- Beranda
- Komunitas
- News
- Sains & Teknologi
Membedah Beragam Calon Vaksin Covid-19


TS
InRealLife
Membedah Beragam Calon Vaksin Covid-19
”Kompas” mewawancarai secara eksklusif Ines Atmosukarto, peneliti asal Indonesia yang juga CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin di Australia, untuk membedah perbedaan beragam calon vaksin Covid-19.

https://bebas.kompas.id/baca/bebas-a...ksin-covid-19/

https://bebas.kompas.id/baca/bebas-a...ksin-covid-19/
Quote:
Membedah Beragam Calon Vaksin Covid-19
Harian ”Kompas” mewawancarai secara eksklusif Ines Atmosukarto, peneliti asal Indonesia yang juga CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin di Australia, untuk membedah perbedaan beragam calon vaksin Covid-19.
Oleh Satrio Pangarso Wisanggeni
25 November 2020 12:49 WIB · 12 menit baca
Dalam satu hingga dua pekan terakhir, dunia mendapat rentetan kabar gembira dengan berita vaksin Covid-19. Diawali dengan pengumuman oleh Moderna dan Pfizer mengenai data interim uji klinik fase tiga terhadap calon vaksin berplatform messenger-RNA yang mereka kembangkan. Baik Moderna maupun Pfizer mengklaim efikasi sebesar sekitar 95 persen. Lalu ada pengumuman oleh AstraZeneca dan University of Oxford mengenai calon vaksin mereka yang diklaim efikasinya mencapai 70 persen.
Vaksin secara prinsip, sederhana. Menurut Ensiklopedia Britannica, vaksin bekerja dengan cara memicu sistem imun manusia. Begitu terstimulasi terhadap vaksin tersebut, sistem imun akan kemudian sensitif terhadap benda asing yang memiliki karakteristik yang sama dengan vaksin tersebut.
Namun dengan berbagai macam calon vaksin dan beragam efikasinya, timbul pertanyaan. Apa itu platform vaksin dan apa pengaruhnya terhadap efikasi vaksin? Sebetulnya, apa yang membuat perbedaan harga vaksin? Bagaimana juga ekspektasi efikasi jenis vaksin inactivatedatau dilemahkan seperti CoronaVac yang akan diproduksi Sinovac bersama Bio Farma di Indonesia?
Untuk menjawab itu, Kompas, Selasa (24/11/2020), berkesempatan berdiskusi secara virtual dengan Ines Atmosukarto, peneliti biologi molekular asal Indonesia yang juga berposisi sebagai CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin berbasis di Australia, untuk membedah perbedaan calon vaksin Covid-19 yang diharapkan dapat menghentikan pandemi saat ini.
Mengapa efikasi antara AstraZeneca-Oxford dibandingkan Moderna dan Pfizer-BioNTech berbeda jauh? AstraZeneca-Oxford berefikasi 70 persen, sedangkan Moderna dan Pfizer mencapai lebih dari 90 persen?
Calon vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Oxford menggunakan platform vektor virus, atau perantara, dari virus lain. Dalam kasus ini, mereka menggunakan virus yang ada pada simpanse.
Dari virus tersebut, dimasukkanlah materi genetik spike protein (protein yang ada pada di sisi luar) virus korona baru (SARS-CoV-2). Jika disuntikkan vaksin ini, diharapkan sistem imun kita memberikan respons kekebalan terhadap SARS-CoV-2.
Adapun Pfizer dan Moderna ini menggunakan platform messenger-RNA (ribonucleic acid/asam ribonukleat). Molekul mRNA ini yang memproduksi spike protein SARS-CoV-2 itu. Artinya, protein yang akan memicu antibodi ini diproduksi sendiri oleh si manusianya, tanpa perantara virus lain tadi.
Sebetulnya agak sulit membandingkan langsung kedua jenis vaksin ini karena efikasi sebesar 70 persen yang dimiliki oleh vaksin buatan AstraZeneca-Oxford adalah rata-rata dari dua studi.
Pada studi pertama, partisipan diberi dua kali dosis penuh dalam jangka waktu satu bulan. Sementara studi kedua, partisipan diberi setengah dosis kemudian baru diikuti satu dosis penuh. Studi pertama menghasilkan efikasi sebesar 62 persen dan studi kedua menghasilkan efikasi 90 persen. Dirata-rata, diambil angka 70 persen.
Lalu, di sisi lain, ada perbedaan dasar protokol uji klinis antara AstraZeneca dengan Moderna dan Pfizer. Dalam studinya, AstraZeneca meminta seluruh partisipan untuk setiap pekan dites usap (swab) untuk melihat apakah mereka terinfeksi SARS-CoV-2 atau tidak. Sementara yang dilakukan Moderna dan Pfizer bergantung pada partisipan untuk melaporkan jika merasa ada gejala Covid-19.
Jadi agak susah untuk membandingkan apakah 70 persennya AstraZeneca ini lebih rendah dari Moderna dan Pfizer? Karena Moderna dan Pfizer menggunakan gejala Covid-19 pegangan, sedangkan AstraZeneca menggunakan pedoman keberadaan infeksi SARS-CoV-2.
Nah, ini beda karena penyakit berdasarkan symptoms, gejala. Sementara infeksi itu ada tidaknya virus. Jadi, sebetulnya vaksin akan lebih powerful jika berhasil menangkal infeksi. Karena, kalau tidak ada penyakit belum tentu tidak ada infeksi.
Apakah ada kelemahan untuk vaksin yang dikembangkan dengan platform virus vektor seperti AstraZeneca-Oxford ini?
Ini masih menjadi pembicaraan di kalangan peneliti. Pemberian dosis yang lebih sedikit justru menghasilkan efikasi yang lebih tinggi.
Saya kira ini adalah kelemahan dari pendekatan vektor virus yang dipilih oleh AstraZeneca-Oxford. Karena vaksin ini menggunakan basis virus lain yang masih aktif, maka tubuh tidak hanya mendeteksi protein SARS-CoV-2, tetapi juga komponen virus yang jadi kendaraannya tersebut.
Jadi, tubuh juga akan mengeluarkan respons antibodi terhadap virus perantara tersebut, termasuk ketika dosis kedua diberikan. Tubuh akan melemahkan vaksin yang diberikan pada dosis kedua tersebut.
Ini juga yang menjadi salah satu kritik pribadi saya terhadap produknya Cansino, Johnson & Johnson, dan Gamaleya Rusia yang juga menggunakan platform yang sama. Tetapi bedanya, mereka menggunakan perantara virus manusia yang sudah umum, adenovirus.
Jadi pada dasarnya semua orang sudah punya sebagian imunitas terhadap vaksin tersebut. Artinya, kemungkinannya lebih kecil lagi bagi vaksin ini untuk membuat respons antibodi yang besar.
Perlu diingat, meski sama-sama menggunakan perantara virus aktif, vaksin AstraZeneca menggunakan virus yang ada pada simpanse. Jadi, masyarakat umum jarang punya kekebalan terhadap vaksin ini.
Vaksin dengan vektor virus seperti ini sudah ada yang sampai ke pasar sebelumnya?
Sudah ada yang sampai ke pasar. Kalau tidak salah itu vaksin untuk ebola. Tetapi ya memang tidak banyak juga.
Selain efikasi, harganya juga berbeda. AstraZeneca dikabarkan berkomitmen untuk tidak mengambil untung dan menghargai vaksinnya 3-5 dollar AS per dosis. Sementara Moderna mencapai 32-37 dollar AS dan Pfizer mencapai 20 dollar AS. Mengapa mRNA lebih mahal?
Ini semua karena teknologi mRNA yang sangat baru. Dua perusahaan yang mengembangkan vaksin mRNA ini baru didirikan sekitar sepuluh tahun. Meskipun penelitian mRNA ini sudah berjalan sekitar 20 tahun, tetapi ini mungkin masih tergolong baru.
Dua perusahaan tersebut, Moderna dan BioNTech, sebenarnya belum memiliki produk mRNA yang sudah sampai ke pasar. Calon vaksin Covid-19 ini kalau berhasil akan menjadi produk pertama yang sampai ke pasar. Seluruh produknya yang lain masih pada proses uji klinis.
Kalau saya pribadi disuruh meranking vaksin, nomor satu adalah vaksin berplatform protein, kedua AstraZeneca (berplatform virus aktif lain), ketiga Moderna dan Pfizer (mRNA). Mengapa di posisi ketiga? Karena ini agak baru, pengetahuan kita masih terbatas.
Mengapa mahal? Ini semua karena teknologi. Teknologi mRNA ini masih di bawah paten. Karena perusahaan ini baru berdiri sepuluh tahun yang lalu dan paten ini berdurasi 20 tahun. Komponen paten ada pada harga tersebut. Mereka juga tidak pernah menyatakan untuk tidak menghitung komponen paten tersebut.
Apa kelebihan vaksin berbasis mRNA?
Salah satu advantage dari platform mRNA itu produknya sederhana dan mRNA itu bisa dibuat secara sintetik. Ini terbukti dengan dua perusahaan itu adalah yang pertama masuk ke uji klinis dalam hitungan bulan. Karena itu, saya tidak heran, mereka yang bisa mengeluarkan pengumuman secepat ini.
Keberadaan pandemi ini juga secara tidak langsung telah memberikan kesempatan langka kepada perusahaan bioteknologi mRNA untuk membuktikan teknologi mereka dan membawa produk mereka ke pasar.
Karena biasanya, safety barrier yang harus dilewati oleh suatu teknologi baru untuk membuat vaksin itu sangat tinggi. Karena vaksin ini diberikan kepada orang sehat, jadi biasanya vaksin yang menggunakan teknologi baru itu uji klinisnya sangat panjang.
Otoritas seperti FDA AS, BPOM Indonesia, atau TGA Australia akan mensyaratkan data uji klinis yang bertahun-tahun untuk melihat apakah ada efek samping jangka panjang.
Keberhasilan perusahaan mRNA meyakinkan perusahaan farmasi besar untuk mengadopsi teknologi baru mereka sekaligus membawa produk mereka ke pasar ini sebuah milestone besar bagi perusahan bioteknologi.
Terkait virus inactivated, ini adalah platform yang digunakan Sinovac untuk vaksin CoronaVac yang akan diproduksi juga oleh Bio Farma. Secara umum, bagaimana proyeksi efikasinya?
Virus dengan platform inactivated adalah virus korona saat ini yang kemudian diinaktivasikan atau dilemahkan.
Pertama, virusnya sendiri harus bisa identifikasi, kemudian harus diisolasi. Lalu, harus bisa dibiakkan. Kemudian, harus biasa biakkan dalam skala yang besar. Dan akhirnya, harus dicari cara untuk melakukan inaktivasi virus tersebut. Tentunya waktu yang sangat lama. Ini jauh lebih lama ketimbang membuat vaksin mRNA karena mRNA bisa dibuat secara sintetik.
Seharusnya dari komponennya membuatnya itu jauh lebih murah mRNA. Namun, karena mRNA masih di bawah paten, itu di dalam paten di situ komponennya lebih mahal, seperti obat generik dan obat bermerek.
Kalau, misalnya, saya pribadi disuruh meranking vaksin, nomor satu adalah vaksin berplatform protein, kedua AstraZeneca (berplatform virus aktif lain), ketiga Moderna dan Pfizer (mRNA). Mengapa di posisi ketiga? Karena ini agak baru, pengetahuan kita masih terbatas.
Lalu, yang paling bawah ini adalah virus inactivated karena ini produk yang respons (antibodi)-nya lebih adem ayem. Tetap ada responnya, tetapi adem ayem.
Saya kira inactivated lebih mudah untuk Indonesia karena Bio Farma bisa beli dalam skala besar dan kemudian bisa melakukan fill and finish (proses pengisian tabung vaksin dan pengemasan).
Anda menyebut vaksin platform protein itu nomor satu. Kalau yang berplatform protein ini salah satu contoh paling maju perkembangannya adalah Novavax. Calon vaksin Merah Putih yang pengembangannya dipimpin Lembaga Biologi Eijkman juga berbasis protein. Sebetulnya apa itu vaksin protein?
Vaksinnya ini berupa molekul protein. Jadi, peneliti bertujuan meniru protein spike atau meniru protein yang ada pada sisi luar SARS-CoV-2 dengan harapannya memicu respons imun tubuh terhadap virus penyebab Covid-19 ini.
Setelah membuat proteinnya, peneliti juga harus mencari sel apa yang cocok untuk memproduksi protein ini. Harus dicoba dulu apakah pakai sel bakteri, sel pada yeast (ragi), sel mamalia, atau sel serangga.
Vaksin Pfizer dan Moderna membutuhkan penyimpanan sampai suhu yang sangat rendah. Pfizer, misalnya, sampai minus 70 derajat celsius. Itu yang punya lemari pembekunya hanya lembaga penelitian atau rumah sakit. Mungkin hanya ada hitungan jari di Indonesia dan juga mahal.
Kemudian setelah itu, peneliti harus menemukan cara untuk melakukan scale-up atau peningkatan skala produksinya. Lalu juga harus mencari komposisi antara protein dan adjuvant yang tepat untuk mendapatkan respons antibodi terbaik. Jadi memang sangat kompleks membuat vaksin dengan protein.
Namun, dibandingkan dengan platform inactivated, biasanya virus protein menghasilkan tingkat antibodi yang lebih tinggi karena sistem imun kita hanya fokus di satu bagian protein.
Efikasi vaksin protein ini juga biasanya lebih tinggi dari platform virus vektor (AstraZeneca, Cansino, Johnson & Johnson).
Kalau vaksin protein contohnya sudah ada di pasar?
Vaksin hepatitis B itu berdasarkan protein. Ada sebuah vaksin untuk flu juga. Artinya, ini sesuatu yang sudah kita sangat kuasai pendekatannya. Mungkin untuk Covid-19 baru Novavax yang masuk uji klinis fase ketiga. Namun, selain itu sebetulnya sudah banyak yang ada di fase sebelumnya.
Berarti Anda sepakat dengan keputusan Indonesia mengembangkan vaksin Merah Putih dengan platform protein?
Sangat cocok. Namun, kita harus menyadari bahwa ini sebenarnya mungkin investasi jangka panjang. Saya melihat ini lebih pada membangun kapasitas. Kedua, jika pandemi ini lebih lama, ini bisa menjadi back up.
Kalau begitu, calon vaksin apa yang mungkin sebaiknya di Indonesia?
Kalau kita melihat Pfizer dan Moderna, misalnya, itu membutuhkan penyimpanan sampai suhu yang sangat rendah. Pfizer, misalnya, sampai minus 70 derajat celsius. Itu yang punya lemari pembekunya hanya lembaga penelitian atau rumah sakit. Mungkin hanya ada hitungan jari di Indonesia dan juga mahal.
Jadi, kecil kemungkinan bakal ada di setiap puskesmas. Karena itu, saya rasa, kita tidak perlu berpikir untuk menggunakan vaksin mRNA tersebut.
Saya yakin sebetulnya kedua calon vaksin itu sudah pasti aman, datanya sudah dipelajari. Namun, kita tahu bahwa juga mungkin akan ada efek jangka panjang.
Saya rasa, kita tidak perlu berkeinginan untuk mengejar vaksin dengan teknologi termutakhir dan terbaru. Vaksin bukan mobil balap atau smartphone yang harus paling baru.
Sebaiknya, kita pakai teknologi yang sudah kita ketahui dan selama produk ini bisa dijamin stabilitasnya dan harganya terjangkau.
Mengapa? Percuma kalau, misalnya, kita bisa membeli vaksin yang mahal—Moderna dan Pfizer—tetapi hanya seperti sepersepuluh yang bisa divaksinasi. Lebih baik kita membeli vaksin yang murah, tetapi 90 persen populasi diimunisasi. Kalau harganya kelak 3 dollar versus 37 dollar AS, artinya satu vaksin Moderna bisa dipakai 10 orang pakai vaksin AstraZeneca, misalnya.
Untuk vaksin, jangan berpikir pada skala pribadi. Vaksin itu bekerja pada tingkat masyarakat. Pikiran bahwa ”saya tervaksinasi dan saya aman” itu that’s not the point. Hal yang utama adalah, kalau cakupan vaksinasi yang tinggi, kita bisa menghilangkan penyakit tersebut. Kalau cakupannya rendah, penyakit itu akan terus selalu ada di tengah masyarakat kita.
Kita tidak harus tergiur. Segala sesuatu yang mengilat itu tidak selalu yang terbaik. All that glitters is not gold.
Apakah dari riset biotek yang muncul selama ini, ada karakteristik khusus Covid-19 yang menarik? Apakah ada yang mungkin menjadi tantangan atau bahkan kemudahan dalam pengembangan vaksin?
Sangat banyak yang memudahkan. Dalam menghadapi pandemi ini, kita masih ada untungnya. Kita sudah pernah ketemu dengan sepupunya Covid-19 itu tahun 2003, ketika ada epidemi SARS pertama. Jadi sebenarnya, pada Januari-Februari, kami peneliti sudah sadar bahwa kami sudah punya banyak dasar pengetahuan.
Begitu China mengatakan bahwa virus penyebab penyakit baru ini adalah dari keluarga virus korona, semua orang ini kembali baca paper-paper yang lama. Langsung kita tahu bagaimana pengembangan vaksinnya.
Sekarang bayangkan, kalau kita tidak punya informasi tersebut. Artinya, kita harus mempelajari dulu penyakitnya, mempelajari komponen dari virus itu. Tidak mungkin dalam sembilan bulan kita sudah dapat tiga calon.
Bagaimana harapan ke depan tentang pengembangan vaksin ini?
Pada dasarnya, efikasi tiga vaksin ini jauh melampaui batas yang ditetapkan WHO, yakni 50 persen. Dan perlu dipahami, efikasi vaksin ini bukan hanya dari jenis vaksinnya, melainkan juga cara memberinya. Seperti pada uji klinisnya AstraZeneca ini, kita mengubah dari dosis penuh ke setengah dosis itu hasilnya berbeda. Jadi, banyak hal yang menentukan hasil dari suatu vaksin. Memang masih banyak yang perlu didalami.
Selain itu, kita tidak tahu berapa lama kekebalan yang dipicu setiap vaksin akan bertahan. Karena semua pengembang vaksin ini melaporkan tidak lama setelah pemberian dosis kedua, hanya sekitar sebulan. Untuk diketahui, ini adalah masa puncak respons imun. Jadi, ini waktu yang paling tepat untuk mendapatkan data yang terlihat bagus.
Kita harus melihat berapa lama anitbodinya bertahan. Selain itu, apakah respons imun ini hasilnya sama untuk kelompok umur muda atau tua. Vaksin ini agak beda-beda responsnya berdasarkan umur. Akan ada evaluasi lebih lanjut.
Harian ”Kompas” mewawancarai secara eksklusif Ines Atmosukarto, peneliti asal Indonesia yang juga CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin di Australia, untuk membedah perbedaan beragam calon vaksin Covid-19.
Oleh Satrio Pangarso Wisanggeni
25 November 2020 12:49 WIB · 12 menit baca
Dalam satu hingga dua pekan terakhir, dunia mendapat rentetan kabar gembira dengan berita vaksin Covid-19. Diawali dengan pengumuman oleh Moderna dan Pfizer mengenai data interim uji klinik fase tiga terhadap calon vaksin berplatform messenger-RNA yang mereka kembangkan. Baik Moderna maupun Pfizer mengklaim efikasi sebesar sekitar 95 persen. Lalu ada pengumuman oleh AstraZeneca dan University of Oxford mengenai calon vaksin mereka yang diklaim efikasinya mencapai 70 persen.
Vaksin secara prinsip, sederhana. Menurut Ensiklopedia Britannica, vaksin bekerja dengan cara memicu sistem imun manusia. Begitu terstimulasi terhadap vaksin tersebut, sistem imun akan kemudian sensitif terhadap benda asing yang memiliki karakteristik yang sama dengan vaksin tersebut.
Namun dengan berbagai macam calon vaksin dan beragam efikasinya, timbul pertanyaan. Apa itu platform vaksin dan apa pengaruhnya terhadap efikasi vaksin? Sebetulnya, apa yang membuat perbedaan harga vaksin? Bagaimana juga ekspektasi efikasi jenis vaksin inactivatedatau dilemahkan seperti CoronaVac yang akan diproduksi Sinovac bersama Bio Farma di Indonesia?
Untuk menjawab itu, Kompas, Selasa (24/11/2020), berkesempatan berdiskusi secara virtual dengan Ines Atmosukarto, peneliti biologi molekular asal Indonesia yang juga berposisi sebagai CEO Lipotek, firma biotek pengembang vaksin berbasis di Australia, untuk membedah perbedaan calon vaksin Covid-19 yang diharapkan dapat menghentikan pandemi saat ini.
Mengapa efikasi antara AstraZeneca-Oxford dibandingkan Moderna dan Pfizer-BioNTech berbeda jauh? AstraZeneca-Oxford berefikasi 70 persen, sedangkan Moderna dan Pfizer mencapai lebih dari 90 persen?
Calon vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Oxford menggunakan platform vektor virus, atau perantara, dari virus lain. Dalam kasus ini, mereka menggunakan virus yang ada pada simpanse.
Dari virus tersebut, dimasukkanlah materi genetik spike protein (protein yang ada pada di sisi luar) virus korona baru (SARS-CoV-2). Jika disuntikkan vaksin ini, diharapkan sistem imun kita memberikan respons kekebalan terhadap SARS-CoV-2.
Adapun Pfizer dan Moderna ini menggunakan platform messenger-RNA (ribonucleic acid/asam ribonukleat). Molekul mRNA ini yang memproduksi spike protein SARS-CoV-2 itu. Artinya, protein yang akan memicu antibodi ini diproduksi sendiri oleh si manusianya, tanpa perantara virus lain tadi.
Sebetulnya agak sulit membandingkan langsung kedua jenis vaksin ini karena efikasi sebesar 70 persen yang dimiliki oleh vaksin buatan AstraZeneca-Oxford adalah rata-rata dari dua studi.
Pada studi pertama, partisipan diberi dua kali dosis penuh dalam jangka waktu satu bulan. Sementara studi kedua, partisipan diberi setengah dosis kemudian baru diikuti satu dosis penuh. Studi pertama menghasilkan efikasi sebesar 62 persen dan studi kedua menghasilkan efikasi 90 persen. Dirata-rata, diambil angka 70 persen.
Lalu, di sisi lain, ada perbedaan dasar protokol uji klinis antara AstraZeneca dengan Moderna dan Pfizer. Dalam studinya, AstraZeneca meminta seluruh partisipan untuk setiap pekan dites usap (swab) untuk melihat apakah mereka terinfeksi SARS-CoV-2 atau tidak. Sementara yang dilakukan Moderna dan Pfizer bergantung pada partisipan untuk melaporkan jika merasa ada gejala Covid-19.
Jadi agak susah untuk membandingkan apakah 70 persennya AstraZeneca ini lebih rendah dari Moderna dan Pfizer? Karena Moderna dan Pfizer menggunakan gejala Covid-19 pegangan, sedangkan AstraZeneca menggunakan pedoman keberadaan infeksi SARS-CoV-2.
Nah, ini beda karena penyakit berdasarkan symptoms, gejala. Sementara infeksi itu ada tidaknya virus. Jadi, sebetulnya vaksin akan lebih powerful jika berhasil menangkal infeksi. Karena, kalau tidak ada penyakit belum tentu tidak ada infeksi.
Apakah ada kelemahan untuk vaksin yang dikembangkan dengan platform virus vektor seperti AstraZeneca-Oxford ini?
Ini masih menjadi pembicaraan di kalangan peneliti. Pemberian dosis yang lebih sedikit justru menghasilkan efikasi yang lebih tinggi.
Saya kira ini adalah kelemahan dari pendekatan vektor virus yang dipilih oleh AstraZeneca-Oxford. Karena vaksin ini menggunakan basis virus lain yang masih aktif, maka tubuh tidak hanya mendeteksi protein SARS-CoV-2, tetapi juga komponen virus yang jadi kendaraannya tersebut.
Jadi, tubuh juga akan mengeluarkan respons antibodi terhadap virus perantara tersebut, termasuk ketika dosis kedua diberikan. Tubuh akan melemahkan vaksin yang diberikan pada dosis kedua tersebut.
Ini juga yang menjadi salah satu kritik pribadi saya terhadap produknya Cansino, Johnson & Johnson, dan Gamaleya Rusia yang juga menggunakan platform yang sama. Tetapi bedanya, mereka menggunakan perantara virus manusia yang sudah umum, adenovirus.
Jadi pada dasarnya semua orang sudah punya sebagian imunitas terhadap vaksin tersebut. Artinya, kemungkinannya lebih kecil lagi bagi vaksin ini untuk membuat respons antibodi yang besar.
Perlu diingat, meski sama-sama menggunakan perantara virus aktif, vaksin AstraZeneca menggunakan virus yang ada pada simpanse. Jadi, masyarakat umum jarang punya kekebalan terhadap vaksin ini.
Vaksin dengan vektor virus seperti ini sudah ada yang sampai ke pasar sebelumnya?
Sudah ada yang sampai ke pasar. Kalau tidak salah itu vaksin untuk ebola. Tetapi ya memang tidak banyak juga.
Selain efikasi, harganya juga berbeda. AstraZeneca dikabarkan berkomitmen untuk tidak mengambil untung dan menghargai vaksinnya 3-5 dollar AS per dosis. Sementara Moderna mencapai 32-37 dollar AS dan Pfizer mencapai 20 dollar AS. Mengapa mRNA lebih mahal?
Ini semua karena teknologi mRNA yang sangat baru. Dua perusahaan yang mengembangkan vaksin mRNA ini baru didirikan sekitar sepuluh tahun. Meskipun penelitian mRNA ini sudah berjalan sekitar 20 tahun, tetapi ini mungkin masih tergolong baru.
Dua perusahaan tersebut, Moderna dan BioNTech, sebenarnya belum memiliki produk mRNA yang sudah sampai ke pasar. Calon vaksin Covid-19 ini kalau berhasil akan menjadi produk pertama yang sampai ke pasar. Seluruh produknya yang lain masih pada proses uji klinis.
Kalau saya pribadi disuruh meranking vaksin, nomor satu adalah vaksin berplatform protein, kedua AstraZeneca (berplatform virus aktif lain), ketiga Moderna dan Pfizer (mRNA). Mengapa di posisi ketiga? Karena ini agak baru, pengetahuan kita masih terbatas.
Mengapa mahal? Ini semua karena teknologi. Teknologi mRNA ini masih di bawah paten. Karena perusahaan ini baru berdiri sepuluh tahun yang lalu dan paten ini berdurasi 20 tahun. Komponen paten ada pada harga tersebut. Mereka juga tidak pernah menyatakan untuk tidak menghitung komponen paten tersebut.
Apa kelebihan vaksin berbasis mRNA?
Salah satu advantage dari platform mRNA itu produknya sederhana dan mRNA itu bisa dibuat secara sintetik. Ini terbukti dengan dua perusahaan itu adalah yang pertama masuk ke uji klinis dalam hitungan bulan. Karena itu, saya tidak heran, mereka yang bisa mengeluarkan pengumuman secepat ini.
Keberadaan pandemi ini juga secara tidak langsung telah memberikan kesempatan langka kepada perusahaan bioteknologi mRNA untuk membuktikan teknologi mereka dan membawa produk mereka ke pasar.
Karena biasanya, safety barrier yang harus dilewati oleh suatu teknologi baru untuk membuat vaksin itu sangat tinggi. Karena vaksin ini diberikan kepada orang sehat, jadi biasanya vaksin yang menggunakan teknologi baru itu uji klinisnya sangat panjang.
Otoritas seperti FDA AS, BPOM Indonesia, atau TGA Australia akan mensyaratkan data uji klinis yang bertahun-tahun untuk melihat apakah ada efek samping jangka panjang.
Keberhasilan perusahaan mRNA meyakinkan perusahaan farmasi besar untuk mengadopsi teknologi baru mereka sekaligus membawa produk mereka ke pasar ini sebuah milestone besar bagi perusahan bioteknologi.
Terkait virus inactivated, ini adalah platform yang digunakan Sinovac untuk vaksin CoronaVac yang akan diproduksi juga oleh Bio Farma. Secara umum, bagaimana proyeksi efikasinya?
Virus dengan platform inactivated adalah virus korona saat ini yang kemudian diinaktivasikan atau dilemahkan.
Pertama, virusnya sendiri harus bisa identifikasi, kemudian harus diisolasi. Lalu, harus bisa dibiakkan. Kemudian, harus biasa biakkan dalam skala yang besar. Dan akhirnya, harus dicari cara untuk melakukan inaktivasi virus tersebut. Tentunya waktu yang sangat lama. Ini jauh lebih lama ketimbang membuat vaksin mRNA karena mRNA bisa dibuat secara sintetik.
Seharusnya dari komponennya membuatnya itu jauh lebih murah mRNA. Namun, karena mRNA masih di bawah paten, itu di dalam paten di situ komponennya lebih mahal, seperti obat generik dan obat bermerek.
Kalau, misalnya, saya pribadi disuruh meranking vaksin, nomor satu adalah vaksin berplatform protein, kedua AstraZeneca (berplatform virus aktif lain), ketiga Moderna dan Pfizer (mRNA). Mengapa di posisi ketiga? Karena ini agak baru, pengetahuan kita masih terbatas.
Lalu, yang paling bawah ini adalah virus inactivated karena ini produk yang respons (antibodi)-nya lebih adem ayem. Tetap ada responnya, tetapi adem ayem.
Saya kira inactivated lebih mudah untuk Indonesia karena Bio Farma bisa beli dalam skala besar dan kemudian bisa melakukan fill and finish (proses pengisian tabung vaksin dan pengemasan).
Anda menyebut vaksin platform protein itu nomor satu. Kalau yang berplatform protein ini salah satu contoh paling maju perkembangannya adalah Novavax. Calon vaksin Merah Putih yang pengembangannya dipimpin Lembaga Biologi Eijkman juga berbasis protein. Sebetulnya apa itu vaksin protein?
Vaksinnya ini berupa molekul protein. Jadi, peneliti bertujuan meniru protein spike atau meniru protein yang ada pada sisi luar SARS-CoV-2 dengan harapannya memicu respons imun tubuh terhadap virus penyebab Covid-19 ini.
Setelah membuat proteinnya, peneliti juga harus mencari sel apa yang cocok untuk memproduksi protein ini. Harus dicoba dulu apakah pakai sel bakteri, sel pada yeast (ragi), sel mamalia, atau sel serangga.
Vaksin Pfizer dan Moderna membutuhkan penyimpanan sampai suhu yang sangat rendah. Pfizer, misalnya, sampai minus 70 derajat celsius. Itu yang punya lemari pembekunya hanya lembaga penelitian atau rumah sakit. Mungkin hanya ada hitungan jari di Indonesia dan juga mahal.
Kemudian setelah itu, peneliti harus menemukan cara untuk melakukan scale-up atau peningkatan skala produksinya. Lalu juga harus mencari komposisi antara protein dan adjuvant yang tepat untuk mendapatkan respons antibodi terbaik. Jadi memang sangat kompleks membuat vaksin dengan protein.
Namun, dibandingkan dengan platform inactivated, biasanya virus protein menghasilkan tingkat antibodi yang lebih tinggi karena sistem imun kita hanya fokus di satu bagian protein.
Efikasi vaksin protein ini juga biasanya lebih tinggi dari platform virus vektor (AstraZeneca, Cansino, Johnson & Johnson).
Kalau vaksin protein contohnya sudah ada di pasar?
Vaksin hepatitis B itu berdasarkan protein. Ada sebuah vaksin untuk flu juga. Artinya, ini sesuatu yang sudah kita sangat kuasai pendekatannya. Mungkin untuk Covid-19 baru Novavax yang masuk uji klinis fase ketiga. Namun, selain itu sebetulnya sudah banyak yang ada di fase sebelumnya.
Berarti Anda sepakat dengan keputusan Indonesia mengembangkan vaksin Merah Putih dengan platform protein?
Sangat cocok. Namun, kita harus menyadari bahwa ini sebenarnya mungkin investasi jangka panjang. Saya melihat ini lebih pada membangun kapasitas. Kedua, jika pandemi ini lebih lama, ini bisa menjadi back up.
Kalau begitu, calon vaksin apa yang mungkin sebaiknya di Indonesia?
Kalau kita melihat Pfizer dan Moderna, misalnya, itu membutuhkan penyimpanan sampai suhu yang sangat rendah. Pfizer, misalnya, sampai minus 70 derajat celsius. Itu yang punya lemari pembekunya hanya lembaga penelitian atau rumah sakit. Mungkin hanya ada hitungan jari di Indonesia dan juga mahal.
Jadi, kecil kemungkinan bakal ada di setiap puskesmas. Karena itu, saya rasa, kita tidak perlu berpikir untuk menggunakan vaksin mRNA tersebut.
Saya yakin sebetulnya kedua calon vaksin itu sudah pasti aman, datanya sudah dipelajari. Namun, kita tahu bahwa juga mungkin akan ada efek jangka panjang.
Saya rasa, kita tidak perlu berkeinginan untuk mengejar vaksin dengan teknologi termutakhir dan terbaru. Vaksin bukan mobil balap atau smartphone yang harus paling baru.
Sebaiknya, kita pakai teknologi yang sudah kita ketahui dan selama produk ini bisa dijamin stabilitasnya dan harganya terjangkau.
Mengapa? Percuma kalau, misalnya, kita bisa membeli vaksin yang mahal—Moderna dan Pfizer—tetapi hanya seperti sepersepuluh yang bisa divaksinasi. Lebih baik kita membeli vaksin yang murah, tetapi 90 persen populasi diimunisasi. Kalau harganya kelak 3 dollar versus 37 dollar AS, artinya satu vaksin Moderna bisa dipakai 10 orang pakai vaksin AstraZeneca, misalnya.
Untuk vaksin, jangan berpikir pada skala pribadi. Vaksin itu bekerja pada tingkat masyarakat. Pikiran bahwa ”saya tervaksinasi dan saya aman” itu that’s not the point. Hal yang utama adalah, kalau cakupan vaksinasi yang tinggi, kita bisa menghilangkan penyakit tersebut. Kalau cakupannya rendah, penyakit itu akan terus selalu ada di tengah masyarakat kita.
Kita tidak harus tergiur. Segala sesuatu yang mengilat itu tidak selalu yang terbaik. All that glitters is not gold.
Apakah dari riset biotek yang muncul selama ini, ada karakteristik khusus Covid-19 yang menarik? Apakah ada yang mungkin menjadi tantangan atau bahkan kemudahan dalam pengembangan vaksin?
Sangat banyak yang memudahkan. Dalam menghadapi pandemi ini, kita masih ada untungnya. Kita sudah pernah ketemu dengan sepupunya Covid-19 itu tahun 2003, ketika ada epidemi SARS pertama. Jadi sebenarnya, pada Januari-Februari, kami peneliti sudah sadar bahwa kami sudah punya banyak dasar pengetahuan.
Begitu China mengatakan bahwa virus penyebab penyakit baru ini adalah dari keluarga virus korona, semua orang ini kembali baca paper-paper yang lama. Langsung kita tahu bagaimana pengembangan vaksinnya.
Sekarang bayangkan, kalau kita tidak punya informasi tersebut. Artinya, kita harus mempelajari dulu penyakitnya, mempelajari komponen dari virus itu. Tidak mungkin dalam sembilan bulan kita sudah dapat tiga calon.
Bagaimana harapan ke depan tentang pengembangan vaksin ini?
Pada dasarnya, efikasi tiga vaksin ini jauh melampaui batas yang ditetapkan WHO, yakni 50 persen. Dan perlu dipahami, efikasi vaksin ini bukan hanya dari jenis vaksinnya, melainkan juga cara memberinya. Seperti pada uji klinisnya AstraZeneca ini, kita mengubah dari dosis penuh ke setengah dosis itu hasilnya berbeda. Jadi, banyak hal yang menentukan hasil dari suatu vaksin. Memang masih banyak yang perlu didalami.
Selain itu, kita tidak tahu berapa lama kekebalan yang dipicu setiap vaksin akan bertahan. Karena semua pengembang vaksin ini melaporkan tidak lama setelah pemberian dosis kedua, hanya sekitar sebulan. Untuk diketahui, ini adalah masa puncak respons imun. Jadi, ini waktu yang paling tepat untuk mendapatkan data yang terlihat bagus.
Kita harus melihat berapa lama anitbodinya bertahan. Selain itu, apakah respons imun ini hasilnya sama untuk kelompok umur muda atau tua. Vaksin ini agak beda-beda responsnya berdasarkan umur. Akan ada evaluasi lebih lanjut.
0
246
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan