- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Dear_Nathan


TS
rizadwi88
Dear_Nathan
Creepypasta part4
#story
#dear_nathan
By: Riza Dwi Rahadianingtyas
Long posting alert!!
***
Hampir dua mingguan ini aku mulai keranjingan membuka aplikasi berlogo not musik itu. Bukan disebabkan aku suka bermain Tik-Tok, tapi itu karena aku tertarik dengan salah seorang konten kreator di aplikasi tersebut.
Nama akunnya @Toma_desu. Pria muda berdarah campuran Jepang-Amerika, yang tengah menetap di Jepang untuk kuliah.
Pria itu teramat istimewa. Hanya sekali melihatnya, aku sudah terpesona.
Wajah blasteran yang putih dengan sedikit bintik-bintik hitam ciri khas pria bule. Rambut hitam agak kecoklatan. Garis wajah yang tegas. Rahang yang kokoh, berkesan macho. Mata coklat nan indah. Suara tenor yang berat. Senyum menawan, benar-benar menjadikannya satu paket lengkap pemikat wanita. Tak terkecuali aku sendiri.
Sungguh maha karya Tuhan yang sempurna!
Aku benar-benar menggila. Tak pernah sehari pun aku absen mengecek akun Tik-tok miliknya.
Hal itu pula lah yang membuatku kadang senyam-senyum sendiri saat di dalam kelas. Tak jarang aku tak begitu memperhatikan pelajaran, terlalu sibuk dengan gawaiku. Hanya untuk sekadar menatap wallpaper bergambar dirinya.
Bodohnya aku!
Karena itu semua aku akhirnya kena hukum Pak Agus, guru Matematika paling killer di sekolah. Membersihkan toilet di lantai dua dan merapikan buku di perpustakaan setiap pulang sekolah. Selama seminggu!
Sial! Benar-benar sial!
***
"Rea, jangan lupa ke perpus sepulang sekolah. Kebetulan Bu Nita butuh bantuan menata buku di sana. Paham kamu?" tegas Pak Agus dengan mata setengah melotot.
Aku hanya mengangguk kikuk. Dalam hati aku menggerutu.
Sesampainya di perpus, aku segera membantu Bu Nita. Semakin cepat kerjaku, semakin cepat aku pulang. Bayangan kasur yang empuk sudah mengganggu pikiranku sedari tadi. Aku mulai mengantuk.
Bug!
Salah satu buku terjatuh saat aku hendak menaruhnya ke rak. Aku mengumpat pelan saat kakiku tertimpa buku yang sangat tebal itu.
Dengan kesal aku membungkuk dan mencoba mengambilnya.
Saat itu pula, tanganku tak sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang yang juga hendak mengambil buku tersebut. Begitu putih bersih tangan itu. Aku tersentak. Segera kudongakkan wajahku melihat siapa yang ada di depanku.
Seketika mulutku menganga lebar. Aku terperangah, tersepona dengan sosok itu.
"Tomaa?!" pekikku tertahan dengan nada kaget.
Sosok itu hanya menatapku lembut. Mengernyitkan keningnya, tanda kebingungan.
"Toma? Siapa Toma?" tanyanya dengan suara yang sangat familiar di telingaku. Mirip sekali dengan suara khas Toma!!
Aku speechless! Kehabisan kata-kata. Hanya mampu melongo menatapnya.
"Lain kali hati-hati ya naruh bukunya. Sakit nggak kakinya?" tanyanya dengan raut wajah cemas setelah meletakkan buku besar tadi ke rak.
Dia membungkuk. Menyentuh pelan kakiku yang baru saja tertimpa buku.
Sentuhan lembut itu laksana setruman ber-voltase tinggi yang merambati punggungku. Aku tersentak.
Dalam hitungan detik, jantungku berdebar sangat kencang. Wajahku memanas.
Dia menoleh ke arahku, tetap dengan posisi berjongkok. Wajah itu ... SEMPURNA!!
Begitu sangat mirip dengan Toma.
Aku masih tak bisa berkata apa-apa.
"Agak merah ini. Pasti sakit ya? Perlu ke UKS?" tanyanya lagi. Kali ini dia berdiri tegak. Terlihat jelas tubuh jenjangnya. Kutaksir sekitar 182 senti-an tingginya.
Aku malah terpaksa harus sedikit mendongak menatap wajahnya. Maklumlah, aku ini sebangsa jamur-jamuran (bogel maksudnya).
Dia nampak asing buatku. Meskipun dia memakai seragam dengan badge warna merah, yang menandakan dia anak kelas tiga, tapi aku belum pernah makhluk terindah itu di sekolah ini.
"Perlu ke UKS?" Dia bertanya sekali lagi.
Kali ini aku tersadar dari lamunanku. Aku spontan menggeleng.
"Eh ... gak perlu, Kak .... A-aku ba-baik-baik saja kok. Tak perlu kuatir. Hehe ...," ucapku kikuk. Sumpah ya, ini jantung sudah seperti genderang mau perang.
Dia tersenyum. Sangat manis. Hampir saja aku seperti margarin yang dipanaskan. Meleleh!
"Ya sudah kalau begitu ... Aku duluan ya!" ucapnya singkat dengan suara beratnya yang begitu merdu di telingaku.
Aku masih tersipu malu. Hanya bisa bengong, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
"Hei!" Seseorang menggertak dari belakang.
Aku kaget. Kembali tersadar dari lamunanku.
"Kamu kenapa kok bengong gitu dari tadi?" Bu Nita tiba-tiba saja sudah ada di depanku. Menatapku penuh selidik.
Aku tak sempat menjelaskan, karena untuk detik berikutnya, Bu Nita sudah menyeretkunke deretan rak buku paling belakang. Tugasku masih banyak rupanya. Haduuuh ....
***
Rupanya pertemuan di perpustakaan kala itu hanya jadi awalnya saja. Karena di hari-hari berikutnya, aku semakin sering bertemu dengan cowok ganteng yang belakangan aku ketahui bernama Nathan.
Dia tak banyak bercerita tentang dirinya. Yang aku tahu, dia murid kelas XII IA 5. Kelas yang isinya murid-murid favorit. Tempat berkumpulnya para cowok ganteng dan cewek cantik yang populer di sekolah. Ya setidaknya seperti itulah info yang aku dapatkan dari sesama murid kelas satu.
Nathan tinggal di sebuah apartemen yang lumayan mewah di pusat kota. Apartemen Blue Sea.
Selama dia bercerita, aku hanya bisa termangu menatapnya. Pesona indahnya menyita semua perhatianku. Senyumnya mengalihkan duniaku.
Aseeek ....
Beruntungnya diriku ini bisa bertemu dengan Nathan. Bahkan tak jarang aku berdoa agar kelak Tuhan menjadikan dia jodoh sejatiku. Ya ... aku mulai jatuh cinta pada Nathan. Berharap bisa lebih dari sekedar teman.
Aku konyol ya? Iya, memang!
Tapi aku tak peduli. Aku tak pernah bisa membohongi diriku sendiri. Aku juga tak pernah ingin pura-pura tentang perasaanku yang sebenarnya.
Nathan pun tahu akan hal itu. Tapi dia tidak merespon lebih. Tak menolak, namun tak menerima juga. Dia hanya tersenyum simpul. Memperlihatkan deretan gigi putih bersih nan rapinya. Pipinya merona merah. Dan hanya usapan lembut di puncak kepalaku yang aku terima kala kunyatakan rasa itu.
Entah apa makna itu semua. Aku pun tak bisa mengetahui dengan pasti. Yang jelas, aku nyaman berada di sisi Nathan. Merasa seolah-olah Toma-Kun lah yang ada di sana. Hehehe ....
***
Sudah hampir dua bulan aku dekat dengan Nathan. Roof top sekolah menjadi tempat favorit kami untuk bertemu setiap sepulang sekolah. Duduk berdampingan. Menatap langit senja. Menantikan kala sang Surya kembali ke peraduannya.
Sungguh romantis ....
Tapi selama itu, aku tak pernah sekalipun menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tak terkecuali pada kedua sahabatku, Nesa dan Ratri. Entahlah apa sebabnya. Yang pasti, setiap kali aku ingin bercerita, tiba-tiba saja bibir ini jadi kelu.
***
"Eh, Rea ... Aku perhatikan kok sekarang ini kamu pulangnya malem terus, sih?" tanya Nesa suatu waktu saat jam istirahat.
"Ah ... itu ... aku ...."
"Iya nih! Aku juga sering banget ngeliyat kamu turun dari roof top sekolah selepas petang. Kamu ngapain sih di atas?" Kini giliran Ratri yang ikut berkomentar.
Aku terkekeh pelan. "Hehe ... itu ... aku iseng aja, kok," jawabku sekenanya sambil menggaruk kepalaku yang jelas-jelas tak gatal.
Dari kejauhan kulihat ada dua cowok berjalan ke arah meja kantin kami. Kuperhatikan dengan seksama, ternyata itu Dani, ketua kelasku. Tapi yang di sampingnya, aku tak mengenalnya.
"Hai, Gals ... lagi ngapain nih?" sapa Dani saat sudah ada di depan kami.
"Lagi mancing, Bang ...," sahut Ratri ngasal sambil menyeruput es teh manisnya.
Dani tersenyum keki. Begitu pula cowok yang di sampingnya. Kulirik sebentar dan kulihat badge merah menghiasi seragamnya.
Fix! Dia kakak kelas tiga.
"Dan, ada cowok keren gitu kok gak dikenalin ke kita-kita, sih? Cakep bener ... psst--psst-- .... Hai ...." Nesa memulai aksi genitnya. Melambaikan tangannya. Mengerling manja. Senyum mautnya ditebar.
Aku menepuk jidat.
"Oh iya, ini Axel ... kakak kelas XII IA 7 ... senior di ekskul basket dan taekwondo. Kebetulan Axel ini dulunya kakak kelas aku di SMP juga." Dani memperkenalkan cowok cool berkacamata itu.
"Kak Axel kenal Nathan gak?" ceplosku tiba-tiba saat menjabat tangan Axel.
Serempak ketiga temanku menoleh ke arahku. Menatap penuh tanya.
"Nathan siapa, Re?" tanya Ratri kepo.
"Kakak kelas XII IA 5 ... kenal gak, Kak?"
Axel mengerutkan dahinya. Berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat sesuatu sepertinya.
"Emm ... setahuku kelas IA 5 gak ada yang namanya Nathan itu," jawab Axel.
"Masa sih gak ada? Orang dia bilang kalo anak kelas IA 5 loh ... emm ... apa mungkin dia ada nama lain kalo di kelas ya?"
"Memangnya kayak gimana orangnya, Re?" Dani ikutan penasaran.
"Tinggi, putih, ganteng, agak pendiam tapi orangnya ...."
"Gak ada yang lebih spesifik ciri-cirinya, Re? Kalo yang kamu sebutin tadi itu terlalu umum soalnya," sahut Nesa memotong ucapanku.
"Ah iya, Nathan selalu pakai kalung merah. Ketat nempel di lehernya. Agak heran sih cowok cakep gitu kok pakai kalung macam itu. Hehe ...," Aku terkekeh dengan nada yang aneh.
Axel menatap tajam ke arahku.
"Seriusan ada anak kelas tiga yang kayak gitu, Re?" tanya Axel tak percaya.
"Yakin, Kak ... kan aku sering ketemu dan ngobrol sama dia."
Axel masih memasang wajah kebingungan.
"Si Nathan itu tinggal dimana, Re? Cerita juga gak dia?" Kali ini Nesa ikut menimpali.
"Apartemen Blue Sea ...."
"Looh ... si Axel ini kan juga tinggal di sana. Iya kan, Bro?" Dani menyikut lengan Axel.
"Eh ... aku udah gak tinggal di situ lagi, Dan. Udah pindah ke Ocean Dream," jawab Axel.
"Laah ... yang bener?! Sejak kapan?"
"Sudah hampir setengah tahun ini. Ya sebelum aku naik kelas tiga."
"Aku pikir kamu masih tinggal di Blue Sea, soalnya arah pulang kamu kan ke selatan ...."
"Ocean Dream kan juga arahnya di selatan, Dan. Selisih dua blok dari Blue Sea," jelas Axel.
"Kenapa kok pindah, Kak?" tanyaku sedikit penasaran.
Mendadak kulihat Axel bergidik ngeri. Aneh sekali. Aku jadi sedikit curiga.
"Apartemen Blue Sea agak 'spooky' soalnya. Hiiii ...."
"Spooky? Spooky kayak gimana, Kak?"
"Ya itu ... ada kejadian aneh-aneh di sana. Khususnya di lantai lima. Soalnya pernah ada kasus pembunuhan gitu di salah satu kamarnya. Ih serem pokoknya. Meskipun aku dulu tinggalnya di lantai tujuh, tetep aja aura horror-nya kerasa. Makanya aku minta pindah ...."
Aku membelalakkan mataku tak percaya.
"Beneran ada kasus kayak gitu, Kak?"
Axel mengangguk.
"Sempat viral enam bulan yang lalu. Sempat masuk portal berita online pula. Nanti deh aku kirim link-nya lewat chat pribadi kamu, Re," jawab Axel sambil membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit merosot di hidungnya.
"Emang Kakak punya nomor aku?"
Axel menggeleng.
"Belum punya. Makanya sekarang aku minta nomor kamu. Boleh kan? Hehehe ...."
Sontak saja, sebuah pukulan ringan dari Dani menyasar lengan cowok tampan yang sedikit 'aneh' itu.
"Yeeeee ... bisa ae Lu modusnya. Dasar kaleng kerupuk! Hahaha ...."
Tawa Dani pecah seiring dengan berbunyinya bel tanda masuk kelas.
***
Seperti biasa, sore harinya aku sudah menunggu Nathan di roof top. Namun hingga petang menjelang, dan hari mulai gelap, Nathan tak muncul sama sekali. Aneh.
'Mungkin dia ada urusan, jadi gak sempat ketemuan di sini,' gumamku pelan.
Tuhan ... aku kangen ....
***
Langkah kakiku mendadak terhenti saat kulihat ada siluet bayangan seseorang tengah menyandar di tembok dekat pagar depan rumahku. Aku terperanjat kaget. Terlebih lagi saat tahu kalau itu Nathan.
Ya, Nathan!
Dia menoleh ke arahku. Tersenyum manis. Sekalipun di malam hari, pesona senyumnya tak akan bisa disembunyikan.
"Ka-kamu kok ada di-di sini ...?" Aku tergagap. Mencoba menetralisir keadaan perasaanku yang tak karuan.
Lagi-lagi Nathan hanya tersenyum. Penampilan kasualnya kali ini sungguh melebihi batas imajinasiku.
Hoodie hitam dan celana jeans hitam, benar-benar satu paduan yang sungguh 'nggak ngotak damage'-nya!!
Hampir saja aku jatuh pingsan, gara-gara tak kuat melihat pesonanya. Duuuh ....
Aku tersadar dari lamunan konyolku, mana kala kurasakan tangan kananku digenggam lembut oleh Nathan.
Aku kesetrum!!
'Oksigen! Mana oksigen?! Aku butuh oksigen!'
Dadaku terasa engap, lantaran jantungku seolah ingin meledak.
"Kita ke taman yuk!" ajak Nathan tanpa ba-bi-bu segera menggandeng tanganku. Kami berjalan berdampingan menuju taman yang tak jauh dari rumahku.
Oh Tuhan, aku ingin pingsan ....
***
"Kamu tadi nungguin aku di roof top ya?" Nathan akhirnya membuka suara, setelah hampir lima belas menit kami duduk bersebelahan di sebuah bangku di tengah taman.
Aku mengangguk rikuh. Sungguh tak nyaman berada sedekat ini dengan malaikat tampan. Bukan kenapa-kenapa sih, aku hanya takut Nathan bisa mendengar degup jantungku yang sudah tak bisa diajak kompromi lagi.
"Maaf ya, tadi aku ada urusan, jadi nggak bisa nemuin kamu ...."
"I-iya ... gak pa-pa kok ...."
"Kamu kenapa sih nunduk terus gitu?"
Aku masih menunduk. Menatap kedua sepatuku yang saling kuadu di tanah.
"Hei, kalau diajak ngobrol tuh lihat aku ...." Tanpa kusangka, Nathan mengangkat daguku, dan mengarahkan wajahku menatapnya.
Mataku membelalak lebar saat beradu dengan kedua bola mata berwarna coklat yang begitu tajam sorotnya.
Hatiku mencelos.
Jantungku sukses terlepas dari tempatnya dan jatuh menggelinding entah ke mana.
"Kenapa?" Nathan sepertinya sengaja menggodaku dengan posisi seperti itu.
Wajah kami hanya berjarak sepuluh senti-an.
"Aku gugup, Kaaak ...," rengekku manja seketika.
"Hahaha ...." Tawa Nathan begitu renyah.
Sesekali dia mengusap kepalaku, sedikit mengacak-acak lembut rambutku.
Sumpah! Aku meleleeeeh, ya Tuhaaan ....
"Kamu lucu, Re. Aku suka ...."
Aku menajamkan pendengaranku. Sepertinya tadi aku salah dengar ya?
"Barusan tadi bilang apa, Kak?"
Nathan terdiam sejenak. Perlahan dia memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku lembut. Menyunggingkan senyum termanisnya.
"Aku suka kamu, Re," ucapnya dengan tenang.
Aku mendelik. "Ish ... bo'ong pasti."
Nathan menggeleng.
"Aku enggak bohong. Serius ... jujur saja, justru aku lebih dulu yang suka sama kamu. Jauh sebelum kamu bilang waktu itu. Hanya saja, aku terlalu gugup kalau harus mengakuinya. Maaf ...."
"Lalu kenapa waktu aku bilang aku suka kamu, kamu nggak jawab apa-apa? Kamu ini nge-prank aku ya?" Aku mulai berburuk sangka ini.
"Perasaan yang tulus tak harus diungkapkan lewat kata, kan? Aku lebih memilih memberi perhatian yang nyata, daripada hanya sekadar jawaban 'Iya, aku juga cinta ...' ," jawab Nathan dengan sangat bijak.
Aku masih terpaku. Entah harus bereaksi seperti apa kali ini.
Aku kembali harus kehilangan jantung untuk kesekian kalinya saat kurasakan Nathan merengkuhku dalam pelukannya. Aku tersentak kaget. Hampir saja aku berteriak histeris, saking terkejutnya.
Nathan mendekap erat tubuh mungilku. Mengusap lembut kepalaku yang menyandar di dada bidangnya.
Begitu hangat pelukannya. Nyaman. Menenangkan.
Aroma wangi nan lembut khas citrus-vanila menguar seketika.
Sungguh malam yang sempurna. Rasanya aku akan bermimpi sangat indah nantinya.
"Re ...."
"Iya ...."
"Apapun kebenaran yang nantinya akan kamu ketahui tentang aku, aku mohon dengan sangat, jangan pernah benci aku ya. Ingatlah selalu, aku sangat mencintaimu. Dan perasaan itu sangat tulus. Jaga itu dalam hatimu ...."
Aku mendongak menatap Nathan. Kali ini ekspresi malaikat terindahku itu nampak datar, cenderung sedih.
Dia tak melihatku sama sekali. Pandangannya lurus ke depan. Ke arah jalan raya yang mulai terlihat sepi.
Aku melepaskan diri dari pelukannya.
"Kamu ngomong apa sih, Kak? Aku nggak ngerti ...."
Nathan menoleh. Tersenyum tipis.
"Aku anterin kamu pulang ya. Sudah malam banget ini. Yuk ...."
Aku menolak untuk beranjak dari dudukku. "Jawab dulu pertanyaanku. Kalau enggak, aku nggak mau pul- ..."
Cup!
Aku terdiam seketika. Napasku terhenti.
Ciuman lembut bibir merah Nathan sukses membungkamku ....
***
Hampir lewat tengah malam, mataku masih enggan terpejam.
Bayang-bayang wajah tampan Nathan masih menggelayuti pikiranku. Sensasi basah bibir Nathan masih terasa begitu menggairahkan.
Oh, siaaaal ....
Wajahku memanas. Punggungku seperti dialiri listrik tegangan rendah. Sungguh reaksi yang sangat menyebalkan.
Oh, come on! I need to sleep now!
Besok ulangan Matematika jam pertama. Gawat kalau aku harus bangun kesiangan. Tak akan sempat untuk bikin contekan lewat catatan milik Rendi kalau begitu caranya. Uuggh!!
Dengan kesal kubuka gawaiku. Sejenak kutatap wajah Toma-kun di layar benda pipih itu. Menyeringai lebar.
'Emm ... ternyata Nathan jauh lebih tampan dari kamu, Toma-Kun. Dan yang pastinya, Nathan itu nyata ... hehehe ....'
Kuperhatikan pojok atas layar, ada notifikasi dari aplikasi chat berlogo telpon dan berwarna hijau itu. Aku segera membukanya.
Sebuah pesan dari Axel.
[Ini link berita yang aku janjikan tadi siang]
Tak menunggu lama, segera ku-klik link tersebut. Sebuah artikel dari portal berita online telah tersaji untuk kemudian kubaca.
Seketika bulu kudukku meremang hebat saat membaca baris per barisnya. Badanku gemetaran. Keringat dingin mulai keluar. Jantungku harus rela menerima shock therapy untuk belasan kalinya dalam sehari itu.
[Sebuah kasus pembunuhan sadis terjadi pada tanggal 21 Juni di sebuah apartemen elite, Blue Sea. Tepatnya di kamar 5036. Dengan korban seorang pelajar tingkat akhir sekolah La Ville. Korban ditemukan tewas dengan luka jeratan rantai semacam kalung berwarna merah. Tak hanya itu saja, mata korban dicongkel dan lidahnya dipotong dengan sangat tragis. Korban merupakan remaja blasteran Jepang-Amerika-Indonesia, berusia 18 tahun, bernama NATHAN FUJIO ....]
Gawaiku terlepas begitu saja dari tanganku.
'Enggak mungkin! Ini hanya kebetulan kan?! Itu bukan Nathan-ku!! Bukaaaaan ....'
"Itu memang aku, Rea ...."
Aku terlonjak kaget. Seketika mataku tertuju ke arah pojok kamar.
Nampak Nathan berdiri di sana.
Wajahnya pucat. Bukan pucat lagi! Putih!
Aku gemetaran.
Tiba-tiba tubuhku kaku. Aku tak bisa bergerak sama aekali. Tanganku hanya bisa mencengkeram selimut dengan sangat kuat. Aku sangat takut!
Aku tak bisa berteriak. Lidahku kelu.
Sosok itu semakin mendekat.
Perlahan nampak jelas terlihat hal mengerikan darinya. Wajah rusak, penuh darah dan belatung. Mata tercongkel sebelah. Mulut menganga lebar, berlumuran darah dari lidah yang separuh terpotong. Leher terjerat benda yang sebelumnya kusangka itu kalung berwarna merah. Rupanya itu ....
"PERGIIIIIIII ...!!"
"Kau sudah berjanji kau tak akan membenciku kan, Re?"
"KAU HANTUUUU!! AKU BILANG PERGIIIIIIII!!"
"Aku mencintaimu, Re ...."
"BODO AMAAAAT!! AKU MOHON PERGIIIII ...."
"Baiklah ...."
Seketika aura horror menghilang begitu saja dari sekelilingku.
Kuberanikan diri untuk membuka mata dan melihat sekeliling. Rupanya sosok itu telah pergi. Aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega.
Fiuuuh ....
Aku terduduk lemas di tengah ranjang. Kerongkonganku terasa tercekat. Aku butuh air.
Baru saja aku ingin beranjak dari ranjang, tiba-tiba nampak dua belah tangan putih pucat berdebu penuh luka muncul dari belakangku. Melewati samping telinga. Terjulur ke depan wajahku.
"AAAAAKHHH ...." Aku berteriak histeris.
"Eeeeeeerrgghh ...." Suara menyeramkan terdengar tepat di belakang kepalaku. Seolah-olah tengah menempel erat.
"Kalau aku bilang aku mencintaimu ... itu berarti kau harus mati di tanganku, Cantik ...." Bisikan itu terasa sangat menusuk telinga.
Tangan itu memegang kepalaku. Aku tak bisa berontak.
Kraaaak!
Dengan sekali sentakan, dapat kurasakan leherku patah terpelintir 180° ke belakang.
Kini wajah kami saling berhadapan.
Kulihat sosok itu begitu menawan.
My Lovely Angel, Nathan ....
#end
Sidoarjo, 04-11-2020
#story
#dear_nathan
By: Riza Dwi Rahadianingtyas
Long posting alert!!
***
Hampir dua mingguan ini aku mulai keranjingan membuka aplikasi berlogo not musik itu. Bukan disebabkan aku suka bermain Tik-Tok, tapi itu karena aku tertarik dengan salah seorang konten kreator di aplikasi tersebut.
Nama akunnya @Toma_desu. Pria muda berdarah campuran Jepang-Amerika, yang tengah menetap di Jepang untuk kuliah.
Pria itu teramat istimewa. Hanya sekali melihatnya, aku sudah terpesona.
Wajah blasteran yang putih dengan sedikit bintik-bintik hitam ciri khas pria bule. Rambut hitam agak kecoklatan. Garis wajah yang tegas. Rahang yang kokoh, berkesan macho. Mata coklat nan indah. Suara tenor yang berat. Senyum menawan, benar-benar menjadikannya satu paket lengkap pemikat wanita. Tak terkecuali aku sendiri.
Sungguh maha karya Tuhan yang sempurna!
Aku benar-benar menggila. Tak pernah sehari pun aku absen mengecek akun Tik-tok miliknya.
Hal itu pula lah yang membuatku kadang senyam-senyum sendiri saat di dalam kelas. Tak jarang aku tak begitu memperhatikan pelajaran, terlalu sibuk dengan gawaiku. Hanya untuk sekadar menatap wallpaper bergambar dirinya.
Bodohnya aku!
Karena itu semua aku akhirnya kena hukum Pak Agus, guru Matematika paling killer di sekolah. Membersihkan toilet di lantai dua dan merapikan buku di perpustakaan setiap pulang sekolah. Selama seminggu!
Sial! Benar-benar sial!
***
"Rea, jangan lupa ke perpus sepulang sekolah. Kebetulan Bu Nita butuh bantuan menata buku di sana. Paham kamu?" tegas Pak Agus dengan mata setengah melotot.
Aku hanya mengangguk kikuk. Dalam hati aku menggerutu.
Sesampainya di perpus, aku segera membantu Bu Nita. Semakin cepat kerjaku, semakin cepat aku pulang. Bayangan kasur yang empuk sudah mengganggu pikiranku sedari tadi. Aku mulai mengantuk.
Bug!
Salah satu buku terjatuh saat aku hendak menaruhnya ke rak. Aku mengumpat pelan saat kakiku tertimpa buku yang sangat tebal itu.
Dengan kesal aku membungkuk dan mencoba mengambilnya.
Saat itu pula, tanganku tak sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang yang juga hendak mengambil buku tersebut. Begitu putih bersih tangan itu. Aku tersentak. Segera kudongakkan wajahku melihat siapa yang ada di depanku.
Seketika mulutku menganga lebar. Aku terperangah, tersepona dengan sosok itu.
"Tomaa?!" pekikku tertahan dengan nada kaget.
Sosok itu hanya menatapku lembut. Mengernyitkan keningnya, tanda kebingungan.
"Toma? Siapa Toma?" tanyanya dengan suara yang sangat familiar di telingaku. Mirip sekali dengan suara khas Toma!!
Aku speechless! Kehabisan kata-kata. Hanya mampu melongo menatapnya.
"Lain kali hati-hati ya naruh bukunya. Sakit nggak kakinya?" tanyanya dengan raut wajah cemas setelah meletakkan buku besar tadi ke rak.
Dia membungkuk. Menyentuh pelan kakiku yang baru saja tertimpa buku.
Sentuhan lembut itu laksana setruman ber-voltase tinggi yang merambati punggungku. Aku tersentak.
Dalam hitungan detik, jantungku berdebar sangat kencang. Wajahku memanas.
Dia menoleh ke arahku, tetap dengan posisi berjongkok. Wajah itu ... SEMPURNA!!
Begitu sangat mirip dengan Toma.
Aku masih tak bisa berkata apa-apa.
"Agak merah ini. Pasti sakit ya? Perlu ke UKS?" tanyanya lagi. Kali ini dia berdiri tegak. Terlihat jelas tubuh jenjangnya. Kutaksir sekitar 182 senti-an tingginya.
Aku malah terpaksa harus sedikit mendongak menatap wajahnya. Maklumlah, aku ini sebangsa jamur-jamuran (bogel maksudnya).
Dia nampak asing buatku. Meskipun dia memakai seragam dengan badge warna merah, yang menandakan dia anak kelas tiga, tapi aku belum pernah makhluk terindah itu di sekolah ini.
"Perlu ke UKS?" Dia bertanya sekali lagi.
Kali ini aku tersadar dari lamunanku. Aku spontan menggeleng.
"Eh ... gak perlu, Kak .... A-aku ba-baik-baik saja kok. Tak perlu kuatir. Hehe ...," ucapku kikuk. Sumpah ya, ini jantung sudah seperti genderang mau perang.
Dia tersenyum. Sangat manis. Hampir saja aku seperti margarin yang dipanaskan. Meleleh!
"Ya sudah kalau begitu ... Aku duluan ya!" ucapnya singkat dengan suara beratnya yang begitu merdu di telingaku.
Aku masih tersipu malu. Hanya bisa bengong, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
"Hei!" Seseorang menggertak dari belakang.
Aku kaget. Kembali tersadar dari lamunanku.
"Kamu kenapa kok bengong gitu dari tadi?" Bu Nita tiba-tiba saja sudah ada di depanku. Menatapku penuh selidik.
Aku tak sempat menjelaskan, karena untuk detik berikutnya, Bu Nita sudah menyeretkunke deretan rak buku paling belakang. Tugasku masih banyak rupanya. Haduuuh ....
***
Rupanya pertemuan di perpustakaan kala itu hanya jadi awalnya saja. Karena di hari-hari berikutnya, aku semakin sering bertemu dengan cowok ganteng yang belakangan aku ketahui bernama Nathan.
Dia tak banyak bercerita tentang dirinya. Yang aku tahu, dia murid kelas XII IA 5. Kelas yang isinya murid-murid favorit. Tempat berkumpulnya para cowok ganteng dan cewek cantik yang populer di sekolah. Ya setidaknya seperti itulah info yang aku dapatkan dari sesama murid kelas satu.
Nathan tinggal di sebuah apartemen yang lumayan mewah di pusat kota. Apartemen Blue Sea.
Selama dia bercerita, aku hanya bisa termangu menatapnya. Pesona indahnya menyita semua perhatianku. Senyumnya mengalihkan duniaku.
Aseeek ....
Beruntungnya diriku ini bisa bertemu dengan Nathan. Bahkan tak jarang aku berdoa agar kelak Tuhan menjadikan dia jodoh sejatiku. Ya ... aku mulai jatuh cinta pada Nathan. Berharap bisa lebih dari sekedar teman.
Aku konyol ya? Iya, memang!
Tapi aku tak peduli. Aku tak pernah bisa membohongi diriku sendiri. Aku juga tak pernah ingin pura-pura tentang perasaanku yang sebenarnya.
Nathan pun tahu akan hal itu. Tapi dia tidak merespon lebih. Tak menolak, namun tak menerima juga. Dia hanya tersenyum simpul. Memperlihatkan deretan gigi putih bersih nan rapinya. Pipinya merona merah. Dan hanya usapan lembut di puncak kepalaku yang aku terima kala kunyatakan rasa itu.
Entah apa makna itu semua. Aku pun tak bisa mengetahui dengan pasti. Yang jelas, aku nyaman berada di sisi Nathan. Merasa seolah-olah Toma-Kun lah yang ada di sana. Hehehe ....
***
Sudah hampir dua bulan aku dekat dengan Nathan. Roof top sekolah menjadi tempat favorit kami untuk bertemu setiap sepulang sekolah. Duduk berdampingan. Menatap langit senja. Menantikan kala sang Surya kembali ke peraduannya.
Sungguh romantis ....
Tapi selama itu, aku tak pernah sekalipun menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tak terkecuali pada kedua sahabatku, Nesa dan Ratri. Entahlah apa sebabnya. Yang pasti, setiap kali aku ingin bercerita, tiba-tiba saja bibir ini jadi kelu.
***
"Eh, Rea ... Aku perhatikan kok sekarang ini kamu pulangnya malem terus, sih?" tanya Nesa suatu waktu saat jam istirahat.
"Ah ... itu ... aku ...."
"Iya nih! Aku juga sering banget ngeliyat kamu turun dari roof top sekolah selepas petang. Kamu ngapain sih di atas?" Kini giliran Ratri yang ikut berkomentar.
Aku terkekeh pelan. "Hehe ... itu ... aku iseng aja, kok," jawabku sekenanya sambil menggaruk kepalaku yang jelas-jelas tak gatal.
Dari kejauhan kulihat ada dua cowok berjalan ke arah meja kantin kami. Kuperhatikan dengan seksama, ternyata itu Dani, ketua kelasku. Tapi yang di sampingnya, aku tak mengenalnya.
"Hai, Gals ... lagi ngapain nih?" sapa Dani saat sudah ada di depan kami.
"Lagi mancing, Bang ...," sahut Ratri ngasal sambil menyeruput es teh manisnya.
Dani tersenyum keki. Begitu pula cowok yang di sampingnya. Kulirik sebentar dan kulihat badge merah menghiasi seragamnya.
Fix! Dia kakak kelas tiga.
"Dan, ada cowok keren gitu kok gak dikenalin ke kita-kita, sih? Cakep bener ... psst--psst-- .... Hai ...." Nesa memulai aksi genitnya. Melambaikan tangannya. Mengerling manja. Senyum mautnya ditebar.
Aku menepuk jidat.
"Oh iya, ini Axel ... kakak kelas XII IA 7 ... senior di ekskul basket dan taekwondo. Kebetulan Axel ini dulunya kakak kelas aku di SMP juga." Dani memperkenalkan cowok cool berkacamata itu.
"Kak Axel kenal Nathan gak?" ceplosku tiba-tiba saat menjabat tangan Axel.
Serempak ketiga temanku menoleh ke arahku. Menatap penuh tanya.
"Nathan siapa, Re?" tanya Ratri kepo.
"Kakak kelas XII IA 5 ... kenal gak, Kak?"
Axel mengerutkan dahinya. Berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat sesuatu sepertinya.
"Emm ... setahuku kelas IA 5 gak ada yang namanya Nathan itu," jawab Axel.
"Masa sih gak ada? Orang dia bilang kalo anak kelas IA 5 loh ... emm ... apa mungkin dia ada nama lain kalo di kelas ya?"
"Memangnya kayak gimana orangnya, Re?" Dani ikutan penasaran.
"Tinggi, putih, ganteng, agak pendiam tapi orangnya ...."
"Gak ada yang lebih spesifik ciri-cirinya, Re? Kalo yang kamu sebutin tadi itu terlalu umum soalnya," sahut Nesa memotong ucapanku.
"Ah iya, Nathan selalu pakai kalung merah. Ketat nempel di lehernya. Agak heran sih cowok cakep gitu kok pakai kalung macam itu. Hehe ...," Aku terkekeh dengan nada yang aneh.
Axel menatap tajam ke arahku.
"Seriusan ada anak kelas tiga yang kayak gitu, Re?" tanya Axel tak percaya.
"Yakin, Kak ... kan aku sering ketemu dan ngobrol sama dia."
Axel masih memasang wajah kebingungan.
"Si Nathan itu tinggal dimana, Re? Cerita juga gak dia?" Kali ini Nesa ikut menimpali.
"Apartemen Blue Sea ...."
"Looh ... si Axel ini kan juga tinggal di sana. Iya kan, Bro?" Dani menyikut lengan Axel.
"Eh ... aku udah gak tinggal di situ lagi, Dan. Udah pindah ke Ocean Dream," jawab Axel.
"Laah ... yang bener?! Sejak kapan?"
"Sudah hampir setengah tahun ini. Ya sebelum aku naik kelas tiga."
"Aku pikir kamu masih tinggal di Blue Sea, soalnya arah pulang kamu kan ke selatan ...."
"Ocean Dream kan juga arahnya di selatan, Dan. Selisih dua blok dari Blue Sea," jelas Axel.
"Kenapa kok pindah, Kak?" tanyaku sedikit penasaran.
Mendadak kulihat Axel bergidik ngeri. Aneh sekali. Aku jadi sedikit curiga.
"Apartemen Blue Sea agak 'spooky' soalnya. Hiiii ...."
"Spooky? Spooky kayak gimana, Kak?"
"Ya itu ... ada kejadian aneh-aneh di sana. Khususnya di lantai lima. Soalnya pernah ada kasus pembunuhan gitu di salah satu kamarnya. Ih serem pokoknya. Meskipun aku dulu tinggalnya di lantai tujuh, tetep aja aura horror-nya kerasa. Makanya aku minta pindah ...."
Aku membelalakkan mataku tak percaya.
"Beneran ada kasus kayak gitu, Kak?"
Axel mengangguk.
"Sempat viral enam bulan yang lalu. Sempat masuk portal berita online pula. Nanti deh aku kirim link-nya lewat chat pribadi kamu, Re," jawab Axel sambil membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit merosot di hidungnya.
"Emang Kakak punya nomor aku?"
Axel menggeleng.
"Belum punya. Makanya sekarang aku minta nomor kamu. Boleh kan? Hehehe ...."
Sontak saja, sebuah pukulan ringan dari Dani menyasar lengan cowok tampan yang sedikit 'aneh' itu.
"Yeeeee ... bisa ae Lu modusnya. Dasar kaleng kerupuk! Hahaha ...."
Tawa Dani pecah seiring dengan berbunyinya bel tanda masuk kelas.
***
Seperti biasa, sore harinya aku sudah menunggu Nathan di roof top. Namun hingga petang menjelang, dan hari mulai gelap, Nathan tak muncul sama sekali. Aneh.
'Mungkin dia ada urusan, jadi gak sempat ketemuan di sini,' gumamku pelan.
Tuhan ... aku kangen ....
***
Langkah kakiku mendadak terhenti saat kulihat ada siluet bayangan seseorang tengah menyandar di tembok dekat pagar depan rumahku. Aku terperanjat kaget. Terlebih lagi saat tahu kalau itu Nathan.
Ya, Nathan!
Dia menoleh ke arahku. Tersenyum manis. Sekalipun di malam hari, pesona senyumnya tak akan bisa disembunyikan.
"Ka-kamu kok ada di-di sini ...?" Aku tergagap. Mencoba menetralisir keadaan perasaanku yang tak karuan.
Lagi-lagi Nathan hanya tersenyum. Penampilan kasualnya kali ini sungguh melebihi batas imajinasiku.
Hoodie hitam dan celana jeans hitam, benar-benar satu paduan yang sungguh 'nggak ngotak damage'-nya!!
Hampir saja aku jatuh pingsan, gara-gara tak kuat melihat pesonanya. Duuuh ....
Aku tersadar dari lamunan konyolku, mana kala kurasakan tangan kananku digenggam lembut oleh Nathan.
Aku kesetrum!!
'Oksigen! Mana oksigen?! Aku butuh oksigen!'
Dadaku terasa engap, lantaran jantungku seolah ingin meledak.
"Kita ke taman yuk!" ajak Nathan tanpa ba-bi-bu segera menggandeng tanganku. Kami berjalan berdampingan menuju taman yang tak jauh dari rumahku.
Oh Tuhan, aku ingin pingsan ....
***
"Kamu tadi nungguin aku di roof top ya?" Nathan akhirnya membuka suara, setelah hampir lima belas menit kami duduk bersebelahan di sebuah bangku di tengah taman.
Aku mengangguk rikuh. Sungguh tak nyaman berada sedekat ini dengan malaikat tampan. Bukan kenapa-kenapa sih, aku hanya takut Nathan bisa mendengar degup jantungku yang sudah tak bisa diajak kompromi lagi.
"Maaf ya, tadi aku ada urusan, jadi nggak bisa nemuin kamu ...."
"I-iya ... gak pa-pa kok ...."
"Kamu kenapa sih nunduk terus gitu?"
Aku masih menunduk. Menatap kedua sepatuku yang saling kuadu di tanah.
"Hei, kalau diajak ngobrol tuh lihat aku ...." Tanpa kusangka, Nathan mengangkat daguku, dan mengarahkan wajahku menatapnya.
Mataku membelalak lebar saat beradu dengan kedua bola mata berwarna coklat yang begitu tajam sorotnya.
Hatiku mencelos.
Jantungku sukses terlepas dari tempatnya dan jatuh menggelinding entah ke mana.
"Kenapa?" Nathan sepertinya sengaja menggodaku dengan posisi seperti itu.
Wajah kami hanya berjarak sepuluh senti-an.
"Aku gugup, Kaaak ...," rengekku manja seketika.
"Hahaha ...." Tawa Nathan begitu renyah.
Sesekali dia mengusap kepalaku, sedikit mengacak-acak lembut rambutku.
Sumpah! Aku meleleeeeh, ya Tuhaaan ....
"Kamu lucu, Re. Aku suka ...."
Aku menajamkan pendengaranku. Sepertinya tadi aku salah dengar ya?
"Barusan tadi bilang apa, Kak?"
Nathan terdiam sejenak. Perlahan dia memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku lembut. Menyunggingkan senyum termanisnya.
"Aku suka kamu, Re," ucapnya dengan tenang.
Aku mendelik. "Ish ... bo'ong pasti."
Nathan menggeleng.
"Aku enggak bohong. Serius ... jujur saja, justru aku lebih dulu yang suka sama kamu. Jauh sebelum kamu bilang waktu itu. Hanya saja, aku terlalu gugup kalau harus mengakuinya. Maaf ...."
"Lalu kenapa waktu aku bilang aku suka kamu, kamu nggak jawab apa-apa? Kamu ini nge-prank aku ya?" Aku mulai berburuk sangka ini.
"Perasaan yang tulus tak harus diungkapkan lewat kata, kan? Aku lebih memilih memberi perhatian yang nyata, daripada hanya sekadar jawaban 'Iya, aku juga cinta ...' ," jawab Nathan dengan sangat bijak.
Aku masih terpaku. Entah harus bereaksi seperti apa kali ini.
Aku kembali harus kehilangan jantung untuk kesekian kalinya saat kurasakan Nathan merengkuhku dalam pelukannya. Aku tersentak kaget. Hampir saja aku berteriak histeris, saking terkejutnya.
Nathan mendekap erat tubuh mungilku. Mengusap lembut kepalaku yang menyandar di dada bidangnya.
Begitu hangat pelukannya. Nyaman. Menenangkan.
Aroma wangi nan lembut khas citrus-vanila menguar seketika.
Sungguh malam yang sempurna. Rasanya aku akan bermimpi sangat indah nantinya.
"Re ...."
"Iya ...."
"Apapun kebenaran yang nantinya akan kamu ketahui tentang aku, aku mohon dengan sangat, jangan pernah benci aku ya. Ingatlah selalu, aku sangat mencintaimu. Dan perasaan itu sangat tulus. Jaga itu dalam hatimu ...."
Aku mendongak menatap Nathan. Kali ini ekspresi malaikat terindahku itu nampak datar, cenderung sedih.
Dia tak melihatku sama sekali. Pandangannya lurus ke depan. Ke arah jalan raya yang mulai terlihat sepi.
Aku melepaskan diri dari pelukannya.
"Kamu ngomong apa sih, Kak? Aku nggak ngerti ...."
Nathan menoleh. Tersenyum tipis.
"Aku anterin kamu pulang ya. Sudah malam banget ini. Yuk ...."
Aku menolak untuk beranjak dari dudukku. "Jawab dulu pertanyaanku. Kalau enggak, aku nggak mau pul- ..."
Cup!
Aku terdiam seketika. Napasku terhenti.
Ciuman lembut bibir merah Nathan sukses membungkamku ....
***
Hampir lewat tengah malam, mataku masih enggan terpejam.
Bayang-bayang wajah tampan Nathan masih menggelayuti pikiranku. Sensasi basah bibir Nathan masih terasa begitu menggairahkan.
Oh, siaaaal ....
Wajahku memanas. Punggungku seperti dialiri listrik tegangan rendah. Sungguh reaksi yang sangat menyebalkan.
Oh, come on! I need to sleep now!
Besok ulangan Matematika jam pertama. Gawat kalau aku harus bangun kesiangan. Tak akan sempat untuk bikin contekan lewat catatan milik Rendi kalau begitu caranya. Uuggh!!
Dengan kesal kubuka gawaiku. Sejenak kutatap wajah Toma-kun di layar benda pipih itu. Menyeringai lebar.
'Emm ... ternyata Nathan jauh lebih tampan dari kamu, Toma-Kun. Dan yang pastinya, Nathan itu nyata ... hehehe ....'
Kuperhatikan pojok atas layar, ada notifikasi dari aplikasi chat berlogo telpon dan berwarna hijau itu. Aku segera membukanya.
Sebuah pesan dari Axel.
[Ini link berita yang aku janjikan tadi siang]
Tak menunggu lama, segera ku-klik link tersebut. Sebuah artikel dari portal berita online telah tersaji untuk kemudian kubaca.
Seketika bulu kudukku meremang hebat saat membaca baris per barisnya. Badanku gemetaran. Keringat dingin mulai keluar. Jantungku harus rela menerima shock therapy untuk belasan kalinya dalam sehari itu.
[Sebuah kasus pembunuhan sadis terjadi pada tanggal 21 Juni di sebuah apartemen elite, Blue Sea. Tepatnya di kamar 5036. Dengan korban seorang pelajar tingkat akhir sekolah La Ville. Korban ditemukan tewas dengan luka jeratan rantai semacam kalung berwarna merah. Tak hanya itu saja, mata korban dicongkel dan lidahnya dipotong dengan sangat tragis. Korban merupakan remaja blasteran Jepang-Amerika-Indonesia, berusia 18 tahun, bernama NATHAN FUJIO ....]
Gawaiku terlepas begitu saja dari tanganku.
'Enggak mungkin! Ini hanya kebetulan kan?! Itu bukan Nathan-ku!! Bukaaaaan ....'
"Itu memang aku, Rea ...."
Aku terlonjak kaget. Seketika mataku tertuju ke arah pojok kamar.
Nampak Nathan berdiri di sana.
Wajahnya pucat. Bukan pucat lagi! Putih!
Aku gemetaran.
Tiba-tiba tubuhku kaku. Aku tak bisa bergerak sama aekali. Tanganku hanya bisa mencengkeram selimut dengan sangat kuat. Aku sangat takut!
Aku tak bisa berteriak. Lidahku kelu.
Sosok itu semakin mendekat.
Perlahan nampak jelas terlihat hal mengerikan darinya. Wajah rusak, penuh darah dan belatung. Mata tercongkel sebelah. Mulut menganga lebar, berlumuran darah dari lidah yang separuh terpotong. Leher terjerat benda yang sebelumnya kusangka itu kalung berwarna merah. Rupanya itu ....
"PERGIIIIIIII ...!!"
"Kau sudah berjanji kau tak akan membenciku kan, Re?"
"KAU HANTUUUU!! AKU BILANG PERGIIIIIIII!!"
"Aku mencintaimu, Re ...."
"BODO AMAAAAT!! AKU MOHON PERGIIIII ...."
"Baiklah ...."
Seketika aura horror menghilang begitu saja dari sekelilingku.
Kuberanikan diri untuk membuka mata dan melihat sekeliling. Rupanya sosok itu telah pergi. Aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega.
Fiuuuh ....
Aku terduduk lemas di tengah ranjang. Kerongkonganku terasa tercekat. Aku butuh air.
Baru saja aku ingin beranjak dari ranjang, tiba-tiba nampak dua belah tangan putih pucat berdebu penuh luka muncul dari belakangku. Melewati samping telinga. Terjulur ke depan wajahku.
"AAAAAKHHH ...." Aku berteriak histeris.
"Eeeeeeerrgghh ...." Suara menyeramkan terdengar tepat di belakang kepalaku. Seolah-olah tengah menempel erat.
"Kalau aku bilang aku mencintaimu ... itu berarti kau harus mati di tanganku, Cantik ...." Bisikan itu terasa sangat menusuk telinga.
Tangan itu memegang kepalaku. Aku tak bisa berontak.
Kraaaak!
Dengan sekali sentakan, dapat kurasakan leherku patah terpelintir 180° ke belakang.
Kini wajah kami saling berhadapan.
Kulihat sosok itu begitu menawan.
My Lovely Angel, Nathan ....
#end
Sidoarjo, 04-11-2020
0
298
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan