Quote:
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyebut produktivitas yang dihasilkan para pekerjadi Indonesia masih sangat rendah. Bahkan pertumbuhannya masih rendah dari negara lain yang berpenghasilan menengah ke bawah.
“Produktivitas Indonesia masih tertinggal. Menurut data ILO, tingkat pertumbuhan output tahunan pekerja kita masih rendah bahkan di bawah rata-rata negara dengan penghasilan menengah bawah.” ujar Ida dalam webinar Kompas Talks, Sabtu (28/11).
Dia melanjutkan, produktivitas pekerja Indonesia juga masih di bawah ASEAN, termasuk Vietnam. Dalam survei yang dilakukan kepada para pelaku usaha, hasilnya menunjukkan mayoritas responden merasa bahwa nilai upah minimumyang ditetapkan di Indonesia tidak sepadan dengan produktivitas yang dihasilkan oleh pekerja.
Dalam Jetro Survei 2020, sebanyak 55 persen responden menilai upah minimum di Indonesia tidak sejalan dengan produktivitas yang dihasilkan pekerja. Dan hanya 23,7 persen responden yang berpendapat upah minimum sejalan dengan produktivitas yang dihasilkan.
Angka tersebut berbeda jauh dengan Filipina, di mana 74,2 persen responden menilai upah minimum di Filipina sejalan dengan output yang dihasilkan para pekerjanya. Sementara Laos, 66,7 persen responden menilai upah minimum pekerja di Laos sejalan dengan output yang dihasilkan.
“Semua hal di atas adalah tantangan bagi kita dalam memanfaatkan bonus demografi,” jelasnya.
Selain dari tantangan ketenagakerjaan, Indonesia juga masih menghadapi tantangan lainnya. Salah satunya adalah iklim penciptaan lapangan kerja.
Adapun peringkat Kemudahan Berusaha Indonesia saat ini berada di peringkat 73, jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia peringkat 12, hingga Vietnam di peringkat 70.
“Bahkan kalau kita lihat lebih detail lagi dalam indeks tersebut, misalnya dalam aspek mendirikan usaha, peringkat kita masih 140, jauh di bawah negara-negara pesaing kita,” kata Ida.
Untuk itu, Ida berharap pandemi ini bisa membawa dampak pada percepatan transformasi digital. Sehingga pekerjaan menjadi sangat fleksibel, baik secara waktu ataupun tempat.
“Tentunya semua isu tersebut harus diakomodasi demi terciptanya ekosistem ketenagakerjaan yang harmonis, yang melindungi hak pekerja dan melindungi keberlangsungan usaha,” tambahnya.
SUMBER
dikit dikit harus pergi ibadah
dikit dikit libur
jam makan paling tepat
jam kerja buat curhat -> ini paling sering
lantas gaji minta selangit
gimana caranya ada yang mau mulai membuat usaha?
klo lom tentu untung, tapi bayar gaji da kewalahan?
akhirnya banyak yg minder mulai usaha dan indonesia jadi kekurangan lapangan kerja
hanya berharap investor luar negeri yang punya modal besar
di kasih solusi turunin gaji, sehingga banyak pengusaha lokal mau coba buka lapangan kerja, tapi pekerjanya ogah
di kasih solusi investor asing, dianggap bentuk penjajahan
jadi maunya apa?
indonesia itu penduduk usia produktifnya banyak
sejuta orang tolak bakalan ada 10juta yang siap gantikan
klo pemerintah memang kewalahan dan takut diblamming
ya lepas tangan saja
biarkan pengusaha yang tentukan aturan gaji

sama dengan UMP yang tiap provinsi beda beda, karena masing2 gubernur tau daerahnya seperti apa
nah pengusaha juga seperti itu
mereka lebih tau kinerja masing2 karyawannya
juga produktivitas usahanya
dijamin dengan menyerahkan aturan gaji ke masing2 pengusaha
kemungkinan bangkrupt/pailitnya pengusaha di indonesia bisa berkurang drastis
cukup atur dengan UU gaji dan hak karyawan wajib di bayar
sedangkan nominalnya ya serahkan pada pengusaha
toh klo terlalu kecil, calon karyawan bisa cari kerja di tempat lain
klo terima berarti mereka memang setuju dengan nominalnya
ini win win solutionnya

