut akhirnya tercatatkan alias mendapatkan akta perkimpoian. Namun, jalan panjang harus dilalui pasangan tersebut hanya demi sekadar memperoleh pengakuan negara.
Baca Juga: Perkimpoian Dijamin Konstitusi, Ironi di Kampung Adat Cireundeu Jawa Barat
Sebelum dicatatkan, Dewi menyertakan sejumlah syarat seperti kartu keluarga, berita acara pernikahan adatnya, KTP, serat surat keterangan Aji Dipa bahwa ia dan calon suaminya merupakan anggota atau bagian organisasi kepercayaan tersebut.
"Setelah (surat dari Aji Dipa) keluar, (kami) diminta hadir (dalam kegiatan) seperti sidang di kantor catatan sipil," kata Dewi saat ditemui di kediamannya di Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Sabtu 14 November 2020.
Kegiatan itu juga menjadi bagian dari verifikasi pernikahan adat yang sebelumnya telah berlangsung melalu pemeriksaan saksi-saksinya.
Selepas menempuh proses tersebut, barulah pernikahan Dewi dicatatkan dalam dokumen pencatatan sipil meskipun meminjam identitas Aji Dipa. Menurut Dewi, kesulitan warga adat agar pernikahannya diakui negara masih terjadi hingga kini.
Kerabatnya juga mesti muntang kepada organisasi kepercayaan lokal agar bisa memiliki akta perkimpoian yang tercatatkan dalam dokumen pemerintah. Pasangan muda warga adat Cireundeu yang ingin menikah pun ada yang mengalami keraguan karena persoalan itu saat ini.
Baca Juga: kimpoi Ulang, Buntut Sulitnya Negara Akui Pernikahan Adat Warga Cireundeu Jawa Barat
Hal serupa dialami warga adat Cireundeu lain, Jajang Zakaria, 36 tahun. Pernikahan Jajang pada 2018 lalu terbilang perkimpoian adat terakhir yang berlangsung di Cireundeu.
Setelah Jajang, belum ada lagi pernikahan adat digelar di sana. Hingga kini, Jajang tak bisa mencatatkan pernikahan adatnya di Disdukcapil Kota Cimahi. Padahal, ia telah memiliki seorang anak yang baru berusia enam bulan.
Alasan belum adanya pemangku adat di Cireundeulah yang membuat keinginan Jajang mencatatkan pernikahannya agar diakui negara terganjal. Ia menilai, persoalan sulitnya pencatatan oleh negara justru karena status warga/masyarakat adat Cireundeu yang bukan organisasi.
"Saya juga ingin dicatatkan di catatan sipil, diakui negara," kata Jajang.
Opsi muntang atau menggunakan identitas organisasi penghayat lokal, Budi Daya sebenarnya menghampiri Jajang. Namun, Jajang tetap enggan karena tak sesuai pilihan hatinya agar tetap dicatatkan sesuai dengan identitas kepercayaan yang dianut.
Jika memang tak ditulis sebagai penganut Sunda Wiwitan, ia memilih identitasnya dicatat sebagai penghayat saja tanpa embel-embel atau numpang kepada kepercayaan lain yang tak dianutnya.***
[url]https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-011017072/negara-sulit-akui-pernikahan-adat-warga-cireundeu-jawa-barat [/url]
miris sekali




padasw dan nomorelies memberi reputasi
2
1.1K
36


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan