Kaskus

News

azzthunderAvatar border
TS
azzthunder
Kontroversi UU Cipta Kerja dan Cara Judicial Review ke MK
Tidak lama ini, DPR dan Presiden baru saja menyetujui dan menandatangani Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020. Undang – Undang ini berisikan atas 15 bab dan 186 pasal yang mengatur tentang ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Tercatat beberapa pasal yang dinilai bermasalah dan merugikan pihak tenaga kerja dalam bab IV tentang ketenagarkerjaan Undang – Undang Cipta Kerja.
Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menghapus aturan – aturan yang merugikan pihak tenaga kerja, diantaranya sebagai berikut :
1. Pasal 59 dan Pasal 79
Undang – Undang Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak.
Pasal 81 angka 15 Undang - Undang Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang – Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) Undang - Undang Ketenagakerjaan yang mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara itu, Undang - Undang Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas
Hak pekerja tentang mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam Undang – Undang Ketenagakerjaan dipangkas oleh Undang – Undang Cipta Kerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 Undang – Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 Undang - Undang Ketenagakerjaan.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) Undang – Undang Cipta Kerja mengatur tentang pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Dan selanjutnya, Pasal 79 Undang - Undang Cipta Kerja juga menghapuskan kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) mengatur tentang pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Pasal Undang – Undang Ketenagakerjaan yang dihapuskan
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat Undang – Undang Cipta Kerja. Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 Undang – Undang Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 Undang – Undang Ketenagakerjaan.
Pasal 91 ayat (1) Undang – Undang Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 Undang - Undanng Ketenagakerjaan. Namun, dalam Undang - Undang Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di Undang - Undang Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya. Selain itu, Undang - Undang Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ( PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Penghapusan dan Perubahan Undang - Undang Cipta Kerja atas Undang - Undang Ketenagakerjaan dirasakan sangat merugikan dari pihak pekerja, dalam hal ini pekerja akan mengajukan Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi.
Judicial review atau hak uji materi adalah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktiknya, Judicial review melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi . Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang – Undang terhadap Undang - Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai judicial review ke Mahkamah Konstitusi, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara

Terdapat beberapa tahapan – tahapan permohonan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi, yaitu :

1. Pengajuan Permohonan

Permohonan diajukan secara tertulis berbahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi, dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat nama dan alamat pemohon, uraian mengenai dasar perihal permohonan, dan hal-hal yang diminta untuk diputus. Pengajuan permohonan juga harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.

2. Pendaftar Permohonan

Pengajuan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi diajukan langsung ke gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta atau bisa mendaftar onlibe melalui websitenya.
Terhadap permohonan yang diajukan, panitera Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Apabila belum lengkap, maka pemohon dapat diberi kesempatan untuk melengkapi permohonan tersebut dalam jangka waktu maksimal 7 hari sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Apabila dinilai sudah lengkap, maka permohonan tersebut akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara, dan pemohon akan diberi tanda terima.

3. Penjadwalan Sidang

Dalam waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama. Penetapan tersebut akan diumuMahkamah Konstitusian kepada pemohon, termohon, pihak terkait, dan masyarakat umum.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

Sebelum memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Dalam pemeriksaan ini Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu maksimal 14 hari sejak sidang ini pertama kali dilakukan.

5. Pemeriksaan Persidangan

Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dalam pemeriksaan persidangan, Hakim Konstitusi akan memeriksa permohonan dan alat bukti yang diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Konstitusi yang meliputi :
a. Pemeriksaan pokok permohonan;
b. Pemeriksaan alat bukti tertulis;
c. Mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
d. Mendengarkan keterangan saksi;
e. Mendengarkan keterangan ahli;
f. Mendengarkan keterangan pihak terkait;
g. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
h. Pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikiriMahkamah Konstitusian, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.

6. Putusan

Setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi melaksanakan sidang pleno untuk mengambil putusan secara musyawarah untuk mufakat, namun apabila mufakat bulat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim – hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera. Dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
0
530
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan